———
Violin menatap ke arah sekitar lorong. Lalu, dia berhenti di depan sebuah pintu ruang kesehatan. Violin melepas sepatunya, kemudian berjalan masuk ke dalam ruang kesehatan. Matanya menelisik ke seisinya, tidak ada penjaga di depan. Kaki Violin melangkah lebih dalam masuk ke bilik ruang yang berisi ranjang-ranjang.
Di sana, matanya langsung menangkap seseorang yang seluruh tubuhnya di tutupi selimut dan menghadap ke arah lain. Violin menghembuskan nafasnya sejenak. Selanjutnya dia melangkah ke arah ranjang tersebut. Tangannya terarah menyentuh badan orang tersebut yang tertutupi selimut.
"Hey, Cakra." Violin memanggilnya.
Orang tersebut adalah Cakra. Dia bergerak lalu menghadap ke arah orang yang memanggilnya. Tatapan kosong milik pemuda tersebut bertemu dengan tatapan kesepian dari Violin.
Violin menatap keadaan Cakra yang menyedihkan lantas menggelengkan kepalanya perlahan. "Kenapa kau bisa berakhir seperti ini?"
Cakra beranjak lalu mengganti posisinya untuk duduk. Sementara, Violin duduk di atas ranjang milik Cakra sendiri. Mereka berdua saling bertatapan tanpa ada yang mengucapkan kata-kata.
"Aku benci diriku sendiri." Itu jawaban dari Cakra setelah sekian lama terdiam. Kemudian, dia menundukkan kepalanya. Sesuatu teringat di benak Violin.
"Aku benci diriku sendiri."
"Aku benci saat aku harus melakukan hal yang tidak bisa kulakukan. Aku makin membenci diriku sendiri karena itu." Lanjut Cakra. Dia menaruh tangan menutupi dahinya.
"Aku berharap bisa menghilang dari dunia ini."
"Aku berharap bisa menghilang dari dunia ini."
Dada Violin terasa sesak setelah mendengar kata-kata barusan, bahkan kata-kata yang sering dia ucapkan pada dirinya sendiri. Matanya menelisik ke arah lain. Di bawah pergelangan tangan Cakra, terdapat sebuah perban yang melingkar.
Pemuda itu bodoh sekali melakukannya di tempat yang terlihat.
"Lalu, bagaimana kau melakukan hal itu di sekolah?" Tanya Violin. Tatapannya tertuju ke arah Cakra. Raut ekspresinya tidak menunjukkan emosi apapun.
"Aku membeli cutter." Cakra terdiam sejenak. "Sebelum berangkat dari sekolah."
"Kenapa?" Violin kembali bertanya. Walaupun nada intonasinya terdengar lembut, tetapi dia berkata dengan tajam. Seolah segera membutuhkan jawaban dari sahabatnya yang melakukan hal itu.
"Aku ingin melakukannya." Cakra menghela nafasnya sembari menatap ke perban miliknya sendiri. "Itu tidak terasa sakit. Seperti yang kau bicarakan, justru perasaanku rasanya lebih tenang setelah melakukannya."
Cakra tersenyum sedikit. "Perasaan yang mengucilkan diriku sendiri hilang saat aku melakukannya. Tiba-tiba lenyap tanpa jejak."
Violin menundukkan kepalanya. Lalu, dia menarik seragam di pergelangan tangannya. Saat dia membalik tangannya, bisa terlihat banyaknya garis merah di sana. Garis garis merah itu tidak hanya satu dari satu sisi, tetapi menumpuk dan menutupi garis-garis lainnya. Lengan Violin setelah menyiletnya sendiri benar-benar tidak terlihat baik.
"Aku ingin menyilet sebanyak tanganmu." Ujar Cakra setelah melihat lengan milik Violin.
Violin menarik tangannya, lalu kembali menutupinya dengan seragam. Dia menatap ke arah bawah kosong. Pikirannya berkerumun seperti teks-teks tidak beraturan yang membuatnya melamun. Cakra tersenyum sedikit lalu menatap ke arah lain.
