Libur telah tiba, setelah mendapat pengumuman hasil dari ujian, Yara merasa sedikit lega karena nilainya berhasil naik karena bantuan Al. Sekarang waktunya untuk merayakan liburan yang singkat dengan penuh makna. Sebenarnya di saat seperti ini Yara lebih memilih untuk di rumah saja sambil melakukan aktivitas-aktivitas seperti menonton, melukis, atau terdiam di belakang rumah sambil melihat langit-langit yang indah. Namun tidak untuk kali ini, Winda selalu saja mengajaknya bermain keluar. Contohnya saja seperti saat ini, Winda mengajaknya untuk bertemu di bioskop karena Winda telah membeli tiket untuk menonton bersama. Sebenarnya Yara sudah menolak, tapi Winda terus saja membujuknya agar ikut.
“Win, aku udah sampai kalian di mana?” Yara menelfon Winda yang entah ada dimana, begitupun dengan Hasya.
“Coba lihat ke belakang.” Winda dan Hasya muncul dipintu, Yara menghampiri mereka berdua dan berpelukan bersama, tanpa ia sadari ada Angga, Ari, dan Al yang juga berdiri di belakang Winda dan Hasya. Ari menyapa Yara dan tersenyum kepada Yara,
“Hallo Yar, udah lama nggak ketemu, lo nggak mau meluk gue.” Al menatap Ari dan mengibaskan jaketnya yang kemudian terkena wajah Ari. “Al, lihat-lihat dong.”
Al menoleh dengan tatapan tanpa rasa bersalah, “Oh, maaf nggak sengaja.”
“Yaudah yuk masuk,” ajak Hasya yang sudah tahu dengan situasi saat ini, tentang bagaimana perasaan Yara karena semua sudah diceritakan oleh Winda.
Winda membagikan tiketnya, Yara duduk di kursi sebelah Al dan terpaut dua kursi dari Winda, sedangkan Hasya dan Winda bersebalahan. Yara yang menyadari tentang hal itu langsung menarik Winda, “Win, tukeran yuk.”
“Udah, itung-itung ini PDKT,” Yara menghela nafas dan di saat bersamaan Ari menghampiri Winda untuk memberikan minumnya.
“Ari, mau tukeran kursi nggak?”
“Oh, bo..” baru saja akan menjawab, mulut Ari sudah di bekap oleh Winda, karena itu Ari tidak jadi melanjutkan kalimatnya. “Sorry Yar, kayaknya ayang Winda nggak bisa jauh-jauh dari gue.”
Winda memutar bola matanya dan tak mengomentari pernyataan Ari, “Yaudah yuk, kita masuk.” Mereka segera masuk karena Hasya, Angga, dan Al juga sudah menunggu di depan pintu masuk bioskop.
Akhirnya Yara duduk bersebelahan dengan Al, ia menoleh melihat Winda dan Hasya. Kedua temannya itu memberikan jempol dan senyuman kepada Yara, sedangkan Yara memegang kepalanya sambil menunduk.
Melihat hal itu, tentu saja membuat Al penasaran, “Lo nggak papa, filmnya belum dimulai udah takut duluan.” Al mengira bahwa Yara menunduk karena takut.
Yara langsung menegakkan kepalanya dan menggeleng-nggelengkan kepalanya, “Siapa takut, ini kan Cuma film.” Yara sekarang duduk dengan tegak.
“Oh udah berani ya sekarang.” Yara menoleh ke Al dengan tatapan sinisnya.
“Emang aku penakut? Enggak kok.” Al hanya mengangguk-ngangguk mendengar jawaban Yara itu. Film pun dimulai, mereka menonton salah satu film horror yang sedang hits pada saat itu.
“Ini kenapa film horror sih, kan mereka berdua juga tahu aku nggak bisa nonton film ini.” Gumam Yara yang kembali tertunduk lagi, ia memang penakut dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Apalagi dengan film horror yang menampilkan kesadisan, jadi mungkin ia hanya bisa menutupi wajahnya di sepanjang film.
“Nih.” Al memberikan jaketnya pada Yara yang dari tadi terlihat tegang dan jika ada suara keras langsung menutup wajahnya. Yara menoleh pada Al yang sibuk makan popcornnya dan tetap menghadap ke depan.
“Kenapa?” Al menoleh pada Yara menatap lebih dekat yang membuat Yara juga sedikit memundurkan wajahnya, “Gue nggak mau ya lo repotin karena pingsan duluan.” Ia memberikan jaketnya dan memundurkan wajahnya. “Muka udah pucet gitu,” Yara kemudian memegangi wajahnya karena ia merasa tak percaya.
