Al dengan seragam lengkapnya yang baru pulang dari sekolah duduk di teras rumah sambil membuka sepatunya. Mamanya keluar untuk melihat anaknya itu yang sudah pulang dan ikut duduk di kursi sebelah Al.
“Al, kalau kamu jadi guru les mau nggak?” Al langsung menoleh mamanya dengan raut muka bingung dan penasaran.
“Guru les? Les SD ma?” mama Al tersenyum mendengar pertanyaan dari anaknya itu.
“Ya nggak dong, les SMA, kamu kan pernah ikut olimpiade fisika, pasti bisa lah. Ini anaknya mama mau les, jadi mama rekomendasiin kamu buat jadi gurunya.”
“Ah enggak ma, Al kan bentar lagi juga mau ujian sendiri.” Al berdiri dan meletakkan sepatunya ke rak di sampingnya.
“Bener kamu nggak mau? Ayolah itung-itung bantu temen mama, soalnya dia juga udah baik banget sama mama.” Mama Al berusaha membujuk anaknya itu agar mau menjadi guru les untuk anak temannya.
“Enggak ma.”
“Yaudah, mama mau kasih tahu teman mama dulu kalau gitu, biar dia bisa cari guru pengganti secepatnya.” Mama Al berdiri menuju gerbang rumah tanpa membawa kendaraan, Al menatapnya bingung karena mengapa mamanya harus jalan kaki.
“Kok jalan kaki ma?” tanya Al penasaran
“Deket kok, udah gapapa,” Al baru menyadari satu hal dan mengejar mamanya itu, ia menarik tangan mamanya dan mengajaknya kembali ke dalam.
“Memangnya siapa si ma, teman mama itu?”
“Itu mamanya Yara, Nilai Yara kebetulan turun jadi dia perlu jam tambahan mungkin.” Tak ingin kehilangan kesempatan Al langsung manrik kata-katanya yang tidak mau menjadi guru les itu.
“Yaudah ma, Al mau.” Mama Al terkejut sedikit dan menahan tawanya.
“Cie-cie,” mama Al malah mengejek kelakuan anaknya itu.
“Apaan si ma, kan Al mau bantuin aja.”
“Iya-iya, makasih ya,” mama Al menepuk pundaknya dan kembali ke dalam rumah, namun baru maju selangkah tiba-tiba ia kembali dan memandangi Al, “semangat juga berjuangnya.” Ternyata mama Al masih saja menggoda Al.
Al hanya menggeleng-nggelengkan kepalanya dan mengambil tasnya untuk segera masuk ke dalam. Ia harus mempersiapkan buku-buku yang harus di bawanya.
“Ma, ada permen nggak?” tanya Al pada mamanya yang sedang di dapur.
“Nggak ada, kayaknya udah habis.” Tak banyak bertanya lagi Al kembali ke kamarnya untuk mengambil kunci motornya.
“Al keluar dulu, mau beli sesuatu.” Ternyata Al langsung pergi untuk mencari permen. Setelah berkeliling Al mendapatkan permen itu dan kembali ke dalam.
Malam pun tiba, ia bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Yara dan mengantongi permen yang sudah dibelinya tadi sore.
Selama kurang lebih 2 minggu ini, Al dan Yara belajar bersama setiap malam, bukan hanya pelajaran fisika namun juga pelajaran yang lainnya juga. Namun kebiasaan Yara yang selalu mengantuk tak juga kunjung berakhir, meskipun demikian ia bisa mengikuti pelajaran yang sudah diberikan Al dengan baik.
“Nah, udah selesai nih, soal terakhir.” Yara memberikan kertas soalnya pada Al dan rasa bangga karena sudah menyelesaikannya.
Al melihat dan mengecek jawaban dari Yara apakah ada yang salah atau tidak. “Okey, bener.” Ia memberikan kembali kertas itu pada Yara, dengan rasa bangga Yara melihat terus ke arah soalnya.
“Akhirnya selesai juga, bisa istirahat dengan tenang.” Ia merasa senang karena ini adalah hari terakhinya les dan sudah mendapatkan hasil yang diinginkan.
“Selama ini lo nggak tenang ketemu sama gue?” Al melihat Yara yang memeluk lembar soalnya itu.
“Enggak gitu, maksutnya udah nggak terbayang-bayang sama soal-soal yang memuakkan ini lagi.” Yara memberi pengertian pada Al agar tidak salah paham.
“Iya sih, mustahil juga lo bakal nggak suka ketemu gue,” tanpa ada rasa malu sedikitpun Al mengungkapkan hal tersebut pada Yara,
“Dih, kepedean.” Yara menatap sinis ke arah Al yang tengah merapikan semua barang-barangnya.
“Besok dipelajarin lagi biar nggak ilang,” nasehat Al untuk Yara.
“Siap.” Al berdiri untuk pulang dan begitu pula Yara yang ikut berdiri juga. Di saat melewati Yara Al berhenti dan mengusap rambut Yara sambil berkata, “Anak pinter.” Yara termenung dengan kejadian itu dan jantungnya kembali berdebar, ia tak menyadari bahwa Al sudah pergi dari rumahnya.
