Gunay membuka matanya perlahan, awalnya sekitarnya tampak buram, lalu sedikit demi sedikit terlihatlah di matanya ruangan sempit dengan cat berwarna putih yang memenuhi pandangan. Tak perlu diragukan lagi, ini adalah rumah sakit.
Dia sontak terduduk dan langsung berteriak. "Abang!!"
"Gunay?" Suara lelaki paruh baya seketika mengagetkan Gunay.
"Ayah? Kenapa Gunay bisa ada di sini? Abang mana, Yah?" tanya Gunay beruntun. Ayahnya yang sedari tadi duduk di sofa dengan wajah muram perlahan mendekatinya.
"Jawab, Yah! Abang mana?" tanya Gunay sekali lagi melihat tidak adanya reaksi dari sang Ayah.
Pak Yaman menutup matanya. "Dia ...." Kemudian menghela napas. "Dia sudah meninggal."
Seolah ada petir yang baru saja menyambar, Gunay terdiam seperti patung. Meninggal?
"Dokter bilang, pecahan botol kaca yang menggores lehernya tepat mengenai nadinya," sambung Pak Yaman.
Setelah beberapa saat hening, Gunay menggeleng-gelengkan kepalanya, "Gak, gak mungkin." Sembari tersenyum dia bertanya lagi. "Ayah ... pasti bohong, kan? Ayah becanda, kan? Hahaha, Ayo dong, Yah, abang di mana?"
"Gunay ...." Pak Yaman mendekat, meraih kepala Gunay lalu memeluknya erat. Matanya berkaca-kaca.
"Bang Addly emang udah meninggal, Nak. Kau sudah tak sadarkan diri selama dua hari, dan dia ... sudah dimakamkan kemarin."
Kepala Gunay yang berada di dekapan ayahnya bergerak turun, bahunya bergetar dan tangannya menyapu matanya perlahan. Pandangannya menjadi kosong.
"Kakak? Kakak di mana, Yah?" tanyanya tanpa daya.
"Dia masih di rumahnya, mengurung dirinya sendiri di kamar mereka sambil terus menggendong Rayhan yang terus menangis."
Setelah hening cukup lama, Gunay membuka suara lagi. "Jadi ... Gunay yang udah bunuh abang?"
Pak Yaman menggelengkan kepalanya, dekapannya semakin erat.
"Gunay udah bunuh abang, Yah. Gunay udah bunuh suaminya kakak, Gunay udah buat Rayhan jadi yatim, Gunay udah renggut kebahagiaan kakak, Gunay ... Gunay gak akan sanggup lagi menemui kakak, Yah." Tubuhnya bergetar hebat, air mata yang terus jatuh semakin membasahi baju ayahnya.
Gunay tiba-tiba mengangkat kepalanya, dengan mata yang memerah dia berujar, "Gunay siap buat di penjara, Yah! Seumur hidup pun gak masalah!" Dia terhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Oh ... di hukum mati aja kayaknya lebih bagus, kan, Yah?"
Pak Yaman menggeleng lemah lagi. Dia menjawab, "Kakakmu gak akan membawa masalah ini ke pengadilan, dia ... udah mengikhlaskan kepergian Addly."
"Tapi tetap saja, Yah! Bang Addly meninggal karena dilukai, pasti polisi bakal ungkap penyebabnya cepat atau lambat!"
"Tapi Kakakmu ... dia ...." Pak Yaman menundukkan kepalanya. "Memalsukan penyebab kematian Addly."
Dengan bibir yang bergetar Gunay bertanya, "Ma-maksudnya?"
"Malam itu, saat kau pingsan tepat di dekat tubuh Addly, polisi hendak datang karena ada warga yang melapor akibat mendengar keributan, namun saat para polisi itu tiba, mereka mendapati Yanli yang sedang menangis sambil memeluk kalian berdua, dia ... dia mengaku sebagai saksi, dia bilang ...."
Bahu Pak Yaman bergetar, dia semakin terisak. "Kalau Addly adalah seorang pemabuk berat, dan dia ... mencoba melukai dirinya sendiri, dan keberadaanmu saat itu, berusaha untuk menghentikannya namun kalian malah berakhir saling bertarung ...." Pak Yaman menghela napas berat. "Itulah yang kakakmu sampaikan pada mereka."
Gunay membeku, mulutnya menganga terbuka. "Ka ... kak ..." lirihnya sembari tertunduk memegangi kepalanya yang terasa semakin berat.
Air keluar semakin deras dari ujung matanya, dia meremas rambutnya kuat-kuat. Merasa frustrasi.
Tiba-tiba dia bangkit, melepaskan infus di tangannya, lalu beranjak turun dari tempat tidur.
"Mau ke mana?" Pak Wawan bertanya was-was.
Gunay tak menjawab, dia melangkah berat menuju pintu. Namun saat tepat di ambang pintu, Dimas yang baru akan masuk menghalanginya.
"Mau ke mana, lo, Nay?"
