Sepulang sekolah, Gunay kembali lagi mengunci diri di kamarnya. Masih sangat takut jika ia tiba-tiba bertemu dengan kakaknya yang mungkin saja bisa seketika datang bertamu.
Dia melemparkan tasnya ke segala arah, melepas dasinya, kemudian melepas dua kancing atas seragamnya.
Perasaan linglung memenuhinya, semua terasa hampa. Dia pun berjalan menuju meja belajarnya, dan duduk menyampingkan tubuhnya.
Tempat ini... tempat kakaknya biasa duduk untuk mengerjakan tugas sekolahnya.
Sebuah foto yang terpajang di atas meja mencuri perhatiannya. Diambilnya foto tersebut dan menatapnya lama.
Itu adalah foto yang diambil hampir sekitar dua tahun yang lalu, saat mereka pergi ke pekan raya.
Senyum kecut terlukis di wajah murung Gunay. Wajah tiga orang di dalam foto itu benar-benar kontras dengan ekspresinya kini.
Hatinya semakin pilu memandangi foto tersebut, rasa rindu telah menumpuk penuh dalam dadanya. Dia rindu ... benar-benar merindukan masa-masa itu.
Diletakkannya kembali foto tersebut. Beranjak dari meja belajar itu lalu berpindah ke tempat tidurnya. Dia membenamkan kepalanya di bawah bantal sambil memikirkan sesuatu, Kenapa gue jadi pengecut gini?
Bukankah dengan dia yang begini malah semakin menyakiti hati kakaknya?
Bukankah seharusnya dia mendatangi kakaknya dan bersimpuh untuk meminta maafnya?
Laki-laki macam apa yang justru bersembunyi dari kesalahannya di balik kalimat rasa bersalah?
.
.
.
Malamnya, akhirnya Gunay memutuskan untuk memberanikan diri datang dan menemui kakaknya.
Dalam keheningan dan terpaan dingin angin malam, Gunay tak bisa menahan rasa perih di hatinya memikirkan bahwa hubungannya dengan kakaknya tak akan pernah kembali seperti semula, tak akan pernah sedekat dulu lagi.
Saat akhirnya dia tiba di depan gerbang rumah yang suram itu, Gunay turun dari motornya.
Setelah mesin motornya mati, dia termenung cukup lama, sambil memandang rumah besar itu takut-takut. Kilas balik adegan ketika dia pertama kali datang dengan riang untuk menemui keponakannya pada malam itu seolah terputar di depan matanya. Tepat di depannya, adalah lokasi ketika dia bertengkar hebat dengan Sahrul yang akhirnya merenggut nyawa seseorang yang tak bersalah.
Dia perlahan masuk dengan langkah berat, sempat muncul rasa enggan untuk terus maju. Namun keengganan itu segera ia runtuhkan. Semua itu tak ada apa-apanya dibandingkan seberapa besar rasa rindu Gunay saat ini terhadap kakaknya.
Akhirnya, ia sampai juga di depan pintu utama. Tangannya terangkat hendak memencet bel. Namun saat tangan itu belum benar-benar menyentuh tombol, pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka perlahan.
Wajah yang muncul di balik pintu itu awalnya menampilkan raut wajah kaget, setelah mendapati bahwa Gunay yang datang, ekspresi kaget itu perlahan berubah menjadi senyum penuh kerinduan.
Itu adalah wanita baik itu, perempuan terbaik di hidup Gunay—Kakaknya, Yanli.
"Gunay? Jadi kamu beneran datang, Dek?" Yanli langsung memeluk erat tubuh Gunay, matanya terpejam rapat. "Pantesan kakak ngerasa aneh, dari tadi bawaannya pengen buka pintu mulu, ternyata adek tersayang kakak mau dateng."
Pelukan itu begitu erat dan hangat. Gunay hanya terdiam seperti patung dan bingung tidak tahu harus meletakkan tangannya di mana.
Suara lembut ini, senyum lembut ini, dan juga perlakuan lembut yang baru saja Gunay terima ini ... benar-benar semakin melukai hatinya.
Yanli mendongak menatap Gunay. "Kamu mau ketemu Rayhan? Sayangnya kamu datang telat, Dek, Rayhan udah tidur dari tadi," ucapnya dengan tangan yang masih memeluk Gunay erat.
Bibir Gunay bergetar, dia memanggil Yanli lirih, "Kakak ..."
Yanli mengendurkan pelukannya. "Hm?"
Gunay melepaskan tangan kakaknya dari pinggangnya dengan lembut. Namun tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya, dia berlutut di hadapan Yanli. Kemudian menunduk dan menyentuh kedua kaki kakaknya yang sangat ia sayangi itu sembari terisak.
"Maafin Gunay, Kak ... maafin Gunay ...."
Sedikit demi sedikit tetesan air mata mulai membasahi punggung kaki Yanli. Dia menunduk, menarik bahu Gunay memintanya untuk bangkit.
Saat Gunay sudah benar-benar berdiri, Yanli memandangi wajahnya sendu, dia tersenyum pilu.
