"Entah berada diantara orang-orang, ataupun sendirian terdengar begitu menyesakkan."
———
4 tahun yang lalu.
Seorang gadis sekitar berusia dua belas tahun tengah bermain bersama anak-anak seusianya di sekolah. Mereka memainkan petak umpet, dimana salah satu menjaga sementara yang lain akan bersembunyi. Setelah berhitung selesai, penjaga akan mencari anak-anak yang bersembunyi. Lalu, setelah ditemukan. Penjaga dan yang bersembunyi harus berlari secepat mungkin ke tempat dimana penjaga tadi berhitung. Apabila penjaga lebih dahulu yang memegangnya, maka yang ditemukan itu kalah lalu bergantian menjaga.
Terdapat seorang gadis berusia dua belas tahun—Violin—tengah bersembunyi di balik dinding. Dia tersenyum kecil, memikirkan sebuah rencana dimana dia bisa mengalahkan si penjaga. Saat si penjaga berjalan ke arahnya, Violin dengan cepat berlari ke arah lain dengan cepat agar tidak ditemukan. Namun, entah kesialan apa yang menimpanya, hingga dia malah tersandung dan terjatuh.
Si penjaga menemukan Violin, dia menunjuk Violin yang terjatuh. "VIOLIN KETEMU!"
Si penjaga langsung berlari kembali untuk memegang tempat agar dia bisa menang. Sementara, Violin segera beranjak dari tempatnya lalu juga berlari. Dia berlari sekuat tenaga agar tidak kalah. Namun, pada akhirnya dia kalah karena si penjaga sudah memegang tempatnya berhitung tadi.
Lalu, entah tanpa sengaja Violin menabrak salah satu temannya yang juga berlari dari arah lain. Dia terjatuh di atas tanah dengan terduduk, sementara teman satunya terjatuh dengan berbaring. Anak yang terjatuh itu—Neta—menangis sesenggukan di tempatnya. Hal itu membuat perhatian anak-anak lain teralihkan, lalu mereka mulai mendekat. Violin yang merasa bersalah segera beranjak dari tempatnya, dia hendak meminta maaf.
Violin mendekati Neta yang tengah ditenangkan oleh Sera. "Ne, Neta, aku minta maaf." Dia memegang salah satu tangan Neta, tetapi Neta menghempasnya begitu saja.
Hidung Neta mimisan, mungkin karena terjatuh tadi. Gadis itu menangis dengan suara yang cukup besar, sembari menunjuk Violin.
"Dasar kau! Bagaimana bisa kau menabrakku seperti itu?! Apa kau sengaja Violin?!!" Teriak Neta dengan tangisan yang tidak berhenti.
Violin terkejut di tempatnya. Dia hendak memegang salah satu tangan Neta kembali, tetapi Neta menghempaskannya dengan cukup kasar. "Aku, aku tidak sengaja menabrakmu. Aku tidak bermaksud apapun, Neta."
"Aku tahu kau sengaja! Kau tidak suka karena aku juga suka Aza kan?! Karena itu kau menabrakku seperti ini?! Kau pasti dendam padaku! Aku yakin kau dendam padaku!"
Violin terdiam di tempatnya dengan wajah penuh keterkejutan. Sekarang, dia bisa merasakan hawa anak-anak lain yang melihatnya. Bahkan, tatapan Sera yang ada di samping Neta cukup tajam. Violin mundur selangkah, lalu dia menoleh ke sekeliling. Semua anak-anak menatapnya dengan tajam, berkata seolah mereka membencinya. Kemudian ada juga yang berbisik-bisik, samar-samar Violin bisa mendengar kata-kata mereka.
"Iya, ya, Violin suka Aza. Apa jangan-jangan dia nabrak sampai Neta berdarah seperti itu karena Neta juga suka Aza? Aku engga pernah ngeliat anak sememalukan itu."
"Iya, ya, Violin ternyata anaknya seperti itu. Sok banget emang, pengambil hati orang."
Violin menunduk dengan mata yang melotot. Tubuhnya bergetar. Kemudian, untuk pertama kalinya dia merasakan suatu kecemasan yang membuatnya tersiksa. Dadanya kesakitan. Jantungnya berdegup kencang. Pikirannya terus mengerumuninya membuatnya ingin pingsan di tempat. Suara orang-orang bahkan tatapan orang-orang berada di pikirannya, membuatnya makin ketakutan di tempatnya. Air mata Violin keluar lalu menetes.
"Aku.. bukan pengambil hati orang.." Ujarnya lirih.
