"Permisi," ucap Aura saat mengetuk pintu kelas sebelas ipa 1.
Aura meringis dalam hati saat perhatian seisi kelas beralih padanya. Ada rasa tidak nyaman saat semua mata memandangnya dengan rasa penasaran. Beruntung kursi yang dimiliki sekolahnya itu seperti kursi kuliah. Satu anak satu kursi dan tidak ada duduk berdua. Sehingga tidak ada yang membicarakannya untuk saat ini, entah nanti.
"Ya, bisa dibantu?" Aura terkejut mendapati Alden tengah berdiri menjulang tinggi di depannya. Matanya kembali bertabrakan dengan netra milik Alden. Jika dilihat dari dekat Alden memang sangat tampan dan keren. Aura dingin dan jiwa kepemimpinannya terasa dalam sekali pandang. Bulu Aura sampai meremang.
"Mau ketemu ketua kelasnya ... ada?" tanya Aura lirih. Raut wajahnya sungkan.
"Gue ketua kelasnya. Ada apa?" Cowok itu mengamati Aura dari atas ke bawah. Mencoba mengingat kenal atau tidak.
"Oh, ini soal matematika kelas lo. Kayaknya soal kita ketukar deh, coba lihat," ujar Aura memberikan soal yang ia bawa.
Soal itu diterima Alden. Menelitinya lalu mengernyit. Menatap lembaran di tangannya dan melirik tumpukan kertas di meja bergantian. Berpikir keras bagaimana bisa tertukar?
"Gue periksa dulu di meja."
"Oke." Aura mengangguk setuju.
Saat Alden berjalan menghampiri lembaran soal yang belum ia bagikan, ia mendengus karena memang salah. Bagaimana ia bisa salah ambil? Alden melirik Aura yang mengedarkan pandangan ke kelasnya. Mencibir dalam hati melihat rasa ingin tahu cewek itu.
Aura kagum. Ternyata kelas mereka tertata rapi dengan berbagai hiasan dinding yang menempel. Semuanya berkaitan dengan pelajaran sekolah sehingga enak dipandang. Berbeda dengan kelas Aura yang dihiasi daun dan bunga plastik untuk memberi kesan sejuk dan segar.
"Eh, Aura. Ngapain?" tanya seorang murid cowok yang berjalan dari luar. Hampir menabrak Aura. "Kangen, ya?"
"Ada perlu," jawabnya singkat. "Lo bolos, ya?" tembak Aura. Matanya menyipit pada teman satu smp-nya.
Mendorong kening Aura supaya mundur, Vito bicara kesal, "dari toilet tapi ... mampir ke kantin." Tawa Vito menggelegar.
"Sama aja. Kelakuan nggak berubah."
"Iya tau, Aura aja yang berubah. Makin cantik pula. Jadi cewek gue mau nggak, Ra?" Aura mendengus sedangkan lelaki itu terkekeh. "Pacaran sama gue itu merupakan perubahan ke arah yang baik, Ra."
"Baik apanya? Lo aja masih suka bolos. Baik dari mana?"
"Ih, Vito. Lo ngalangi jalan gue!!"
"Salahin Aura, kenapa dia di tengah pintu nggak di tengah hati gue."
"Eh." Cewek yang baru datang itu menoleh dan mendapati teman smp-nya berada di sana. Terkejut sekaligus bahagia mendapati Aura di depannya. "Aura!! Lo mau pindah ke kelas gue?"
"Ih, ogah. Bosen ketemu kalian yang berisik. Kalian nggak berubah, ya. Pacaran aja, deh. Biar gue dapat traktiran," ujar Aura menaik turunkan alisnya menggoda.
"OGAH!!!"
Alden mengamati interaksi teman sekelasnya dengan cewek yang membawa lembaran tadi. Melipat kening dalam. Sengaja tidak mengedipkan mata untuk mengetahui pembicaraan dan interaksi mereka. Ketiganya terlihat sudah kenal lama dan akrab. Bahkan cewek itu terlihat nyaman dengan kedua temannya. Ia baru ingat kalau Aura adalah cewek yang menatapnya saat di kantin tadi. Alden tertawa dalam hati ketika berpikir kemungkinan kecil cewek yang sedang berbicara dengan temannya itu menyukainya.
Kalau diamati, cewek itu cukup cantik dan manis bersamaan. Rambut hitam panjangnya diikat kuda lalu diberi poni. Senyumnya sangat manis.
"Liatin sapa lo?" Rendi bertanya sembari mengikuti arah pandang Alden. "Oh, Aura."
"Lo kenal?"
"Kenal lah! Cewek cantik gitu kok dilewatin. Kan, sayang." Rendi berbisik, "mau gue kenalin?"
"Dia kenal lo?"
"Nggak tahu."
"Kasihan."
"Sialan, lo."
Alden semakin mengerutkan keningnya. Berpikir keras kenapa teman-temannya banyak yang mengenal cewek yang bernama Aura sedangkan dirinya tidak? Se-asyik dan se-menyenangkan apa si Aura ini? Kenapa ia bisa dengan mudah mengambil perhatian teman-temannya?
