— — —


Violin, gadis anti-sosial...Read More >>"> Coneflower (f ü n f :: imaginary friend) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Coneflower
MENU
About Us  

"Dia hanya teman yang kubuat. Teman khayalan."

 

———

 

 

Violin masuk ke dalam kamarnya. Lalu, dia menemukan Mytha yang duduk di atas lantai kamarnya. Mytha tersenyum kecil, kemudian dia beranjak berdiri. Mytha menyatukan kedua tangannya di belakang tubuhnya sembari tersenyum senang. 

 

"Aku suka di sini, Lin. Kamu punya rumah yang bagus ya." Ujarnya. 

 

Violin masuk ke dalam kamarnya. Lalu, dia menutup pintunya. Setelahnya, dia berhadapan dengan Mytha yang ada di depannya. 

 

"Mytha.. Kamu tahu hal ini?" Tanya Violin. 

 

Mytha menatapnya dengan mata polos. "Tahu apa, Lin?" 

 

Violin menunduk sejenak. "Kalau kamu engga nyata." 

 

Mytha menggeleng. "Aku tidak tahu." 

 

Violin mendongak dengan terkejut. "Kamu tidak tahu?" 

 

Mytha mengangguk. "Aku bingung. Kok bisa ya?" 

 

Violin mengernyitkan dahi. "Maksudmu?" 

 

"Ya. Aku sendiri tidak tahu, Lin. Aku juga tidak paham." Jawab Mytha. 

 

"Sejak kapan kamu hidup? Maksudku, apa hal pertama yang kamu lihat waktu mulai ada di dunia ini?" Tanya Violin. 

 

Mytha berpikir sejenak. "Hal pertama yang kulihat?" 

 

Violin mengangguk. 

 

Mytha teringat lalu tersenyum lebar. "Waktu kamu menangis di hutan! Itu hal paling pertama yang kulihat!" 

 

Violin menatapnya dengan wajah sedih. "Aku orang pertama yang kamu lihat?" 

 

Mytha mengangguk antusias. "Iya! Orang yang pertama ku lihat waktu itu kamu!" 

 

Air mata Violin keluar lalu menetes dari wajahnya. Mytha terkejut dibuatnya. Dia mendekati Violin dengan wajah khawatir. 

 

"Violin ada apa? Kenapa kamu sedari kemarin terus menangis?" 

 

 "Kamu.. benar-benar orang yang ku buat dari pikiranku sendiri.." Ujar Violin lirihnya. 

 

"Apa maksudnya? Aku tidak memahamimu sama sekali! Kumohon jangan menangis." 

 

Mytha menarik Violin lalu memeluknya cukup erat. Violin bisa merasakan dengan nyata tubuh Mytha yang memeluknya sekarang. Bahkan, saat dia membalas pelukan Mytha, semuanya terasa nyata. 

 

Namun, nyatanya semua itu hanya imajinasinya. 

 

"Aku tidak pernah mengharapkan hal ini." Ujar Violin dengan tangisannya. 

 

"Apa yang kamu harapkan, Violin?" Tanya Mytha. 

 

"Aku tidak pernah berharap diriku akan menjadi semenyedihkan ini.." 

 

 

———

 

 

"Jadi maksudmu, aku itu cuma teman yang kamu buat sendiri? Apa itu artinya aku bukan manusia?" Tanya Mytha. 

 

Sekarang, mereka berdua duduk di lantai dingin kamar Violin. Violin duduk bersandar dengan ranjang tidurnya. Sementara, Mytha duduk di sebelahnya. Wajahnya yang polos dan ingin tahu, tengah mendengarkan penjelasan dari Violin. 

 

"Mungkin seperti itu. Kakak bilang jika teman khayalan dapat ada dengan beberapa bentuk yang aneh tergantung dari pemiliknya. Namun entah kenapa, alam bawah sadarku benar-benar membuatmu seperti sosok manusia." 

 

Mytha mengangguk-angguk mengerti. "Lalu, apa maksudmu dengan aku yang tidak nyata?" 

 

"Cuma aku yang bisa melihatmu." 

 

Mytha memiringkan kepalanya. "Cuma kamu, Violin?" 

 

Violin mengangguk. "Karena kamu teman khayalanku. Kamu itu cuma ada di pikiranku, kamu engga ada di dunia nyata." 

 

"Jadi aku tidak terlihat oleh orang lain, begitu?" 

 

"Iya." Jawab Violin. Kemudian, tangannya bergerak untuk menyentuh wajah Mytha. Dia bisa merasakan pipi Mytha yang cukup dingin, bahkan terasa lembut di tangannya. 