"Dasar Violin gadis pengambil hati orang!"
Setelahnya, Violin hanya bisa berlari dari sana. Kemudian, tempat yang dia tuju hanyalah sebuah hutan kecil yang ada di belakang sekolah. Violin kecil menangis sesenggukan di depan pohon bambu. Dia berjongkok, lalu menyembunyikan wajahnya yang menyedihkan diantara kedua kakinya.
"Aku engga bermaksud apapun.. aku engga bermaksud apapun..."
Dia terus bergumam seperti itu selama berjam-jam. Sudah dua jam dia berada di sana. Violin bahkan tidak memberanikan dirinya kembali ke sekolah. Dia berpikir jika anak-anak bahkan membencinya sekarang. Karenanya, dia sangat takut kembali ke sekolah.
Semua tatapan dan suara itu mengganggunya.
Violin memegang dadanya yang sesak. Entah darimana dia merasa kekhawatirannya tidak kunjung sembuh. Rasanya seolah ingin mati. Dia tersiksa dengan perasaan ini, mati-matian merasa bersalah tetapi tidak bisa melakukan apapun. Rasanya saat melakukan apapun dia tidak bisa tenang.
"Hei, kamu tidak apa-apa?"
Rasa kekhawatiran itu perlahan menghilang saat dia mendengar suara seseorang. Violin memberanikan untuk mendongakkan kepalanya. Matanya langsung bertemu dengan mata gadis ada di depannya. Gadis yang terlihat seusianya, memiliki rambut panjang yang tergerai juga dengan mata yang cantik. Namun anehnya, dia tidak memakai baju seragam sekolah dasar, melainkan baju tidak berlengan dan roknya yang menjuntai.
Violin langsung mengusap matanya dengan kasar. "Aku tidak apa-apa." Kemudian, dia beranjak berdiri dari tempatnya.
Gadis itu tersenyum hingga matanya terpejam. Kedua tangannya dia satukan di belakang. "Kau tidak terlihat baik-baik saja tuh."
Violin menatap gadis itu dengan tatapan kesal. "Aku baik-baik saja." Jawabnya. Dia berjalan melewati gadis itu.
Gadis itu berbalik. "Sepertinya kamu ada masalah ya?"
Violin berbalik dengan wajah marah. "Kubilang aku baik-baik saja!" Seketika Violin tersadar jika dia baru saja melampiaskan kemarahannya pada seseorang. Saat ini, dirinya dipenuhi oleh perasaan bersalah.
Gadis itu tidak terlihat tersinggung atau sakit hati dengan kata-kata Violin barusan. Justru dia malah tersenyum kecil, lalu berjalan ke arah Violin.
"Anu, barusan aku minta maaf. Aku tidak bermaksud marah padamu."
"Syukurlah kau tidak apa-apa. Kukira kau benar-benar ada masalah." Gadis itu masih setia dengan wajahnya yang cukup lembut menatap ke arah Violin.
Violin menghadap sepenuhnya ke arah gadis itu. "Tapi, kenapa kamu tidak memakai seragam? Kamu engga sekolah?"
Gadis itu terlihat bingung. "Sekolah? Apa itu sekolah?"
Violin menatapnya dengan terkejut. "He? Kau tidak tahu sekolah? Masa tidak tahu sih."
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Bisa jelaskan tidak?" Dia kembali tersenyum dengan senyumnya yang manis.
Violin menggaruk kepalanya tidak gatal. "Ya, secara singkat sekolah itu dibutuhkan untuk setiap orang agar memperoleh ilmu."
Gadis itu membolakan matanya. "Ilmu? Apa itu ilmu?"
Violin bertambah terkejut. "Hah?! Masa engga tahu juga? Kamu datang dari mana sih?!"
Gadis itu terlihat berpikir, salah satu tangannya dia ketuk-ketukkan pada salah satu pipinya. "Aku datang darimana ya? Aku engga tahu tuh, hahaha."
Violin menganga terkejut karena pernyataan dari gadis itu, sekali lagi.
"Bisa jelasin aku konsep dunia ini juga engga? Kalau ada waktu sih, hehehe."
———
"Ini namanya hutan, ini pohon." Violin menunjuk salah satu pohon yang cukup besar.
Gadis itu mengangguk mengerti. Lalu, dia berjongkok dan menemukan sebuah semut. Kemudian, dia menunjuk semut tersebut. "Kalau ini apa?" Tanyanya.
"Itu semut."
Gadis itu menoleh ke atas. "Apa itu termasuk dengan pohon?"
