————
"Jadi teks dramanya yang ini ya?"
Fera menunjukkan ponselnya pada Shafia, juga Rena, mereka menganggukkan kepala mereka setuju. Setelahnya, Fera menunjukkan ponselnya yang menampilkan teks pada Violin.
"Bagaimana menurutmu, Lin?"
Violin membacanya sekilas. "Bagus aja kok."
Setelahnya, Fera menarik tangannya kembali dan berkutat pada ponselnya. Violin menelisik ke arah sekitar. Sekarang seisi kelasnya tengah berdiskusi dengan kelompok mereka masing-masing. Ada yang duduk di atas kursi, ataupun di lantai. Guru yang memberi tugas pun tengah berbicara dengan salah satu kelompok.
"Kayaknya kita butuh kerja kelompok. Menurut kalian bagaimana?" Daniel bertanya.
Shafia menganggukkan kepalanya. "Kayaknya iya. Hari apa? Dimana?"
Azra berpikir. "Bagaimana Sabtu pekan ini? Kalian free engga?"
Rena tersenyum sopan. "Free aja kok."
"Ya sudah, sekarang tempatnya, mau kerja kelompok di rumahnya siapa?" Daniel menelisik ke arah anggota kelompoknya.
"Maaf kalau rumahku engga bisa."
"Di rumahku ada banyak orang, nanti malah ganggu."
"Kalau rumahku kejauhan mungkin buat kalian."
Selanjutnya, semua tatapan tertuju pada Violin. Dia menelan ludahnya, agak merasa khawatir dengan tatapan dari anggota kelompoknya.
"Kalau kamu bagaimana, Lin? Rumahmu bisa dipakai buat kerja kelompok?" Tanya Daniel.
Sejujurnya Violin ingin menjawab tidak tetapi dia tidak bisa mengatakannya. Dia merasa tidak nyaman jika ada orang yang mengunjungi rumahnya. Namun jika keadaan seperti ini apa yang harus dia lakukan?
"Engga ada acara apapun kok. Gapapa, di rumahku aja."
Selanjutnya, bibir melengkung tertera pada setiap wajah anggota kelompoknya. Mereka berujar dengan senang, kemudian bel istirahat akhirnya berbunyi. Violin bergerak menuju kantin untuk membeli mie ayam kesukaannya. Setelah antri cukup lama, dia sudah berada di bangku kantin sendirian. Tangannya segera membuka ponsel dan menampilkan sebuah webnovel. Violin memakan mie ayamnya sembari men-scroll novel di ponselnya.
Tiba-tiba ada orang yang duduk di depannya, Violin mendongakkan kepalanya. Itu Cakra, masih dengan makanan kesukaannya, nasi goreng. Wajahnya cemberut seperti kesal, ditambah dengan auranya yang suram.
Cakra terlihat menyedihkan sekarang.
"Apa yang kau lihat sekarang?" Cakra bertanya dengan nada ketus.
Violin mengedikkan bahunya. "Aku cuma berpikir kau menyedihkan."
Violin bisa mendengar sebuah erangan dari Cakra di depannya. Tetapi, gadis itu hanya terus melanjutkan makan. Sementara, Cakra dengan ekspresinya yang kesal mulai makan nasi gorengnya.
"Aku kesal dengan anak kelasku. Dasar sial!" Cakra mengaduk-aduk nasi gorengnya dengan sendok. Dia memperagakan akan membunuh anak kelasnya yang membuat dirinya kesal.
"Apa? Apa? Spill dong kak." Jawab Violin. Dia paling suka saat Cakra akan bicara seperti ini, biasanya dia jarang akan bercerita sesuatu.
"Kelasku itu, mentang-mentang unggulan dicap dengan kelas yang berisi anak-anak pintar. Sok-sokan banget padahal isinya sama aja. Semuanya pada contekan."
Violin menganggukkan kepalanya. "Terus? Kamu engga gitu?"
"Ya sama aja sih."
Di situlah Violin merasa ingin memukul kepala Cakra saat ini. Di depannya, Cakra malah tertawa kecil seperti orang tidak jelas.
"Lalu apa masalahnya?" Tanya Violin.
