———
Setelah Aneisha yang meninggalkan dirinya, Violin kembali dengan rutinitas yang menurutnya membosankan. Perasaannya diliputi rasa kekosongan dan hampa. Bahkan terkadang, hal itu membuat gangguan kecemasan miliknya kambuh, dan berakhir sering absen di sekolah.
Saat di rumah, Violin melupakan semua tugasnya dan melarikan diri dengan hanya terus tertidur. Dia membuat sebuah fake scenario bersama Mytha, dan hidup di dalamnya. Hal itu dia lakukan setiap dia tidak masuk sampai-sampai Ibu memarahinya.
Kembali pada psikiater, Violin hanya bisa terdiam. Dokter berharap gadis yang dia temui bertahun-tahun itu berbicara, tetapi tidak ada jawaban dari Violin. Semua hal berakhir tidak ada artinya, dan lagi-lagi Ibu memarahinya.
"Sampai kapan kamu mau seperti ini?!"
Violin terdiam di tempatnya. Sampai kapanpun. Jawabnya di dalam hatinya.
"Kau tidak bisa terus kabur dan absen sekolah seperti ini!"
Aku berharap bisa kabur dan menghilang dari dunia ini, aku sangat berharap bisa seperti itu. Jawab Violin lagi.
"Jika nilaimu hancur karena semua ini! Ibu tidak akan memaafkanmu!"
Tidak usah maafkan aku dan bunuh saja aku, Ibu. Violin makin menundukkan kepalanya.
"Ibu ingin kau sekolah besok! Ibu tidak menerima alasan lagi!"
Setelah mengatakan itu, Ibu berbalik lalu berjalan pergi dari ruang tengah. Violin terdiam di tempatnya cukup lama. Dia terdiam di sana seperti patung.
Pikiran Violin mengerumuni dirinya. Ada banyak suara-suara memenuhi telinganya. Membuatnya tuli di dunia nyata karena tidak mendengar apapun. Kemudian, pandangannya mulai terasa aneh. Dia melihat kata-kata dimana-mana. Kata-kata itu terlampau banyak dan menghilang lalu muncul, membuat Violin kebingungan di tempatnya.
"Dasar bodoh." Itu sebuah suara.
"Hal terpenting dari pertemanan adalah kenyamanan. Sayang sekali tidak ada yang nyaman berteman denganmu."
"Apa yang akan orang-orang pikirkan tentangmu?"
"Pada akhirnya kau cuma ditinggalkan seperti orang bodoh!"
"Tidak akan ada orang yang menyelamatkanmu."
Kemudian tulisan-tulisan itu.
Tidak ada yang berharap padamu.
Kasihan, tidak punya teman.
Semua orang sangat kecewa terhadapmu.
Kau hanya membuat orang lain kecewa.
Anti-sosial yang bodoh.
Bodoh.
Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh Bodoh
Violin ketakutan di tempatnya. Dia mundur selangkah. Seluruh tubuhnya gemetaran karena semua suara dan visual itu.
Mytha, Mytha. Violin mulai memanggil teman ilusinya tetapi tidak ada jawaban apapun.
"Sampai akhir yang kau lakukan hanyalah berdelusi!"
Dasar bodoh.
Violin berlari seperti orang ketakutan ke arah kamarnya sendiri. Dia langsung menutup bahkan mengunci pintunya. Kemudian, dia terduduk dengan tubuh yang gemetaran di kamar. Selanjutnya, kedua tangannya dia gunakan untuk menutup telinganya. Matanya terpejam agar visual-visual tersebut hilang.
"Bunuh dirimu sendiri."
Mata Violin langsung terbuka. Suara itu terdengar mengerikan tetapi merupakan sebuah solusi dari permasalahannya selama ini.
"Bunuh dirimu sendiri yang bodoh dan tidak percaya diri itu!"
Disusul dengan tulisan yang membuat matanya tidak bisa membedakan hal yang nyata ataupun ilusi.
Bunuh dirimu sendiri.
Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri Bunuh dirimu sendiri
Violin kehilangan seluruh kesadaran dalam dirinya. Dia berdiri dari tempatnya sekarang. Lalu, berjalan ke arah meja belajar yang tidak terlalu jauh darinya. Tangannya menarik laci dan memperlihatkan sebuah kotak pensil.
Dia mengambil kotak pensil tersebut. Lalu, membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah cutter yang selama ini dia sembunyikan. Violin menatapnya dengan tatapan kosong, dan mengambilnya.
Dia juga mengangkat tangannya yang lain. Lalu, memundurkan lengan baju yang ada di sana. Violin mulai memposisikan tangan satunya yang memegang cutter di atas lengan miliknya.
Srak!
Sebuah garis merah terlihat jelas di sisi lengannya yang hampir dekat dengan siku. Tidak terlalu dalam tetapi agak menyakitkan. Namun walaupun menyakitkan, Violin bisa merasakan sebuah rasa lega di hatinya.
Srak!
Dia menyayat lagi di atas sayatan tadi. Masih berupa garis biasa. Tetapi Violin merasa cukup puas.
Srak!
Srak!
Dia terus menyayat dimanapun tempat di lengannya. Sampai akhirnya lengannya penuh dengan bercak garis-garis kemerahan. Violin tidak merasakan rasa sakit saat cutter menikam dirinya. Justru perasaan lega mendominasinya. Dia merasa seluruh isi pikirannya hilang setelah melakukan hal itu.
Setelah lengannya selesai, cutter mulai dia arahkan pada pergelangan tangannya. Tepat di atas nadi miliknya. Violin agak ragu untuk bergerak, tetapi dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk melakukan itu.
Dia percaya setelah menyayat nadinya dia akan mendapat kebebasan.
"VIOLIN!!!"
Violin menoleh ke belakang. Lalu, dia langsung dipeluk dengan kencang oleh sesosok di depannya. Itu Mytha, dan sekarang dia tengah memeluk dirinya dengan cukup erat.
"Mytha.." Violin memanggil pelan sosok berharga di hidupnya yang menghilang seharian ini.
Mytha menangis di dalam pelukannya. "Apa yang kau lakukan sekarang! Jatuhkan cutter itu!" Teriaknya tanpa mengubah posisinya.
Violin tersenyum getir. "Mytha kau menyelamatkanku.."
"Aku datang karena alam bawah sadarmu, bodoh! Jatuhkan cutter itu!" Teriak Mytha kembali.
Violin menjatuhkan cutter yang dia pegang ke bawah. Hatinya menghangat saat Mytha yang memeluknya saat ini. Namun di sisi lain dia juga kebingungan. Dunia mana yang dia pijaki saat ini?
Violin menyadari sesuatu saat masih membiarkan Mytha menangis di pelukannya. Sosok teman ilusinya itu memiliki sebuah sayap dari bahu belakangnya. Violin mengarahkan tangannya pada sayap itu, tetapi dia tidak bisa merasakan apapun. Seolah sayap itu transparan.
Setelahnya, Mytha menarik kepalanya. Mereka berdua saling bertatapan sejenak. Kemudian, Mytha menundukkan kepalanya. Kedua tangan gadis itu memegang erat tangan Violin yang hangat.
"Jangan pernah membunuh dirimu sendiri. Jangan pernah melakukannya!" Teriak Mytha.
"Kenapa?" Violin menanyakan alasan.
"Jika kau mati aku juga mati! Mengerti?!"
Violin menatap Mytha dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Apa salahnya dengan itu?"
Mytha menarik tangan Violin dan menggenggamnya erat. Dia menaruh genggaman tangannya dan milik Violin diantara mereka.
"Aku Mytha! Teman ilusimu! Sosok lain yang ada dalam dirimu, bukan. Aku, dirimu sendiri. Sisi lain dari dirimu yang tidak menginginkan kematian!!" Teriak Mytha sekuat mungkin.
Violin tersadar atas kata-kata Mytha barusan. Sosok lain dari dirinya? Sejak awal, Mytha hanyalah dirinya sendiri.
