Hari-hari telah seperti biasa, di awal semester baru ini, siswa-siswa kelas 12 akan mengadakan study tour di luar kota yang tentu saja akan membutuhkan waktu berhari-hari di sana.
“Yar, yar nanti pas study tour lo harus coba,” Winda yang tadinya menghadap depan karena sibuk mencatat tiba-tiba langsung berbalik ke arah Yara dan Hasya yang berada di belakangnya.
“Coba apaan? Makanan khas daerah?” Yara dengan polosnya menjawab sesuai yang ada dalam pikirannya.
“Bisa juga nih.” Sahut Winda.
“Bisa apa Win?” Yara kembali bertanya.
“Bisa gila.” Winda mengacak-ngacak rambutnya karena kesal.
Hasya tertawa lepas melihat dua sahabatnya yang saling bertolak belakang itu, Winda yang kesabarannya sangat terbatas dan Yara yang sangat polos. “Yar,” Hasya memegang pundak Yara, “Maksut Winda tuh, lo bisa coba lebih deketin Al waktu study tour nanti, itu adalah momen yang tepat.”
“Untung aja yang satunya masih bisa diselamatkan.” Winda mengelus dada sebagai tanda rasa syukur karena Hasya masih paham dengan yang ia maksut. Yara hanya bisa nyengir ke arah dua temannya itu karena tidak paham dengan maksut dan tujuan mereka.
“Maaf, maaf,” Yara meminta maaf karena ke lemotannya, “Tapi, memangnya bisa?” Sepertinya rasa percaya diri Yara sangat kurang apalagi dia adalah seorang yang sungkanan.
“Aduh, biar kita aja deh yang atur, gue juga nggak yakin sama lo.” Winda memberikan tawaran yang menarik untu Yara karena tahu bahwa temannya ini akan sulit untuk mengambil keputusan sendiri, apalagi tidak ada pengalaman sama sekali.
Yara hanya mengangguk, ia ikut saja apa kata dua temannya itu, semoga saja bisa, hanya itu yang terlintas dalam benaknya. Sebenarnya ia kurang yakin bahwa semua rencana ini bakal berhasil, apalagi Yara benar-benar percaya bahwa Al memang menyukai Zaviya karena sudah sejak lama ia melihat interaksi antara Al dan Zaviya dan semakin dekat setiap harinya.
Bel sekolah telah berbunyi, saat Yara akan meninggalkan kelas bersama tiga sahabatnya itu, tiba-tiba ia dicegat oleh Al.
“Yar,” Yara menoleh dan sudah ada Al yang menunggunya. Kedua sahabatnya itu senyum-senyum sendiri dan menatap ke arah yara.
“Oh gue harus cepet-cepet balik nih, gue balik dulu ya Yar.” Winda tiba-tiba ingin pergi dengan cepat dari sana tanpa menunggu Yara.
“Bareng Win, gue juga ada urusan nih, kalian baik-baik yah, kita balik dulu. Byeee.” Mereka benar-benar meninggalkan Yara sendirian dan hanya bersama Al saja.
“Ada apa Al?” Yara kembali melihat Al dan menanyakan tujuannya.
“Nanti sepulang sekolah gue tunggu di taman.” Tanpa menunggu jawaban Yara, Al langsung pergi begitu saja.
“Tapi ada apa?” Al tetap melangkah pergi meski mendengar suara Yara, “Ada apa ya,” Yara tidak kaget dengan sikap Al yang misterius itu dan ia juga beranjak pergi dari sana, saat sudah pergi beberapa langkah tiba-tiba ada yang menariknya.
“Haduh, bikin kaget aja, kirain siapa.” Itu adalah Winda dan Hasya yang ternyata belum pulang dan mengintip dari kejauhan.
“Ada apa Yar? Kok si Al udah pergi aja.” Winda menarik tangan Yara, terlihat mereka berdua sangat penasaran dengan kejadian yang baru saja terjadi.
“Katanya sih mau ketemu di taman habis ini, tapi nggak tahu mau ngapain.” Yara mengangkat pundak dan tangannya sebagai tanda bahwa ia sendiri pun tidak tahu maksut dan tujuan Al.