"Iya. Sama-sama mahluk hidup, kaya gitu. Tetapi, semut itu hewan, kalau pohon tumbuhan."
Gadis itu menatap ke depan dengan tatapan kosong. "Oh, hewan dan tumbuhan ya."
"Aku ingin menunjukkan yang lain. Mau ikut engga?" Ajak Violin. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu berdiri.
Gadis itu tersenyum sembari mengangguk. Kemudian, dia menerima uluran tangan Violin, lalu beranjak berdiri. Setelahnya, mereka berdua pergi menuju ke arah hutan sembari berpegangan tangan. Di sana, Violin menjelaskan berbagai hal, bahkan tiap hewan yang dia temui atau jenis-jenis pohon yang dia tahu.
"Kalau ini sungai." Violin menunjuk sebuah sungai yang agak jauh darinya.
Gadis itu hendak maju ke arah sungai, tetapi Violin menahannya. Gadis itu bingung lalu menoleh ke arah Violin.
"Jangan, bermain di sungai bisa membuatmu tenggelam." Ujar Violin.
"Tenggelam? Seperti apa itu?"
"Intinya kamu akan mati karena berada di dalam air secara lama."
Gadis itu memiringkan kepalanya. "Bagaimana itu bisa terjadi?"
Violin menggaruk rambut pendeknya tidak gatal. "A, aku juga engga tahu soal itu."
Gadis itu tersenyum tiba-tiba, bahkan hingga giginya terlihat. "Kamu sangat pintar!"
Violin agak tersipu saat dia dipuji seperti itu. Kemudian, dia memalingkan kepalanya. "Ti, tidak terlalu pintar juga kok." Jawabnya.
Gadis itu masih setia dengan senyuman di wajahnya. "Tapi, kamu pintar banget lho. Eh, gitu kan pengucapannya?"
Violin menoleh. "Pengucapan apa?"
"Soal kamu pintar."
Violin malu di tempatnya sendiri. "Jangan menyebutku seperti itu!"
Gadis itu tertawa kecil di tempatnya. Violin menatapnya dengan wajah tenang. Entah kenapa saat bersama dengan gadis ini, hatinya begitu cukup tenang. Apalagi saat ini dia memandangi gadis itu yang tengah melihat-lihat ke arah sekeliling. Kemudian dia menunduk, tangannya berpegangan dengan gadis itu. Walaupun sejujurnya dia tidak terlalu bisa merasakan tangan itu, tetapi Violin benar-benar merasa tenang.
"Oh, ngomong-ngomong siapa namamu?" Tanya Violin.
Gadis itu menoleh. "Nama? Siapa namamu?" Dia malah mengulang.
Violin melebarkan senyumnya. "Aku Violin, Violin Karina Cheryl. Kalau kamu namanya siapa?"
Gadis itu menatap ke arah Violin. "Namaku.. siapa?"
Lagi-lagi Violin terkejut di tempatnya lagi. "Tunggu, kamu tidak punya nama?!"
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Engga punya."
"Bagaimana bisa?! Setiap orang pasti punya nama!" Jawab Violin.
Gadis itu menatap Violin dengan tatapan sedih. "Kalau begitu siapa namaku?"
Violin menatapnya dengan wajah kebingungan. Lalu, dia berpikir sejenak. "Mungkin.. Mytha? Apa itu bagus?"
Gadis itu melebarkan senyumnya, lalu mengangguk. "Iya! Bagus! Berarti, sekarang namaku Mytha!"
Violin tertawa kecil. "Halo Mytha, aku Violin." Ujarnya sembari melambaikan tangannya.
Mytha tersenyum sangat lebar. "Halo Violin! Aku Mytha!" Dia juga mengikuti Violin dengan melambaikan tangannya.
Setelahnya, mereka berdua tertawa bersama dan berbalik lalu berjalan pergi dari sana. Jangan lupakan dengan kedua tangan mereka yang masih bertautan.
————
Setelah kejadian kemarin, Violin sering sekali menghampiri Mytha di hutan. Kemudian, mereka akan bermain sepanjang hari. Violin bahkan kerap membolos kegiatan-kegiatan di sekolah karena terlalu asyik bermain bersama Mytha. Selanjutnya saat pulang sekolah, Violin akan berpamitan pada Mytha untuk pulang, sementara Mytha masih berada di tempatnya, hutan di belakang sekolah.
Saat ini, mereka tengah berada di wilayah playground sekolahnya. Sekarang sudah pulang sekolah, karenanya sekolah cukup sepi, dan dia bisa bermain bersama Mytha di sana. Mytha tengah bermain ayunan sementara Violin mendorongnya.