 

"Tapi kenapa kamu terasa nyata bagiku?" Ujar Violin pada dirinya sendiri. 

 

"Violin." Panggil Mytha. 

 

Violin sadar pada dirinya sendiri. Lalu, dia menundukkan kepalanya. "Ibuku bilang kamu harus kuhilangkan. Karena kalau engga gitu, bisa-bisa aku delusi parah bahkan engga bisa membedakan mana nyata mana bukan. Aku terus disuruh sadar kalau kamu itu engga nyata, jadi aku masih bisa membedakannya." 

 

Mytha terdiam sejenak, lalu bibirnya melengkung senyum. "Syukurlah jika kamu masih sadar, Violin. Keadaanmu mungkin akan membaik!" 

 

"Tapi aku engga mau pisah darimu!" Ujar Violin dengan nada meninggi. Dia menundukkan wajahnya lesu. "Aku engga mau pisah darimu, sama sekali, Mytha." Lanjutnya. 

 

Mytha masih setia dengan senyum yang ada di bibirnya. "Kalau begitu, lakukan yang ingin kamu lakukan." Jawabnya. 

 

Violin mendongak dengan wajah cemas. "Kau.. tidak apa-apa akan hal itu?" 

 

Mytha mengangguk. "Akhirnya aku bisa memahami keberadaanku dan asal usul diriku sendiri, terima kasih Violin. Aku paham hal-hal tentangku dan tentangmu sekarang." 

 

Violin menggenggam tangannya erat. "Mytha! Kamu mau jadi temanku.. untuk selamanya?" 

 

Mytha terdiam cukup lama. Mata mereka saling berpandangan. Kemudian setelah beberapa menit, Mytha tersenyum hingga matanya terpejam. Dia mengambil kedua tangan Violin. 

 

"Aku mau jadi temanmu, Violin." 

 

Violin mendongak, lalu tersenyum hingga giginya terlihat. 

 

"Dari awal sampai akhir aku akan tetap menjadi temanmu." Lanjut Mytha. 

 

 

———

 

 

Sejak hari itu, Violin makin terbiasa dengan keberadaan Mytha. Mytha selalu ada di sampingnya, bahkan dalam pikirannya. Tiap Violin bingung akan melakukan sesuatu, Mytha setia memberikan saran. Violin merasa Mytha seperti teman bicaranya. Dimanapun, dan kapanpun dia berada, Violin akan bicara dengan Mytha. 

 

Namun, dia berhati-hati saat berbicara dengan Mytha. Terkadang saat terlepas di dunia nyata, orang-orang memandangnya aneh. Dan hal itu membuat Violin begitu malu. 

 

Mytha membantu Violin dalam banyak hal. Saat merasa sendirian, Mytha akan ada di sampingnya dan terus mengingatkan jika dia tidak sendirian. Walaupun terkadang Violin sadar kalau Mytha tidak nyata dan tetap akan merasa kesepian. 

 

Violin menyukai hari-harinya bersama Mytha. Dia rela menghabiskan seharian dengan melamun demi melakukan petualangan di dunia khayalannya. Violin merasa lebih bahagia di dunia khayalannya ketimbang dunia nyatanya. Dunianya lebih mengasyikkan jika Mytha ada di sana. 

 

Ibu berkali-kali mengingatkan dirinya untuk tidak melamun. Namun, Violin tidak peduli dengan kata-kata Ibunya. Dia tahu jika terus berhalusinasi seperti ini salah, tetapi dia tidak punya hal lain dimana dia bisa mengeluarkan emosi yang dia pendam selama ini. 

 

Saat ini, Violin tengah berada di psikiater. Dia menjalani konsultasi setiap minggu, terlebih saat obatnya habis. Psikiater akan menanyakan kondisinya, apapun, dan Violin akan menjawab seadanya. Konsultasi dilakukan agar Violin bisa sembuh dari gangguan kecemasannya juga delusi. Ibu berharap dengan psikiater ini, Violin bisa merasa lebih baik. 

 

"Lalu, bagaimana dengan halusinasimu? Kamu masih sering bicara dengan teman ilusimu?" 

 

Violin—yang saat ini berusia tiga belas tahun—malah mengedikkan bahu. "Entahlah. Menurut dokter bagaimana?" 

 

Dokter menghembuskan nafasnya sembari membenahi kacamata miliknya. "Violin. Kamu harus menghilangkan teman ilusimu. Ini demi kebaikanmu, bagaimana jika teman ilusimu mendatangkan hal buruk?" 