“Wihh, jangan-jangan yang dimaksut dia sedang ngejar seseorang itu lo Yar.” Winda dan Yara sebenarnya kurang yakin dengan kata-kata Hasya, apalagi Yara, tidak pernah terbesit dalam benaknya.
“Bener tu, bisa jadi Yar.” Winda menambahkan meskipun dirinya sendiri kurang yakin, namun ini semua juga demi menumbuhkan semangat dalam diri Yara.
“Aishhh, nggak mungkin kalau itu, dia itu Cuma nganggep aku temen atau nggak tetangga.” Yara mengibaskan tangannya di depan wajah, “Kayaknya ini cuma pertemuan biasa antara tetangga.”
“Kapan ketemuannya?” Hasya bertanya.
“Habis ini sih, katanya sepulang sekolah.” Winda dan Hasya saling berpandangan seperti akan merencanakan sesuatu sambil senyum-senyum, “Kalian kenapa, kok senyum-senyum?”
“Kalau gitu, ayo tunggu apalagi, kita pulang, Lets Go.” Hasya sangat bersemangat dan menggandeng tangan kedua temannya itu. Mereka pulang bersama dan menuju rumah Yara, ternyata Winda dan Hasya juga ikut pergi ke rumah Yara karena punya rencana tersendiri.
“Selamat siang tante.” Kedua teman Yara menyapa mamanya sesampainya di rumah.
“Eh udah lama nggak main kesini ya, ayo masuk-masuk.” Mamanya mempersilakan masuk keduanya dengan sangat ramah, “Mau minum apa?”
“Apa aja deh tante, semua bikinan tante pasti enak.” Winda menjawab cembil senyum-senyum malu.
“Bisa aja deh kamu.” Sambil mengusap rambut Winda dengan lembut, “Yaudah kalian ke kamar Yara dulu aja, nanti tante anterin ya.”
“SIAP TANTE.” Dengan posisi sempurna dan hormat, mereka menjawab mama Yara dengan kompak. Mereka bergegas pergi ke kamar Yara.
“Kalian kok malah ikut kesini, kenapa?” Setibanya di kamar, Yara tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya, dengan menaruh tasnya di kursi.
“Kita kan mau dandanin lo Yar, anggap aja ini adalah kencan, okeyyy.” Yara membelalakkan matanya tidak menyangka tujuan mereka kesini untuk mendadaninya pada pertemuan biasa ini.
“Apa nggak berlebihan, ini cuma ketemuan biasa, nggak ada istimewanya.” Yara tidak yakin dengan rencana kedua sahabatnya itu.
“Aduh Yar, mau itu pertemuan biasa kek, luas biasa kek, tapi kan lo hanya berdua sama Al, jadinya harus terlihat perfect.” Hasya menjelaskan panjang lebar, “Udah kalau masalah penampilan, percaya deh sama gue.”
Yara hanya mengangguk pasrah dan mengikuti alur saja bagaimana nanti akhirnya. “Hallo, ini ya dimakan dulu, jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.” Mama Yara tiba-tiba masuk dengan membawa banyak camilan dan minuman.
“Udah pasti tante, tante juga udah kami anggap seperti ibu sendiri.” Hasya dengan senyum manisnya, karena itu mama Yara mencubit pipinya dan pergi dari sana.
“Okey, ayo kita mulai.” Setelah memakan beberapa camilan, mereka segera melancarkan aksinya dan bergerak dengan cepat karena takut akan terlambat. Winda sebagai asisten Hasya yang bertugas mengambil semua peralatan yang dibutuhkan dan membantu memilihkan baju yang cocok. Semua telah selesai, Yara berdiri di depan kaca besar dan melihat bagaimana hasil dari penampilannya.
“Sya, apa ini nggak berlebihan, aku Cuma mau ke taman, nggak jauh juga dari sini.” Yara berputar dan melihat tampilannya yang seperti mau kencan saja.
“Coba sini gue lihat.” Winda memutar Yara untuk melihat bagaimana tampialnnya, “Ini udah cocok banget Yar, cantik.” Sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Udah ayok, udah telat ini.”
“Ta tapi...” Yara ingin kembali ke dalam untuk merubah penampilannya menjadi seperti biasa, namun kedua temannya mendorongnya untuk segera keluar dari kamarnya.
“Loh, mau kemana anak mama, cantik banget.” Mama Yara sedikit kaget melihat Yara tidak seperti biasanya.
