Entah kenapa rasanya hari ini jadi sangat berat bagi Gunay. Sebab, banyak hal buruk yang terjadi begitu saja. Dan lagi, hal-hal buruk itu selalu berhubungan dengannya.
Baru saja ia selesai membersihkan dirinya, Ia sudah dipanggil lagi untuk bersaksi ke ruang BK. Entahlah drama macam apa lagi yang akan terjadi.
Tepat saat Gunay sampai di ruang BK, Sahrul sudah berada di situ dahulu dan duduk di depan Pak Wawan yang ekspresi wajahnya sangat gelap.
"Gunay duduk!" titah Pak Wawan saat menyadari keberadaan Gunay.
Ia pun membuka suara lagi saat Gunay sudah benar-benar duduk. "Pihak rumah sakit baru saja menelepon," ucap Pak Wawan serius.
Kedua pemuda itu menatapnya lekat, jakun mereka bergerak naik turun merasa gugup menanti berita apa yang akan mereka dengar.
"Mereka bilang, Mingyan terkena gegar otak dan juga amnesia parsial, yang mana akan membuat anak itu harus mendapatkan perawatan penuh di rumah sakit. Saya juga belum memberitahukan keluarganya, makanya sekarang saya ingin mempercepat penyelesaian masalah ini untuk membuat keputusan," jelas Pak Wawan panjang lebar.
"Gunay, apa benar kamu melihat Sahrul mendorong Mingyan?" sambung Pak Wawan memulai interogasi.
"Seperti yang saya bilang tadi, saya tak melihat detailnya, Pak. Tapi saya sangat yakin pasti cowok psikopat ini yang udah buat dia jatuh, Pak!" Gunay menekankan kalimat terakhirnya sambil menatap Sahrul sengit.
"Maksud lo apa?! Gua bukan psikopat!" Sahrul memelototinya. Lalu dia beralih ke Pak Wawan. "Dan Saya katakan sekali lagi, bukan saya yang mendorongnya, Pak! Dia terjatuh dan terpeleset sendiri!" bantah Sahrul, dia memandang marah Gunay dan Pak Wawan bergantian.
"Mana mungkin dia bisa jatuh sendiri saat lo di situ? Oh! Jangan lupakan ekspresi lo waktu liat tuh cewek berdarah-darah," kata Gunay mengingatkan ekspresi Sahrul ketika melihat Mingyan jatuh. Kala itu, wajahnya seolah baru saja melihat hal yang sangat memuaskan.
Tapi Sahrul langsung membantah, "Gue kaya gitu karena gue kaget!"
"Mana mungkin kaget sambil senyum? Gue emang udah gak habis pikir banget sama lo, Rul! Waktu kita kejebak di gua dulu lo coba mau sentuh dia, dan sekarang lo berusaha celakain dia karena udah ngebongkar kesalahan lo, gitu?"
"Membongkar kesalahan apa maksudnya, Gunay?" Pak Wawan tiba-tiba menyela perdebatan kedua pemuda itu.
"Sebelumnya, Bu Nova menuduh saya yang mencuri spiritus itu, Pak. Tapi tiba-tiba Mingyan datang dan menunjukkan bukti kalau Sahrul yang udah mencurinya. Saya pikir mungkin cowok brengsek ini dendam sama dia lalu akhirnya mencelakai dia, Pak!"
"Oh ... begitu rupanya, berarti memang tak perlu diragukan lagi kalau kau yang sudah mendorong Mingyan ... baiklah, setelah mengabari keluarga Mingyan saya akan mengabarimu lagi Sahrul, jika keluarganya memintamu dikeluarkan dari sekolah, maka kami tak akan segan-segan mengeluarkanmu."
"Tapi Pak—"
"Kalian bisa kembali," perintah Pak Wawan sambil beranjak berdiri mendahului mereka pergi.
Kedua pemuda itu masih duduk terdiam beserta atmosfer mencekam yang memenuhi di antara mereka berdua.