“Apa iya aku sepucat itu?” Kemudian menggunakan jaket Al sebagai penutup wajahnya. Winda dan Hasya malah tidak fokus kepada film dan malah fokus melihat interaksi antara Al dan Yara.
“WAAAA....” di saat Hasya dan Winda sedang senyum-senyum melihat interaksi Yara dan Al, Ari tiba-tiba saj mengagetkan mereka semua.
Winda memukul pundak Ari yang sedang meringkuk ketakutan disampingnya itu. “Apaan si, ngagetin orang aja.”
“Wajar dong, kita nonton film horror, bukan komedi.” Winda yang mendengar itu langsung mengambil popcorn ditangan Ari dan menyuapkannya pada Ari. Ari menelan semua popcorn itu,
“Win, lo kan pakek jaket, pinjem dong, lo nggak lihat noh Yara aja dikasih jaket sama Al, masa kita kalah.” Yara hanya terdiam dan kemudian menoleh pada Al, dimana Al tidak memedulikan Ari.
“Enggak, tangan lo kan masih berfungsi.” Winda kembali menghadap depan untuk menonton film, Hasya dan Angga hanya senyum-senyum melihat tingkah Ari yang ternyata juga penakut.
Setelah kurang lebih dua jam berada di dalam bioskop mereka pun keluar, Ari keluar dengan buru-buru dengan menarik Angga untuk ikut bersamanya, “Eh eh kenapa lo,” Angga yang tiba-tiba ditarik sambil berlari tentu saja kaget.
“Udah, pannggilan alam nih,” ternyata Ari menahan rasa ingin buang airnya dan menunggu sampai filmnya habis. Semua temannya yang melihat hal itu sudah tak kaget lagi, karena mereka sudah menduga pasti tujuannya adalah toilet.
Mereka semua menunggu di depan, karena akan memutuskan untuk langsung pergi atau mau kemana lagi setelah ini. Tak berselang lama Ari dan Angg muncul.
“Wiiii, nungguin gue nih pasti,” dengan percaya dirinya itu, Ari tersenyum lebar saat melihat teman-temannya. Tidak ada yang menyauti perkataan Ari, tiba-tiba ponsel Winda berbunyi, ia pergi sedikit menjauh untuk mengangkat telfonnya. Tak membutuhkan waktu yang lama Winda kembali lagi.
“Aduh gue ada urusan mendadak nih,” Winda kembali dengan raut wajah bingung.
“Yaudah Win, kamu pulang dulu gapapa, habis ini aku juga mau pulang kok.” Saran Yara pada Winda.
“Masalahnya, gue harus ambil pesenan baju kelas kita Yar, jaraknya kan cukup jauh, dan lusa harus gue bagiin.” Mereka semua membantu Winda untuk mencari solusinya.
“Maaf banget Win, gue nanti juga ada acara keluarga, kalo gue nggak sibuk pasti gue yang gantiin lo buat ambil bajunya.” Sahut Hasya.
“Udah, gue aja yang ambilin bajunya,” Ari berniat memberikan bantuannya untuk Winda, “Apasih yang nggak buat ayang Winda.”
Winda dan Hasya menatap tajam pada Ari, “Lo mau pergi sama siapa emang?” tanya Winda tidak yakin pada Winda.
“Sama Angga lah atau nggak sama Al.” Ari masih meyakinkan Winda agar percaya saja padanya.
“Nggak boleh, Angga nanti ada acara sama gue, gimana sih.” Hasya menggandeng tangan Angga yang hampir saja mau ikut dengan Ari.
“Sorry brother.” Angga mengangkat tangannya ke arah Ari.
“Yaudah sama Al kalo gitu,” Ari tetap kekeh ingin pergi agar terlihat seperti pahlawan untuk Winda. Winda meresa geregetan dengan Ari, “Lo kan nggak sekelas sama gue, mana paham lo. Udah biar Yara aja yang berangkat.”
Yara menoleh pada Winda dan Hasya yang memberi jempol pada Yara, “Oke deh Win, aku juga nggak sibuk kok.” Winda dan Hasya menoleh pada Al yang belum bereaksi sama sekali.
“Tapi kan Yar, ini jaraknya luamayan jauh, lo kan cewek, pasti nanti sore lo baru sampai rumah.”
Ari yang baru saja akan mengangkat tangan ingin menemani Yara dicubit oleh Winda, “Udah, sama Al aja ya, kan lo berdua tetanggaan.” Winda menatap Yara sambil mengangkat-ngangkat kedua alisnya.
