— — —


Violin, gadis anti-sosial...Read More >>"> Coneflower (e l f :: hope) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Coneflower
MENU
About Us  

———

 

Violin menghabiskan waktunya di perpustakaan dengan Cakra yang entah datang darimana. Mereka duduk di meja baca bersama. Terkadang sembari membaca buku masing-masing, salah dari mereka akan memulai pembicaraan lalu berbicara satu sama lain hingga lupa waktu. 

 

Namun, Violin mendapat info dari grup kelasnya jika saat pelajaran jam kosong. Karenanya, dia berada di perpustakaan sepanjang waktu masih dengan Cakra—yang entah kebetulan darimana kelasnya juga jam kosong. 

 

Violin tersenyum kecil. Lalu, dia melirik pada temannya di sampingnya. Seperti biasa Cakra menatap buku dengan mata yang dihiasi kacamatanya cukup fokus. Violin mendengus kecil, lalu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. 

 

Dia merasa sangat nyaman. 

 

Saat mengetahui ada seseorang di sampingnya, hati Violin menghangat. Dia merasa tidak sendirian. Walaupun biasanya dia bersama dengan Mytha, tetapi dia tetap membutuhkan sosok nyata di hidupnya. 

 

Violin bersyukur dia adalah Cakra, teman yang paling dekat dengannya walaupun hanya di dunia virtual.

 

Violin menaruh bukunya di meja. Lalu, dia menaruh kepalanya di atasnya. Manik matanya terarah pada Cakra yang ada di sampingnya. Samar-samar senyum terlihat dari bibirnya. 

 

"Makasih." Ujarnya lirih. 

 

Tangannya bergerak ke arah tangan Cakra yang ada di meja. Dia cuma menarik baju di tangan Cakra, tetapi bisa membuat sang pemilik menoleh ke arahnya. 

 

Violin tertawa kecil. "Makasih." Ujarnya lagi. 

 

Cakra hanya menanggapinya dengan tersenyum. Lalu menganggukkan kepalanya. 

 

Sekarang, Violin masih dengan menaruh kepalanya di atas buku. Tetapi, tempat sudah berganti di laboratorium kimia. Jam pelajaran ketujuh sampai ke delapan. Di sampingnya, beberapa anak kelas tengah memperhatikan yang dijelaskan guru di depan. Tetapi, Violin memilih untuk tidak mendengarkannya. 

 

Tatapannya tertuju pada jendela kaca besar di sampingnya. Sebuah pemandangan kelas kakak tingkatnya terlihat. Violin memandanginya dengan mata kosong tanpa ketertarikan sama sekali. Dia hanya melihat aktivitas kakak kelas yang sedari tadi keluar-masuk kelas. 

 

Violin merasa hampa dalam hidupnya. Dia sangat kesepian karena tidak memiliki teman. Hal yang paling dia sukai hanyalah saat dia bisa keluar kelas lalu di perpustakaan bersama Cakra seperti tadi. Tetapi, Cakra bahkan beda kelas dengannya. Selain hal yang dia lakukan dengan Cakra, hidupnya terasa membosankan dan sepi. 

 

Anak-anak kelasnya terkadang membuatnya merasa tidak terlalu nyaman. Violin yang penyendiri dan kesepian hanya bisa bersama dirinya sendiri selama di kelas dan dimanapun. Terkadang menyakitkan jika teman satu-satunya justru meninggalkannya dan memilih orang lain. 

 

Dia merasa patah hati, bahkan perasaan ini lebih sakit daripada patah hati karena menyukai seseorang. 

 

Teman yang tidak tahu apakah bisa disebut teman atau tidak, Aneisha meninggalkannya dan berteman dengan orang lain selain dirinya. Bahkan mereka hanya berteman selama sebulan, tetapi Violin benar-benar merasa kehilangan atasnya. 

 

Dia merasa seolah tidak pantas untuk siapapun. 

 

Ponsel guru kimia berdering menandakan adanya telepon. Setelahnya, guru mengangkatnya dan berjalan keluar dari laboratorium. Beberapa anak di kelasnya langsung menghela nafas lega. Kemudian, orang-orang mulai berbicara satu sama lain, bahkan anak di sebelah Violin juga berbicara dengan anak di sebelahnya. 

