Gunay berjalan memasuki gerbang sekolahnya dengan raut wajah yang tak dapat digambarkan. Di satu sisi ia sangat senang bahwa kakaknya akan segera menikah, namun di sisi lain, ia juga sedih sekaligus takut—tak ikhlas jika kakaknya akan pergi meninggalkannya secepat itu.
Ketika melamun, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang dengan sangat keras.
"Oi!!"
Gunay berbalik, seketika matanya pun berbinar melihat orang yang sangat dikenalnya ini. "Dimas?! Lo dah sembuh, Mas?"
"Belum, nih liat gue jalannya masih pincang!"
"Kok ke sekolah?"
"Ya pengen belajar, lah! Ntar gue ketinggalan pelajaran lagi."
"Halah, bilang aja kangen sama Unay, ya, kan? Ya, kan?" tanya Gunay menaik-turunkan alisnya.
Dimas membuang wajahnya. "Hmm ...."
"Wah? Seriusan kangen sama gue?" Mata Gunay semakin berbinar-binar.
"Gak usah banyak bacot, bantuin gue jalan, cepet!" Dimas mengulurkan tangannya sendiri ke bahu Gunay. Gunay meraihnya dan mulai membopong Dimas berjalan.
"Tadi lo berangkatnya gak naik motor, kan?"
"Ya enggaklah! Mana bisa gue naik motor kaki pincang begini, gue naik gr*b tadi."
"Lo katanya masih pincang tapi kok tadi cepet banget samperin gue?"
"Ja-jangan ge-er dulu! Itu cuma gue paksain biar gue bisa nyuruh-nyuruh lo!"
"Bilang aja lo seneng gue rangkul kan? Iyakan? Gue tau kok, gak usah malu-malu gitu lah."
Dimas menampol kepala Gunay geram.
"Ughh ...." Gunay meringis. Mengelus kepalanya dengan tangan yang lain.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu, "Eh, gue ada berita, nih."
Mereka berdua terus berjalan, dan kini sudah mulai memasuki koridor. Dimas mencoba tak acuh dengan ucapan Gunay barusan, karena dia tahu, pemuda ini biasanya tidak pernah benar-benar membincangkan hal serius. Paling tentang hal bodoh lagi. Dia pun bertanya malas, "Apaan?"
Gunay menjawab dengan raut wajah sedih, "Minggu depan, kakak nikah."
Tiba-tiba Dimas menghentikan jalannya. Matanya melebar, menatap Gunay tidak percaya. "What the meong?! Seriusan lo?Sama siapa, njir?"
Gunay mendorong punggung Dimas, memaksanya untuk lanjut berjalan. "Nah itu dia, lo pasti bakalan kaget setelah gue jawab."
Dimas, "...."
Gunay berlagak misterius, melambatkan suaranya menjawab perlahan-lahan. "Uhmm ... sama ...."
Dimas merasa tidak sabar, "Sama siapa, Bujank?"
*Bujank = anak muda
"Sama abangnya Sahrul!" seru Gunay. Lalu beralih ke samping melihat reaksi Dimas
Namun Dimas hanya terdiam sebentar, bereaksi datar, "Oh ... dunia emang sempit, ya ...."
"Kok lo gak kaget?"
"Kenapa musti kaget? Itu dah biasa kali di cerita-cerita FTV."
Pantas saja, Dimas memang suka sekali menonton sinetron. Jadi, saat melihat hal seperti itu di dunia nyata, dia pun hanya menganggap itu wajar.
Di sampingnya, bulu mata Gunay tampak turun, dia berkata lirih, "Tapi, Mas ...."
"Kenapa lagi?"
Selama berbicara sepanjang jalan, tak terasa mereka sudah sampai di dalam kelas. Gunay mendudukkan Dimas ke bangkunya dengan perlahan.
Setelah duduk, Dimas menoleh ke sampingnya, ke tempat Sahrul biasa duduk. Wajah Dimas mengkerut saat tak mendapati pemuda itu di situ. Lalu ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas dan tampaklah Sahrul yang tengah duduk di sudut lain kelas.
Dimas beralih ke Gunay, bertanya,
"Kenapa Sahrul pindah tempat duduk, Nay? Di pindahin Pak Wawan?"
Gunay mengikuti arah pandang Dimas. Ia menghela napas. " Itu dia yang tadi mau gue bilang, Mas."
Dimas hanya mengerutkan keningnya, menanti perkataan Gunay selanjutnya.
"Setelah balik dari tugas penelitian itu, sikap Sahrul ke gue jadi aneh banget. Iya, gue tau gue salah karena udah nonjok dia dua kali pas waktu dalam gua, tapi gue juga udah bujuk dia sambil minta maaf berkali-kali, Mas. Tetep aja gak digubris."
Mendengar penuturan Gunay, wajah Dimas menggelap, merasa tak habis pikir. "Lagi PMS kali tuh anak. Udah, gak usah dipeduliin."
Gunay memandang Dimas dengan alis yang bertaut, "Tapi gue ngerasa gak enak, Mas."