Yara terlihat kikuk, ia khawatir Al tidak mau berangkat bersamanya, “Aku bisa kok sendirian, tenang aja.” Karena Yara merasa Al juga akan sibuk jadi dia meyakinkan bahwa ia bisa berangkat sendiri.
“Oke, gue akan berangkat.” Yara langsung menoleh ke Al yang berada di sampingnya, Ari terlihat kagum, dan Angga memberi tepuk tangan pada Al.
“Nah, gitu dong bro, masa mau biarin cewek berangkat sendirian.” Angga merangkul Al dan Al hanya diam saja.
“Kamu nggak sibuk Al?” Yara masih bertanya pada Al karena takut mengganggu jadwalnya. “Enggak, lagian lo kan buta map, bisa-bisa nggak pulang.” Semua mata sekali lagi langsung tertuju pada Al, bagaimana mungkin dia bisa tahu bahwa Yara buta map, Ari dan Angga yang sudah kenal lebih dulu saja tidak tahu, kecuali Winda dan Hasya.
Winda dan Hasya saling bertatapan merasa takjub dengan Al, Yara juga merasa heran. Al merasa bahwa kalimatnya itu membuat ambigu semua orang, “Biasanya kan cewek buta map.” Ia langsung memperjelas kalimatnya.
“Ohh gitu, kirain tadi apa, tapi itu bener banget Al, dulu dia hampir nggak sampai rumah gara-gara kesasar, untung aja ada orang yang nganterin dia pulang.” Winda yang menahan tawanya, “Yaudah, kalian cepet pergi aja, keburu tutup tokonya.”
“Kita pergi dulu ya,” Yara melambaikan tangan kepada mereka semua dan Al sudah berjalan di depannya, untung saja hari ini Yara tidak membawa motor.
Mereka melihat kepergian Yara dan Al sampai keduanya menghilang, sampai akhirnya mereka berdua tidak terlihat, Winda dan Hasya bertatapan, saling berpegangan tangan dan tiba-tiba tertawa. Angga dan Ari yang melihat itu merasa heran,
“Pacar lo masih waras kan Ngga?” Ari membisikkan kalimat ke telinga Angga,
“Waras nggak waras tetep cinta.” Angga membalas kalimatnya itu dengan bisikan juga, Ari langsung menjauh dan merasa jijik melihat Angga.
“Akhirnya berhasil juga kita, mereka bisa jalan berdua.” Hasya merasa senang dan ternyata ini adalah rencana mereka berdua agar Yara bisa bersama dengan Al.
“Ohhhhh, jadi ini rencana kalian berdua,” Ari langsung paham dengan situasi yang terjadi saat ini, “Sekarang mau gantiin posisi gue jadi mak comblang nih? Udahlah gue pensiun aja.” Ternyata alasan mengapa hari ini Yara tidak membawa motor adalah karena ia mendapat info dari Winda bahwa parkir di sana sudah penuh, meskipun itu terdengar mustahil namun Yara tetap mempercayainya dan berangkat menggunakan ojek online.
“Apaan si nggak jelas banget,” Winda memutar kedua bola matanya tak peduli dengan komentar Ari dan tetap bersuka ria bersama Hasya.
Selama diperjalanan Yara dan Al banyak diamnya, itulah yang terjadi ketika seorang gadis pemalu dan gengsian bertemu dengan pemuda yang cueknya setengah mati.
“Lo tau tempatnya?” Pertanyaan Al memecah kesunyian di antara mereka berdua.
“Aku lupa, hehe.” Yara dengan tampang merasa bersalahnya. Al kemudian menepi sebentar untuk mengecek lokasinya, dan ternyata jaraknya memang cukup jauh, setelah melihat lokasi, Al bersiap kembali untuk berangkat.
“Pegangan,” Al meminta Yara untuk berpegangan kepadanya.
“Hah?” Yara sempat ragu untuk mengiyakan perintah Al.
“Lo mau kita di rumah tengah malem, gue juga nggak mau kalo lo jatuh,” Yara tersenyum terkesima dengan jawaban Al, ia merasa sedikit baper karena ternyata Al juga perhatian dengannya. “Gue nggak mau repot.” Seketika bibir Yara yang melengkung kembali datar.
Setelah kurang lebih satu jam dalam perjalanan mereka pun sampai ke tempat pengambilan baju tersebut. Di sana ada banyak sekali karyawan, dimana salah satunya langsung menghampiri Yara yang berdiri sendirian dan Al yang pergi untuk memarkir motornya tak jauh dari sana, seseorang itu seperti anak kuliahan dengan badan tinggi wajah tampan.