"Ada salah satu anak—"
"Tidak usah pakai penyebutan, langsung nama saja."
Cakra menghela nafasnya sesaat. "Aden, kau ingat nama itu?"
Di saat itulah wajah Violin berubah kesal, lalu dia memalingkan kepalanya. "Itukah orang yang kau maksud?"
"Ya, benar." Cakra tersenyum menggoda. "Orang yang pernah kamu suka."
"Diam, lanjutkan saja ceritamu."
"Aku sangat kesal dengan anak itu. Sekelas itu semua saling mencontek, bahkan saat mencocokkan bebarengan, jawaban yang salah dibenarkan, tapi Aden itu arggh!"
Cakra mengerang kesal, sementara Violin cuma menatapnya dengan mengunyah mie ayam.
"Dia malah mengangkat tangannya dan menanyakan soal jawabanku. Dan gurunya bilang kalau jawabanku salah! Dasar! Padahal yang lain pun jawabannya engga disalahin tapi punyaku iya, nilaiku jadi jelek deh."
"Aden itu terlalu jujur, ya sabar ya." Jawab Violin menanggapi cerita Cakra.
"Tapi aku tetep kesal! Kenapa sih dia yang mengoreksi jawabanku? Kenapa engga anak yang lain aja."
"Satu hal dalam hidup, terima apa adanya."
Cakra terdiam sesaat. Lalu, dia mulai makan nasi goreng miliknya. Violin selesai makan dan melipat kedua tangannya di meja. Tatapannya masih tertuju pada webnovel yang dia baca.
"Bagaimana kau akhir-akhir ini? Baik-baik saja kan?" Tanya Cakra tiba-tiba.
"Ya, semoga." Jawab Violin. "Mytha sering meninggalkanku sekarang. Aku jadi gampang sendirian."
"Sejak awal itu Mytha tidak ada, Lin. Dari awal kamu sendirian."
Violin menaruh tangannya dengan kasar di meja membuat Cakra memakan makanannya cepat. Pemuda itu bisa merasakan tatapan menakutkan dari Violin akibat kata-katanya.
"Cakra, kamu harus mencoba melompat dari jendela kelasku."
"Aku belum siap mati, Lin."
Selanjutnya, Cakra justru tertawa di tempatnya membuat Violin makin jengkel. Bel masuk berdering dengan cepat, Violin hanya menghela nafasnya. Kemudian, dia dan Cakra berjalan bersama menuju ke kelas yang berbeda.
———
Hari minggu tiba, sekarang Violin tengah membereskan ruang tamu dibantu dengan Ibu di sampingnya. Violin menoleh ke arah Ibu setelah menyapu, Ibu tengah menyiapkan beberapa jajanan di atas meja. Violin terdiam sesaat, lalu berjalan ke arah Ibu.
"Aku minta maaf Ibu jika membuat Ibu repot. Aku bisa mengurusnya sendiri." Ujar Violin tiba-tiba.
Ibu menoleh ke arahnya lantas menghela nafas. "Sudahlah Lin. Tidak apa-apa. Toh akhirnya kamu juga bawa teman ke rumah selain teman satu SMP-mu dulu." Ibu tersenyum.
Violin terdiam sejenak, teman satu SMP-nya mulai mengerumuni pikirannya. Namun, dengan cepat Violin menepisnya.
"Iya, Bu." Jawab Violin.
Setelahnya Ibu berjalan ke arah ruang tengah. Beberapa menit kemudian, anggota kelompoknya berdatangan. Mereka segera membagi tugas, dengan Violin yang mengurus bagian powerpoint, sementara yang lain mencari materi. Semuanya berlangsung dengan lancar sampai akhirnya hanya tinggal Violin yang belum menyalin semuanya.
Dia memperhatikan anak-anak satu kelompoknya tengah membicarakan sesuatu yang sebenarnya tidak dia pahami. Tetapi, dia masih berusaha fokus untuk mengerjakan materi powerpoint. Sampai akhirnya, sebuah perasaan aneh menerpa dirinya dan membuat jemarinya berhenti mengetik.