"Aku mohon tetaplah hidup, aku tidak ingin mati. Kumohon."
Apakah itu artinya selama ini dia berteman dengan dirinya sendiri? Sejak dahulu dia hanya berbicara pada dirinya sendiri? Mytha hanyalah dirinya sendiri. Apakah jika dia menyayangi Mytha, itu artinya dia menyayangi dirinya sendiri?
Sejak awal, dia membuat skenario dengan dirinya sendiri? Selama ini dia berusaha menyelamatkan dirinya sendiri?
Kenapa dia baru menyadarinya sekarang?
"Violin!" Mytha memanggilnya.
Violin sadar dari lamunannya, lalu menatap ke arah Mytha di depannya.
Mytha tersenyum getir. "Jangan pernah membunuh dirimu sendiri." Mytha perlahan menghilang dari pandangannya.
Kemudian, Violin membuka matanya. Dia tengah duduk di depan meja belajar miliknya. Violin menoleh ke samping. Dia menatap banyak bercak-bercak darah di lantainya. Violin mengernyitkan dahinya bingung asal darah tersebut. Kemudian saat dia melihat ke arah lengannya sendiri, dia baru menyadarinya.
"Violin." Celia masuk ke dalam kamar Violin. Namun setelah melihat Violin, Celia terkejut hingga duduk di tempatnya.
"Vi, Violin! Kenapa kau berdarah-darah seperti itu?!" Teriak Celia.
Keadaan Violin begitu mengenaskan dengan lengannya yang penuh darah mengalir. Tidak hanya di karpet kamar. Darah Violin juga mengalir di bajunya bahkan wajahnya sendiri.
Ibu berlari lalu terhenti tepat di depan kamar Violin. Matanya melotot terkejut melihat keadaan anaknya yang begitu berantakan. Namun, Violin sudah tidak bisa melihat orang yang mengkhawatirkannya lagi karena tiba-tiba matanya terpejam.
"Violin!"
———
Violin dilarikan ke rumah sakit dan rawat inap selama hampir tujuh hari. Pendarahan di tangannya cukup fatal. Bahkan dia memerlukan donor darah. Celia sebagai kakaknya yang memiliki darah dengan tipe yang sama mengajukan diri. Selanjutnya, dia mendonorkan darahnya untuk Violin yang tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit di seberangnya.
Waktu berjalan dengan perlahan. Violin berada di rumah sakit hampir tiga hari. Dia diperbolehkan pulang setelah tujuh hari di rumah sakit. Sekarang Violin tengah memperhatikan televisi yang membosankan. Matanya yang kosong menatap ke arah layar televisi yang menampilkan sebuah berita kecelakaan.
Celia duduk di sebuah kursi yang ada di samping ranjang milik Violin. Kakak gadis itu menatap ke arah adik semata wayangnya dengan tatapan yang cukup sedih. Sementara, Violin menganggap Celia tidak ada di sana, dia masih terus memperhatikan televisi.
"Mengapa kau berakhir seperti ini lagi, Violin?" Tanya Celia.
Pada akhirnya Violin memilih untuk mematikan televisi membosankan tersebut. Pandangannya masih menatap ke depan, dia tidak menoleh ke arah kakaknya sama sekali.
"Entahlah." Jawabnya.
Celia menghembuskan nafasnya. "Ini sudah cukup lama, Violin."
"Lalu?"
Celia menatap ke arah lain dengan tatapan sendu. "Sejak hari kau didiagnosis delusi dan gangguan kecemasan."
Violin akhirnya menoleh ke arah Celia. "Kenapa tiba-tiba mengingatkan itu?"
"Aku hanya tidak percaya kau bisa berakhir sangat buruk sejak hari itu. Aku meremehkannya..."
Violin hanya menatap ke arah Celia dengan kosong. "Aku bukanlah orang yang kuat, Kak."
Celia mendongak, "Aku—"
"Kita berbeda."
Celia terdiam setelah mendengar kata-kata Violin.
"Walaupun kau adalah kakakku, kita menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Di luar sana, banyak orang yang mengagumimu, berteman denganmu. Membuat hidupmu seolah itu adalah hari yang sangat menyenangkan."
