"Jadi pacar gue."
Dugh!
Dimas langsung memukul kepala Gunay keras-keras.
"Ughh ... atit, Mas ...." Gunay mengerang, wajahnya berkerut.
"Kalo lo mau jadi homo, ya jangan ajak-ajak gue!!"
"Tapikan berdua itu lebih baik, Mas."
"Ya jangan gue!"
"Ih ... kangmas ...." Gunay memeluk-meluk Dimas bertingkah manja dengan sengaja untuk membuat sahabatnya itu semakin jengkel.
"Lepasin ihh ... bau lo udah kaya kayu basah."
"Kayu basah pala lo! Ini tuh cendana ... aroma kesukaan Kanselir," kata Gunay sambil menghirup dalam-dalam aroma pakaiannya.
"Dasar bucin!"
Dimas beranjak dari tempat duduknya meninggalkan makhluk yang disebutnya bucin itu. Keluar mencari udara segar dari pengapnya bau Gunay.
Tepat di ambang pintu kelas, Dimas berpapasan dengan Mirza yang kebetulan akan masuk.
Mirza sedikit lebih tinggi dari Dimas membuatnya harus menaikkan sedikit pandangan saat menatap Mirza.
Bukannya langsung beralih, keduanya malah saling tatap-tatapan.
Kenapa adegannya jadi romantis begini?!
Mirza yang duluan menyadari hal itu langsung mengangkat kepalanya lagi, mencari celah lain di pintu kemudian masuk.
Melihat tak ada lagi penghalang, Dimas pun melanjutkan jalannya.
Di sepanjang jalan, dia terus memikirkan betapa lekatnya pandangan Mirza tadi, jika dikatakan menantang? Tidak, tidak ada tatapan menantang di matanya. Lalu apa?
Dimas terus berjalan tanpa arah. Beberapa saat kemudian dia berhenti, tersadar. Sebenarnya mau kemana dia tadi??
.
.
.
Di kantin ...
"Kenapa lo cemberut gitu, Sel?" tanya Yumna sambil menggigit bakpao di tangannya.
Kanselir duduk di sampingnya, menopang dagu dengan sebelah tangan.
"Itu, si Gunay, dia pake parfum aroma cendana ...."
"Emang kenapa kalo dia pake parfum aroma itu?"
"Itukan khasnya babang Mirza, Na! Dia pasti niru-niru tuh. Mentang-mentang Mirza keren, dia gak mau kalah."
"Gak usah ber-husnuzon dulu, jangan-jangan emang parfum itu lagi tren, Sel!" Yumna berujar semangat seolah perkataannya itu adalah fakta yang sebenarnya.
Kanselir hening sejenak, memikirkan perkataan Yumna barusan.
"Iya kali, ya, pantesan aja Kak Yanli beliin dia parfum itu."
"Kak Yanli yang beliin? Uhh ... Kak Yanli emang kakak idaman banget, deh, beruntung ya si Gunay punya kakak kayak dia."
"Tau, tuh, makanya tingkahnya kekanakan banget itu, dimanjain mulu sih sama kakaknya."
"Iya! Tau gak pas gue kerja kelompok di rumah Gunay waktu kelas sepuluh dulu, karena kebetulan gue sendiri cewe di kelompok itu, Kak Yanli ngajak gue ke kamarnya trus ngasih gue sunscreen mahalnya! Katanya dia belinya kebanyakan makanya dia kasihin ke gue, baik banget, kan?"
"Ohh ... lo dikasih sunscreen? Gue juga pernah sih, tapi dikasih liptint."
"Uwahh ... baik banget ya dia. Padahal kayanya dia bukan tipe cewek yang suka skinkeran, dia kan punya natural face." Yumna memegang kedua pipinya sambil tersenyum-senyum.
"He'em."
Tanpa mereka berdua sadari, bahwa di seberang sana, seorang gadis berkuncir kuda dengan ikat merah sedang menguping semua pembicaraan mereka.