"Itu menyakitkan."
Violin tiba-tiba membuka suara setelah terdiam cukup lama. Cakra kembali menoleh ke arahnya. Violin menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan.
"Setelah mengiris lengan tanganku sendiri aku dibawa ke UGD lalu masuk ICU. Mereka bilang kondisiku kritis karena kehilangan banyak darah." Violin menjeda sejenak kata-kata selanjutnya. "Kakakku bahkan harus mendonorkan darahnya padaku, karena hanya itu golongan darahku yang cocok."
Cakra menatap ke arah Violin dengan memiringkan kepalanya. "Apa aku harus melukainya seperti itu? Aku benci bersekolah."
"Itu tidak menyenangkan." Jawab Violin. "Berada di rumah sakit dalam kurun waktu yang lama bisa membuatmu makin dan semakin parah. Pikiranmu sendiri akan menyerangmu."
Cakra menundukkan kepalanya lagi. "Aku tidak peduli akan hal itu."
"Bagaimana bahkan kau tidak tertolong?"
"Aku berharap aku mati!"
Terdiam. Bibir Violin mengatup rapat setelah mendengar kata-kata Cakra barusan. Mata pemuda itu menyala-nyala menatap ke arah bawah. Violin juga tahu jika Cakra mengepalkan tangannya erat.
"Aku tidak peduli pada apapun. Aku hanya ingin menghilang. Aku ingin menghilang dari segala hal di dunia ini. Jadi, jika pikiranku menyerangku pun aku tidak peduli. Akan lebih baik aku bisa mati lebih cepat karena hal itu."
Violin hanya menatapnya. Sementara, Cakra sudah menaruh tangannya di dahi.
"Aku minta maaf karena tidak bisa mengontrol diriku sendiri." Cakra berujar maaf lalu membuang muka ke arah lain. Dia menghindari tatapan dari Violin.
"Kenapa kau ingin mati?"
Sebenarnya itu hanya sebuah pertanyaan tanpa jawaban dari bibir Violin yang sedari tadi tertutup rapat. Cakra memejamkan matanya sesaat sembari menaruh kepalanya pada dinding pembatas di sebelahnya. Violin menatapnya tanpa ekspresi apapun.
"Haruskah kita mati bersama?"
Cakra segera membuka matanya dan menatap Violin dengan tatapan tidak percaya. Tatapan Violin berangsur melembut. Lalu, dia tersenyum miris.
"Katakan padaku, apa kita harus bunuh diri bersama?"
———
Pemandangan orang-orang di kota cukup sibuk di siang hari. Kendaraan-kendaraan melaju di jalan raya. Namun karena kapasitasnya yang cukup banyak, kendaraan-kendaraan tersebut macet. Kemudian di trotoar terlihat banyak pedagang kaki lima dengan jualannya. Mungkin hanya sekitar satu atau dua orang yang membeli jualan milik pedagang tersebut, sisanya pedagang tersebut hanya bisa duduk termenung di atas kursi miliknya. Menatap ke sudut-sudut jalan yang ramai oleh kendaraan, dan berharap salah satu kendaraan berhenti untuk membeli jualan miliknya.
Violin berada di pikirannya sendiri. Dia di atas jembatan layang dari sebuah kota. Kedua tangannya dia senderkan pada pagar pembatas jembatan. Lalu, salah satu tangannya dia taruh pada pipinya. Mata Violin terus menelisik ke arah pedagang kaki lima yang ada di bawah.
"Kenapa orang-orang sangat berusaha untuk hidup?"
Mytha yang entah datang darimana tiba-tiba di sampingnya. Wajah juga rambutnya terhempas oleh angin. Dia bermain pagar pembatas dengan menaruh kakinya pada pagar pembatas dan bergelantungan di sebelah Violin.
"Untuk bertahan hidup?" Jawabnya sembari menoleh ke arah Violin.