"Vi—"
"Aku bukanlah orang yang seperti itu, Kak. Sejak dahulu, aku hanya akan mengisolasi diriku sendiri. Aku terlalu takut untuk melihat orang-orang, tidak sepertimu yang bisa begitu santai berbicara dengan orang lain. Kita berbeda, dan aku tidak tahu apakah kata-kata nasehat darimu dapat membantuku. Terutama nasehat untuk berhubungan dengan orang lain yang seperti biasa kau bicarakan."
Celia terdiam lalu menunduk. Terdengar isakan tangis darinya. "Aku.. hanya mengkhawatirkanmu.. sebagai seorang kakak... Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membantumu.. Aku tidak bisa memahamimu, Violin."
Violin menatap ke depan dengan kosong. "Sejujurnya aku juga tidak memahami diriku sendiri."
Celia berdiri dari tempatnya, kemudian berjalan ke arah pintu kamar dan keluar. Violin bisa melihat sebuah air mata kecil dari pipi kakaknya. Setelah pintu tertutup, hanya ada sebuah keheningan.
Violin menatap ke arah langit-langit kamar yang gelap. Ini masih siang hari, karenanya dia tidak menyalakan lampu. Violin menatap ke arah jendela yang cukup jauh dari posisinya. Namun, matahari sudah tidak menampakkan dirinya lagi.
Siang hari ini tampak seperti malam yang sepi.
"Aku membenci diriku sendiri..." Ujarnya pelan.
Violin melamun sendirian di atas kasurnya. Badannnya menyamping, matanya mengarah ke depan dengan kosong. Salah satu tangannya diperban dari pergelangan tangan sampai hampir siku tangan. Itu adalah bekas cutter kemarin yang mengeluarkan banyak darah dan membuatnya pingsan.
Violin mendengus kecil sembari memegang pergelangan tangannya yang diperban. "Seharusnya aku juga memotongnya di sini..."
"VIOLIN ADA APA DENGANMU?! SETELAH GANGGUAN KECEMASAN KAU MEMILIKI DELUSI JUGA?!"
"Sampai kapan kamu mau seperti ini?!"
"Jika nilaimu hancur karena semua ini! Ibu tidak akan memaafkanmu!"
"Kau tidak bisa terus kabur dan absen sekolah seperti ini!"
"Jika nilaimu hancur karena semua ini! Ibu tidak akan memaafkanmu!"
Air mata Violin menetes dan membasahi pipinya sendiri. Dia masih menatap ke arah tangannya yang diperban.
"Untuk apa.. aku hidup.. jika pada akhirnya aku sendirian seperti ini.."
Violin menundukkan kepalanya. Dia memejamkan matanya sesaat hingga air matanya kembali menetes.
"Aku tidak berguna..."
Tiba-tiba terdengar sebuah notifikasi dari ponselnya di meja nakas. Violin membalik badannya. Matanya yang sembap menatap ke arah ponsel miliknya sendiri.
Siapa... yang menghubungiku saat ini? Dia berpikir.
Itu tidak mungkin salah satu anak kelas kecuali Lina, sekertaris kelas yang menanyakan alasan dirinya tidak masuk. Tetapi, dia sudah memberitahu jika dia diopname dahulu, seharusnya dia tidak menghubungi lagi. Kemudian Aneisha, dia tidak akan pernah menghubunginya setelah hubungan mereka putus. Violin terperanjat saat mengingat wali kelasnya yang mungkin menghubunginya. Dia takut untuk berbicara pada wali kelasnya tentang kondisinya.
Namun pada akhirnya, Violin tetap mengambil ponselnya. Dia terlanjur ingin tahu siapa yang menghubungi dirinya disaat terpuruk. Violin tersenyum kecil memikirkannya, entah apapun notifikasi itu berasal, dia senang karena bisa membuatnya mengalihkan pikiran-pikiran yang mengganggunya selama beberapa hari terakhir.
Cakra: Heh, kau masih di rumah sakit?
