"Bisa kau ceritakan kenapa kau melakukan hal itu, Sahrul?"
tanya Pak Wawan selaku guru BK.
Mereka duduk berdua saling berhadapan, sedangkan Bu Nova berdiri melipat tangannya di samping Sahrul.
Sahrul diam, kepalanya tertunduk.
"Kau ini bisu atau bagaimana? Cepat jawab!" sentak Bu Nova memaksa, ia sudah sangat jenuh hanya untuk menanti pemuda itu untuk mengeluarkan sepatah kata.
Seolah tak mendengar apa-apa, tubuh Sahrul bahkan tak bergerak sesenti pun.
"Hahhh ...." Kali ini Bu Nova sudah benar-benar muak. "Tolong langsung saja berikan hukuman yang setimpal pada anak ini, Pak! Tak usah bertanya-tanya lagi, bisa-bisa kita darah tinggi dibuatnya. Saya pergi dulu, saya ada kelas," ucap Bu Nova sembari melenggang pergi.
"Hmm ... kau ingin diberi hukuman apa, Sahrul?" Pak Wawan mencoba menanyakan pertanyaan lain.
Sahrul masih saja diam. Kepala Pak Wawan seketika menjadi panas, seolah seluruh darahnya berdesir dan berkumpul pada satu titik. Benar kata Bu Nova, bertanya pada anak ini cuma bikin darah tinggi aja, sesal Pak Wawan dalam hati.
"Baiklah, kamu saya skors selama tiga hari. Dan selama itu pula kamu dilarang berkeliaran di sekitar lingkungan sekolah tanpa alasan apapun. Jangan kamu ulangi lagi, kembali ke kelas sana!" ucap Pak Wawan memberi keputusan terakhir.
Akhirnya ada pergerakan dari orang di hadapannya, Sahrul mengangkat kepalanya perlahan lalu mengangguk.
"Saya permisi," pamitnya kala kakinya hendak melangkah pergi.
Sahrul berjalan dengan hening menyusuri lorong sepi di lantai tiga ini, sepertinya memang selalu seperti ini, lantai tiga di sudut ini hanya diperuntukan ruangan tertentu saja. Sedangkan ruang kelas berada di bagian lain.
Tepat di pembelokan menuju ke lantai dua, mata Sahrul menangkap seorang gadis berkuncir kuda yang sedang memegangi sebuah map merah. Sepertinya ia hendak mengantarkan tugas laporannya ke ruang guru yang memang ada di lantai tiga.
Jantung Mingyan berdegup sangat kencang saat ia mengangkat kepalanya dan mendapati Sahrul yang sedang melipat kedua tangannya sembari menatapnya tajam penuh dendam.
"Udah puas cari mukanya hm, cewek mulut ember?!"
"Ma-maksud lo apa?" tanya Mingyan takut-takut. Matanya menyapu seluruh penjuru tangga. Namun tak ada seorangpun di sini. Padahal sekarang adalah jam istirahat makan siang, bagaimana bisa tidak ada orang?
Sahrul tertawa remeh, "Waktu ngelaporin gue gaya lo seolah-olah udah jadi pahlawan yang tak kenal takut, sekarang kenapa muka lo pucat gitu? Takut gue balas, hm?"
Wajah Sahrul saat ini benar-benar menyeramkan, aura yang keluar dari sekitarnya membuat gadis itu gemetar ketakutan. Padahal mereka sering berpapasan, mereka bahkan satu kelas, kenapa kali ini rasanya berbeda sekali?
Seolah sedang berhadapan dengan seorang pembunuh berantai, Mingyan dengan hati-hati memundurkan kakinya untuk menuruni tangga dengan perlahan kala menyadari Sahrul yang semakin mendekatkan tubuhnya ke arah dirinya.
"Kenapa? Lo takut sama gue? Gue gak bakalan ngapa-ngapain lo, kok," ucapnya dengan santai, namun langkahnya tetap saja semakin maju memojokkan gadis itu.
Sahrul hanya berniat untuk menakut-nakuti Mingyan, sebenarnya dia tak ada masalah dengan hukuman yang di dapatnya. Hanya dengan melihat wajah ketakutan Mingyan rasanya sudah cukup untuk melampiaskan rasa kesalnya pada gadis itu. Entah kenapa, saat melihat wajah ketakutan seseorang, ada rasa senang yang tak tergambarkan dalam benaknya.