"Kenapa mereka segitunya ingin bertahan hidup di dunia yang kejam ini?" Tanya Violin lagi. Matanya menatap ke arah Mytha dengan tatapan bertanya. "Bukankah itu cukup menyedihkan untuk bertahan hidup di dunia yang bahkan tidak mengharapkanmu?"
Tatapan lembut milik Mytha tertuju pada Violin. Tetapi bibirnya tersenyum tipis. Masih sibuk bergelantungan hingga rambut dan dress putihnya terhempas beberapa kali, Mytha menatap ke depan.
"Itu sebuah keinginan." Mytha terdiam untuk berpikir sejenak. "Mungkin karena mereka memiliki suatu hal yang harus dilakukan. Seperti impian mereka yang belum tercapai."
"Bagaimana jika tidak memiliki impian ataupun keinginan tersebut?"
Mytha berhenti bergelantungan lalu berdiri tegak. Matanya menatap netra Violin yang menyala-nyala. "Apakah yang kau maksud barusan adalah dirimu?"
Violin mengarahkan wajahnya ke arah lain. "Menurutmu siapa lagi?"
Mytha tersenyum kecil di tempatnya. "Apakah kau tidak punya keinginan, Cheryl?"
"Tidak. Tidak punya sama sekali." Jawab Violin cepat.
"Sama sekali?"
"Sama sekali."
Mytha menunjuk di atas dada Violin. "Katakan apa yang kau inginkan di sini, Violin."
Violin terdiam sejenak. Lalu, dia menundukkan kepalanya. Tidak ada yang berbicara. Mytha terus menatap ke arah Violin dengan wajah penuh pertanyaan. Sementara, Violin justru menundukkan wajahnya.
"Aku ingin hidup.."
Sesuatu menetes dari pelupuk mata Violin. Pipinya sekarang basah karena air matanya sendiri. Violin meremat tangannya.
"Bahkan jika akhirnya aku hanya memiliki takdir kematian, aku ingin hidup, Mytha.." Violin makin menundukkan kepalanya. "Hanya saja kenapa hidupku seperti ini? Aku sangat lemah untuk disebut manusia. Aku takut untuk menginginkan sesuatu. Perasaan jika aku tidak bisa menggapainya membuatku ketakutan."
Mytha mengambil salah satu tangan Violin. "Sekarang kau tahu apa yang kau inginkan bukan?"
Violin menganggukkan kepalanya pelan.
Mytha tersenyum senang. "Itu tidak apa-apa, Cheryl. Apakah kau tidak punya keinginan lain?"
Violin menoleh ke arah sekitar. Mungkin karena eksistensinya yang terpecah, dunia yang dia buat mulai memudar. Bahkan jembatan yang dia pijaki transparan. Violin mendongak dan bertemu mata milik Mytha. Mytha tidak memudar sama sekali, tangannya yang menggenggam tangan miliknya terasa begitu nyata.
"Aku ingin kamu nyata, Mytha."
Wajah Mytha berubah setelah mendengar kata-kata barusan. Kemudian, genggaman tangannya terlepas. Mytha menoleh ke arah lain.
"Jangan menginginkan hal yang tidak akan pernah bisa, Cheryl."
"Tapi—"
"Intinya." Mytha memotong kata-kata Violin. Tatapan gadis itu berusaha menghindari tatapan dari Violin. "Jika Cakra meminta untuk mati bersama, ataupun bunuh diri, jangan pernah menerimanya. Jangan sampai terhasut olehnya. Anggap kata-katanya hanyalah angin belaka. Aku takut kamu akan terpengaruh olehnya, padahal kamu baik-baik saja."
Bibir Violin melengkung tersenyum. Lalu, dia menganggukkan kepalanya. "Aku mengerti."
Mytha mendongak dan menatapnya dengan cemberut. Lalu, dia memukul pelan kepala Violin dengan kepalan tangannya.
"Sekarang bangun dan les sana."