 

"Bagaimana bisa dokter bicara seperti itu tentang temanku sendiri?" 

 

"Temanmu itu tidak nyata. Kau harus mencari teman yang nyata." 

 

Violin mengerucutkan bibirnya. "Dokter tahu sendiri kondisiku bagaimana. Tenanglah, teman ilusiku membantuku dalam menjalani hidup. Bahkan seringkali membantuku untuk mengatasi gangguan kecemasanku." 

 

"Ketergantungan ini yang tidak diperbolehkan, Violin." 

 

"Aku tidak selalu bergantung dengannya kok, Dokter." Jawab Violin. 

 

Dokter menghembuskan nafasnya. "Bagaimana kau bisa sembuh jika kau tidak mendengarkan kata-kataku?" 

 

Violin tersenyum. "Cukup berikan aku obat seperti biasanya. Dijamin, gangguan kecemasanku akan hilang seolah hal itu tidak pernah terjadi. Lalu, aku tidak akan datang kemari lagi." 

 

"Obat bukanlah solusi yang tepat. Penyakit kejiwaan itu tergantung pada dirimu sendiri. Dokter hanya bisa menyarankan ini itu dan memberikanmu arahan agar bisa sembuh." 

 

"Iya kok, Dokter. Aku menghargai usahamu selama ini. Kau bekerja dengan baik!" Violin malah mengancungkan jempol. 

 

"Violin." Panggil Dokter dengan nada tajam. 

 

"Aaa! Takut banget! Dokter mode ngeri!" Violin malah berteriak-teriak tidak jelas. 

 

Dokter menaruh tangannya di wajah. "Aku tidak pernah menemui pasien separah kamu seperti ini." 

 

"Makanya, jika aku tidak kembali ke sini lagi. Dokter pasti akan merindukanku, karena nantinya tidak ada yang menghibur Dokter lagi seperti ini." 

 

Dokter memutar bola matanya. "Lebih baik kau segera sembuh dan tidak kemari ke sini lagi!" 

 

"Baiklah. Baiklah. Dokter. Jadi bagaimana diagnosisku? Lalu, obat mana lagi yang harus ku konsumsi?" 

 

"Violin. Jika kamu terus bicara dengan teman ilusimu, aku takut jika nantinya hal itu akan berakhir skizofrenia. Kau sering bicara dengannya melewati pikiran bukan? Terlebih kau mendengarkan suaranya melewati telingamu." 

 

"Tapi, bukankah skizofrenia itu seperti suara-suara yang nyaring dan tidak bisa dikontrol? Kenapa aku malah didiagnosis gangguan itu? Toh juga, jika skizofrenia beneran biasanya disuruh melakukan hal buruk. Tetapi, teman ilusiku selalu menyarankan solusi dari setiap masalahku!" 

 

"Tidak memungkinkan teman ilusimu bisa berkata seperti itu. Dan suara-suara itu juga termasuk dalam gejalanya, Violin. Bukankah hal itu juga berpengaruh pada kehidupanmu di dunia nyata? Sampai kapan kamu akan terus hidup di dalam ilusimu sendiri?" 

 

Violin mengeratkan tangannya yang berada di atas paha. Wajahnya menunduk, dia memejamkan matanya berusaha memahami kata-kata Dokter yang terdengar menyakitkan. 

 

"Semua ini.. kembali pada dirimu sendiri, Violin." 

 

Setelah cukup lama menunduk, Violin akhirnya mengangkat kepalanya. Sekarang di belakang Dokter, Mytha berdiri di sana dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Violin memejamkan matanya sesaat, berharap jika Mytha menghilang dari sana. Dan benar, Mytha sudah tidak ada di sana sesuai keinginannya, Violin menghembuskan nafas lega. 

 

"Violin.. Hapus teman ilusimu dan carilah sesosok teman di dunia nyata, kumohon." Ujar Dokter dengan nada memohon. 

 

Violin tersenyum miris. Lalu, pada akhirnya dia mengangguk pada Dokter. "Akan ku usahakan, Dokter." 

 

Dokter tersenyum senang. Lalu, dia memeriksa laci miliknya. Kemudian, mengambil sesuatu dari dalam sana. Violin melirik sedikit dengan gerak-gerik Dokter sekarang. Lalu, dia kembali berposisi semula setelah Dokter selesai mengambil barang. 

 

Dokter meletakkan sebuah obat di atas meja. Violin tahu jenis obat apa itu, obat anti-depresan yang beberapa kali sering dia konsumsi selama ini. 