 

Violin hanya bisa tersenyum miris, lalu menundukkan kepalanya. Dia sudah terbiasa dengan hal ini. Dia juga ingin berbicara dengan mereka tetapi Violin hanya merasakan ketakutan. Dan terkadang, dia juga merasa tidak cocok dengan mereka. Pada akhirnya, Violin cuma bisa mengepalkan tangannya di atas roknya. 

 

Hari berganti menjadi Senin, seperti biasa upacara diadakan di pagi hari yang cerah dan cukup panas hari ini. Violin dengan topi di kepalanya menatap fokus ke depan. Tetapi terkadang, teman sekelas di depannya tidak bisa fokus dengan upacara hari ini. 

 

Mereka bahkan saling bercanda ria saat upacara. Namun, Violin berusaha untuk mengacuhkannya. Itu bukanlah urusannya, ataupun jika anak-anak kelas mungkin juga dihukum. 

 

Upacara berlangsung dengan khidmat, lalu tanpa sadar sudah di penghujung upacara dimana di akhir upacara terdapat pengumuman siswa-siswi berprestasi. Seluruh barisan dibuat berjongkok ataupun duduk di atas tanah. 

 

Violin memilih duduk karena lelah untuk terus berjongkok. Di sampingnya adalah jejeran teman sekelasnya. Violin menoleh, lalu mendengarkan mereka yang tengah berbicara hal yang tidak dia pahami. 

 

Sampai akhir, tidak akan ada yang menganggapnya ada. Bahkan sejak kemarin, tidak seminggu yang lalu, tidak ada yang mengajaknya berbicara kecuali jika dalam sebuah tugas kelompok. Violin menundukkan kepalanya, menatap ke arah tangannya sendiri. 

 

Dia merasa dirinya cukup sangat menyedihkan sekarang. Dia tidak tahu bagaimana proses bersosialisasi. Dan saat mencoba pun, tanggapan mereka bahkan terasa agak aneh. Seolah mereka tidak sepemahaman. 

 

Violin kesulitan memahami orang lain. Dia tidak peka dalam apapun, dan sangat invidualis. Namun, dia masih menginginkan seorang teman dekat satu kelas yang bisa ada di sampingnya. Lalu, tiap ada tugas kelompok pun akan selalu berbarengan. Tidak seperti biasanya, dimana dia hanya akan mendapat kelompok buangan, ataupun jika pelajaran olahraga dan mengharuskan dua orang, dia berakhir sendirian. 

 

Violin sangat kesepian, tetapi menurutnya mengharapkan seorang manusia adalah hal yang tidak ada gunanya. Karena semua harapan itu hanya berakhir memudar dan meninggalkan bekas rasa sakit. Seperti Aneisha yang meninggalkannya, gadis itu pasti tidak nyaman dengannya. 

 

"Apakah pikiranmu begitu berisik sekarang?" Tanya Mytha tiba-tiba yang entah datang darimana. 

 

Violin menoleh. Dia menemukan Mytha duduk di sampingnya. Sosok teman ilusinya tersebut juga tengah menunduk, bedanya dia bermain dengan tanah di depannya. 

 

Mytha dengan rambut panjang yang elegan. Mata dengan bulu mata dan manik yang begitu cantik. Pipinya yang tirus seolah menggambarkan selembut apa dirinya dari tekstur kulitnya. Kemudian, rambut dress selutut dengan dominasi warna putih. Mencerminkan sesuci dan selembut orang ini bagi hidup Violin. 

 

Manik mata Mytha yang bewarna kecoklatan menatap ke arah Violin. Violin tertegun sesaat. Lalu, dia memalingkan kepalanya. 

 

"Aku tidak tahu." Ujar Violin. "Bagaimana caranya berteman, Mytha?" Lanjutnya. 

 

"Hal yang pertama kau lakukan adalah tidak terlalu banyak berpikir." Jawab Mytha sembari bermain dengan pasir. Dia menjatuhkan pasir yang ada di tangannya di tanah. 

 

"Kenapa?" Tanya Violin, sekarang dia menoleh. Tatapannya penuh dengan tanda tanya. 

 

"Kau terlalu banyak berpikir seolah tahu pikirannya seperti, 'dia berpikir seperti ini' atau 'dia mungkin akan melakukan ini'. Kau tahu terlalu banyak berpikir itu tidak baik. Ini bukanlah pelajaran matematika." Jawab Mytha. 