Mingyan yang bertepatan datang ke kantin saat Kanselir menyebutkan nama Gunay langsung memutuskan duduk di tempat lain dan mendengarkan obrolan mereka dengan seksama.
Setelah cukup puas menguping, dia pun beranjak pergi dari kantin tersebut. Di perjalanan, ia terus memikirkan setiap perkataan mereka tadi sambil tersenyum, namun, matanya tidak ikut tersenyum.
.
.
.
Di akhir Minggu, Yanli mengajak adik tersayangnya itu pergi berjalan-jalan. Mereka pergi dengan mobil milik Yanli, namun, yang mengendarainya kali ini adalah Gunay.
Beberapa menit sebelumnya di rumah, Gunay berguling-guling di lantai merengek-rengek ingin dia yang mengendarai mobil. Awalnya kakaknya itu tak setuju dikarenakan Gunay yang belum cukup umur. Namun rengekan Gunay semakin parah saja, membuat Gadis penyayang itu tak sampai hati menolaknya.
Mata Gunay berbinar cerah setelah akhirnya mendapatkan persetujuan kakaknya.
Sepanjang perjalanan, Gunay terus berceloteh tanpa henti, bercerita tentang teman-temannya, tentang gadis yang suka dia usili, tentang guru-guru yang membosankan di sekolah, sampai ke hal tak penting seperti bentuk batu di halaman rumah yang menurutnya lucu. Semua ia ceritakan. Yanli menanggapinya sesekali, namun lebih sering menanggapi hanya dengan melontarkan senyumannya yang cerah bak mentari di pagi hari.
Akhirnya mereka pun tiba di sebuah perpustakaan umum yang terletak tepat di tengah kota. Yang mengajak ke tempat ini adalah Yanli. Dia ingin mencari buku-buku yang akan dia jadikan referensi untuk skripsinya nanti.
"Kak, Gunay tunggu di mobil aja atau mesti ikut, nih?"
"Ya harus ikut, dong, kayak kamu tahan aja duduk lama di mobil, paling gak sampe dua menit dah ngilang aja, ujung-ujungnya kakak juga jadinya yang cape nyariin."
"Ehehehe, oke deh Gunay ikut."
Mereka pun melangkah masuk ke gedung perpustakaan yang luas bangunannya hampir menyamai kebun satu hektar.
Gedung bercat putih itu mempunyai pilar-pilar yang terbuat dari batu berkualitas tinggi yang seolah dipahat oleh seniman papan atas.
Gunay duduk dengan malas di sudut ruangan perpustakaan itu memandangi kakaknya yang sedang asik memilah-milah buku.
"Gunay ... liat, deh, buku ini kayaknya cocok buat kamu."
Mendengar kakaknya seperti menemukan hal yang menarik, dia pun langsung berdiri dan berjalan dengan setengah berlari pergi ke tempat kakaknya menemukan buku itu.
Dugh
Tiba-tiba tubuh seseorang menabraknya saat ia sedikit lagi hampir sampai di tempat kakaknya. Tidak, lebih tepatnya Gunay lah yang menabrak orang itu. Dia benar-benar tak memperhatikan jalannya.
Ia pun menoleh dan ingin meminta maaf pada orang yang sudah dia tabrak.
"Eh, maaf y—"
"Gunay?" orang itu tiba-tiba berseru senang menyadari orang di hadapannya.
Siapa?" tanya Gunay heran, merasa tak pernah bertemu dengan orang ini.
"Aku Mingyan! Teman sekelas kamu, Nay!"
"Minyan? Minyan ... Minyan ...." Gunay mengulang-ulang nama itu mencoba mengingatnya.
"Gue gak inget punya temen yang namanya Minyan," ujarnya polos
Gadis bernama Mingyan itu tersenyum canggung, kemudian menjawab dengan canggung pula.
"Eum ... iya ... aku ... murid baru di kelas kamu."
Dih, padahal kan udah seminggu gue sekelas ama dia, masa iya gak ingat. Untung ganteng, batin Mingyan.