Beberapa wanita berjalan bersama di jalan seberang playground. Kemudian, dia melihat Violin yang tengah mendorong ayunan sembari berteriak-teriak kegirangan. Padahal di ayunan tersebut tidak ada siapapun.
"Dia... bermain sendirian?" Tanya salah satu wanita.
"Sepertinya."
"Kenapa dia bermain dengan seseorang yang tidak pernah ada?"
Kedua wanita tersebut saling berpandangan. Lalu, pada akhirnya berjalan pergi karena merasa takut.
Violin dan Mytha tidak hanya bermain ayunan, tetapi juga seluncuran. Saat mencapai bawah, Mytha akan tertawa kegirangan, lalu mulai menaiki ke atas kembali untuk meluncur. Mereka juga bermain tempat untuk memanjat, lalu duduk bersama di puncak.
"Kamu waktu itu.. ada masalah kan ya?" Tanya Mytha.
Violin menatap ke arah Mytha, lalu menundukkan kepalanya. "Ya. Seperti itu deh."
"Ada apa? Aku kan temanmu sekarang! Kamu bisa memberitahuku!" Ujar Mytha.
Violin tertawa kecil di tempatnya karena Mytha cukup lucu sekarang. Mytha yang kesal karena ditertawakan, akhirnya memalingkan wajah.
"Aku.. kayaknya punya penyakit." Jawab Violin.
Mytha menoleh dengan wajah terkejut. "Penyakit?! Penyakit apa? Kamu selama ini sakit?"
Violin tersenyum kecil. "Iya, aku sakit, tapi bukan sakit yang kaya gitu."
"Terus, kamu sakit apa?" Tanya Mytha.
Violin menunduk sembari tersenyum miris. "Katanya sih gangguan kecemasan gitu, aku bahkan dibawa ke dokter tapi katanya penyebutannya bukan dokter sih."
"Hah?? Gimana-gimana?" Tanya Mytha tidak paham.
"Sudahlah tidak usah membicarakan itu. Ayo lebih baik pulang bersamaku."
Violin turun dari tempatnya. Kemudian, dia mengulurkan tangannya untuk membantu Mytha turun. Selanjutnya, mereka berdua kembali berpegangan tangan berjalan pergi.
"Pulang kemana?" Tanya Mytha.
"Ke rumah." Jawab Violin. "Selama ini kamu tinggal dimana? Apa kamu tidak punya tempat tinggal?" Tanyanya lagi.
Mytha berhenti di tempatnya, lalu menoleh. "Tempat tinggal?"
Violin juga menghentikan langkahnya. "Iya. Tempat tinggal. Dimana tempat tinggalmu?"
Mytha terdiam sejenak. "Tidak punya.."
"Kamu tidak punya tempat tinggal?" Tanya Violin.
Mytha menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, kamu bisa tinggal bareng aku!" Jawab Violin dengan nada antusias.
"Tinggal bareng?"
Violin mengangguk. "Iya! Tinggal bareng!"
Mytha menganggukkan kepalanya. "Iya! Aku mau!"
"Ya sudah, ayo pulang bareng!"
————
Violin sudah berada di depan rumahnya. Mytha berada di belakangnya. Kemudian, Violin membuka pintu rumah. Lalu, masuk ke dalam sembari mempersilahkan Mytha. Ibu datang ke arah Violin dengan wajah resah. Dia langsung berjongkok di depan Violin sembari memegang kedua bahunya. Mata Ibu berkaca-kaca menatap ke arah Violin.
"Violin! Ibu mencarimu kemana-mana! Kenapa kamu tidak pulang? Ibu sangat khawatir..." Ibu langsung menarik Violin dalam pelukannya. Kemudian, wanita paruh baya itu menangis di pelukan anaknya.
"Tidak bu. Aku tidak kemana-mana—"
Ibu melepaskan rangkulannya. "Bagaimana bisa?! Kau menghilang hampir seharian! Bahkan juga tidak ada di sekolah!"
Violin terkejut di tempatnya setelah Ibu membentaknya seperti itu. Lalu, dia tertunduk lesu.
Ibu menunduk, wajahnya masih dipenuhi dengan rasa cemas. "Setelah kau didiagnosis mengidap gangguan kecemasan, Ibu sangat terpukul, Nak. Ibu hanya berharap kau tidak pergi jauh dari Ibu, dan bisa mengobati gangguan kecemasanmu itu agar sembuh."