 

"Lalu?" 

 

Mytha menoleh, tatapannya cukup serius sekarang. "Biarkan semua itu mengalir. Sejujurnya pun, kau tidak tahu apa yang dia pikirkan bukan. Pikirannya ya pikirannya, dan pikiranmu itu pikiranmu. Kau tidak tahu isi pikiran orang lain, karena itu kau juga jangan terlalu memikirkannya. Kau hanya menebak-nebak, dan terkadang tebakan itu salah. Jadi berhenti, kumohon berhenti terlalu banyak berpikir." 

 

Violin memalingkan kepalanya. "Lalu... Apa yang harus kulakukan?" Tatapannya menyiratkan perasaan kebingungan yang menumpuk. 

 

Mytha menghembuskan nafasnya. "Biarkan dunia ini mengalir. Kau tidak tahu masa depan itu bagaimana. Karenanya biarkan saja. Seperti, saat kau memikirkan hal-hal yang membuat Aneisha menjauh darimu, tetapi sebenarnya bukanlah itu alasan dia menjauh darimu. Jadi tidak usah terlalu dipikirkan dan biarkan saja. Jangan terus menerus mencari sebab dan menyalahkan dirimu sendiri. Ini cara kerja dunia." 

 

"Membiarkan setiap hal.. mengalir..." Ujar Violin lirih. 

 

Mytha mengambil salah satu tangan Violin. Lalu, dia menggenggamnya cukup erat. "Kau hanya bisa menerima apapun yang terjadi dalam hidupmu dan tidak terlalu memikirkannya. Masa depan, hanya tuhan yang tahu." 

 

Violin tersenyum kecil, tetapi matanya berkaca-kaca. "Seandainya kamu tidak ada di sampingku, Mytha..." 

 

Mytha tersenyum kecil. Lalu, dia mengelus-elus kepala belakang Violin. Violin menundukkan kepalanya. Satu tetes air mata jatuh ke pelupuknya. Mytha menyadari atas hal itu. 

 

"Tapi, aku sangat kesepian." 

 

"Biarkan aku mengisi rasa sepi dalam dirimu, Cheryl." 

 

 

———

 

 

"Aku bingung memahami orang lain. Apakah karena itu aku sekarang tidak punya teman?" Violin mulai bercerita saat dia sekarang tengah duduk sendirian di kamar mandi. 

 

Mytha menatap ke arahnya. "Tidak memahami seperti apa?" 

 

"Percakapan kita hanya menimbulkan salah paham." Jawab Violin. "Saat aku berbicara seperti ini, dia menangkapnya berbeda. Lalu kita berdua saling bingung dan protes satu sama lain." 

 

Mytha berpikir sejenak. "Kau membicarakan temanmu saat masih di sekolah menengah pertama?" 

 

Violin menundukkan kepalanya. "Benar." 

 

Mytha mengambil nafas sejenak sembari menatap ke arah depan. "Manusia itu rumit, Lin. Kayak labirin tanpa jalan keluar, isi pikiran manusia itu benar-benar kompleks. Kita engga bisa selalu menebak-nebaknya, karena terkadang pun tebakan kita salah." 

 

"Lalu apa yang harus kulakukan? Kenapa temanku dahulu meninggalkanku dengan alasan tidak sepaham denganku?" 

 

Mytha menoleh ke arahnya dengan senyum kecil. "Bukankah itu kembali dalam alur hidup dimana ada fase orang datang dan pergi?" 

 

"Lalu, katakanlah aku masih belum putus hubungan dengannya. Aku bingung. Setiap aku berbicara lalu dia menangkapnya salah aku selalu di judge. Dia bilang aku sulit dipahami, aku juga berusaha memahaminya tetapi aku tidak tahu bagaimana menyikapinya. Aku bingung, apa yang harus kukatakan? Apa hal yang kukatakan membuatnya salah paham? Apa hal yang kukatakan juga menyakiti hatinya? Apakah kata-kataku sebegitunya tidak bisa dipahami? Apa selama ini aku berbeda bahasa dengan orang-orang di sekitarku karena ini? Apa yang mereka harapkan dariku? Apa yang sebenarnya—"

 

Mytha langsung menaruh telunjuknya di bibir Violin. Air mata gadis itu menetes dan jatuh di pelupuknya. Mytha cuma menatapnya sembari tersenyum pelan. 