 

"Ini obat yang biasa kamu konsumsi. Setelah seminggu jika gejalamu masih belum hilang, kembalilah lagi." 

 

Violin tersenyum. Lalu, dia mengambil obat tersebut. "Baik! Terima kasih, Dokter!" 

 

Dokter menatap ke arah Violin dengan tatapan tajam. "Kemudian, hilangkan teman ilusimu." 

 

Violin tersenyum. "Baik." 

 

"Kau bisa pergi sekarang." Ujar Dokter. 

 

Violin beranjak dari tempatnya. Tubuhnya kesakitan karena duduk berjam-jam di sana. Terapi terkadang menenangkan tapi menyesakkan. Biasanya saat Dokter menyuruh Violin bicara dan Violin tidak ingin, Dokter akan terus memaksanya. Bahkan sampai menggunakan trik psikologis agar Violin bicara. 

 

Violin berjalan ke arah pintu. Lalu, dia memegang ganggang pintu. Kemudian, dia menggerakkannya ke bawah hingga akhirnya pintu terbuka. Violin berjalan keluar dari ruangan sembari tangannya menutup pintu. Dia melihat ke arah sekeliling. Koridor rumah sakit cukup sepi dari biasanya. 

 

Dia mendengar ada sebuah notifikasi berdering dari ponselnya. Di sana, terdapat sebuah pesan dari Ibu. 

 

Ibu

Violin, Ibu dan Ayah mengantar Celia untuk kegiatan perkemahan. Kamu bisa pulang sendiri kan? Ibu sudah mengisi gopay milikmu, pulanglah dengan menggunakan go-car ya. 

 

Violin langsung menutup ponselnya sembari memutar bola matanya malas. Lalu, dia berjalan ke arah lorong dengan langkah santai. Dia memejamkan matanya sesaat. Kemudian saat dia membuka mata, Mytha sudah ada di depannya. 

 

Violin berhenti melangkah. Matanya menatap ke arah Mytha. Mytha tersenyum ceria seperti biasanya, dengan kedua tangan yang dia taruh di belakang badannya. Kemudian, sesosok teman ilusinya itu mendekatinya. 

 

"Violin, Violin, bagaimana keadaanmu? Sudah cukup membaik?" Tanya Mytha. 

 

Violin tersenyum kecil. "Iya. Sudah cukup membaik." 

 

Mytha melebarkan senyumnya. "Begitu? Syukurlah!" 

 

Violin kembali melangkahkan kakinya, dia berjalan beriringan dengan Mytha. "Lebih baik temani aku sampai di lobby rumah sakit. Aku akan pulang sendirian." 

 

Mytha menatapnya bingung. "Sendirian? Tetapi, bukannya kamu tadi diantar?" 

 

Violin tersenyum miris. "Orang tuaku sibuk. Karena itu tidak bisa menjemputku. Terkadang, aku juga harus melakukan sesuatu sendirian bukan?" 

 

Mytha menatapnya dengan wajah sedih. "Tetapi.. Bagaimana bisa mereka meninggalkanmu seperti itu?" 

 

Senyum Violin berganti dengan senyum ceria. "Sudahlah! Tidak apa-apa! Toh aku baik-baik saja." 

 

Sekarang, mereka sudah keluar dari lobby rumah sakit. Kemudian, berbelok ke arah tempat duduk yang ada di sana. Violin duduk sendirian di sana. Lalu, dia mengeluarkan ponselnya. Dia memesan sebuah go-car dari aplikasi. Selanjutnya, menunggunya di sana. 

 

"Tetapi, apa kau benar-benar baik-baik saja?" Tanya Mytha dengan wajah khawatir. 

 

Violin menoleh, lalu mengangguk. "Asalkan aku bareng kamu. Aku bakal baik-baik saja." 

 

Mytha terkejut di tempatnya bahkan tidak berkata-kata. Dia menunduk dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Violin menatapnya dengan wajah bingung. Kemudian, tiba-tiba Mytha menoleh dengan wajah sedih. 

 

"Violin, bukankah Dokter memintamu untuk menghilangkanku?" 

 

Wajah Violin berubah datar. Kemudian, dia memalingkan kepalanya. Begitu pula dengan Mytha, dia juga memalingkan kepalanya. Kedua orang tersebut tidak bicara agak lama karena saling memikirkan isi pikiran yang tidak akan ada ujungnya. 

 

"Aku engga mau." Jawab Violin setelah cukup lama diam. 

