"Tidak usah pikirkan orang lain, hanya dirimu sendiri. Ingat hal itu."
———
Hari ini adalah hari terakhir ujian di semester dua. Di hari terakhir, kelas mengadakan sebuah acara rujakan, dan beberapa anak sudah membawa buah-buahan serta sambal. Tikar dibuka, semua duduk di bawah dengan hidangan rujak buah di depan mereka yang begitu banyak. Violin menerima dengan senang hati es campur yang diambilkan oleh Aneisha. Bahkan gadis itu tersenyum lebar di tempatnya. Sembari memakan es campur, dia bercanda dengan Meifa yang ada di sampingnya.
Pada akhirnya, walaupun itu beberapa bulan dari hari dia masuk ke sekolah menengah atas. Dia bisa akrab dengan teman sekelasnya.
"Lin! Rujaknya hampir kejatuh itu loh!"
"Eh bego! Maaf-maaf!" Jawab Violin sembari membenarkan piring berisi buah yang dia bawa.
Acara tersebut berlangsung dengan cukup menyenangkan. Bu Fatma, guru wali kelas yang duduk di tengah, diperlakukan seperti seorang ratu dengan banyak anak kelas yang memberikannya rujak buah. Sebuah lagu diputar dari sound di dalam kelas, menampilkan sebuah lagu barat yang terdengar menyenangkan.
Violin tersenyum lebar bahkan tertawa di tempatnya. Dia sangat menikmati hari ini dimana dirinya bisa berbicara dengan nyaman tanpa mempedulikan perkataan anak-anak lain. Dengan adanya Aneisha dan Meifa di sampingnya, Violin merasa tidak sendirian.
Sekarang Violin sudah tidak sendirian.
"Manusia itu tidak benar-benar sendirian. Semuanya pasti akan bersosialisasi. Sesusah apapun berkomunikasi dengan orang-orang, pada akhirnya manusia akan bersosialisasi."
Saat ini Violin berada di kamar mandi sendirian. Dia menatap ke atap kamar mandi, pemandangan yang selalu dia lihat sendirian dengan sesosok yang biasanya ada di sampingnya.
Violin menoleh ke samping. Biasanya ada sosok teman ilusinya di sana. Mytha, memandangi dirinya dengan sebuah senyum manis khas miliknya. Rambutnya yang tergerai, dan sudut matanya yang menatap dirinya lembut.
Tangan Violin terangkat, seolah menggapai sebuah ilusi dimana wajah Mytha ada di sampingnya. Tetapi tidak ada apapun, kosong, bahkan Violin tidak merasakan apapun dari Mytha.
Teman khayalannya sudah pergi jauh meninggalkan dirinya.
"Kalau mungkin besok aku menghilang.." Mytha terdiam di tempatnya. "..itu artinya keadaanmu baik-baik saja! Karena kau menginginkan sembuh, maka delusimu menghilang! Mimpimu akan menjadi kenyataan Cheryl!"
Begitu kata-kata Mytha yang terus terputar di telinganya. Masih terdengar sangat jelas, saat Mytha terus mengatakan hal-hal baik untuknya.
Kata-kata yang akan membuat dirinya menjadi lebih baik.
Guru bimbingan konseling membagikan sebuah angket berisi karir, perguruan tinggi, serta penjurusan. Violin yang menerimanya terdiam membaca demi kata angket yang ada di sana. Dia membandingkan nilai-nilainya yang pas pasan dengan impian karir yang dia tuju, walaupun sejujurnya impian tersebut adalah milik orang tuanya.
Pada akhirnya Violin memilih mata pelajaran yang kebanyakan dari jurusan IPA karena dia hendak menuju kedokteran. Setelah hampir sebulan libur panjang kenaikan kelas. Violin mendapatkan kabar bahwa dirinya berada di kelas XI-3.
Setelahnya, masa kelas sepuluh di sekolah menengah atasnya sudah selesai.
—
4 tahun kemudian.
Violin tengah berjalan-jalan sendirian di pinggir jalan kota dengan langkah santai. Pikirannya melayang-layang ke arah lain. Tatapannya kosong ke depan. Sejujurnya perkataan serta tugas-tugas dari dosen pembimbingnya begitu mengganggu pikirannya. Dia hanya ingin mengistirahatkan kepalanya sejenak, setelah kemarin dirinya salah melakukan praktek dalam mengobati pasien. Violin hanya dapat menghela nafasnya berat saat dia dimarahi oleh dosen pembimbingnya.
Tring!
Sebuah bel terdengar cukup lembut di telinganya. Perlahan Violin menoleh. Tatapannya tertuju pada sebuah toko bunga yang ada di sampingnya. Gedungnya terlihat cukup cantik dan bunga-bunganya ditata dengan rapi. Kendaaran lalu lintas di jalan raya di sebelahnya, membuat angin dan menerbangkan rambut pendek Violin. Dia tidak pernah memanjangkannya sekali pun.
Tatapannya hanya tertuju pada sebuah bunga dengan warna dasar merah muda. Tidak seperti bunga yang lain, bunga tersebut berbentuk kerucut. Dengan bagian utama bunga yang menjorok ke atas, lalu mahkota bunga terarah ke bawah. Walaupun berbeda dengan bunga-bunga lainnya, tetapi bunga tersebut terlihat beda daripada bunga yang lain.
Seperti dirinya yang berbeda dengan orang lain.
Pada akhirnya, Violin masuk ke dalam toko bunga tersebut. Dia didampingi oleh petugas di sana, dan terus menatap bunga tersebut.
"Itu bunga kerucut. Apakah nona berkenan membelinya?" Tanya petugas toko. Seorang wanita muda cantik dengan seragam kasual miliknya.
"Bunga kerucut?" Ulang Violin dengan sedikit bingung.
"Bunga tersebut tergolong Echinacea berasal dari Amerika Utara dan biasanya disebut coneflower."
Violin tersenyum kecil. "Coneflower?" Dia terdengar sedikit tertarik dengan nama barusan.
Petugas tersebut menarik senyum dan mengangguk. "Benar, coneflower. Indah bukan? Kegunaannya obat di Amerika Utara. Bahkan mempunyai sebuah simbolis sendiri."
"Apa itu?"
"Karena kegunaan yang begitu bermanfaat bagi orang-orang bunga kerucut dikaitkan dengan kesehatan, kekuatan, dan penyembuhan."
Violin menarik senyum begitu senang mendengarnya. "Aku beli satu tangkai saja, apa bisa?"
Selanjutnya, Violin memasukkan kunci pada pintu di depannya. Setelah pintu terbuka, dia memegang daun pintu dan menekannya pelan hingga pintu terbuka sempurna. Tampak kamar kosnya yang kecil tetapi terlihat rapi di dalamnya.
Violin melangkah masuk ke dalam kamarnya sendiri dan tidak lupa untuk menutup pintunya. Dia menaruh satu tangkai bunga coneflower di atas meja belajarnya. Namun, secarik kertas jatuh di bawah dan membuat Violin sedikit terkejut di tempatnya.
Dia mengambil kertas tersebut dan menatap bagian awalnya. Hanya bertuliskan nama toko bunga barusan. Lalu, dia membuka lengkukan kertas satunya. Perlahan sudut bibir Violin tertarik saat membacanya.
Coneflower berkata, "Aku harap kamu merasa lebih baik."
—
—
The End
—
—
end