Hari ini telah tiba, hari yang mungkin sebagian siswa tidak menantikannya, namun ada juga siswa yang sudah sangat menantikannya.
“Good morning guysss.” Baru saja hari pertama, Ari sudah membuat kehebohan di kelasnya. Tampak dari depan Al dan Angga sudah duduk, Al dengan sikap tenangnya dan Angga yang sudah bersiap untuk menyambut sahabatnya yang sekarang sedang berpidato di depan kelas.
“Semangat banget, ada apa ini? biasanya asem banget tuh muka.” Angga berdiri dan merangkul pundak Ari yang sudah akan duduk di bangkunya.
“Lo nggak tahu ini hari apa?” Ari malah balik bertanya kepada dua sahabatnya itu,
“Hari apa lagi, hari senin lah.” Angga dengan PDnya menjawab, namun tentu saja bukan jawaban ini yang diinginkan oleh Ari. Ari menggelengkan kepalanya dengan bangga.
“Oh kurang tepat sekali, sekarang giliran saudara Al untuk menjawabnya.” Sekarang ia mengarahkan tangannya yang digenggam dan digerakkan seperti mikrofon ke arah Al.
“Nggak tahu, ilmu gue kurang tinggi.” Angga menganga mendengar pernyataan Al yang menyentuh hatinya dan juga menggetarkan.
“Wowww, jawaban yang sangat memukau pemirsa, jawaban yang sangat menggetarkan jiwa.” Ari bertepuk tangan dengan jawaban Al yang tidak terduga.
“Emang hari apasih? Pagi-pagi jangan bikin orang emosi deh, baru hari pertama juga.” Angga yang sudah tidak sabar dengan kelakuan Ari.
“Hari ini adalah, jeng jeng jeng jeng,” Ari masih saja membuat dua sahabatnya itu penasaran, “Hari mengenal adek-adek imut, Hahahaha” Ari tertawa puas karena berhasil membuat dua temannya itu dengan serius menatapnya.
“Kenapa gue punya temen modelan kayak gini.” Angga melempar buntalan kertas ke arah wajah Ari yang sedang puas tertawa.
“Al lo mau ikut nggak, gue nanti mau keliling sekolah, hari ini pasti masih kosong.” Ari menawarkan Al untuk ikut dengannya berjalan-jalan di sekolah ini.
“Gue nggak diajak nih?” Tanya Angga yang merasa di anak tirikan. Ari merangkul pundak Angga yang berada di sampingnya.
“Begini sob, misi ini hanya dilakukan oleh kaum jomblo, bisa-bisa nanti gue disembur majikan lo si Hasya itu kalo gue ngajak-ngajak.” Ia memberi penjelasan dengan sangat lembut pada sahabatnya itu. “Gimana Al?” Merasa belum mendapat jawaban Ari mengulang pertanyaannya.
“Nggak, gue udah ada.” Angga dan Ari merasa terkejut dengan jawaban Al karena selama ini tidak pernah cerita tentang kisah asmaranya.
“Hah? Siapa emangnya?” Ari sebenarnya masih merasa tidak percaya dengan semua ini, bagaimana mungkin ia bisa tertinggal dari Al. “Lo mah nggak setia kawan Al, gue kira lo bakal nemenin gue, ternyata lo sama aja kayak Angga.” Dengan memasang tampang wajah sok sedihnya.
“Lo seriusan Al?” Sekarang Angga yang giliran bertanya tentang kebenarannya. Al hanya mengangguk pelan sambil membaca buku dengan santai.
“Tapi masih PDKT.” Kedua sahabatnya itu akhirnya lega dengan jawaban Al karena ini lebih masuk akal dari pada tiba-tiba sudah pacaran tanpa kabar.
“Cie-cie, bisa gitu ternyata besti yang satu ini.” Setelah mengetahui hal tersebut Ari malah menggoda Al.
“Ngomong-ngomong siapa Al?” Angga mendekatkan dirinya pada Al karena ingin tahu tentang rahasia ini.
“Ya orang.” Kedua sahabatnya ini sudah menduga pasti Al tidak akan memberi jawaban pasti, jadi mereka berdua yang harus mencari jawabannya sendiri.
“Oke. Sekarang lo tinggal bilang iya atau nggak, biar kita yang cari tahu sendiri.” Karena rasa penasarannya siapa kira-kira perempuan beruntung yang dikejar-kejar oleh Al, Ari sampai memutar otaknya.
“Sekolah di sini?” Pertanyaan pertama dimulai oleh Ari, Al menganggukkan kepala yang berarti iya.
“Akhir-akhir ini sering ngobrol sama lo?” Al mengangguk kembali untuk menjawab pertanyaan Angga.