————
Violin tengah membaca webnovel—yang entah dari kapan dia membacanya tidak selesai-selesai—di ruang lesnya. Seperti biasa dia akan duduk di sebelah dinding paling pojok, barisan nomor dua dari depan. Di kelas hanya ada beberapa anak dari sekolah lain. Kebanyakan Violin tidak mengenalnya, karena itu dia memilih untuk menyendiri seperti sekarang.
Tiba-tiba seseorang duduk tepat di sampingnya. Violin mengernyitkan dahi lalu menoleh. Dia menemukan Cakra duduk tanpa jarak di sampingnya.
"Kenapa duduk di sini?"
Cakra menoleh. "Memangnya engga boleh?"
Violin langsung menggelengkan kepalanya. Lalu, dia membentuk tangan seolah mengusir Cakra. "Duduk di sebelah sana saja. Anak-anak akan mengira kita pacaran nanti."
"Aku tidak mau."
Violin menggeram kesal. "Kau mau mati kah?" Tanyanya dengan nada mengancam.
"Iya."
Violin seketika terdiam setelah mendengar kata-kata Cakra. Dia memalingkan kepalanya. "Akan lebih baik kau ke psikiater."
"Udah juga kok." Jawab Cakra.
Violin melirik ke arahnya. "Yang benar?"
Cakra menoleh lalu menganggukkan kepalanya. "Obat psikiater membuatku lebih baik."
Violin menatapnya lalu membuang muka. "Baguslah kalau begitu. Akan lebih baik kau tidak mengulanginya lagi, bahkan melakukannya di sekolah."
Cakra membuka buku lesnya sembari mengangguk. "Aku mengerti, Violin."
Tatapan Violin seketika tertuju pada sebuah perban di pergelangan tangan Cakra. Perban itu tampak basah karena air hujan tadi. Sepertinya perban tersebut harus diganti.
"Kau membawa perban lain tidak?"
Cakra menoleh lalu menganggukkan kepalanya. "Bawa kok." Setelahnya, pemuda itu mengambil tasnya dari kursi di sebelahnya. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah bungkus perban lengkap dengan obat luka lainnya. Dia menyerahkannya pada Violin, gadis itu segera menerimanya.
"Aku akan mengganti perbanmu. Kemarikan tanganmu."
Cakra menyerahkan tangannya pada Violin. Dengan segera Violin membuka perban basah yang ada di tangan Cakra. Di sana bisa terlihat luka nya begitu dalam. Cakra menyilet tangannya cukup dalam bahkan hanya dengan menggunakan cutter. Kemudian, Violin meneteskan obat di luka tersebut. Cakra hanya bergeming, tidak merasakan kesakitan apapun. Setelahnya, dengan pelan-pelan Violin menaruh perban di atas luka tersebut.
Violin mendongakkan kepalanya. Netra matanya bertemu dengan manik mata milik Cakra. Tidak ada yang berbicara sejenak. Hanya ada kedua tatapan yang seolah saling bertautan. Tiba-tiba sesuatu di dalam dirinya membuatnya merasakan hal aneh. Violin dengan cepat membuang mukanya.
"Kamu tahu sendiri Violin. Hidup itu sangat sulit. Bertahan hidup, mencari pekerjaan, mencari pendapatan. Bahkan untuk sekedar mencari sebuah nilai dalam persaingan di sekolah itu sulit. Jika hidup sendirian, memikul beban sendirian, itu terasa tidak enak untuk didengar"
Mytha mendongakkan kepalanya ke atas. "Tetapi, bagaimana jika kau memiliki orang yang ada di sisimu?"
Violin menatapnya bingung. "Memangnya kenapa?"
Mytha membentuk bibir melengkung. "Itu terasa nyaman dan menenangkan."
"Tetapi bukankah berharap ada seseorang seperti itu hanyalah membohongi diri sendiri? Eksistensi hidup setiap orang itu kan berbeda-beda."