 

"Kau tidak perlu untuk terlalu memahami manusia seperti itu." 

 

"Aku hanya bingung bagaimana aku bisa menanggapi mereka tanpa membuat mereka kebingungan." 

 

Mytha tersenyum kecil. "Hanya katakan yang ada di pikiranmu." 

 

Violin menghela nafasnya. "Aku lelah dengan semua ini." 

 

"Masa lalu adalah masa lalu. Masa depan itu belum terlihat. Tetapi masa kini, itu yang lebih baik." Mytha memegang bahu Violin. "Lihatlah situasi masa kini." 

 

Violin menatapnya dengan tatapan ragu. "Tapi.. temanku.." 

 

"Dia hanyalah masa lalumu sekarang. Kadang agar kita baik-baik saja, kita harus menghilangkan masa lalu buruk agar di masa kini dan masa depan keadaan kita membaik. Bukan terus menyalahkan diri sendiri karena masa lalu itu." 

 

Violin menundukkan kepalanya. "Aku mengerti.."

 

Mytha menatap ke arah sekitar. Lalu melotot terkejut, "Seseorang datang ke kamar mandi, sadarkan dirimu!"

 

Violin segera memulihkan kesadarannya agar kembali ke dunia nyata. Dan benar, seorang kakak kelas masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah pelan. Tatapannya bertemu dengan kakak kelas tersebut. Violin menundukkan kepalanya sejenak untuk menghormati kakak kelas tersebut. Lalu, dia mengalihkan kepalanya ke arah lain. 

 

Mytha tidak ada di sampingnya. Violin menatap tempatnya tanpa emosi yang jelas. Lalu, dia menghela nafasnya sejenak. Lagi-lagi Mytha meninggalkannya. 

 

 

———

 

 

Sekarang adalah tengah malam, Ayah pulang setelah hampir tiga bulan bekerja di luar kota. Berempat, Violin, Ibu, Celia, serta Ayah makan malam bersama di atas meja. Celia tengah membicarakan sesuatu yang tampak menyenangkan dengan Ibu dan Ayah. Sementara, Violin hanya makan tanpa nafsu.

 

Tatapan Ayah bertemu dengan anak bungsunya. "Violin." 

 

Violin mendongak. Tatapannya yang kosong bertemu dengan tatapan tajam milik Ayah. 

 

"Ayah dengar kau berusaha membunuh dirimu lagi?" 

 

Violin hanya terdiam saat Ayah membicarakan hal yang sudah hampir dua minggu berlalu itu. Ibu menatap ke arahnya dengan wajah lelah. 

 

"Violin sakit, toh itu sudah berlalu." Ibu menjawab.

 

"Kenapa kau bahkan membawanya ke rumah sakit?" Ayah menoleh ke arah Ibu. Tatapannya berubah tajam, Ibu agak ketakutan di tempatnya. "Seharusnya biarkan saja dia hingga mati seperti itu." 

 

"Suamiku! Bagaimana kau bisa mengatakan hal seperti itu?!" Ibu berteriak kencang. 

 

Makan malam berubah menjadi suasana yang mencekam. Violin bisa melihat Celia di tempatnya yang merinding. Begitu pun dengan Violin sendiri, dia juga cukup ketakutan di tempatnya.  

 

"Apakah menurutmu dia bisa sembuh?! Lihatlah dia! Dia bahkan tidak menginginkan untuk sembuh!" Ayah berteriak kencang dengan menunjuk Violin. 

 

"Walaupun begitu dia tetap anak kita! Setidaknya jangan mengatakan hal seperti itu!" 

 

"Kau sendiri juga sudah muak dengannya bukan?! Katakan padaku, Nara! Apakah kau tidak lelah melihatnya yang terus menjadi gila tanpa sebab?!" 

 

Ibu menangis. "Tentu saja aku lelah!" 

 

Violin meneteskan air matanya. Telinganya penuh dengan suara teriakan kedua orang tuanya, karena dirinya. Karena dirinya, Ayah dan Ibu bertengkar hebat seolah rutinitas setiap bulan terus terjadi. Jika tidak ada dirinya seperti yang Ayah katakan, mungkinkah mereka akan lebih bahagia hanya dengan bersama Celia. 