"Kamu tahu Veda engga? Dia ternyata berpacaran sama Rifa lho, gila ga sih."
"Veda anak OSIS itu?"
"Iya! Dia!"
"Bukannya OSIS ga boleh pacaran ya?"
"Mana ku tahu soal itu."
Violin merasa terasingkan oleh teman-teman satu kelompoknya, bahkan di rumahnya sendiri.
Saat Violin merasakan perasaan itu, pikirannya mulai berkabut. Dadanya terasa begitu sesak, entah apa yang terjadi di dalam dadanya tersebut. Setelahnya, hanya ada rasa tidak nyaman dalam dirinya berada diantara satu kelompoknya sendiri.
Violin merasa tidak nyaman, walaupun berada di rumah miliknya.
Setelah powerpoint selesai, beberapa anak satu kelompoknya mulai meninggalkan rumahnya. Di situlah, Violin bisa menghela nafas lega, tetapi perasaan merasa terasingkan itu masih ada. Violin menundukkan kepalanya sembari menutup pintu, dia tidak tahu bagaimana mengendalikan dirinya sendiri saat merasa down seperti ini.
"Kenapa rasanya aku tidak nyaman dimanapun ya?" Dia bertanya pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya adalah presentasi dari hasil kerja kelompok pada hari minggu kemarin. Dan sialnya, kelompok Violin mendapat urutan pertama. Setelahnya, Violin membawa laptop ke meja guru untuk disambungkan pada LCD. Kemudian, drama dari satu kelompoknya dimulai. Violin bagian presentasi, karena itu dia tidak ikut berperan dalam drama.
"Baik, sekarang kita lanjutkan dalam penjelasan di powerpoint."
Itu suara Shafia yang terdengar cukup percaya diri. Violin di sampingnya hanya merinding takut karena tatapan anak-anak kelas beserta guru.
"Sekarang, materi bisa dijelaskan oleh teman saya." Shafia menoleh ke arah Violin.
Violin dengan menatap ke arah ponselnya mulai menjelaskan sebisanya. Jantungnya berpacu dengan cepat, membuatnya gugup setengah mati di depan. Bahkan, saat berbicara pun dia tergagap-gagap, sehingga harus dibantu oleh Shafia. Violin melirik ke arah Shafia, dia merasa rendah diri karena tidak bisa melakukan hal yang sama sepertinya.
Violin merasa rendah.
Setelahnya, presentasi selesai dan semua anggota kelompok berdiri berbaris di tengah. Guru mulai menjelaskan banyak hal soal kelompoknya, dari kelebihan dan kekurangan dari grup.
"Satu lagi kekurangan, mungkin semua orang tidak bisa berbicara di depan umum dengan baik. Belajar ya."
Di situlah Violin menundukkan kepalanya makin dalam. Karena dia tahu bahwa orang yang dimaksud Guru adalah dirinya.
Violin makin dan semakin membenci dirinya sendiri lebih dari apapun.
Setelahnya, Violin kembali berakhir di kamar mandi. Dia duduk di paling pojok dan menatap ke depan dengan melamun. Sekarang istirahat kedua, karena itu Violin memilih untuk menyendiri di kamar mandi sendirian, lagi.
Mytha yang ada di sebelahnya cuma menatapnya. Kemudian, dia menghela nafasnya sesaat.
"Sampai kapan kau akan berada di sini?"
"Sampai semua beban pikiranku menghilang."
Mytha tertawa kecil di tempatnya. "Sudahlah, Lin."
Violin masih terpaku di tempatnya. "Mana bisa seperti itu?"
Mytha mengambil bahu Violin dan mengguncangkannya. "Violin, udah! Berhenti overthinking!"
"Aku tidak bisa."
"Bisa!! Pasti bisa!"
———
Sekarang jam menunjukkan pukul delapan lebih lima belas. Pelajaran pada jam ini adalah pendidikan jasmani. Violin yang baru saja berlari sejauh dua koma empat kilometer langsung terbaring di atas lapangan sekolahnya sendiri yang berumput, seperti anak-anak lain dari kelasnya.