“Hai, mau ambil baju ya?” orang tersebut menyapa Yara yang sudah turun dari motor Al sedangkan Al masih memarkir motornya.
“Oh iya mas,” Yara membalas senyuman ramah dari pemuda tersebut.
“Ayo kalo gitu, saya anter ke dalam.” Pemuda itu mengajak Yara pergi ke dalam untuk mengambil pesanannya, “Namanya siapa?” dalam perjalanan pemuda itu mengajak ngobrol Yara dan tampak sangat ramah.
“Saya Yara, temannya Winda yang pesan di sini.” Pemuda itu menganggukkan kepala.
“Tadi Winda juga menghubungi saya katanya temannya yang ambil,” Jelas pemuda itu, “Ngomong-ngomong nama saya Vino, panggil kak Vino aja, kalau nanti Yara mau buat baju atau apa bisa hubungi saya ya, atau kalau gabut juga bisa hubungi saya nanti kita gabut bareng-bareng,” Mereka tertawa bersama sedangkan Al yang baru kembali mencari Yara yang ternyata sudah di depan, ia memperhatikan keakraban Yara dengan cowok tersebut dan langsung menyusulnya.
Al menggandeng tangan Yara yang membuat Yara kaget begitu juga dengan Vino yang langsung menoleh ke arah Al, “Ini siapanya Yara?”
“Kenalin kak, ini Al teman Yara,” Al melepaskan genggaman tangannya merasa hampa, namun ini adalah kenyataannya, kemudian Vino mengajaknya untuk bersalaman.
“Teman ya, saya kira pacarnya, berarti masih ada kesempatan.” Al langsung menatap sinis ke arah Vino yang tertawa dan Yara hanya merasa aneh saja dengan kata-kata tersebut, “Bercanda,” Yara melepaskan tawanya karena merasa lega saja karena itu hanya gurauan, namun berbeda dengan Al yang masih berwajah dingin dan ia merasa cowok ini bukan sekadar main-main saja dengan kalimatnya barusan.
Mereka melanjutkan perjalanan ke gudang tempat baju-bajunya disimpan, “Tunggu di sini sebentar ya, saya ambilkan di dalam.”
Al melihat Yara yang sepertinya menikmati tempat ini, “Enak banget kayaknya ngobrol sama orang itu,”
Yara menoleh pada Al, “Kakak itu kan emang baik, ramah lagi enggak dingin kayak kutub.” Sambil mengarahkan matanya ke arah Al.
“Lo nyindir gue?” Al merasa bahwa perkataan Yara barusan untuknya. Yara hanya mengangkat bahu dan tidak menjawab Al karena terlihat Vino telah kembali dengan membawa plastik berisikan baju-baju yang di pesan.
Yara mengecek baju-baju itu, “Ini emang jumlahnya segini ya kak?” Merasa jumlahnya kurang, ia menanyakan kepada Vino tentang hal ini.
“Oh ini kemarin udah diambil Winda sebagian, karena kemarin belum bisa semua jadi belum bisa dibawa semua.” Yara menganggukkan kepala dan menali kembali plastik tersebut.
“Okey kak, makasih ya, kita balik dulu.” Tanpa basa-basi Al langsung mengambil plastik yang dipegang Yara.
“Kapan-kapan ketemu lagi ya,” Ujar Vino membalas Yara, Yara melambaikan tangannya, namun langsung digandeng oleh Al untuk segera pergi. Yara merasa sedikit heran, memangnya Al sedang buru-buru kemana, mengapa ia terlihat gugup dan mengajaknya untuk segera pergi.
“Kamu buru-buru Al?” Yara melihat ke arah Al yang masih menggandengnya dengan langkah kaki yang lumayan cepat.
“Gue nggak suka sama dia.” Al yang begitu terus terang membuat Yara sedikit bingung, megapa ia tidak suka dengan Vino yang begitu ramah. Ia melepaskan tangan Yara saat berada di parkiran.
“Dia kan baik Al, ramah lagi, iyakan?” Al memakaikan helm pada Yara karena di melihat Yara yang sedang membawa baju-baju itu.