"Minggir, Mas!"
Mendengar suara Gunay yang serak dan dalam, Dimas refleks menyingkir.
"Besok lo harus sekolah, Nay! Dua minggu lagi kita ujian nasional, lo harus siapin semuanya!" teriaknya pada Gunay yang langkahnya semakin menjauh.
Gunay tak menggubrisnya, dia malah semakin mempercepat jalannya.
.
.
.
Pak Yaman sempat khawatir mengira kalau Gunay akan kabur dari rumah. Ternyata anak bungsunya itu hanya mengurung dirinya di kamar selama berhari-hari. Takut menemui kakaknya.
Baru saja kemarin Yanli datang untuk menemuinya, Gunay malah tak menjawab dari dalam. Dia hanya membungkus dirinya di dalam selimut sambil terus menangis tanpa henti.
Tak banyak yang bisa Yanli lakukan, dia akhirnya hanya bisa kembali ke rumah Addly sambil menggendong anaknya. Pak Yaman sudah memaksa Yanli untuk kembali ke rumah, namun ia terus menolak, rumah itu adalah peninggalan Addly, di rumah itu tersimpan banyak kenangan dirinya bersama almarhum suaminya. Ditambah, adik Addly—Sahrul juga tak pernah terlihat lagi sejak malam itu, dia menghilang, entah ke mana. Bahkan saat hari pemakaman Addly pun dia tidak muncul.
Setelah hampir seminggu mengurung diri, Gunay akhirnya memutuskan keluar.
Di hari senin pagi ini dia sudah mengenakan seragam sekolahnya lengkap dengan tas di punggungnya. Tak ada semangat di wajahnya, bibirnya pucat dan matanya pun sembab.
Tanpa duduk di meja makan barang sebentar, dia hanya menghampiri ayahnya lalu mencium tangannya berpamitan untuk pergi.
Pak Yaman tak bisa berkata banyak, ia hanya mengangguk. Membiarkan anak bungsunya itu melakukan apa saja yang kiranya bisa menghilangkan rasa bersalahnya.
.
.
.
Sesampainya di sekolah, Gunay hanya terus diam menatap kosong ke meja di hadapannya. Dimas yang sudah berkali-kali melirik ke arahnya hanya bisa menghela napas. Tak tahu cara apa yang bisa dia lakukan untuk menghibur sahabatnya itu.
Dimas menatap seseorang yang duduk di depan Gunay. Dia menghela napas lagi.
Pemikiran mereka yang begitu percaya diri sebelumnya benar-benar salah, sudah sebulan dan Kanselir sekalipun tak pernah mengajak mereka berbicara lagi. Entah kenapa, dada Dimas ikutan sesak memikirkan kepahitan Gunay. Memikirkan betapa terpuruknya dia kini.
Dan hal itupun berlalu hingga beberapa minggu, Gunay benar-benar seperti bukan dirinya lagi.
Tepat di hari perpisahan sekolah, Gunay dan Kanselir berdiri berhadapan di gerbang sekolah. Mereka saling menatap cukup lama. Kilas balik selama tiga tahun dan berbagai peristiwa yang mereka alami selama ini seolah terbayang di sekeliling mereka berdua saat itu.
Kanselir menatap Gunay sendu, begitu pula Gunay menatap Kanselir. Keduanya terlihat seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tapi ketika membuka mulut, kata-kata itu sepertinya langsung menghilang tersapu angin.
Tak tahan lagi, Kanselir akhirnya menunduk, dia berkedip sekali dan air mata pun jatuh. Dia sangat tahu, ini adalah terakhir kalinya dia bisa melihat Gunay, sebelum akhirnya akan pergi ke Turki besok untuk ikut dengan neneknya dan melanjutkan kuliah di sana.
Dia berbalik tanpa mengangkat kepalanya, tangannya mengepal erat. Ketika langkah yang ketiga, suara lirih pemuda itu menyentuh indra pendengarannya. "Kanselir ...."
Seperti ada paku yang menusuk-nusuk hatinya, suara itu benar-benar hampir menghancurkan dinding pertahanannya. Suara itu kenapa sangat beda ... sangat beda dari yang dikenalnya? Mana Gunay yang selalu memanggilnya dengan suara cempreng? Kenapa itu sekarang terdengar begitu dingin?
Kanselir mengeraskan hatinya, mencoba tidak peduli dan mengabaikan panggilan itu.
Dia melanjutkan langkahnya dan melangkah kian cepat menjauhi Gunay. Hingga akhirnya, punggungnya menghilang dari pandangan pemuda itu.
Gunay menghela napas dan menundukkan pandangannya. Dia mengira Kanselir hanya marah padanya dan menjauhinya. Kemarahan seperti itu pasti akan lirih seiring waktu, masih banyak kesempatan baginya untuk mengunjungi gadis itu dan meminta maaf.
Tanpa dia ketahui, mungkin dan hanya mungkin, bahwa ini adalah kali terakhir, dia bisa melihat gadis itu.