Gunay akhirnya mengambil inisiatif untuk beranjak duluan. Tepat saat ia mencapai ambang pintu, suara Sahrul yang teredam dan begitu dalam memenuhi pendengaran Gunay. "Liat aja ...."
Gunay memutar kepalanya, menatap orang yang berbicara.
Sahrul masih duduk di tempatnya, terdiam dan menunduk. "Liat aja ... kalau sampe gue bener-bener dikeluarin dari sekolah, lo bakal liat akibatnya ... gue ... bakal balas lo cepat atau lambat."
Gunay hanya mendengus mendengar ucapan aneh itu, dia mencoba tak peduli dan kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Sahrul sendiri di ruang BK yang sepi.
.
.
.
Tepat saat sepulang sekolah, Gunay mendengar kabar bahwa Sahrul akhirnya benar-benar dikeluarkan dari sekolah. Tak hanya itu, bahkan keluarga Mingyan meminta ganti rugi biaya pengobatan anak mereka sebesar 50 juta kepada keluarga Sahrul—Yang tidak lain adalah keluarga Gunay juga. Entah bagaimana perasaan kakak dan abang iparnya ketika mendengar itu, Gunay sangat cemas memikirkannya.
Istilah sudah jatuh tertimpa tangga pula sungguh menggambarkan keadaan Sahrul saat ini. Namun tampaknya tak ada yang merasa iba padanya, orang-orang berpikir itu adalah hal yang pantas ia dapat.
Tadinya Gunay berencana ingin menemui kakaknya di rumah Addly, tapi sepertinya dia akan mengurungkan niatnya kali ini. Situasinya sangat tidak pas, mungkin Sahrul dan abangnya sedang berdebat di rumah mereka saat ini. Gunay hanya bisa berdoa, semoga saja kakaknya tak terkena imbasnya dalam masalah ini.
.
.
.
Satu tahun sudah berlalu tanpa terasa, Gunay dan teman-temannya yang lain sepertinya sudah terbiasa menjalani hari di sekolah tanpa kehadiran Sahrul.
Tampaknya anak itu tak melanjutkan sekolahnya lagi, dan malah memilih menjadi berandalan yang kerjaannya balap liar, mabuk-mabukan, dan berkelahi di jalanan.
Gunay tak peduli sedikit pun pada perubahan drastis hidup Sahrul, yang ia cemaskan hanyalah kakaknya yang kini tengah mengandung sembilan bulan yang berada di tengah-tengah abang-adik yang selalu berdebat setiap berjumpa.
Sedangkan Mingyan, gadis malang itu hingga kini masih terus dirawat di rumah sakit. Sebenarnya keadaannya sudah agak membaik, namun amnesianya belum pulih total. Dia masih sering terlihat melamun sendirian, jarang bicara, dan tak mau ditemui. Sepertinya dia akan mengulang pelajarannya tahun depan, dan terpaksa berpisah dengan teman seangkatannya yang sebentar lagi akan mengikuti ujian kelulusan.
Di hari Senin yang cerah ini, Gunay datang ke sekolahnya dengan suasana hati yang begitu ceria. Dia sudah memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada Kanselir setelah merenungi dan mempertimbangkannya selama tujuh hari tujuh malam.
Apapun jawaban gadis itu akan ia terima dengan lapang dada! Yang penting, beban menumpuk dalam benaknya setidaknya bisa ia lepaskan.
Dalam perjalanannya di lorong sekolah, pandangan Gunay tak sengaja menangkap seseorang yang sedang berdiri menampilkan separuh wajahnya mengintip ke balik ruangan. Badannya membelakangi Gunay. Dia bertanya-tanya, Lagi ngapain tuh anak?
Gunay sangat tahu betul siapa orang yang sedang mengintip ini. Siapa lagi kalau bukan sahabat se-perbobrokannya, Dimas. Dia pun melangkah tanpa suara diam-diam menghampiri si pengintip tersebut.