"Alay lo ah, kita liat aja seberapa lama dia bisa bertahan tanpa kita," ujar Dimas percaya diri.
Gunay tak menjawab lagi, dia hanya menatap kosong ke arah mejanya.
Beberapa saat kemudian, dua gadis berhijab nan cantik masuk ke kelas sambil menggenggam bungkusan plastik berisi banyak cemilan.
Kanselir menatap Gunay yang masih memandangi mejanya.
"Si Gunay kenapa, Mas? Permainan baru lagi, ya? Sekarang ada permainan menatap meja rupanya, kreatif juga lo berdua."
Kanselir merasa heran, ia duduk menyamping bersandar ke dinding sambil merobek snack menggunakan giginya, memandangi Gunay lama.
Yumna pun turut duduk menyamping, namun ia tak bisa bersandar karena tempat duduknya tak berada dekat dinding. Ia berbicara takut-takut,
"Eh liat, kayaknya Gunay lagi kesurupan, deh."
Mendengar itu, Gunay tiba-tiba memelototi Yumna dengan tajam.
"Astaghfirullah," ucap gadis itu terkaget hampir saja terjungkal ke belakang.
"Hahahaha, gue cuma bercanda, kok, itu aja kaget ahahahahah." Gunay tertawa-tawa tanpa dosa.
"Sengklek," cela Kanselir.
"Eh Kansel, gue ngundang lo sama Yumna, ya!" Kini pandangan Gunay beralih ke Kanselir.
"Diundang ngapain?"
"Ke nikahan kakak gue, dong!" jawab Gunay tersenyum bangga.
"Hah? Kak Yanli?!"
tanya mereka serempak.
"Ya iyalah, emang kakak gue yang mana lagi?"
"Kak Yanli mau nikah? Huu ... entah kenapa rasanya gak ikhlas banget." Yumna memasang tampang cemberut.
"Gue juga diundang, gak?"
Seorang gadis dengan kuncir kuda datang tiba-tiba dan langsung melontarkan pertanyaan itu dengan tak tahu malu. Saat bertanya, dia tersenyum, namun, senyuman itu lebih terlihat seperti senyum yang dipaksakan. Senyum seorang pencari muka.
Semua orang menatapnya bingung, namun Gunay berusaha memecah kecanggungan dengan menjawab ramah, "Boleh, lo boleh dateng, kok."
Mingyan tersenyum, merasa sangat dispesialkan dengan undangan itu.
Tiba-tiba Gunay berdiri dari duduknya. "Oi semuanya, dateng ya ke nikahan kakak gue minggu depan!"
Jderr
Seolah ada petir yang menyambar, alis Mingyan berkerut mendengar ucapan Gunay barusan, Gunay mengundang semua orang? Jadi dia tidak dispesialkan?
Suara Gunay menggema ke seluruh penjuru ruang kelas, semua orang menatapnya dan muncullah beberapa pertanyaan yang terlontar.
"Kak Yanli nikah, Nay?"
"Yah, hilang deh kesempatan gue,"
"Acaranya di mana, Nay?"
"Pasti meriah banget, nih,"
"Makan-makan asiqueee."
"Siapa sih cowok beruntung itu?"
"Uhh, Kakak cantikku nikah huweee ...."
Satu per satu pertanyaan dan pernyataan itu dijawab Gunay dengan santai, dia tampak sangat bahagia, senyum terus-terusan mengembang saat ia bercerita tentang kakaknya.
Namun, seseorang di sudut sana mendecih sebal melihat tingkah Gunay yang menurutnya berlebihan. Pria beruntung mereka bilang? Justru Yanli lah yang beruntung mendapatkan suami seperti abangnya!! Apa hebatnya kakak Gunay itu? Cantik juga tidak, hmph!
Kemarin malam saat Addly kembali dari rumah keluarga Gunay, dia langsung menghampiri Sahrul dan menyampaikan apa yang baru saja ia alami, ia bercerita dengan begitu bersemangat. Dan saat Addly menyampaikan bahwa perempuan yang akan dia nikahi adalah kakak dari teman dekat dirinya, Sahrul bertanya-tanya.
Addly pun memberitahunya bahwa adik Yanli tersebut bernama Gunay. Mendengar itu, mata Sahrul terbelalak dan memarahi abangnya.
Kenapa? Kenapa harus dengan keluarga orang yang paling tidak disukainya itu?
Sahrul menceritakan semua keluh kesahnya perihal Gunay, namun Addly hanya menanggapinya dengan berkata bahwa Sahrul adalah orang yang bodoh, serta hati dan pikirannya sudah sangat kotor. Kemudian Addly meninggalkannya dengan marah.
Menyadari fakta itu, hanya membuat kebencian Sahrul terhadap Gunay semakin menumpuk saja. Dia pun mulai memikirkan hal jahat lain untuk menjatuhkan Gunay.
Jika Yanli adalah orang yang paling berharga bagi Gunay, bukankah dengan abangnya menikahi Yanli, akan mempermudah dia memegang kendali atas kelemahan terbesar Gunay?