 

Mytha menoleh. "Kenapa?" Dia mengernyitkan dahi. "Bukankah itu demi kebaikanmu?" 

 

Violin mengalihkan pandangannya kembali ke arah Mytha. "Jika itu demi kebaikanku adalah dengan tetap membiarkanmu berada di sisiku." 

 

"Kenapa?" 

 

Violin menundukkan kepalanya sembari tersenyum kecil. "Entahlah. Aku merasa.. membutuhkanmu, mungkin." 

 

Mytha menatap Violin dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. 

 

"Selama ini, aku sangat kesepian. Aku cukup anti-sosial di sekolah, karena itu aku tidak memiliki teman. Paling teman ya cuma datang waktu butuh, lalu kalau tidak butuh ya dibuang. Bahkan, sepertinya aku tidak bisa mempercayai seseorang seutuhnya, kadang keluargaku sendiri pun aku tidak terlalu mempercayai mereka."  

 

"Aku tidak bisa mengatakan seluruh isi hatiku. Apa yang kurasakan. Atau hal-hal apapun yang terkadang menarik perhatianku. Bahkan, hal-hal yang membuatku mendapatkan gangguan kecemasan seperti ini. Aku tidak bercerita pada mereka, karena aku berpikir mereka tidak akan memahamiku. Lalu, pada akhirnya aku hanya dihakimi. Aku tidak suka hal itu." 

 

Mytha diam mendengarkan. 

 

Violin tersenyum kecil. "Tapi, saat pertama kali kamu ada di depanku. Saat alam bawah sadarku tiba-tiba membuatmu seolah hidup di depanku. Aku.. merasa sangat senang. Aku tahu, kamu tidak nyata, kamu cuma bahan pikiranku sendiri, bahkan mungkin kamu diriku sendiri. Tapi, aku sangat nyaman. Aku benar-benar nyaman menemukan seseorang yang sangat mengerti diriku, walaupun kamu cuma khayalanku sendiri." 

 

"Berbicara denganmu sangat nyaman, Mytha. Aku menyukainya. Aku sangat menyukainya. Semua ini seolah membuatku lebih baik, karena akhirnya aku punya tempat dimana aku bisa mengeluarkan semua emosi yang kurasakan. Aku tidak merasa terbebani, ataupun merasa cemas jika sudah mengatakan hal-hal seperti itu. Terkadang saat aku bicara seperti ini pada orang lain, di satu sisi aku lega tapi di satu sisi aku merasa cemas. Seluruh pikiran-pikiran negatif memenuhi pikiranku setelahnya, entah tentang apa yang akan dia pikirkan setelah mendengar ceritaku, atau bahkan nantinya dia akan membicarakan hal-hal tersebut pada orang-orang. Aku sangat takut semua hal itu terjadi." 

 

Violin menoleh ke arah Mytha. Mytha juga menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Kemudian, dia mengambil kedua tangan Mytha. Violin meletakkan telapak tangan Mytha pada telapak tangan miliknya. 

 

"Aku bersyukur bisa membuatmu Mytha, diriku sendiri. Hiduplah selama mungkin di dalam pikiranku dan diriku. Aku tidak akan pernah menghilangkanmu, sama sekali." 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sunset in February
786      433     6     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.
Rembulan
687      368     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Aranka
3676      1264     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Aku Istri Rahasia Suamiku
7400      1809     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...
Air Mata Istri Kedua
90      79     0     
True Story
Menjadi istri kedua bukanlah impian atau keinginan semua wanita. Begitu juga dengan Yuli yang kini telah menikah dengan Sigit. Seorang duda yang dia kenal satu tahun lalu. Pernikahan bahagia dan harmonis kini justru menjadi bencana bagi Yuli saat dia mengetahui jika Sigit sebenarnya bukanlah seorang duda seperti yang dia katakan dulu. Pria yang diketahui bekerja sebagai seorang pelayan di seb...
OF THE STRANGE
921      481     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...
It Takes Two to Tango
409      299     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Lost Daddy
4154      890     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Tumpuan Tanpa Tepi
6624      2536     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Jam Terus Berdetak
80      71     1     
Short Story
Dion, seorang pemuda yang berencana menjual lukisannya. Sayangnya, ia terlambat datang ke tempat janji bertemu. Alhasil, ia kembali melangkahkan kaki dengan tangan kosong. Hal tidak terduga justru terjadi pada dirinya. Ketika Dion sudah berpasrah diri dan mengikhlaskan apa yang terjadi pada dirinya.