Saat benar-benar tepat di balik punggung Dimas, tangan Gunay langsung membekap mulutnya begitu saja.
"Mmmhh mmmhh." Dimas langsung menggelepar saat tangan Gunay satunya lagi turut serta menutup matanya.
Gue diculik! pikir Dimas berburuk sangka.
Gimana bisa gue diculik di sekolah? Tunggu, jangan-jangan gue mau diperkosa?! Anjir! Gue kan lagi pake kolor kendor? Masa gue diperkosa dalam keadaan pakai kolor kendor? Ya malulah! pikiran absurdnya semakin aneh-aneh saja. Bukannya bertanya-tanya perihal siapa yang sedang membekap dan menutup matanya, dia malah memikirkan harga diri kolornya.
Gunay menarik tubuh Dimas mundur, membuat orang yang mulutnya sedang disumpal makin memberontak.
"Bwahhh." Dimas langsung menghembuskan nafas lega setelah Gunay benar-benar melepaskan tangannya.
Dimas pun berbalik, menatap orang yang sudah menculiknya.
"Lo?!" kagetnya sambil mengutarakan berbagai macam umpatan berbarengan dengan tangannya yang melayang ke kepala Gunay.
Sambil mengelus-elus kepalanya, Gunay tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Dimas yang seolah baru saja diculik oleh seorang pedofil.
"Ngintipin siapa lo, Mas? Hayooo," tanya Gunay menginterogasi.
"Eng-enggak ngintip, kok! Tadi gue kebetulan lewat aja trus gak sengaja liat Mirza lagi ngomong sama adek kelas cewek, ya gue penasaran lah," jawab Dimas dengan wajah yang tampak masam, bibirnya meruncing seolah sedang marah, lebih terlihat seperti seorang istri yang baru saja memergoki suaminya berselingkuh.
Alis Gunay berkerut melihat tingkah mencurigakan Dimas. Dia pun melanjutkan interogasinya, "Apa urusan lo kalo dia ngomong sama adek kelas cewek? Oh, sebenarnya gue penasaran banget, entah kenapa akhir-akhir ini Dimas tersayang gue jadi deket banget sama Mirza, ada hubungan terselubung apa lo sama dia?"
"Apa sih, lo! Geli gue syaland." Tangannya menonjok dada Gunay pelan, tapi agak keras juga. "Y-ya gue emang udah lumayan deket sama Mirza, kami temenan sejak dia nolong gue waktu kejebak berdua di gua."
"Gue gak habis pikir, lo khianatin gue, Mas! Dia itu rivalnya gue dalam dapetin hatinya Kanselir! bisa-bisanya lo temenan ama dia, hiks." Gunay menyapu bawah matanya seolah baru saja menangis, padahal tak ada sedikit pun air mata yang keluar.
Dimas menusukkan jari telunjuknya ke tengah dahi Gunay. Berharap otak bodoh di dalamnya bisa bekerja dengan baik. "Heh, tuan muda Gunay yang pintar nan tampan, udah berapa kali gue kasih tau lo kalo Kanselir itu gak pernah suka sama si Mirza! Dia cuma sering perhatiin si Mirza karena dia emang demen liat cowok-cowok ganteng yang cool! Gak kayak lo yang kaya cacing kepanasan!"
"Ah udahlah, Mas. Emang sekarang lo udah di pihaknya si Mirza, dah lah gue pergi dulu." Gunay meninggalkan Dimas yang masih diam terpaku dengan dramatis.
Seolah sedang berada dalam drama-drama romance kolosal, dalam hati Gunay membatin, Ayo, Mas. Hentikan gue, panggil gue lagi.
Di sisi lain, Dimas menatap aneh Gunay yang entah mengapa semakin memperlambat langkahnya. Dimas tak peduli dengan makhluk aneh itu, dia malah berjalan berlainan arah dengan Gunay dan pergi menuju kantin.
Bener kata Kanselir, Gunay emang rada sengklek.