"Aku tahu, tapi bagaimana jika ada orang yang akan selalu berdiri di sisimu? Orang itu akan selalu ada di sampingmu, bahkan jika kau terkena masalah. Orang itu akan mendengar segala bentuk keluh kesahmu. Intinya dia benar-benar akan menjadi pendamping hidupmu dan kalian akan berjuang pada dunia ini bersama."
Violin terdiam untuk mencerna kata-kata Mytha barusan. Lalu, dia membuang muka. "Bukankah kamu adalah orang yang selalu berdiri di sisiku?"
Selanjutnya hanya ada kepalan tangan yang mengenai kepala Violin. Violin mengelus-elus kepalanya pelan.
"Aku membicarakan sosok orang nyata yang akan bersama denganmu nantinya. Biasanya orang tersebut hampir memiliki banyak kesamaan denganmu. Dalam hal apapun."
"Sebenarnya siapa yang dari tadi kau bicarakan, Mytha? Kenapa kau tampak memberikan sebuah kode untukku." Violin berujar kesal.
Mytha makin tersenyum lebar. Dia tampak mengejek Violin dengan seseorang.
"Temukan orang itu, Violin."
Violin sadar dari lamunannya sendiri saat dia mendongakkan kepalanya. Dia menoleh pada orang di sebelahnya yang tengah menulis materi di papan. Violin terus menatap ke arah Cakra dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Apakah orang yang kamu maksud adalah Cakra, Mytha? Tanyanya dalam dirinya sendiri.
Violin tengah membeli jajanan di sebelah tempat lesnya pada jam istirahat. Tidak ditemani oleh siapapun, dia istirahat sendirian. Setelah mendapat uang kembalian, Violin berjalan hendak kembali ke tempat lesnya. Tiba-tiba Mytha muncul dan berjalan beriringan dengannya. Violin menghentikan langkahnya, dia berada di trotoar. Segera, dia menoleh ke arah Mytha.
"Apakah orang kamu maksud waktu itu adalah Cakra?" Tanyanya.
Mytha tersenyum kecil lalu menganggukkan kepalanya. "Benar sekali. Nilai seratus untukmu Violin."
"Itu tidak mungkin Mytha."
"Itu mungkin Violin."
Violin menatapnya kebingungan. "Kenapa kau mengatakan hal itu?"
Mytha menatap ke bawah. Kedua tangannya masih ia satukan di belakang badannya.
"Aku hanya berharap kamu punya seseorang di sisimu."
"Aku sudah memilikimu kenapa aku harus mencari orang lain?"
Mytha mendongakkan kepalanya. Kedua sisi mata sosok ilusinya tersebut berkaca-kaca karena kata-kata Violin barusan.
"Aku berharap kamu menjalani hidupmu dengan normal seperti orang-orang pada umumnya. Bukan terus berdelusi karena memimpikanku Violin."
Violin hendak berbicara tapi tertahan oleh kata-kata Mytha lagi.
"Aku menginginkan untuk kehidupanmu yang lebih baik. Aku ingin kamu juga punya sosok nyata di sisimu, bukan aku yang bahkan kau buat sendiri. Aku ingin kamu fokus di dunia nyatamu. Memiliki sebuah impian seperti memasuki perguruan tinggi ternama. Ataupun tentang jenjang karir yang ingin kau pijaki."
Violin terdiam karena kata-kata Mytha. Setelahnya, air mata dari sosok teman ilusinya tersebut menetes.
"Aku ingin kau memiliki sebuah kehidupan normal seperti orang-orang pada umumnya. Aku... Mytha, sisi lain dari dirimu, inilah yang keinginan terdalammu. Kau menginginkan kehidupan seperti ini, bukan?"
"Aku.. aku.."
"Bahkan sejujurnya melihat Ibu terus menangisi dirimu karena keadaanmu kau juga sakit karenanya. Ataupun saat Ayah malah menginginkan kau untuk mati, karena dia sudah lelah dengan keadaanmu selama ini."
Violin menundukkan kepalanya. Kedua tangannya yang berada di sisi tubuhnya mengepal kuat. "Aku.."