Kurang dari sepuluh senti lagi wajahnya akan bersentuhan dengan wajah ketakutan Mingyan.
Namun, saat Mingyan berusaha menurunkan kaki kirinya perlahan mencapai anak tangga di bawah, tubuhnya tiba-tiba hilang keseimbangan!
Tangan Sahrul berusaha meraih tangan Mingyan yang melayang mencari penyangga di udara, namun terlambat, kepala Mingyan sudah terlebih dahulu jatuh dan terhempas tepat ke sudut anak tangga yang runcing. Tak hanya itu, tubuh mungilnya ikut terguling-guling di tangga hingga mencapai dasar lantai dua.
Mulut Sahrul hanya menganga lebar, masih belum menyadari sepenuhnya yang terjadi barusan di hadapannya.
Gadis yang sudah tergeletak tak berdaya itu sudah dipenuhi banyak darah, terutama di bagian belakang kepalanya. Kertas-kertas dari map yang dibawanya sudah berserakan di anak tangga.
"Mingyan!!"
Tiba-tiba seseorang berteriak panik dan langsung berlutut di samping Mingyan. Mengulurkan tangannya yang gemetar mencoba mengangkat kepala gadis itu yang sudah dipenuhi darah segar.
Kepalanya mendongak ke arah ujung tangga atas, dan seketika mata orang itu langsung membulat lebar, syaraf-syaraf di matanya langsung menonjol dan kemerahan.
"Sahrul!! lo ... lo emang bajingan!!" umpat orang itu pada Sahrul yang gemetar ketakutan. Wajahnya berubah-ubah antara merah dan putih.
Gunay? Ke-kenapa Gunay tiba-tiba muncul? tanya Sahrul dalam hati. Kepanikan seketika memenuhi kepalanya. Bagaimana bisa? Bukan, bukan dia yang membuat Gadis itu terjatuh, bukan dia ... bukan dia ....
Sahrul memegangi kepalanya frustrasi, lututnya gemetar hebat. Dia pun jatuh terduduk. Matanya menatap kosong tempat Mingyan jatuh tadi, orangnya sudah lama dibawa pergi oleh Gunay meninggalkan bercak darah yang mengotori dasar lantai.
Pak Wawan yang hendak turun terkejut melihat kondisi Sahrul yang aneh. Dia pun bertanya, "Kamu kenapa lagi, Sahrul? Kok berlutut di situ kayak orang stress?"
Tak mendapat jawaban, Ia pun mengikuti arah pandang Sahrul, dan sontak kaget melihat warna cairan merah yang menodai tangga hingga ujung.
"A-apa ini? Darah?"
Saat Pak Wawan masih bertanya-tanya dengan yang Ia lihat, Sahrul seketika berdiri, menuruni tangga dengan tergesa-gesa meninggalkan Pak Wawan yang masih diliputi kebingungan.
"Hei!! Mau kemana kamu?"
.
.
.
Sahrul dengan terburu-buru berlari tanpa tujuan, Ia terus mengikuti ke mana langkahnya membawanya.
Sebuah pohon besar nan rindang akhirnya menjadi tempat perhentian terakhir. Ia dudukkan pantatnya di antara akar-akar yang menonjol di bawah pohon besar tersebut. Kepalanya Ia sandarkan ke batang pohon dan matanya menatap kosong ke atas, ke arah dedaunan yang rimbun.
Berbagai macam dugaan yang buruk muncul berulang-ulang dalam kepalanya.
Gimana kalo cewek itu meninggal?
Apa gue bakal dikeluarin dari sekolah?
Apa gue bakal dipenjarakan? Lalu dihukum mati kayak ayah?
Tanpa ia sadari, ketakutan berlebihannya membuat air bening mulai berjatuhan dari sudut matanya. Dia menangis.
.
.
.
"Pak! Tolong panggilkan ambulans!!" teriak Gunay tergesa-gesa sambil menggendong Mingyan yang tak sadarkan diri di kedua lengannya. Dia membawa gadis itu ke UKS sekolah dan langsung meminta petugas UKS meneleponkan ambulans.