Violin mematung di tempatnya sejenak. Entah mengapa hatinya menghangat saat membaca sebuah pesan di lockscreen ponselnya sekarang. Seseorang menghubunginya dan menanyakan hal tentang dirinya.
Bagaimana Violin bisa melupakan jika dia memiliki Cakra?
Violin tersenyum hangat di tempatnya sekarang. Walaupun kamar terlampau gelap karena lampu tidak menyala dan pintu tidak terbuka. Namun sekarang, dirinya bersinar karena rasa hangat yang dia rasakan pada dirinya sendiri. Orang yang begitu berarti baginya, saat ini tengah mengirimkan pesan padanya.
Violin segera membuka sandi ponselnya. Kemudian, jari lentiknya bergerak untuk memencet aplikasi chatroom. Setelahnya, dia bisa melihat banyaknya pesan spam dari Cakra selama beberapa hari terakhir. Violin agak merasa bersalah padanya, sejak dia mencari cara bunuh diri di internet, Celia mengambil ponselnya dan menyembunyikannya cukup lama. Namun, hari ini akhirnya dia mengembalikan ponselnya.
Pesan itu dimulai pada tanggal 12 September. Hari saat dia menyayat lengannya sendiri.
Cakra
Heh
Halo?
Apakah saya dighosting sekarang?
Woi Violin
Hehhh
Aku mau nanyain tugas math
Kau udah belum?
Lalu, tanggal 13 September. Hari saat dia dibawa ke unit gawat darurat dan kritis karena kehilangan banyak darah. Kemudian, Celia mendonorkan darah untuknya.
Cakra
Gila lu ngacangin gw kah?
Woiiiii
Lu marah kah?
Gegara anak-anak pada ngolokin kita?
Hehhh
Gimana hubunganmu sama Aneisha juga?
Woii Linnnn
Setelahnya, tanggal 14 September. Hari saat dia mulai di rawat inap. Violin ingat hari itu dia mengaktifkan fitur jangan ganggu di ponselnya. Karenanya dia tidak tahu jika Cakra mengiriminya banyak sekali pesan. Juga, hari itu saat dia mencari cara bunuh diri kembali di internet. Celia yang mengetahuinya langsung menyita ponselnya dalam kurun waktu yang lama.
Cakra
Violin
Lin
Lin
Aku baru sadar ternyata kau ga masuk akhir-akhir ini
Tadi aku ke kelasmu nyariin
Katanya kau ga masuk udah hampir empat hari
Mereka bilangnya kau sakit
Kau sakit apaa????
Apa gegara itu kau ga bales sama sekali?
Tolong gih jawab kalau udah ga sakit lagi
Khawatir soalnya
Violin tertawa kecil saat membaca pesan terakhir dari Cakra pada tanggal tersebut. Dia sangat senang. Terdapat orang yang mengkhawatirkannya, Violin cukup senang.
Kemudian ada banyak pesan yang dikirim dari Cakra sendiri. Bahkan totalnya bisa sampai seratusan. Cakra membicarakan banyak hal. Entah apa yang terjadi di sekolah, atau kucing yang dia miliki, tentang film yang dia lihat, bahkan keluhan dirinya terhadap tugas-tugas yang menumpuk. Dia terus mengirim pesan bahkan saat Violin tidak menjawabnya.
Mungkin bagi beberapa orang ini menganggu, tetapi tidak bagi Violin. Dia cukup nyaman diberikan banyak pesan terutama pada temannya yang begitu berharga, Cakra.
Tiba-tiba Cakra bersatus online, dan Violin menyadari jika dia hanya membaca pesan darinya.
Cakra
Wah gila
Sekarang pesanku hanya dibaca
Apakah sekarang hubungan pertemanan kita selesai?
Buru-buru Violin langsung mengetikkan balasan.
Violin
Engga gitu
Aku baru aja baca pesan-pesan yang kamu kirim akhir-akhir ini
Aku punya niat membalasnya kok
Cakra
Heleh
Bilang aja mau unfriend
Violin
Kamu kok gitu seh?