"Jangan terus mengurung dirimu sendiri di dalam kegelapan Violin. Kumohon. Jangan terus berdelusi. Lihatlah ke kenyataan, milikiah sebuah mimpi. Entah kegagalan yang akan membuatmu depresi lagi, jalani saja."
Violin mendongakkan kepalanya. Mytha menangis terisak di depannya.
"Kumohon jalani hidupmu di kenyataan!"
Menghilang. Semua seketika menghilang saat kesadaran Violin kembali lagi. Dia menatap ke arah sekitar, keberadaannya sekarang masih ada di atas trotoar. Violin melirik ke jam yang ada di tangannya. Pelajaran kedua les sudah dimulai. Violin menelisik ke segala arah, jika saja dia menemukan Mytha di sana. Tetapi, dia tidak ditemukan dimanapun.
"Saat hidupmu terasa begitu hampa, isilah dengan hal-hal yang menyenangkan. Toh hidup cuma sekali, terkadang kita juga butuh menenangkan diri kita sendiri sebelum akhirnya stres kembali karena sebuah pekerjaan."
"Orang itu datang dan pergi. Jadi terkadang jika mengharapkan seseorang, jangan berharap terlalu besar. Mengharapkan seseorang yang bahkan tidak mengharapkanmu itu menyakitkan."
"Sederhanakan pikiranmu. Jika terlalu banyak yang kau pikirkan. Bisa-bisa otakmu nanti meledak."
Kata-kata Mytha terus berputar di benaknya bersamaan dengan langkah kakinya menuju tempat les. Dia masuk ke dalam ruang counter les. Kemudian berjalan di lorong-lorong. Dan sekarang badannya sudah ada di depan pintu kelasnya. Tangan Violin terarah pada kenop pintu, tetapi dia ragu-ragu.
Dia takut akan tatapan dari seluruh orang di dalam.
Sebuah suara terdengar dari belakang. Violin menolehkan kepalanya. Dia malah menemukan Cakra di belakangnya. Langkah pemuda tersebut terhenti. Mereka saling bertatapan cukup lama sekali.
"Kau mau masuk ke kelas?" Tanya Violin pelan.
Cakra justru menggelengkan kepalanya. "Tidak."
Violin menatapnya bingung. "Lalu?"
Cakra terdiam sejenak. "Ayo lihat bulan, sekarang bulannya bagus."
Dan pada akhirnya, kedua orang tersebut melangkah keluar dari tempat les lewat pintu samping. Mereka berada di sebuah gang antara tempat lesnya dengan klinik di sebelahnya. Netra mata Violin segera tertuju pada langit gelap di atas. Namun, sebuah gumaman indah langsung terucap setelah melihatnya.
Langit malam hari ini cukup indah. Titik-titik bersinar di langit adalah hal favorit dari Violin. Kemudian diantara titik-titik tersebut terdapat sebuah bulan purnama yang bersinar cukup cerah. Violin baru teringat sekarang tanggal lima belas Agustus, dimana di tanggal tersebut bulan akan membentuk bulan purnama.
Violin menoleh ke arah Cakra yang ada di sampingnya. Jarak mereka hanya terpaut beberapa senti. Cakra yang lebih tinggi darinya terus menatap ke atas. Violin bisa menyimpulkan jika Cakra lebih menyukai bulan.
Mereka berdua hanya terus terdiam sembari menatap ke langit bersamaan. Tidak ada yang berbicara sama sekali. Tampaknya, Cakra ataupun Violin sedang menikmati waktu mereka sendiri-sendiri.
"Aku suka bintang." Ujar Violin tiba-tiba. Cakra menoleh ke arahnya. Tangan Violin terangkat seolah berusaha menggapai bintang di langit.
"Aku berharap aku menjadi bintang dimana aku bisa menyinari kegelapan." Lanjut Violin kembali. Gadis itu tampak begitu terpesona oleh bintang-bintang. "Aku berharap bisa menyinari hidupku sendiri."