"Baik! Baringkan saja dulu dia!" ucap seorang petugas UKS yang berpakaian putih. Sepertinya dia adalah dokter sekolah ini.
Gunay membaringkan Mingyan dengan perlahan, kini seragam putihnya menjadi penuh dengan bercak darah Mingyan yang menempel.
Sembari menanti ambulans datang, Dokter tersebut memberikan pertolongan pertama terlebih dahulu pada gadis itu dengan memeriksa luka di kepalanya.
"Oh tidak, ini parah sekali," ujar dokter tersebut sambil mendesis.
"Perlu alat khusus untuk menanganinya," sambungnya.
Wajah Gunay berkerut mendengar itu, seolah ia ikut merasakan kekhawatiran sang dokter. "Kita harus bagaimana, Pak?"
"Selagi menunggu ambulans datang, Bapak akan membersihkan lukanya dulu."
Gunay mengangguk paham.
Selang beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki yang ramai dari luar.
"Ada apa? Darah siapa yang ada di tangga?" tanya seorang guru laki-laki yang tak lain adalah Pak Wawan. Wajahnya tampak cemas. Jelas sekali, dia pasti memutuskan untuk memeriksa ke sini setelah melihat darah yang mengotori lantai dua.
Tak hanya Pak Wawan, di belakangnya ada dua guru wanita yang tak asing bagi Gunay, itu adalah Bu Nova dan Bu Dian. Apa mungkin Pak Wawan sengaja memanggil mereka setelah melihat Sahrul yang terduduk seperti orang bodoh?
Melihat si Dokter yang tampaknya tak peduli dengan kehadiran mereka, salah satu dari tiga Guru itu bertanya pada Gunay, dia adalah Bu Dian. "Ada apa ini, Gunay?"
Kepala Gunay yang sedari tadi tertunduk lesu meratapi seragamnya yang kotor mengangkat kepalanya dan menjawab, "Saya sebenarnya tidak tau detailnya, Bu. Tapi saat saya ingin ke lantai tiga menyusul Sahrul untuk menanyai alasan dia berbuat itu pada saya, saya malah tak sengaja melihat Mingyan yang jatuh terguling di tangga antara lantai tiga dan lantai dua, dan ketika saya mendongak, saya melihat Sahrul berada di atas. Hanya dia sendiri yang ada di situ."
"Apa? Sahrul? Apa mungkin dia yang mendorong Mingyan hingga jatuh?" Bu Dian bertanya panik.
Tiba-tiba suara Pak Wawan terdengar, "Ya! Pasti memang dia! Makanya seperti yang saya bilang tadi pada Ibu, gelagat anak itu mencurigakan saat saya temui."
Saat mereka masih sibuk membicarakan perihal masalah Sahrul, sirine ambulans terdengar sangat nyaring datang dari ujung gerbang.
Empat orang petugas rumah sakit berpakaian putih datang membawa tandu untuk mengangkut gadis malang tersebut. Saat tubuhnya dibawa menyusuri halaman ke sekolah tempat ambulans terparkir, semua mata menatap dengan pandangan terkejut. Mulut mereka menganga tak percaya, begitu ramai orang-orang yang mengerumuni menyaksikan hal tak biasa tersebut.
Setelah melihat Mingyan sudah benar-benar dibawa ke rumah sakit dan ditemani oleh beberapa orang guru, Gunay akhirnya bisa bernapas lega, ia menyeka keringat di dahinya dengan kasar. Ia menoleh ke bawah, memeriksa seragamnya yang tak enak dilihat, sangat kotor, pikirnya.
Ia pun memutuskan untuk mandi di sekolah sebentar, berhubung jam istirahat makan siang masih tersisa kurang dari sepuluh menit lagi.
Saat melewati koridor tepatnya di depan ruang OSIS, Gunay tak sengaja mendengar Pak Wawan yang berteriak memerintahkan beberapa anggota OSIS untuk mencari keberadaan Sahrul. Memangnya kemana anak itu pergi sampai harus dicari orang sebanyak itu?
Gunay menghela napas, lalu melanjutkan kembali langkahnya.