 

Seandainya dia tidak ada di dunia nyata. Sejak awal, dia bukanlah orang yang diinginkan. 

 

Ayah masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Ibu yang menangis terisak di meja makan. Celia bangkit dan menenangkan Ibu, lalu membawanya ke tempat lain. Sementara, Violin masih duduk di tempatnya, termenung. 

 

"Ayah tidak menyukaiku."

 

"Walaupun begitu dia masih mencari nafkah untukmu, setidaknya dia menyayangimu." Mytha tersenyum ke arahnya. 

 

Itu adalah pembicaraan yang sudah cukup lama. Bertahun-tahun berlalu sejak kedatangan Mytha di hidupnya yang mengubah segalanya. Bahkan mengubah keluarganya menjadi sebuah mimpi buruk. 

 

Namun, entah apa yang Ibu, Ayah, ataupun Celia katakan soal Mytha, Violin tidak akan pernah menghilangkan sosok tersebut. Saat Mytha masih dalam kesadarannya, dimana dia bisa mengatur Mytha kapanpun, bahkan menghilangkannya. Violin tidak akan mengambil pilihan tersebut. 

 

Mytha baginya adalah segalanya. Dirinya yang lain. Temannya. Sahabatnya. Orang yang paling mengerti dirinya. Dan selalu ada di manapun. 

 

Saat Violin mulai menyadari jika dia makin masuk ke dalam dan dalam di imajinasinya sendiri, dia bisa bahagia. Di dalam imajinasinya, kehidupan terasa lebih indah. Walaupun mungkin dia hanya berdua dengan Mytha, bermain-main dengannya seperti anak kecil. 

 

Violin merasa bahagia. 

 

Dia ingin terus bisa hidup di dalam imajinasinya lama dan lebih lama dari apapun. Walaupun ini tampak seperti membohongi dirinya sendiri, tetapi Violin tidak peduli akan hal itu. Ketika trauma gangguan kecemasannya turun. Saat dia teringat dengan mata anak-anak yang menatapnya tajam. Dengan mengalihkannya pada imajinasi di pikirannya, maka semua itu akan menghilang. Sirna begitu saja tanpa jejak. 

 

Seperti saat ini, Violin terduduk di depan pintu kamarnya sendiri. Keadaan kamarnya gelap tidak ada penerangan sama sekali. Dia terduduk dengan memeluk lututnya sendiri. Pikirannya berkabut. Seolah-olah kesadarannya tidak ada. 

 

Dan pada saat itu, perlahan seseorang dengan sayap di bahunya turun dari atap. Violin mendongakkan kepalanya. Mytha berdiri tegak di atas lantai dengan tatapan pada Violin. Sayapnya yang transparan menjuntai dari bahunya yang kecil. Bahkan, Violin bisa merasakan gadis itu bersinar. 

 

"Terkadang aku berharap bisa tinggal denganmu di dalam imajinasiku yang ku buat sendiri." 

 

"Kau harus melihat dunia realita, Cheryl."

 

Violin berdiri tegak sembari Mytha berjalan mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kenapa kau meninggalkanku seperti itu?!" 

 

Mytha tertawa kecil di tempatnya. "Itu agar kau melihat dunia nyata, dan tidak terus terhubung dengan duniaku." 

 

"Duniamu adalah dunia buatanku." Air mata Violin lagi-lagi menetes. "Kau adalah karakter yang kubuat!" Dia berteriak, tidak tahu dimana dunia yang dia teriaki sekarang. Entah itu dunia nyata, ataupun dunia imajinasinya sendiri, dia tidak mengetahuinya. 

 

Mytha memegang salah satu pipinya. Sayap di bahunya perlahan menghilang. Violin terisak di tempatnya. Mytha menarik Violin dalam rangkulannya, membiarkan sesosok gadis nyata itu menangis di bahunya, seperti biasa. 

 

"Walaupun orang-orang menganggapku gila aku tidak akan pernah menghilangkanmu dari alam bawah sadarku." 

 

Mytha menarik badannya dan menatap lekat Violin. "Kumohon... Kembalilah ke dunia nyata, Violin." 

 

"Untuk apa?! Aku bahagia berada di sini!" 

 

"Kau cuma membohongi dirimu sendiri." 

 

"Lalu? Apa masalahnya dengan itu?!" 

 

Mytha tersenyum getir. "Kembalilah..." 