Menghapus pertanyaan yang muncul di otaknya, Alden berjalan menghampiri kumpulan yang asyik melepas rindu. Ia tidak suka dengan Aura yang sok akrab dengan temannya. Ia tidak suka Aura mengambil alih perhatian temannya.
"Ini kertas soal lo," ujar Alden datar. Wajah dan sikapnya tidak bersahabat saat menyerahkan soal milik kelas Aura.
Aura yang sedang berbincang terkejut karena Alden menyodorkan kertas itu di depan wajahnya. "Oh, oke." Tersenyum menatap temannya, "gue balik."
Semua murid bubar. Kembali ke kursi masing-masing. Alden berdiri di pintu kelas dan memandang punggung Aura yang bergerak kian menjauh.
"Dia masih jomblo kalau lo tertarik," ucap Rendi dengan suara berbisik. Alden hanya mengangkat satu alisnya lalu berbalik dan kembali duduk di kursinya. Terlihat tenang, tapi siapa yang sangka kalau hatinya terusik.
***
"Gue balik dulu ya, Den," kata Rendi sambil melambaikan tangan dan dibalas acungan jempol oleh Alden. Pemuda itu berlari ke parkiran meninggalkan Alden yang masih merapikan beberapa map.
Rendi dan Alden adalah anggota osis. Jika Alden ketua, maka Rendi wakilnya.
Alden menghela napas. Entah kenapa pikirannya dari tadi tidak tenang. Lebih tepatnya setelah ia bertemu dengan Aura. Cewek dengan senyum paling manis dan wajah ramah. Bohong kalau ia tidak tertarik, tapi lebih dari itu ia terganggu tanpa alasan yang jelas. Ia tidak suka dengan sikap sok akrab dan sok kenal Aura.
Melihat pergelangan tangan, Alden dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak boleh terlambat di les hari ini. Hari ini rapat pembahasan pergantian osis tentang acara dan waktunya. Laki-laki itu mendengus mengingat lawan mainnya. Dengan segala prestasi dan wajah tampannya ia yakin bisa mengambil simpati murid perempuan lebih banyak.
Alden melangkah dengan tergesa, tapi lambat laun menjadi perlahan saat melihat pintu ruang kepala sekolah masih terbuka. Tidak biasanya kepala sekolah belum pulang di jam-jam seperti ini. Dengan pasti Alden ingin menyapa kepala sekolah sekaligus mencari muka. Namun, langkahnya tertahan saat mendengar percakapan dari dalam sana.
"Kenapa, Ra? Kenapa mundur? Padahal, Bapak yakin sekali kamu akan memenangkan pemilihan ketua osis tahun ini," keluh Doni Samudra selaku kepala sekolah. "Lagi pula kamu satu-satunya kandidat perempuan diantara Alden dan Cena."
"Eh, Cena yang satu kelas sama saya, Pak?"
Kepala sekolah itu mengangguk. "Iya, dia mencalonkan diri satu hari setelah Alden. Baru saya tawarin kamu."
"Saya lebih nyaman menjadi murid biasa, Pak," jawab Aura sedikit berbohong.
"Kalau itu alasanmu, Bapak tidak menerima penolakan ini, Ra. Di umur kamu saat ini, waktunya kamu keluar dari zona nyaman. Mencari jati diri dan menggetarkan dunia dengan segala pemikiran demokratis kamu." Doni masih berpikiran positif bahwa ia bisa meyakinkan Aura untuk menyetujui penawarannya. "Hanya kamu lho, Ra, yang Bapak tawarin untuk menjadi ketua osis. Sedangkan yang lain harus mendaftarkan diri dan menjalani seleksi ketat."
"Saya sedang mengejar beasiswa, Pak," ungkap Aura pada akhirnya. Kepalanya menunduk dengan jari saling menggenggam. "Saya takut kesibukan sebagai ketua osis akan menyita waktu untuk belajar."
Doni menghela napas. Ia tahu Aura murid berprestasi dan masuk SMA ini dengan jalur tersebut. Jadi, tidak heran ia mengejar beasiswa sekali lagi untuk bisa berkuliah.
"Di mana?"
"Ha?"
"Kamu ingin kuliah di mana?"
"Kalau bisa luar negeri, Pak. Tapi kalau memang nggak bisa, saya ingin dalam negeri yang berkualitas, Pak," jujur Aura.
Doni menarik napas. Sebenarnya ia bangga dengan prestasi Aura, tapi ia sedikit kecewa dengan penolakan muridnya. "Baiklah kalau kamu memang menolak. Bapak juga tidak bisa memaksa. Semoga kamu berhasil."
"Terima kasih, Pak. Saya pamit."
Alden segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang, ketika Aura keluar dan berjalan ke tempat parkir. Tidak ingin Aura mengetahui keberadaannya. Setelah memastikan cewek itu sudah sampai di tempat parkir dan mengendarai motornya meninggalkan sekolah, barulah Alden muncul dengan siulan yang keluar dari bibir merahnya. Berjalan santai menuju mobilnya berada. Sekarang ia tahu bagaimana cara memenangkan pemilihan ketua osis besok.
"I'm the winner."