Sebenarnya keadaan ini agak memalukan baginya. Tapi bagaimana pun, dia masih mencoba bersikap ramah.
"Ohh, jadi lo murid baru? Maaf, gue emang kurang peka sama sekitar, eh tapi, lo tau nama gue dari mana?" tanya Gunay.
Beberapa saat Mingyan terdiam, mencoba mencari alasan yang tepat untuk disampaikan. Rasanya tak mungkin jika dia mengatakan kalau dia tahu nama Gunay dari Mirza yang tampaknya dimusuhi Gunay.
"Kan bu guru sering menegur kamu di kelas," kata Mingyan mencoba terlihat netral.
"Oh? Hehehehe." Mendengar hal memalukan itu, Gunay hanya nyengir bodoh.
"Temannya Gunay, ya?" tanya Yanli yang muncul dari belakang Gunay.
Mingyan tersenyum, mengangguk sambil berkata pelan, "Iya, Kak."
Lalu dia meneruskan, "Kakak ... Kak Yanli, kan?"
Tanpa berpikir, ia mengeluarkan begitu saja pertanyaan tersebut membuat orang yang ditanyai merasa heran. Bukan orang yang ditanyai yang terheran, tetapi Gunay.
"Lo tau nama kakak gue dari mana?"
Mampus! Mingyan merasa benar-benar bodoh saat ini, padahal dia hanya mencoba terlihat ramah di hadapan Gunay dan kakaknya, tapi tindakannya malah menimbulkan kecurigaan pihak lain.
"Engg ..."
"Apa dia cewe yang sering kamu ceritain ke kakak, Nay?"
Menyadari kecanggungan gadis itu, Yanli mencoba mengalihkan Gunay dengan menanyakan pertanyaan lain. Padahal Yanli sendiri sudah tahu bahwa Gunay sudah pasti akan memberi jawaban 'tidak'.
"Gak, Kak, bukan dia, Gunay aja baru ini tahu namanya dia."
Kenapa Yanli malah semakin memperburuk keadaan? Malah membuat gadis cantik itu makin merasa canggung saja. Yanli pun hanya diam tak menjawab. Tebakannya benar.
"Ngomong-ngomong, lo ngapain di sini?" Gunay kini beralih lagi ke gadis itu, mengganti pertanyaannya.
Akhirnya Mingyan bisa bernapas lega kembali. "Aku emang suka mampir ke sini, aku suka baca buku."
Gunay hanya ber-oh ria mendengar itu, lalu ia beralih ke kakaknya lagi.
"Mana bukunya, Kak? "
"Oh? Emm ... itu ...." Yanli menggaruk kepalanya, wajahnya memerah seolah baru saja bertemu suatu hal yang membuat jantungnya tidak karuan. "Tadi ada yang tiba-tiba datang trus bilang dia perlu buku itu."
"Yaudah, Kakak udah selesai belum? Gunay laper, nih."
"Udah, kok."
"Kalo gitu yuk pergi?"
Gunay pun merangkul bahu kakaknya dengan sayang, hampir saja melupakan keberadaan orang lain di antara mereka..
"Oh, Minyan, gue duluan, ya." Gunay mengangkat kelima jari tangannya berpamitan.
Di sebelah Gunay, Yanli pun turut serta menganggukkan kepala bermaksud ingin berpamitan juga padanya.
Mingyan hanya menjawabnya dengan senyum yang dipaksakan, menatap punggung kedua orang itu yang semakin menjauh.
Minyan apaan, kok sikapnya dingin gitu sih, gak ada ramah-ramahnya perasaan. Padahal di sekolah dia keliatannya aktif banget, apalagi sama cewek itu... huh, bikin badmood aja. Tapi dia gemes banget pas sama kakaknyaaa, aaaah....
Mingyan pun melanjutkan langkahnya sambil tersenyum penuh arti. Dalam kepalanya, dia terus memutar-mutar kembali situasi barusan yang menurutnya sangat mengesankan.