 

Setelahnya, kesadaran Violin perlahan menghilang.

 

 

———

 

 

Violin terbangun saat sebuah notifikasi dari ponselnya berdering. Dia menyadari keadaannya sejenak dan menatap ke arah sekitar. Dia berada di perpustakaan, sendirian. Violin mengecek jamnya, pukul 09.30 seharusnya ini sudah masuk sekarang, tetapi saat Violin bisa melihat salah satu anak kelasnya yang ada di perpustakaan, dia mengurungkan niatnya.

 

Tetapi, mata Violin tertuju pada notifikasi pesan dari seseorang. Nama kontak itu 'Aneisha'. Buru-buru Violin segera membuka pesannya, dan mengetik balasan. 

 

Aneisha

Aku boleh lihat tugas matematikamu engga, Lin? 

 

Senyum Violin perlahan menghilang. Dia segera mengetikkan balasan dengan perasaan gusar. 

 

Violin

Iya

/send a picture

 

Aneisha

Makasih

 

Setelahnya, Violin segera meng-home ponselnya. Kemudian, dia melipat kedua tangannya di meja dan menaruh kepalanya di atasnya. Tatapan matanya menatap kosong ke samping. 

 

"Apa aku ada hanya untuk dimanfaatkan?" Dia berbicara lirih pada dirinya sendiri. 

 

Dia menaruh kepalanya makin ke dalam lipatan tangannya, agar tidak terlihat seberapa menyedihkannya dirinya sekarang. 

 

"Aku tidak berguna." 

 

"Kadang aku berpikir jika aku tidak berguna." Kaki Violin melayang-layang ke atas. Tatapan gadis itu tertuju pada kakinya sendiri. 

 

Mytha menoleh ke arahnya. "Terus apa yang kamu mau? Kamu mau dimanfaatkan?" 

 

"Engga seperti itu." Violin menghela nafas. "Cuma kayak.. gimana ya." 

 

"Kamu cuma perlu jadi dirimu sendiri, kenapa kamu mikir engga berguna?" 

 

Violin mengangkat kepalanya dan ngeliat ke samping. Di depan jendelanya, Mytha melayang dengan sayapnya. Bibirnya melengkung senyum ke arahnya. 

 

 

———

 

 

Bersosialisasi itu tidak mudah. Memahami orang lain itu sulit. Tiap manusia memiliki pemikiran, kata-kata, bahkan sikap yang berbeda-beda. Manusia itu sangat kompleks. 

 

Tetapi, beberapa orang masih bisa menyesuaikan hal itu, bahkan mereka bisa cepat menyesuaikan diri dengan manusia lain. Namun, yang lain tidak, seperti Violin. Dia bingung harus menyesuaikan diri dengan manusia lain seperti apa. 

 

Saat dia dan lawan bicaranya saling berbicara, ada dua hal kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, percakapan mereka nyambung, saat seperti bersama Aneisha yang nyambung bahkan satu frekuensi, Violin sangat senang. Dia bahkan merasa, pada akhirnya ada orang yang memahaminya. 

 

Kedua, percakapan mereka tidak nyambung, saat itu Violin akan segera menghentikan percakapan tersebut, atau mungkin lawan bicaranya. Setelahnya, mungkin lawan bicaranya akan mencari orang lain yang lebih sepaham dengannya, dan Violin hanya makin tenggelam di dalam pikirannya sendiri. 

 

Saat mereka tidak sepaham, Violin terkadang berpikir kenapa dia seperti ini. Dia berusaha untuk menyelesaikan diri dengan lawan bicaranya tetapi berakhir dengan judge atau apapun. Terkadang Violin bahkan sangat takut untuk berbicara di dunia nyata karena judge tersebut.

 

Seperti pada teman satu SMP-nya dulu. Awalnya mereka sepaham bahkan satu frekuensi. Namun, lama kelamaan mereka mulai tidak sepaham. Teman satu SMP-nya berkata jika Violin itu tidak bisa dipahami dan memahami orang lain. Pada akhirnya, Violin hanya ditinggalkan dengan menyalahkan dirinya sendiri. 

 

Dia selalu berpikir seperti ini. 

 

"Apa yang harus kukatakan?"

 

"Apa yang harus kubicarakan?" 

 

"Apa sikap yang harus ku tunjukkan?"

