Mingyan masih berdiri di samping meja Dimas, menanti Gunay berbicara dengan teman sekelas yang lain. Setelah dia melihat Gunay duduk, ia pun mengeluarkan sebuah kotak segiempat berwarna hijau cerah dan menyodorkannya ke hadapan Gunay.
"Nay, ini brownies cokelat gue buat sendiri, anggap aja sebagai rasa terima kasih udah nyelamatin gue waktu itu. Maaf baru kasih sekarang soalnya gue baru masuk sekolah hari ini."
Gunay menatap kotak itu sebentar. "Oh, makasih," jawab Gunay sambil menyimpan kotak tersebut ke dalam laci.
Cukup lama Mingyan masih berdiri diam terpaku, setelah melihat Gunay yang menatapnya heran, dia pun memutuskan untuk pergi dengan sedikit rasa kecewa.
Kenapa sulit banget sih buat deketin Gunay?
Setelah melihat Mingyan pergi, dia mengeluarkan kotak itu dan malah memasukkannya ke laci meja Dimas.
"Nih buat lo aja, gue gak suka brownies."
"Kenapa? Biasanya kalo Kak Yanli yang buat lo selalu ngehabisinnya kaya orang gak makan seminggu sampe gue gak pernah kebagian."
"Itu dia masalahnya, gue cuma mau makan kue kalo kakak yang buat."
Dimas membuka tutup kotak itu, dan tampaklah kue brownies coklat yang terpotong rapi dengan berbagai hiasan cantik di atasnya.
Dimas meraih sepotong dan mulai mengigit. "Enak gini, kok."
"Udah buat lo aja."
"Yaudah," jawab Dimas sambil terus memakan kue tersebut dengan lahap. Tapi tetap berusaha agar tak terlihat oleh Mingyan.
Gunay beranjak dari duduknya, hendak pergi ke toilet.
Namun tepat saat ia melewati ambang pintu, Mirza baru saja akan masuk ke dalam. Ketika mereka berdua berselisih jalan, Gunay tiba-tiba berbicara, "Bentar."
Mendengar itu Mirza refleks menghentikan langkahnya. Namun egonya membuatnya tetap menatap lurus ke depan, tak ingin menoleh ke orang yang berbicara.
Gunay mundur selangkah, dengan sengaja mensejajarkan dirinya dengan pemuda minim ekspresi itu.
Tepat saat tubuh mereka berhadap-hadapan, Gunay menepuk bahu Mirza pelan. "Dateng ya ke nikahan kakak gue, minggu depan," ucap Gunay sambil tersenyum, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Mirza.
.
.
.
Seminggu kemudian ...
Hari pernikahan Yanli dan Addly pun tiba. Gedung besar nan mewah tempat mereka menggelar acaranya dihiasi dengan begitu banyak pernak-pernik, bunga berwarna-warni terhampar hampir di setiap sudut ruangan.
Sepasang insan yang menjadi tokoh utama dalam acara ini tengah duduk berdampingan di tengah-tengah ruangan, di singgasana tempat untuk kedua pengantin. Tangan sang pria menggenggam lembut jemari si wanita. Wajah mereka sangat cerah, kebahagiaan tergambar jelas dalam setiap inci lekuk wajah kedua orang itu.
Akad baru saja selesai dilaksanakan, semua orang yang menonton seolah tersihir dan terbawa dalam aura keromantisan cinta sepasang pengantin tersebut.
Addly dan Yanli masih sibuk melayani para tamu yang turut memberi selamat pada mereka berdua. Namun Yanli seolah merasa tak tenang, matanya berkeliling ke setiap sudut mencari-cari kehadiran seseorang.
"Mana Gunay?" tanyanya terus-menerus dalam hati.
.
.
.
Gunay tengah berdiri bersandar di pojokan gedung yang sepi, matanya memerah dan bibirnya berkedut-kedut.
Bagian lengan kemeja putihnya ia gulung sedikit ke atas menampilkan tangannya yang seputih salju. Sayangnya lengan yang tergulung rapi itu segera basah dengan air mata saat Gunay menggosokkannya ke matanya yang sudah banjir.
"Ya ampun, Nay, lo nangis?"
Suara seseorang tiba-tiba muncul dari samping kanannya.
Saat Gunay menoleh, ternyata itu adalah Kanselir yang terlihat sangat anggun dengan gamis berwarna hijau cerah, serta hijab yang senada dengan gamisnya.
Gunay refleks menghapus air matanya lagi, meninggalkan jejak di mata yang masih tampak sembab.
"Eng-enggak, kok." Dia menegakkan tubuhnya mencoba tetap terlihat cool. Tapi pandangannya justru tertuju ke arah lain, tak berani menatap Kanselir.
"Hilih, masih aja bohong," ucap Kanselir sambil berdiri mengikuti arah pandang Gunay, saat pemuda itu menoleh ke arah lain, Kanselir turut bergerak ke arah itu pula hingga Gunay akhirnya menyerah dan menatap Kanselir lekat.
"L-lo ngapain di sini?"
"Hahaha mata lo bengkak! Ahahaha cowo kok cengeng banget hahahah," ledek Kanselir tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
Gunay, "...."
Setelah lelah menertawakan Gunay, Kanselir menegakkan tubuhnya lalu berkata, "... gue sebenernya lagi nyari Yumna, dia dari tadi gak keliatan, lo ada liat gak?"
"Gak, tuh," jawab Gunay malas.