“Dia mau kencan sama Al tante, bolehkan?” Yara menepuk pundak Winda yang asal ceplos saja, meskipun ia tahu bahwa mamanya sangat ketat terhadap dirinya.
Mamanya melihat Yara dengan tatapan sinis, “Enggak ma, ini cuma mau main biasa kok.” Mamanya memegang pundak Yara, “Cie anak mama udah besar, kalo sama Al mama ijinin, tapi kalo selain sama Al orangnya harus ketemu dulu sama mama.”
Winda dan Hasya bertepuk tangan kegirangan mendengar pernyataan mamanya yang telah memberikan restu, “Tuh Yar, tante aja udah setuju, jadi tidak ada kata untuk menyerah,” Hasya kembali memberikan semangat pada Yara.
“Nah, sekarang lo harus cepet berangkat.” Winda mendorongnya pelan agar segera berangkat.
“Sendirian?” Yara kembali menoleh ke belakang.
“Ya iyalah, masak kita rombongan, apa kata dunia.” Yara pun mau tidak mau harus berangkat sendirian meskipun merasa penampilannya berlebihan karena ia sudah janji pada Al.
Tak butuh waktu lama ia telah sampai di taman, dari kejauhan ia melihat Al sudah duduk di sana dengan memegang kotak yang entah apa isinya. Yara mendekat, ia merasa sangat gugup dan deg-degan meskpin ini hanya pertemuan biasa.
“Al, udah lama?” Yara hanya bisa menyapa Al sambil pringas pringis, Al melihat Yara dari atas sampai bawah karena tidak biasanya Yara berpenampilan seperti ini.
“Cantik.” Tentu saja Yara sangat tersipu malu karena pujian dari Al, apalagi Al adalah orang yang jarang sekali memuji. “Bajunya.” Yara serasa ingin sekali memukulnya namun mungkin yang dikatakannya itu kebenaran jadi dia hanya diam dan duduk di samping Al.
Al tersenyum sambil menunduk dan tanpa disadarinya Yara melihatnya, “Ada apa senyum-senyum sendiri, apa penampilanku se aneh itu?” Yara kembali melihat penampilannya.
“Lo mau kencan atau mau kemana, rapi banget?” Al mendonga dan melihat ke arah Yara, “L o mau pergi sama Vino?”
“Enggak kok, dia udah balik kuliah, jadi katanya nanti jalannya kalo dia lagi liburan.” Sambil memandangi sekeliling Yara menjelaskan itu dengan entengnya.
“Nggak usah pergi.” Yara langsung menoleh ke arah Al karena merasa penasaran.
“Kenapa? Kan aku bukan anak kecil lagi.”
“Lo tuh baru kenal dia beberapa bulan ini, gampang banget percaya sama orang.” Panjang lebar Al menjelaskan pada Yara.
“Jadi aku juga nggak boleh dong sering-sering main sama kamu, aku kan juga baru kenal kamu beberapa bulan, ya satu tahun sih tepatnya, tapi itu kan juga baru.” Yara tetap membantah pernyataan Al itu.
“Itu beda, udah lah ayo ikut gue.” Al berdiri sambil mengajak Yara ke suatu tempat.
“Tapi kan katanya nggak boleh gampang percaya sama orang yang baru kenal.” Yara tetap saja duduk dan malah mempermainkan Al yang sudah berdiri di depannya.
“Lo udah lama kenal gue, udah ayo.” Karena tidak mau membuang waktu cukup lama, akhirnya Al menarik tangan Yara agar segera bangkit dari tempat duduknya itu. Mereka berjalan ke suatu tempat, baru saja beberapa langkah Al berhenti dan menoleh ke belakang yang di sana ada Yara.
“Tapi tetep aja, lo nggak boleh gampang percaya orang asing.” Al kembali melangkah ke depan setelah berbicara. Yara yang di belakangnya hanya bisa senyum-senyum sendiri dan berusaha menahan rasa yang bergejolak dalam dirinya.
“Tapi ini mau kemana Al?” Yara akhirnya bertanya setelah mengatasi rasa yang meledak-ledak.
“Nanti juga tahu.” Mereka tetap berjalan sampai akhirnya berhenti di suatu tempat yang teduh dengan pohon besar di sana, pohon yang tumbuh dengan subur.