Tba-tiba mata Yanli membulat lebar, tangannya terulur mendorong kuat tubuh Gunay ke samping.
Brugh!
Tubuh Gunay terhempas ke lantai, dia menoleh. "Kakak?!"
Yanli berdiri membelakangi dirinya, tubuhnya terpaku. Namun tiba-tiba Yanli jatuh berlutut dan tampaklah seorang pemuda di depan Yanli yang sedang berdiri dengan mata membulat lebar dan mulut yang menganga terbuka sembari memegangi pisau yang sudah dipenuhi darah.
"Kakak!!" Gunay segera menangkap tubuh kakaknya yang sebentar lagi akan ambruk.
Tubuhnya Yanli terkulai lemas di pangkuan Gunay, perutnya sudah penuh dengan noda merah. Dia ditusuk!
Gunay menoleh ke samping, menatap si pelaku. "Sahrul anjing!!" Ia meletakkan kepala kakaknya ke lantai perlahan, lalu bangkit berdiri dan langsung menghampiri si pelaku yang ternyata adalah Sahrul untuk memberi perhitungan.
"Bangsat lo!!"
Sebelum Gunay benar-benar berhasil mencapainya, Sahrul tiba-tiba mengarahkan pisau yang sudah berdarah tadi ke perutnya sendiri.
Jleb!
Pisau tadi ia tusukkan sangat dalam ke perutnya. Tanpa meringis sedikit pun, ia malah menyeringai sambil menatap Gunay remeh.
"Akh ... hahaha, gue ... tadinya gue ... mau nusuk lo, tapi kakak lo yang malang itu malah ngorbanin dirinya sendiri demi adik sialan macam lo, sungguh ... hubungan adik kakak yang mengharukan ... sampe-sampe rasanya gue mau nangis liatnya, hahaha ...."
Dugh!
Sahrul langsung tumbang dengan pisau yang masih tertancap di perutnya, matanya langsung tertutup.
Bibir Gunay bergetar melihatnya, dia mundur, menghampiri kakaknya lagi.
Mata Yanli masih bergantian antara terbuka dan menutup. Setelah Gunay mengangkat kepalanya ke pangkuannya lagi, Yanli mengulurkan tangannya mencoba meraih pipi Gunay.
"Dek ... ukh ...." Tangan Yanli bergetar di sekitar area perutnya.
Mata Gunay memerah, tangisnya seketika pecah, tak mampu dibendung lagi.
"Sebentar, Kak, biar Gunay telpon ambulans dulu," katanya dengan bibir bergetar. Segera ia menelepon ambulans. Persis seperti yang ia alami waktu kejadian Addly dulu, tangannya kali bahkan lebih gemetaran lagi.
Setelah selesai menelepon, ia mencampakkan ponselnya begitu saja dan langsung memeluk kepala Yanli.
Yanli kembali mengulurkan tangannya menyentuh pipi Gunay, mengelusnya lembut.
"Dek ... Kakak ...."
Gunay menyentuh tangan kakaknya yang masih mengelus pipinya. "Jangan bicara, Kak. Jangan abisin energi Kakak, sebentar lagi ambulans bakal dateng, Kakak tenang aja."
Yanli mencoba tersenyum di tengah rasa perih yang menggerogoti perutnya. Jemarinya menyapu air mata Gunay yang terus mengalir.
"Jangan nangis, Dek. Tolong ... dengerin Kakak sebentar ...."
"Iya, Kak ... Gunay di sini, Gunay bakal dengerin semua yang Kakak bilang, apapun."
"Kakak ... gak akan pernah bisa marah sama kamu, kakak ... gak akan pernah sanggup benci sama kamu ... jadi jangan ... jangan pernah merasa bersalah." Yanli menarik napas dalam.
"Tolong ... jaga dan besarkan Rayhan dengan baik, Kakak titip dia sama kamu ya, Dek."
"Enggak kak! Enggak!! Jangan ngomong gitu, Kakak bakal baik-baik aja, tolong jangan bicara lagi kak ... ukh ...." Air mata Gunay mengalir semakin deras. "Gunay sayang banget sama Kakak ...."
Yanli menatap Gunay sendu, tarikan napasnya semakin berat, dia berujar untuk yang terakhir kalinya. "Sayangnya Kakak ke Gunay ... dua kali lipat dari sayangnya Gunay ke Kakak ... akh ...."
Seiring dengan hembusan napasnya, mata Yanli perlahan menutup. Senyumnya masih tampak di tengah-tengah wajahnya yang memutih.
Gunay membeku, urat-urat di seluruh tubuhnya mencuat. Wajahnya berubah ungu.
"KAKAK!!!"
Teriakan pilunya menggema di seluruh penjuru rumah.
Detik itu, tanpa melibatkan Sahrul, kehidupan dua orang benar-benar telah berakhir.
Satu dalam artian harfiahnya.
Sementara satunya lagi ...
Entahlah, dunia dan seluruh hidup Gunay juga turut berakhir pada malam yang suram itu.
Tidak hanya hanya Yanli yang pergi, roh dan jiwa Gunay juga ikut terberai detik itu juga.