“Ayang Winda bukan? Semoga aja nggak ya Al.” Al menutup bukunya dan melihat ke Ari.
“Gue masih kasihan sama lo, nanti bisa-bisa lo makan taneman kalo gue sama Winda, Winda terlalu bar-bar bagi gue.” Al memberikan penjelasan panjang lebar pada Ari agar tak salah paham.
“Ohh, berarti orangnya kalem kan?” Angga kembali bertanya dan Al menganggukkan kepalanya lagi.
“Ikut OSIS juga?” Pertanyaan ini sebenarnya tidak ingin Al jawab karena jika ia menjawabnya akan sangat mudah untuk mengetahuinya, tapi tidak ada salahnya jika kedua temannya itu mengetahuinya karena nanti mereka juga akan tahu, akhirnya Al mengangguk untuk pertanyaan terakhir ini.
“Oke Al, gue pasti akan tahu siapa dia.” Ari langsung berdiri dan dengan penuh percaya diri akan segera mengetahui perempuan itu.
Al menoleh ke arah jendela yang ternyata Yara baru saja berangkat dan tentu saja melewati kelasnya, terlihat senyuman tipis di wajahnya. Angga dan Ari juga ikut menoleh ke mana arah mata Al. Ari dan Angga senyum-senyum sendiri dan tiba-tiba Ari meminta Angga untuk mengantarnya ke kamar mandi.
“Ngga, temenin gue ke belakang yuk.” Ari menarik tangan Angga dan mengedipkan salah satu matanya.
“O oke.” Angga yang peka dengan kode Ari langsung menyetujui permintaanya, “Kita ke belakang dulu ya Al.” Mereka melenggang pergi dari sana.
Sekarang mereka sudah sampai, tapi bukan di kamar mandi, melainkan di samping kelas, “Gue kayaknya tahu siapa yang lagi diincer Al.” Ari sangat yakin dengan tebakannya ini.
“Siapa emang?” Tentu saja Angga langsung menanyakan hal tersebut.
“Siapa lagi kalau bukan Zaviya.” Angga terkejut mendengar jawaban Ari.
“Kok bisa? Tahu dari mana lo?” Merasa temannya ini hanya mengada-ngada, maka Angga harus memperjelasnya.
“Yah, nggak peka banget lo, lo lihat tadi Al senyum-senyum saat lihat Zaviya,” Angga mengingat kembali saat-saat itu dan ternyata saat Yara lewat, Zaviya sedang berdiri di bangkunya dan posisinya segaris lurus dengan arah pandangan Al saat melihat Yara. Mungkin karena itulah mereka berdua mengira bahwa Al sedang PDKT dengan Zaviya.
“Oh iya sih, terus tadi kan dia bilangnya anak OSIS dan kalem juga, bisa jadi itu.” Angga menambahkan dan ia juga percaya bahwa Zaviyalah orangnya.
“Bukan bisa jadi lagi, itu mah udah pasti.” Ari sangat bersemangat akan hal ini, “Gimana kalau kita bantuin mereka berdua aja?” Ari memberikan sebuah ide untuk membantu Al.
“Gue ngikut lo aja deh.” Angga hanya akan mengikuti bagaimana Ari akan bertindak untuk Al dan setelah itu ia meninggalkan Ari yang masih di sana.
Akhirnya gue ada kerjaan juga setelah sekian lama.” Ari merasa terhharu karena jasa perjodohannya kembali lagi setelah sekian lama tidak terpakai. “Ngga, tunggu gue dong, ah elah.” Ari mengejar Angga yang sudah jauh meninggalkannya.
Saat sampai di kelas, baru saja di pintu mereka berdua berhenti tiba-tiba dan saling menatap karena melihat interaksi antara Al dan Zaviya, terlihat Zaviya bertanya tentang soal yang membuatnya bingung.
“Ehem ehem,” Ari datang dengan akting batuknya yang didampingi Angga yang senyam senyum sendiri melihat Al dan Zaviya.
“Yaudah Al, gue balik dulu, makasih ya.” Karena merasa sudah cukup paham ditambah lagi dua orang aneh telah kembali, maka Zaviya juga memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya.
“Eh kok udahan Za?” Zaviya hanya menatap sekilas pada Ari dan tak menjawabnya.
“Ada yang seneng banget kayaknya habis apel pagi-pagi.” Angga menarik kursinya dan segera duduk sambil melihat Al yang sedang beres-beres.
“Apel apaan sih, Cuma diskusi biasa.” Jelas Al.
“Diskusi apa diskusi?” Ari malah menggodanya.
“Udahlah, serah lo.” Al merasa lelah dengan Ari yang selalu mengganggunya.