“Lo itu emang nggak peka apa gimana?” sambil memakaikan helm, Yara berusaha untuk tidak menunjukkan reaksi apapun meskipun dadanya berdebar-debar saat terlihat begitu dekat dengan Al. Ia berusaha untuk menghindari kontak mata dengannya agar reaksinya tidak semakin terlihat. Setelah selesai Yara segera naik, ia berpesan agar Al tidak terlalu mengebut karena posisinya yang sedang membawa baju-baju itu dan mereka pun dalam perjalanan pulang.
Yara meminta agar mereka ke rumah Winda terlebih dulu untuk mengantarkan baju-baju itu, oleh karena itu mereka tidak langsung pulang melainkan mampir terlebih dulu ke rumah Winda.
Setelah beberapa jam perjalanan mereka sampai di rumah Winda, saat itu Winda sudah menunggunya di depan rumah dengan santai dan menyambut mereka dengan senyuman lebar.
“Datang juga yang ditunggu-tunggu.” Winda membantu Yara untuk turun dari motor dengan memgambil kantong plastik yang berisikan baju itu. Ia mengecek baju-bajunya dan sudah pas dengan jumlah siswa di kelas mereka.
“Okey, sudah pas, thankyou ya.” Winda memberikan jempolnya pada Yara dan Al.
“Tadi kata kak Vino yang sebagian udah kamu ambil kan?” Yara hanya ingin memastikan karena takutnya ada kekeliruan.
“Iya, udah, lo ketemu kak Vino Yar? Beruntung banget soalnya kan dia jarang ada di sana.” Al menoleh pada Winda, “Ganteng kan dia? Udah kalau lo mau sama dia gue bantuin deh, dia juga baru lulus SMA tahun kemarin.” Winda menggoda Yara dan sesekali mencuri pandang melihat raut wajah Al yang terlihat kurang nyaman dengan topik pembicaraan ini.
“Ih apaan sih Win,” Yara melihat Al yang kurang nyaman menganggap bahwa Al harus segera pulang, jadi dia memutuskan untuk berpamitan pada Winda, “Yaudah aku pulang dulu ya.”
“Oke.” Winda menganggukkan kepala, mereka berdua bersiap untuk pulang, “Makasih ya Al, jangan diturunin di jalan temen gue.”
Yara yang dibelakang memberi isyarat agar Winda segera diam, “Gue balik dulu Win,” Al berpamitan pada Winda dan keduanya pun pulang, Winda melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan.
Sampailah keduanya di rumah, Yara turun dari motor Al, “Makasih ya Al, jadi ngrepotin.”
“Gapapa, gue juga nggak sibuk hari ini.” Tiba-tiba ponsel Yara berdering, Yara melihatnya dan ternyata itu adalah Winda. Al sebenarnya penasaran dengan siapa yang menghubungi Yara malam-malam begini, tapi ia sadar kalo ia sama sekali tidak berhak. “Yaudah gue balik dulu.” Al menyalakan motornya dan pulang ke rumah.
Yara mengangkat telponnya dari Winda,
“Udah sampai rumah Yar?”
“Udah, Win kenapa kamu tadi bilang gitu pas ada Al?”
“Bilang apa?”
“Soal kak Vino.”
“Oh, ini itu namanya strategi Yar, gue mau lihat aja sih sebenarnya dia juga ada rasa atau nggak sama lo, tapi waktu gue lihat sih kemungkinan ada Yar.”
“Udah deh, jangan ngaco, dia juga biasa aja kok.”
“Itumah lo aja yang nggak peka, udah deh nanti kita cari tahu aja ke depannya, serahin sama gue.”
“Terserah deh, aku mau ke mandi dulu ini.”
“Okey, see you.”
Yara mematikan telponnya, ia membuka pintu dan menyapa mamamnya yang ada di rumah. Mamanya tidak banyak tanya karena sebelumnya ia sudah mengabari akan pulang terlambat.
Setelah seharian beraktivitas Yara merasa lelah sekali, setelah mandi ia langsung rebahan di kamarnya. Terdengar ada pesan masuk dari ponselnya ia mengecek, tapi ternyata itu nomor baru,
“Siapa ya ini,” Pesan itu hanya berisikan sapaan pada Yara, Yara membalas dengan bertanya siapa yang mengirim pesan ini. Beberapa menit terdengar lagi suara pesan masuk dan ternyata itu adalah Vino, ia sama sekali tidak penasaran Vino mendapat nomornya dari mana, sudah pasti ini dari Winda. Ia beberapa kali membalas pesan dari Vino dengan ramah karena ia juga merasa tidak enak jika harus bersikap dingin, apalagi Vino orangnya sangat ramah dan setelah itu ia mengatakan harus segera tidur karena merasa lelah juga.