Namun, setelahnya guru olahraga menyuruh anak-anak untuk melakukan sit up, serta back up. Untuk melakukan itu dibentuk kelompok dua orang, lalu karena salah satu orang tidak masuk, Violin berakhir sendirian. Guru olahraga mempersilahkan Violin untuk melihat anak-anak sekelasnya melakukan materi. Sejujurnya di dalam hatinya dia merasa sakit.
Bahkan tidak ada anak yang mau satu kelompok dengannya.
Setelah itu, guru olahraga meninggalkan tempat karena ada urusan mendadak. Anak-anak kelasnya beserta dirinya ditinggalkan begitu saja di lapangan olahraga. Jadi mereka bisa melakukan hal bebas. Violin memilih untuk membaringkan badannya lagi di lapangan rumput.
Violin melirik ke arah Aneisha dan Meifa—teman yang sekarang bersamanya. Violin membuang muka ke arah lain dan memilih untuk membangunkan badannya, lalu tatapannya tertuju pada Mytha di yang duduk di depannya.
"Kenapa kau ada di sini?" Tanya Violin.
"Ya sudah kalau gak suka aku pergi aja."
Mytha hendak pergi dari tempatnya tapi Violin segera mencekal tangannya. Mytha menatapnya dengan tatapan bingung.
"Aku tidak menyuruhmu pergi." Jawab Violin.
Mytha tertawa kecil lalu akhirnya kembali duduk di depan Violin. "Apakah kau kesepian, Violin?"
Violin tertegun sejenak. Lalu, dia melirik ke arah Aneisha dengan Tara yang tengah tertawa. Mytha tahu apa yang dimaksud oleh Violin lantas menghembuskan nafas sejenak.
"Berhenti mengharapkan orang yang tidak akan pernah kembali padamu."
Violin menaruh tangan pada dahinya. "Aku tidak tahu apa alasan dia menjauhiku."
"Berhenti mempertanyakan soal itu juga."
"Bagaimana aku tidak bisa mempertanyakannya?! Kita awalnya teman! Namun kemudian dia menjauhiku tanpa alasan. Menurutmu ini adil? Setidaknya beri aku alasan kenapa dia menjauhiku!"
Mytha menatap Violin dengan tatapan sabar. "Manusia kadang melakukan sesuatu itu tanpa alasan."
"Lalu kenapa dia berhenti berteman denganku?!"
"Tidak semua orang memahamimu, Cheryl."
Mata Cheryl berkaca-kaca lalu dia membuang muka. Mytha mengganti duduknya dengan bersila di atas lapangan rumput. Tangannya yang kecil mulai menyentuh rumput-rumput di sana. Walaupun sebenarnya dia tidak bisa merasakan apapun karena rumput bahkan tidak bisa merasakan tangannya.
"Aku benci diriku sendiri."
"Sampai kapan?" Mytha menatap ke arah Violin dengan mata tajam. "Sampai kapan kau akan terus membenci dirimu sendiri seperti itu?"
Violin menundukkan kepalanya. Tangannya yang berada di atas rumput mengepal kuat. Tatapan Mytha membuatnya takut di tempatnya juga dadanya yang terasa sesak. Dia ketakutan akan kata-kata Mytha setelahnya.
"Kau hanya punya dirimu sendiri. Kau tidak bisa terus membuat orang lain melakukan apa yang kau mau. Dari awal, kau hanya punya dirimu sendiri untuk bertahan di dunia ini."
"Aku tahu."
"Kau tidak bisa terus bergantung pada orang lain."
"Aku mengerti."
Mytha bisa melihat salah satu sudut mata Violin yang tertunduk mulai basah. Dengan perlahan dia menggeser air mata tersebut tetapi usahanya tidak menghasilkan apapun.
"Lakukan hal yang kamu sukai, apapun itu."
Mytha tersenyum ke arahnya. Violin mendongakkan kepalanya dan merasakan dadanya yang sesak mulai menghilang. Perlahan sebuah lengkung dari bibir Violin muncul.
"Aku mengerti, Mytha."