Cakra
Lupain
Gimana keadaanmu?
Violin
Parah
Cakra
Hah?
Parah gimana?
Emang kau sakit apaan sih tiba-tiba ga masuk hampir semingguan ini
Violin
Rahasia
Cakra
Serah serah_-
Sumpah serah
Violin
Engga engga
Jadi gini
Cakra
Gimana?
Kau sakit apaan?
Sakitnya serius kah?
Kok dari dulu ga pernah bilang?
Tahu gitu aku gaakan pernah buli deh, soalnya dosa buli orang sakit
Violin
-_-
Aku masih mau cerita kok ketikanmu banyak banget
Cakra
Sakit apa?
Anxiety mu kambuh lagi kah?
Violin
Gimana ya jelasinnya
Kayaknya hampir depresi sih soalnya aku suicide gitu
Cakra
Hah?
Heh
Kau ngapain?
Violin
Aku baru ngerasain nyayat tangan
Seru juga ternyata
Cakra
Gila
Kenapa kok suicide?
Kamu self harm?
Violin
Huum
Ga kerasa ternyata lenganku berdarah banyak
Terus dibawa ke rumah sakit deh
Cakra
Terus?
Keadaanmu gimana?
Violin
Awalnya aku kritis soalnya darahku ngalir banyak
Tapi Kak Celia akhirnya donorin darahnya
Jadi aku bisa hidup lagi deh
Cakra
Dari typing-mu kau kelihatan santai banget ngomongin ginian
Violin
Oiya dong
😎😎😎😎😎
Cakra
Sia-sia ternyata aku khawatir
Bahkan ke kelasmu langsung diteriakin pacar-pacar kek apa banget dah
Violin
Risih?
Cakra
Udah biasa sih sebenernya
Violin
Kayaknya aku perlu dua nomor deh
Cakra
Kenapa?
Violin
Mau kabur sejenak dari dunia sekolah
Terus di nomor satunya cuma nge-chat kau deh
Aku seneng
Cakra
Apa bisa kabur coba
Seneng kenapa?
Violin
Ternyata aku punya temen
Cakra
....
Kau ngelupain aku kah?
Violin
Ya maap teman:D
Cakra
Tch
Dasar bocah prik
Aku aja dilupain
Violin
Kan dibilangin aku minta maafff
Cakra
Iyh
Aku off dulu
Ada guru masuk soalnya
Violin
Okei
Cakra
Jaga kesehatan jangan self harm lagi
Violin tersenyum hangat di tempatnya saat membaca pesan terakhir dari Cakra. Kemudian, dia mematikan ponselnya. Lalu, saat dia menaruh ponselnya kembali di meja nakas, terdapat sebuah mata yang memperhatikan dirinya.
"Mytha, kau menghilang kemana saja akhir-akhir ini?" Tanya Violin.
Mytha yang berdiri di sudut ruangan berjalan maju ke arah ranjang Violin. Lalu, dia duduk di samping ranjangnya. Mata Mytha terus menatap lurus ke arah Violin.
"Bagaimana keadaanmu?"
Violin tersenyum. "Aku baik-baik saja."
Mytha memiringkan kepalanya. Matanya menatap Violin dengan menyelidik. "Benarkah?"
"Aku senang bisa bertemu denganmu setelah sekian lama. Makanya sekarang keadaanku baik-baik saja." Jawab Violin. Lalu, dia menatap ke arah lain dengan kosong. "Aku tidak tahu keluargaku mengkhawatirkanku atau hanya gengsi, tetapi kata-kata mereka tidak bisa masuk ke kepalaku."
"Bagaimana bisa seperti itu?"
"Ya mau bagaimana lagi coba?"
Mereka berdua saling bertatapan cukup lama. Sampai akhirnya, Mytha memalingkan kepalanya.
"Kapan kau akan keluar dari rumah sakit?"
"Sekitar 3 hari mungkin."
Mytha menghembuskan nafasnya. Lalu beranjak dari tempatnya. "Ya sudah cepat sembuh." Dia berbalik.
"Kau hendak meninggalkanku lagi?"