“Nggak, nggak, aku nggak boleh gini lagi.” Yara mengacak-ngacak rambutnya dan langsung kembali ke kamar tanpa membawa buku-bukunya. Ia merasa aneh dengan dirinya sendiri.
Ujian dilaksanakan, keadaan sekolah sangat sunyi dan tenang, tidak ada kelas yang rame seperti biasanya, tidak ada siswa-siswi yang berlarian. Semua fokus mengerjakan ujian dengan harapan mendapatkan hasil yang maksimal.
Ujian ini dilaksanakan selama satu minggu dan satu minggu hampir berlalu, ini adalah hari terakhir mereka menjalani ujian.
“KRINGGGGGG..........” Bel telah berbunyi yang menandakan ujian telah berakhir, semua siswa meninggalkan kelasnya dengan gembira karena ujian telah usai.
“Akhirnya, bisa tidur seharian besok,” Winda yang baru saja keluar kelas bersama kedua temannya, Hasya dan Yara. Tampak dari jauh terlihat Angga dan Ari yang menuju ke tempat ketiga gadis itu.
“Hallo semua,” Ari dengan wajah gembiranya itu menyapa semua orang.
“Bahagia bener lo,” Winda melihat Ari dengan tatapan malasnya. Di saat semua orang di sana, terlihat Yara celingak celinguk mencari seseorang. Winda yang langsung peka akan hal tersebut lang bertanya kepada Ari dan Angga, “Kalian kok berdua aja, mana bestinya yang satu?”
“Oh, Al lagi sama Zaviya tadi,” jawab Angga dengan santai dan Yara hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya, ia berhenti mencari sekeliling, Winda melihat Yara yang langsung diam menyadari bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan anak ini.
“Oh yaudah deh, Sya lo mau ikut gue nggak? Gue mau pergi dulu sama Yara.” Yara langsung menoleh ke arah Winda karena dia juga bingung, memangnya mau pergi kemana.
“Nggak deh, gue mau pergi dulu sama my baby, yuk beb.” Ajak Hasya pada pacarnya itu.
Winda mengacungkan jempol dan menggandeng Yara tanpa memberi tahu mau kemana mereka dan ada apa tiba-tiba Winda mengajaknya, sementara itu Ari hanya sendirian, ia bingung harus ikut siapa. Akhirnya ia kembali menyusul Al yang tadinya bersama Zaviya.
“Ada apa Win?” Winda mengajaknya di taman sekolah sebelum mereka pulang, mereka berdua duduk di sana sambil melihat siswa-siswi lain yang sudah pulang.
Winda memandang Yara dengan tatapan licik dan mengejek, “Lo jujur deh sama gue, lo suka kan sama Al, udah ngaku aja.” Pertanyaan Winda itu tentu saja sangat mengejutkan Yara.
Dengan gagap dan gugup Yara menjawab, “Eng, enggak, apaan si Win.” Winda hanya diam saja melihat tingkah sahabatnya yang salah tingkah itu.
“Okey, gue yakin sekarang, lo bener-bener suka sama Al.”
“Ih enggak, kita kan..”
“Sttttttt, udah lo nggak usah ngelak lagi sama gue, gue itu tau banget kalo lo lagi bohong.” Belum sempat Yara berbicara untuk menjelaskan semuanya, Winda sudah menghentikannya terlebih dulu. Yara menunduk malu karena dirinya ketauhan oleh sahabatnya itu, sebenarnya Yara sudah berusaha menghilangkan rasanya untuk Al, namun karena akhir-akhir ini ia mnejadi lebih sering bertemu, perasaan itu tumbuh kembali dan menjadi lebih kuat.
“Sebenarnya Win, aku tu ngerasa bahwa Al itu nggak asing, dia bukan orang baru dalam hidup aku,” Yara mulai mengeluarkan isi hatinya pada Winda. “Sebenarnya aku juga nggak tahu, kenapa rasa ini bisa ada, aku udah berusaha buat jaga jarak sama dia karena ngerasa aku nggak pantes aja sama dia. Tapi kemarin dia malah jadi guru les aku.” Yara kembali tertunduk lesu.
“Hah? Jadi selama ini lo sering dong ketemu sama Al,” Yara mengangguk. “Udah Yar, berjuang dong, semua itu harus ada perjuangan. Kita emang nggak tahu hasilnya kayak apa, tapi setidaknya kita udah mencoba, biar takdir yang menentukan. Nanti kalo kita diam aja malah akan nyesel berkali-kali lipat.” Winda menepuk pundak Yara untuk memberinya semangat. “Tenang aja gue sama Hasya pasti bantu.”
Yara tersenyum cerah kepada sahabatnya itu, akhirnya ada yang mengetahui isi hatinya dan ia bisa berbagi rasa yang dimilikinya. Mereka beranjak dari sana untuk segera pulang, mereka berjalan dengan senang dan tidak ada lagi wajah lesu dari Yara.