Jam istirahat tiba, Angga bersiap menemui pacarnya di taman sekolah, tentu saja Ari dan Al juga ikut karena di sana Hasya juga pasti bersama Yara dan Winda.
“Akhirnya yang ditunggu datang juga,” Winda menyambut mereka dengan hangat, “Noh pacar lo udah se abad nungguin.” Sambil menunjuk ke arah Hasya.
“Aduh, sorry banget ya baby, ini nih tadi Ari antri cilok lama banget jadinya baru kesini.” Sekarang Angga menyalahkan Ari yang sedang berdiri sambil menikmati ciloknya.
“Lah, perasaan gue selalu terlibat ya dalam rumah tangga ini.” Sepertinya Ari mulai lelah.
“Nggak papa kok, aku ngerti.” Hasya menggandeng tangan pacarnya itu dengan sikap manisnya, sedangkan Winda yang berada di samping kirinya seperti memparodikan orang muntah.
Semua telah duduk bersama di sana, tiba-tiba Ari membawa sebuah kabar yang dianggapnya sudah pasti kebenarannya.
“Eh eh gue ada kabar baik nih, kalian semua harus tahu.” Ari berdiri seperti ingin mengumumkan sesuatu yang penting, “Sekarang Al sudah punya gebetan.” Yara yang awalnya sedang minum langsung tersedak mendengar kabar mengejutkan ini.
“Nggak papa Yar?” Yara menggeleng dan Hasya membatu Yara dengan memberikan tissue, melihat hal tersebut Al baru saja akan berdiri namun Hasya sudah duluan. Sedangkan Winda langsung berdiri dan memukul punggung Ari.
“Lo kalo ngomong tuh yang bener.” Winda memarahi Ari yang kesakitan karena pukulannya.
“Gue nggak bohong lo bisa tanya sendiri noh sama Al, orangnya juga belum mudik.” Ari menunjuk Al yang sedang memperhatikan Yara.
“Bener Al?” Al mengangguk pelan dan jawaban tersebut seakan membuat Yara menjadi kosong, ia meminta ijin untuk pergi ke kamar mandi terlebih dulu.
“Mau gue temenin Yar?” Tawar Hasya.
“Nggak usah Sya, aku sendirian aja.” Dengan senyuman ia melangkah pergi dari sana.
Tiba-tiba Al juga mau pergi ke kamar mandi juga, “Gue ke belakang dulu.” Semuanya hanya mengangguk dan Angga memberikan jempolnya.
“Emang siapa sih gebetannya Al?” Tanya Winda pada Ari dan Angga.
“Tanya Ari, dia yang bikin kesimpulan.” Semua mata langsung tertuju pada Ari, “Tapi gue nggak ikut-ikutan kalo teori dia nggak bener.” Angga mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia lepas tangan dari kasus ini.
“Lu mah gitu Ngga, ngga setia kawan.” Dengan obrolan mereka ini malah membuat Hasya dan Winda kebingungan karena belum mendapat jawaban dan malah harus mendengar dua orang ini adu mulut.
“AISHH, tinggal jawab aja lama bener lo berdua, gue kepret juga nih.” Winda berdiri sambil memarahi du orang itu yang malah asyik mengobrol berdua karena tahu sendiri bahwa kesabaran Winda setipis tissue.
“Sabar-sabar,” Sambil menarik tangan Winda agar ia kembali duduk dan menenagkannya.
“Duh, bikin jantungan aja nih orang, Zaviya.” Dengan memegang jantungnya yang mau copot, Ari langsung memberi tahu nama yang dicurigai sebagai incarannya Al.
“HAH?” Tentu saja ini membuat dua perempuan itu kaget, “Kok bisa?” Hasya mempertanyakan hal ini.
“Kalo dipiki-pikir masuk akal juga sih Sya,” Namun Winda tidak se terkejut Hasya melihat bagaimana seorang Zaviya, cantik dan menjadi murid yang berprestasi. Mereka berdua hanya bisa menghela nafas.
“Kalian kok sedih gitu, emang suka juga sama Al?” Angga langsung memelotot i Ari karena ucapannya itu.
“Nggak usah ngaco lo,” Ari yang melihat Angga dengan tatapan mautnya berusaha untuk menenagkannya,
“Eh eh nggak Hasya yang gue maksut, tapi Winda ya kan Win?” Ari sekarang menoleh ka arah Winda dengan senyuman, namun ia menyadari suatu hal yang menjadikan senyumannya itu berubah seketika menjadi rasa takut, “Beneran Win? Lo suka Al?” Ia sangat patah hati dan belum siap menerima kenyataan ini.
Winda mencopot sepatunya dan bersiap untuk melemparnya ke arah Ari yang sedang galau karena takut Winda akan jatuh ke lain hati, namun hal itu berhasil ditahan oleh Hasya.