Violin mendongak. "Aku tidak menghilang bu.. Aku, aku membawa teman!"
Ibu mendongak dengan wajah bingung. "Teman? Siapa?"
Violin melebarkan senyumnya sedikit. Lalu, dia menoleh ke belakang sembari menunjuk Mytha. "Itu bu! Temanku! Namanya Mytha!"
Namun, Ibu tidak melihat seseorang di depan pintu. Dia menoleh ke arah anaknya lagi. "Siapa yang kamu maksud itu? Tidak ada orang di sana, Violin."
Wajah Violin berubah merinding, matanya melotot karena terlalu terkejut. Bahkan, Mytha yang ada di luar juga terkejut. Lalu, dia masuk ke dalam rumah.
Violin kembali menatap ke arah Ibu. "I, Ibu, di sana ada temanku. Itu.. Mytha. Dia mengenakan baju putih."
Ibu menatap Violin dengan terkejut. Lalu, dia menutup mulutnya sendiri. "Vi, Viollin.." Panggilnya lirih.
Violin menoleh ke belakang. Mytha ada di sana dengan wajahnya yang khawatir. Lalu, dia kembali menatap ke arah Ibu yang sudah mulai menangis lagi.
Ibu memegang kedua bahu Violin. "VIOLIN ADA APA DENGANMU?! SETELAH GANGGUAN KECEMASAN KAU MEMILIKI DELUSI JUGA?!"
Ayah keluar dari kamar dengan wajah terkejut setelah mendengar teriakan barusan. Begitu juga dengan Celia, kakak Violin yang berusia lima belas tahun. Dia menatap ke arah ruang tamu dengan terkejut.
"Violin! Kau seharusnya tidak seperti ini! Violin!" Ibu berteriak-teriak sembari Ayah membawanya.
"Celia! Bawa adikmu ke kamar!" Perintah Ayah.
Celia hanya menganggukkan kepalanya. Violin yang terpukul, terduduk di tempatnya. Wajahnya menatap ke arah depan dengan kosong. Pikirannya tidak bisa berpikir. Lalu, matanya menatap ke arah Mytha sampai akhirnya, mata Violin tertutup.
"Violin!"
————
Violin membuka matanya perlahan. Lalu di sampingnya, dia menemukan Celia yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Setelah menyadari jika Violin sudah terbangun, Celia langsung mendekati Violin dengan wajah khawatir.
"Kakak.." Violin berujar lirih.
Celia tersenyum miris. Dia memegang tangan Violin yang dingin. "Iya, Kakak di sini. Violin.."
Setelah beberapa jam, akhirnya kondisi Violin sudah cukup membaik karena dirawat oleh Kakaknya sendiri. Saat ini, Violin tengah makan sembari disuapi oleh Celia. Tidak ada percakapan diantara mereka. Mata Violin benar-benar kosong, tampaknya gadis kecil itu melamun.
Lalu saat menoleh ke samping, di pojok ruangan dia bisa melihat Mytha ada di sana. Mata Violin langsung terpaku pada Mytha yang menatapnya dengan cukup khawatir. Celia yang menyadarinya juga menatap ke arah pojok ruangan, tetapi dia tidak menemukan siapapun di sana.
"Mytha.." Panggil Violin lirih.
Mytha tersenyum setelah Violin memanggilnya. Lalu perlahan, tubuhnya menghilang. Violin terkejut di tempatnya. Lalu, dia beranjak dari tempat tidurnya. Kemudian berlari ke pojok ruangan, mencari Mytha yang menghilang di sana.
Celia berdiri dari tempatnya. "Violin.. Kakak mau bilang sesuatu."
Setelahnya, Celia dan Violin duduk di atas kasur. Celia baru saja menjelaskan tentang gangguan yang menimpa Violin. Violin berusaha memahaminya walaupun sulit. Gadis itu hanya menunduk dengan tatapan kosong ke arah kasur.
"Jadi, bagaimana kesimpulannya Violin?" Tanya Celia.
"Dia tidak nyata." Jawab Violin.
Celia tersenyum. "Lalu."
"Dia hanya teman yang kubuat. Teman khayalan.."
Celia mengambil tangan Violin. "Violin.. ingat hal itu baik-baik, mengerti? Cuma kamu yang bisa lihat Mytha, orang lain ga akan bisa. Mytha itu cuma teman yang dibuat sama alam bawah sadarmu. Kamu harus tetap sadar kalau dia engga nyata. Mengerti?"
Violin menoleh. "Mytha.. engga nyata.."
—
—
—
—
—