Mytha menoleh ke belakang. "Lebih baik jaga dirimu dahulu, jangan terlalu sering daydreaming." Setelahnya, Mytha berjalan dan langsung menghilang dari ruangan.
Violin menatap tempat Mytha berada dengan wajah agak sedih.
"Tampaknya aku tidak bisa selalu memanggilnya mulai sekarang."
————
Violin keluar dari rumah sakit sekitar tiga hari setelahnya. Keadaan fisiknya sudah cukup membaik, bahkan masalah mentalnya sudah teratasi. Seperti biasa Violin akan mengonsumsi obat dari psikiaternya setiap saat. Dan esoknya dia hendak kembali untuk bersekolah.
Di sekolah tidak banyak yang berubah. Justru nampak seperti biasanya. Dia sudah memikirkannya, teman sekelasnya tidak ada yang peduli padanya. Toh juga Violin anti-sosial, dia tidak terlalu akrab dengan anak-anak sekelasnya sendiri.
Pada akhirnya, ada atau tidaknya dia semua terlihat sama saja.
Violin cukup bersyukur duduk di sebelah jendela kelas. Saat melamun, dia akan menatap ke arah jendela. Tatapannya tertuju pada kelas X-1 sampai X-4 yang ada di bawah. Bahkan aktivitas dari beberapa anak di sana juga dia lihat.
Keadaan mental Violin sudah cukup membaik, tetapi sekarang dia mengalami rasa kesepian yang berkepanjangan. Karena anti-sosial, Violin tidak bersama teman pada umumnya karena dia sendiri tidak punya. Jika bebarengan dengan kelompok Sarah, Violin merasa tidak cocok.
Kehidupannya yang monoton kembali. Violin berangkat ke sekolah, pelajaran, diberi tugas, istirahat, pelajaran lagi, lalu tiba-tiba sudah pulang. Di rumah pun Violin hanya bisa melamun sendirian di kamar, ataupun bermain dengan ponselnya. Mytha meninggalkannya selama beberapa hari. Bahkan saat Violin memanggil sosok teman ilusi tersebut, Mytha sama sekali tidak datang.
Violin sangat kesepian.
Lalu sekarang saat istirahat pertama, Violin beranjak dari tempat duduknya. Tujuannya adalah perpustakaan sekolah. Dia sudah tampak menyedihkan berkali-kali berada di kantin sendirian. Karenanya, sekarang dia memilih untuk membaca di perpustakaan.
Violin berjalan diantara rak-rak buku filsafat. Dia mengambil buku, melihatnya sebentar, lalu mengembalikannya lagi. Dia terus melakukan hal tersebut hingga menemukan buku yanh cocok dengannya. Namun setelah buku itu diambil, Violin bisa melihat mata seseorang dari rak sebelah.
Dia sepertinya kenal manik mata tersebut.
Tanpa sadar Violin menatap ke arah manik mata yang tengah mencari buku. Sadar karena terus ditatap, pemilik mata tersebut juga menatap ke arahnya. Violin salah tingkah karenanya lalu memalingkan kepala.
"Violin?"
Violin agak kenal dengan pemilik suara itu. Setelahnya, mereka berdua sama-sama berjalan keluar dari rak. Kemudian, saling berhadapan dengan wajah terkejut.
"Oh, Mada?" Violin akhirnya mengingatnya, itu Mada teman sekelasnya sendiri.
Mada tersenyum hangat. "Oh, ternyata bener Violin. Nyariin buku apa?"
"Oh, itu cuma buku filsafat." Jawab Violin dengan tersenyum getir.
"Oit! Mada! Ayo!" Teriak seseorang dari kejauhan.
Mada menoleh ke arah temannya sembari berteriak. Lalu, menatap ke arah Violin kembali. "Maaf Lin, aku pergi dulu ya."
Violin hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, Mada berlari ke arah salah satu temannya yang ada di pintu perpustakaan. Kemudian, mereka melangkah pergi. Dari belakang Violin tiba-tiba ada yang memegang bahunya.
"Eh, Cakra?"
———