Sementara itu, setelah Yara selesai dari kamar mandi terdengar ada suara yang memanggilnya, ia mencari suara tersebut dan ternyata Al sudah berada di belakangnya.
“Eh ada apa Al?” Yara membalikkan badannya.
“Nggak papa, lo mau balik kan? Ayo bareng.” Al menggandeng Yara dan mengajaknya untuk kembali pada teman-temannya tadi.
“Kamu beneran lagi suka sama seseorang Al?” Al mengangguk dan membuat Yara semakin murung, ia melepaskan gandengan tangan Al, “Kamu balik dulu aja Al, aku mau ke kelas.” Yara tiba-tiba memutuskan untuk kembali ke kelas saja.
Al hanya bisa melihatnya pergi dengan langkah cepatnya, akhirnya ia kembali sendirian ke teman-temannya.
Winda melihat ke arah Yara pergi, “Yara kok lama banget belum balik-balik, kamu nggak lihat Al?” Winda menanyakan keberadaan Yara yang belum muncul sejak dari tadi.
“Dia balik ke kelas.” Winda langsung berdiri dan mengajak Hasya untuk kembali ke kelas juga melihat keadaan yara.
“Ayo Sya, kita juga balik.” Ajak Winda.
“Hah, cepet banget, lo sendirian aja deh Win yang balik, ayang Hasya biar di sini aja.” Angga meminta agar Hasya tetap di sana bersamanya.
“Aku balik aja sama Winda, nanti kita ketemu lagi, bye-bye.” Hasya juga menyetujui ajakan Winda untuk balik. Angga mengangguk paham dan membiarkan mereka berdua pergi.
Winda dan Hasya tak langsung masuk ke kelas, mereka berdua melihat dari jendela terlebih dulu, tampak Yara sedang duduk di bangkunya dengan menundukkan kepalanya. Mereka saling bertatapan seperti kasihan kepada sahabatnya ini, kemudian mereka memutuskan untuk masuk dan menghibur Yara.
“Aduhh, panas banget hari ini ya Sya, gimana kalo kita nanti ke cafe dulu sepulang sekolah.” Winda langsung duduk dan sengaja menimbulkan suara agar Yara segera bangun dan tentu saja usaha yang dilakukan tersebut berhasil. Yara langsung bangun dan duduk dengan tegap.
“Kok kalian udah balik?” Yara bertanya seperti dirinya sedang baik-baik saja sekarang.
“Yar, jangan nyerah gitu dong, ini semua kan belum pasti.” Meskipun Yara menunjukkan senyuman seperti tidak terjadi apa-apa, namun kedua sahabatnya itu sangat peka akan perasaannya.
“Eh eh, aku nggak papa kok, santai aja.” Yara mengangguk sambil meyakinkan dua temannya itu.
“Udah, cukup bohongnya,” Saat itu juga ekspresinya menjadi murung, “lo santai aja Yar kita pasti bantuin, semua bisa terjadi sebelum sebelum janur melengkung, Okeyyy.” Sekarang winda yang meyakinkan Yara agar tetap bangkit.
Yara mengangguk dan kembali tersenyum, Winda berdiri dan mereka bertiga berpelukan bersama, “Tapi nanti beneran mau ngafe nggak?” Hasya bertanya tentang rencana Winda yang belum terjawab.
“Gimana Yar?”
“Boleh, sekalian nyegerin pikiran kan?” mereka kembali tertawa bersama dan Yara sudah mencoba untuk tidak terlalu memikirkan Al.
Sepulang sekolah mereka pulang bersama karenamereka juga akan pergi bersama, untuk hari ini Hasya juga mengabari Angga bahwa dirinya tidak bisa pulang bareng. Mereka sangat berantusias dalam perjalanan pulang, hingga tiba di depan kelas Al, langkah Yara tiba-tiba terhenti sendiri dan melihat Al sedang mengobrol seperti membahas sesuatu bersama Zaviya. Winda dan Hasya masih melangkah maju, namun menyadari ada yang janggal yaitu Yara yang tiba-tiba tidak ada di antara mereka, mereka pun berhenti dan menoleh ke belakang. Melihat ternyata Yara sudah terdiam di depan jendela kelas Al. Dua sahabatnya itu menyusul kembali ke belakang dan mendapati hal yang sama.
“Udah nggak usah dipikirin, kita pikirin nanti aja, ayok.” Winda merangkul pundak Yara dan mengajaknya untuk melanjutkan langkah mereka.
Al menoleh ke arah jendela, ia merasa ada yang melihatnya tadi dan orang tersebut adalah Yara, namun percuma saja karena Yara sudah pergi dari sana.