“Ada apa sama pohon ini.” Yara melihat pohon tersebut sampai atas, “Dulu aku sering banget kesini untuk nyirami pohon ini.”
Al langsung menatap Yara dan memegang pundaknya, “Kamu udah ingat Yar?” Al seperti menyembunyikan sesuatu, seperti ada ikatan antara mereka dengan pohon ini.
“Ingat apa Al?” Tentu saja Yara merasa bingung dengan pertanyaan Al.
“Selama ini kamu nyirami pohon ini kan? Kenapa harus kamu sirami?” Al kembali bertanya pada Yara.
“Aku kasihan aja sama dia, dulu dia masih kecil, kayak ada yang narik aku buat ngejaga pohon ini, hehe.” Al melepaskan tangannya dari pundak Al dan tertunduk, “Kamu kenapa Al, kurang enak badan?” Al kembali mendongak.
“Duduk sini dulu Yar.” Mereka duduk di atas rumput hijau, “Pohon ini gue yang tanem.” Yara terkejut mendengar pernyataan Al, “Gue tanam dengan cinta pertama gue.” Yara yang tadinya terkejut mendadak berwajah tak semangat.
“Emang siapa dia?” Yara penasaran dengan perempuan tersebut.
“Dia sahabat kecil gue, kita temenan tapi harus berpisah dalam waktu yang lama.” Al menjelaskan semua tentang sahabat kecilnya itu, “Kita sudah berjanji bersama bakal ngerawat pohon ini, gue bersyukur dia masih bisa merawatnya.”
“Terus sekarang dia kemana?” Tanya Yara.
“Dia ada di sekitar gue, tapi dia mungkin udah nggak ngenalin gue karena kita terlalu lama berpisah.” Yara hanya mengangguk paham dan mengerti perasaan Al. Yara menepuk pundak Al dengan lembut,
“Sabar ya, suatu saat semoga kalian bisa bersatu.” Dengan senyumannya Yara memberikan semangat pada Al yang seperti putus asa.
Al hanya mengangguk dan melihat kotak yang dia bawa, “Ini Yar, buat lo.” Ia memberikan kotak itu pada Yara.
“Apa ini?” Ketika Yara akan membukanya, ia dicegah oleh Al.
“Jangan sekarang, buka di rumah aja.” Al berdiri dan mengajak Yara untuk pulang karena hari juga sudah semakin larut. Mereka pulang bersama sambil Yara terus saja memandangi kotak itu, ia tidak tahu ada kayu yang melintang di depannya, sampai akhirnya.
“Eh eh.” Hampir saja Yara terjatuh namun dirinya berhasil ditahan oleh Al.
“Kebiasaan lo jatuh nggak hilang-hilang ya.” Yara mengangkat tubuhnya dan kembali berdiri dengan benar.
“Makasih Al,” Mereka kembali melanjutkan perjalanannya. Mereka pun sampai di rumah, “Aku masuk dulu Al.” Yara melambaikan tangannya kepada Al dan Al membalas lambaian tangannya sebelum pergi dari sana.
Terlihat Hasya dan Winda sudah pulang karena memang ini sudah mau malam, “Yara pulang.”
“Eh udah pulang, mau langsung makan nggak?” Tanya mama Yara yang berada di dapur.
“Nanti aja Ma.” Yara mergi ke kamarnya untuk segera membuka kotak dari Al, “Ini apa ya?” Ia duduk di kasurnya dan langsung membuka kotak tersebut.
Terlihat kotak tersebut berisi beberapa mainan kecil, berisi gantungan kunci berbentuk kelinci seperti bonekanya, lukisan kecil bergambar langir, dan foto dua anak yang mukanya sudah buram.
Yara mengambil satu persatu barang tersebut, ketika ia melihat fotonya ia seperti melihat masa lalu namun tidak jelas, seperti ada anak kecil asing namun sangat akrab dengan dirinya, ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Ia merasa sakit kepala dan berusaha untuk mengambil nafas dan membuangnya pelan-pelan sampai akhirnya ia bisa kembali sadar.
“Siapa dia? Semua barang ini mungkin ada kaitannya sama masa lalu aku yang hilang.” Yara meyakini bahwa barang-barang ini adalah kunci untuk mendapatkan masa lalunya yang hilang.