"Oh, yaudah," ucap Kanselir mengakhiri pembicaraan.
Beberapa saat keheningan muncul di antara mereka berdua, namun tak lama setelahnya, Kanselir berbicara lagi, "Gue boleh nanya sesuatu gak, Nay?"
"Apaan?"
"Kak Yanli, ntar ... tinggal di mana? Tetep di rumah lo atau ngikut suaminya?"
Gunay terdiam sebentar, seolah mengingat sesuatu yang menyakitkan lagi.
Setelah cukup lama barulah ia menjawab, "Itu dia yang buat gue sedih banget, kakak ... katanya mau ngikut Bang Addly, tapi setelah dia diwisuda, dan wisuda kakak itu dua bulan lagi. Itukan gak lama, Sel. Gue masih belum rela ditinggal kakak, gue ...." Mata Gunay mulai memerah lagi.
Melihat itu Kanselir hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Bagaimana bisa dia berteman dengan cowok cengeng macam ini?
Kanselir hanya menanggapi dengan nada datar, "Rumah Bang Addly kan gak jauh-jauh banget dari sekolah, lo masih bisa kunjungin kakak lo sesering yang lo mau."
"Tetap aja bakalan beda, Sel! Wajah Kakak gak bakalan bisa gue lihat lagi sepanjang hari, juga gak bakalan ada lagi yang bikinin gue cemilan atau bikinin PR gue," ujar Gunay dengan raut wajah sedih.
"Hadehh ...." Kanselir menepuk kepalanya sendiri, "Makanya lo belajar mandiri, dong!"
Gunay tak menanggapi, dia masih tetap berdiri diam dan menatap kosong ke arah lantai yang diinjak Kanselir.
Kanselir menarik napas panjang. "Gue pergi dulu ya, Nay, mau lanjut cari Yumna."
Gunay hanya menggumam. "Mm."
Kanselir melangkah pergi dengan perlahan, Gunay menatap punggung gadis itu sejenak lalu kemudian menundukkan kepala menatap ke lantai lagi.
Kesedihan masih tak henti-hentinya menyelimutinya, rasa tak ikhlas melepas sang kakak membuatnya sangat depresi. Kenapa harus secepat itu? Kenapa Kakaknya harus menikah dan meninggalkan dia sendiri secepat ini?
Air mata Gunay rasanya ingin keluar lagi saat memikirkannya. Dia pun menghapus matanya untuk terakhir kalinya lalu melangkah pergi ke keramaian, bermaksud menyapa teman-temannya yang pasti sedang mencari-carinya.
.
.
.
"Kamu dari mana aja sih, Dek? ... ya ampun, dari tadi kakak cariin."
Yanli yang masih mengenakan gaun pengantin putihnya berlari dengan cemas ke arah Gunay, tangannya langsung saja memeluk erat pemuda itu.
Setelah beberapa saat terdiam, Gunay balas memeluk kakaknya lebih erat sambil bertanya, "... kenapa, Kak?"
Yanli melepas pelukannya perlahan, "Kakak gak tau kenapa, dari tadi perasaan kakak gak enak terus ... setelah meluk Gunay, rasanya ... jadi lebih lega ...."
Yanli menundukkan wajahnya, lalu menatap Gunay lagi sambil berbicara, "Jangan pergi jauh-jauh ya, Nay. Sini aja duduk bareng temen-temen, biar kakak bisa pantau terus."
Wajah Gunay memerah, dia lihat wajah semua temannya yang kini berusaha menahan tawa.
"Kakak ... jangan ngomong gitu ... Gunay malu ..." ucapnya setengah berbisik ke arah Yanli.
Tiba-tiba dari belakang Yanli muncul seorang pemuda yang mengenakan pakaian pengantin pria memanggil Yanli dengan lembut, "Sayang, kok kamu di sini? itu temen-temen kuliahmu nyariin."
Yanli berbalik sambil tersenyum, dia mengelus puncak kepala Gunay sebentar lalu berjalan dengan anggun ke arah suaminya.
Setelah Yanli pergi cukup jauh, barulah teman-teman laknat Gunay melepaskan tawanya hingga puas meledek Gunay.
Kala Gunay dan teman-temannya masih hanyut dalam candaan dan gelak tawa, Sahrul sedang menatap iri padanya. Gelas kaca di tangannya ia genggam begitu erat. Meniru gaya pemeran antagonis ala-ala drama Asia. Yang mana seperti peran seorang istri sah yang mendapati suaminya bermain dengan gadis-gadis cantik. Untung saja gelas itu tidak pecah, melihat betapa seriusnya Sahrul memainkan perannya itu.
Kemudian pandangannya pun beralih ke tangan kanannya, ada sebuah botol kecil berisi cairan bening. Sedetik kemudian, pandangannya mengarah lagi ke orang-orang itu. Tidak, lebih tepatnya ke arah Gunay seorang. Ia tersenyum penuh arti.
Dari kejauhan sana, Dimas sedang menepuk kuat lengan Gunay. Ia bertanya marah, "Ini lengan baju lo kok bisa basah gini?"
Gunay langsung mengikuti arah pandang Dimas, dia agak membeku saat menyadarinya. Itu adalah bekas air mata yang tadi dia lap!
Dengan malu ia melipat ujungnya sedikit demi sedikit menutupi bukti dari kelakuannya yang memalukan. "Oh, ini tadi kena air minum yang tumpah."