Sewaktu les Cakra tidak masuk, membuat Violin yang kesepian makin kesepian. Hal yang dia lakukan hanyalah masuk ke dalam kelas, lalu duduk, dan membuka ponselnya. Dia terus membaca webnovel omnicient reader's view sampai tidak menyadari jika kelas sudah penuh dengan anak-anak dan kakak les sudah masuk ke dalam kelas.
"Heh masa sih?! Ini beneran pacarmu?!"
"Emang kenapa?!"
"Sekolah hari ini tugasnya apa aja?"
"Hari ini ada fisika sama biologi."
"Aku males banget deh, nyontek ya."
"Enak banget kau!"
Setelahnya, seorang gadis memukul pemuda yang masih duduk di tempatnya. Pemuda itu tertawa kencang dengan teman-temannya di sampingnya. Sementara gadis barusan menatapnya malu.
Violin menatap ke depan kembali. Tatapannya terarah pada papan tulis yang kosong. Tidak ada materi apapun di depan karena sudah dihapus oleh pengurus les karena sekarang istirahat. Walaupun dia sudah cukup lama di les ini, Violin masih merasa dia tidak mengenal apapun di les ini. Seperti banyaknya anak baru di tempatnya les, tetapi Violin tidak mengenal satu pun. Violin anti-sosial dan dia sangat membenci hal itu.
Pada akhirnya yang bisa dia lakukan hanyalah mengamati keadaan sekitar, ataupun fokus pada kegiatannya sendiri. Istirahat di lesnya sekitar tiga puluh menit. Padahal biasanya waktu berjalan cepat, tetapi sekarang berjalan cukup lambat. Violin hanya ingin pulang, dan tidur.
Lalu hidup dimana dunia yang dia inginkan di sana. Sejak dulu impiannya hanyalah tertidur sembari membayangkan hidupnya di dunia lain. Violin sangat suka bermimpi, menurutnya lari dari dunia nyata adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidupnya.
"Hidup itu tidak bisa sesuai yang kita inginkan. Tapi kalau berusaha, mungkin keinginan itu akan terkabul."
"Jadi jalani hidupmu sendiri dengan banyak hal yang menyenangkan. Jangan terus mengurung dirimu sendiri terhadap hal yang yang membuatmu stres. Sedih tidak apa-apa, itu emosi, tetapi terus berkalut dalam kesedihan itu tidak baik."
"Kamu berhak bahagia, tidak sekali, tapi setiap kali. Tidak apa-apa dicap aneh, yang penting kamu bahagia, kebahagiaan itu akar dari semua hal. Jika kamu bahagia, kamu bisa menjalani hari-harimu dengan menyenangkan, bahkan langsung mencapnya sebagai hari terbaik dalam hidupmu. Aku jadi keingat kata-kata Spongebob deh, haha."
"Hidup itu cuma sekali, jalani sebisanya. Tidak apa-apa itu sulit, semua pasti ada solusi dan jalan keluarnya. Jangan menyerah untuk hidup."
Violin tersenyum kecil di tempatnya. Kata-kata Mytha yang berputar di pikirannya barusan. Setelahnya, dia kembali membuka ponselnya dan membaca webnovel kembali. Setidaknya untuk sekarang walaupun dia sendirian, dia baik-baik saja.
Tangan Violin terus bergerak untuk mencatat materi yang ditulis di papan tulis. Sekarang pukul sembilan lebih lima pagi, materi yang diajarkan di kelasnya sekarang adalah fisika. Violin membaca tulisan di papan beserta penjelasan dari guru baik-baik.
Setidaknya walaupun sulit dia bisa memahami materinya.
Namun ekspektasi tidak seindah realita, Violin berakhir tidak terlalu memahaminya dan otaknya seolah berhenti berpikir. Violin menghela nafasnya sejenak lalu menundukkan kepalanya. Dia mengusap dahinya pelan. Tiba-tiba ada sebuah notifikasi dari ponsel miliknya sendiri dan menyala. Violin bisa membaca pesan dan pengirim pesan itu.
Laras SMPN
Ini nomornya Violin?
Lin, aku temen sekelasnya Cakra, barusan dia nyilet tangan
Plis ini gimana?
"Hah?" Hanya itu kata yang keluar dari mulut Violin setelah melihat pesan barusan.
—
—
—
—