Cakra juga menoleh ke atas. "Aku suka bulan."
Violin menarik tangannya kembali. Lalu, dia menoleh. Tatapannya menyiratkan seolah bertanya mengapa.
Cakra tertawa kecil lalu menoleh. "Soalnya ya suka-suka aja."
Tatapan mereka kembali bertemu. Bahkan raut wajahnya berubah. Violin segera memutuskan tatapan mereka. Lalu menatap ke arah lain.
"Kukira kamu bakal ngomong apa." Ujar Violin.
Cakra menatapnya bingung. "Kaya alasan gitu?"
Violin menganggukkan kepalanya. "Kamu bilang kamu suka ngeliatin bulan dari balkon rumahmu. Bahkan sampai dikira kesurupan."
Cakra tertawa kecil di tempatnya. "Ah, yang waktu itu ya?"
Violin kembali menganggukkan kepalanya lagi sebagai jawaban.
Cakra menoleh ke arah lain. Dia melihat sebuah kegelapan di belakang. Tampaknya di belakang tempat les terdapat sebuah lahan kosong yang berisi pohon-pohon.
"Lin, coba masuk ke situ tuh." Cakra menunjuknya.
"Kalau nyuruh, yang nyuruh duluan buat masuk ke situ." Jawab Violin ketus.
"Ke sana yuk."
Setelahnya, kedua orang tersebut sama-sama berjalan ke arah kegelapan tersebut. Sejujurnya di sana tidak ada apapun. Hanya pohon-pohon dan sisa-sisa dari sebuah bangunan.
"Dulu di sini ada kantin les ya." Cakra mengawali pembicaraan setelah melihat sisa-sisa bangunan yang tanpa sisa sekarang.
"Itu lama sekali. Kayaknya terakhir kali aku beli di sini masih kelas tujuh dulu." Violin menanggapi kata-kata Cakra. "Menurutmu kenapa ya tokonya tutup?" Tanya Violin tiba-tiba. Dia menoleh ke arah Cakra, meminta sebuah jawaban.
Cakra terdiam sejenak. "Mungkin yang beli makin sedikit?"
Violin mengangguk mengerti. "Oke, paham, paham."
Setelahnya mereka berdua kembali masuk ke dalam tempat les. Namun, bukannya masuk ke dalam kelas. Dua sejoli tersebut justru duduk bersebelahan di kursi yang ada di lorong. Netra mereka berdua menatap ke arah sebuah kelas bertuliskan nama bulan uranus. Itu adalah kelas mereka saat masih di kelas tujuh.
"Aku kangen waktu itu." Ujar Violin tiba-tiba. Dia menunjuk ke kelas yang ada di depan mereka. "Aku sering bareng sama Rena dulu. Sekarang dia udah pindah sih."
Cakra tersenyum kecil. "Waktu itu seru ya."
Violin memandang kelas tersebut. Sebuah kenangan-kenangan lama saat dirinya masih menjadi anak baru serta Cakra juga. Bahkan memiliki sosok teman dekat seperti Rena yang begitu cocok dengannya. Anak-anak les yang dahulu bersama mereka di kelas tujuh tidak lanjut dan hanya menyisakan Violin dan Cakra yang masih lanjut hingga kelas sepuluh.
"Aku akrab dengan semua anak kelas waktu itu." Violin bercerita. "Saat istirahat kita akan main petak umpet sampai bel berbunyi."
Cakra tertawa samar saat mereka membicarakan hal itu. "Padahal sudah dibilangin kalau nanti bisa menganggu kelas lain tapi tetep aja dilakuin ya."
Violin tersenyum kecil. Matanya agak mengantuk, lalu tanpa sadar dia menaruh kepalanya di bahu lebar milik Cakra. Kesadarannya perlahan menipis, lalu matanya terpejam sedikit demi sedikit.
"Aku ingin bermimpi pada waktu itu, bangunkan saat bel." Ujar Violin. Setelahnya, kesadarannya menghilang.
—
—
—
—
—
—