 

"Apa wajah yang harus kuperlihatkan?"

 

Dan dari semua pikirannya yang berisik, ada gangguan kecemasan yang membuatnya makin memburuk. Violin akan menyakiti dirinya sendiri. Tertidur sepanjang hari, dan kembali berakhir di dokter psikiater. 

 

Sekarang dia tengah menulis rangkuman dari bab teks hasil observasi yang dijelaskan oleh Bu Wulan di depan. Tatapannya menatap ke arah buku, lalu ke depan, dan bergantian ke buku kembali. Setelah Bu Wulan selesai menjelaskan, Violin mulai berhenti menulis.

 

"Baik anak-anak hari ini, saya ingin kalian terbagi dalam beberapa kelompok. Lalu, mencari teks drama dan menjelaskan bagian-bagian dari struktur, serta kaidah kebahasaan. Baik, ini kelompoknya." 

 

Slide power point berubah. Lalu di sana terdapat beberapa nama dengan kelompok mereka masing-masing. Violin menatap ke arah slide itu tanpa ekspresi. Dia membaca nama-nama anak yang satu kelompok dengannya, Azra, Daniel, Fera, Shafia, Rena. Tidak ada yang akrab dengannya, satu pun, bahkan berbicara pun tidak pernah. 

 

Setelahnya, anak-anak mulai berpindah tempat untuk berkumpul dengan kelompoknya sendiri. Violin juga berpindah dan mencari anak-anak kelompoknya. Setelah ketemu, dia juga mulai duduk di antara mereka. 

 

Daniel mengawali diskusi kelompok mereka. "Baik, ayo cari referensi untuk teks dramanya." 

 

————

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pertualangan Titin dan Opa
2935      1162     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Aku dan Saya
347      194     1     
Inspirational
Aku dan Saya dalam mencari jati diri,dalam kelabilan Aku yang mengidolakan Saya yang sudah dewasa.
Kepak Sayap yang Hilang
59      55     0     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Search My Couple
491      265     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Warisan Kekasih
620      437     0     
Romance
Tiga hari sebelum pertunangannya berlangsung, kekasih Aurora memutuskan membatalkan karena tidak bisa mengikuti keyakinan Aurora. Naufal kekasih sahabat Aurora mewariskan kekasihnya kepadanya karena hubungan mereka tidak direstui sebab Naufal bukan seorang Abdinegara atau PNS. Apakah pertunangan Aurora dan Naufal berakhir pada pernikahan atau seperti banyak dicerita fiksi berakhir menjadi pertu...
Premium
RESTART [21+]
4456      2137     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.
Camelia
539      291     6     
Romance
Pertama kali bertemu denganmu, getaran cinta itu sudah ada. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai maut memisahkan kita. ~Aulya Pradiga Aku suka dia. Tingkah lakunya, cerewetannya, dan senyumannya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tak ingin menyakitinya. ~Camelia Putri
SOSOK
84      75     1     
Horror
Dunia ini memang luas begitu pula seisinya. Kita hidup saat sendiri namun bersama sosok lain yang tak terlihat. SOSOK adalah sebuah cerita yang akan menunjukkan sisi lain dunia ini. Sebuah sisi yang tak terduga dan tak pernah dipikirkan oleh orang-orang
Air Mata Istri Kedua
90      79     0     
True Story
Menjadi istri kedua bukanlah impian atau keinginan semua wanita. Begitu juga dengan Yuli yang kini telah menikah dengan Sigit. Seorang duda yang dia kenal satu tahun lalu. Pernikahan bahagia dan harmonis kini justru menjadi bencana bagi Yuli saat dia mengetahui jika Sigit sebenarnya bukanlah seorang duda seperti yang dia katakan dulu. Pria yang diketahui bekerja sebagai seorang pelayan di seb...
Perverter FRIGID [Girls Knight #3]
1088      447     1     
Romance
Perverter FIRGID Seri ke tiga Girls Knight Series #3 Keira Sashenka || Logan Hywell "Everything can changed. Everything can be change. I, you, us, even the impossible destiny." Keira Sashenka; Cantik, pintar dan multitalenta. Besar dengan keluarga yang memegang kontrol akan dirinya, Keira sulit melakukan hal yang dia suka sampai di titik dia mulai jenuh. Hidupnya baik-baik saj...