Ketika teman-teman Gunay yang lain akhirnya sampai di kelas, Bu Dian selaku guru Bahasa Jerman memandangi pemuda-pemuda itu satu per satu. Di akhir, keningnya tampak berkerut.
"He? Bukannya di antara kalian tadi ada Gunay dan Dimas?" tanyanya.
Keenam anak itu masih belum ia izinkan untuk duduk, membariskan mereka di depan kelas sembari mengabsen satu per satu.
"I-iya, Bu. Tadi mereka berdua jalannya belakangan, pas saya noleh, eh mereka dah ngilang aja." Yang berbicara adalah Sahrul, salah satu komplotan Gunay yang juga ikut dihukum tadi.
Bu Dian terdiam sebentar.
Sahrul menambahkan, "Ibu gak usah mengkhawatirkan anak-anak yang bermasa depan suram itu, palingan juga mereka lagi pacaran di kantin, Bu."
Bu Dian menarik napas dengan berat, menggeleng lemah beberapa kali.
"Sudah lah, duduk kalian," ujarnya pada akhirnya.
Mereka pun dengan senang hati menuruti ucapan sang guru. Ketika sampai di tempat duduk masing-masing, beberapa dari mereka ada yang langsung mengipas-ngipas wajah, ada yang mengelap keringat, dan ada pula yang langsung menenggak sebotol air minum—milik temannya.
Saat bel istirahat berbunyi, seluruh penghuni kelas berhamburan keluar. Lain halnya dengan Gunay dan Dimas yang justru masuk ke dalam kelas. Mereka berdua jalan beriringan sambil tertawa terbahak-bahak entah sedang membicarakan apa. Tawa mereka masih berlanjut saat sudah tiba ke tempat duduk mereka, membuat dua orang gadis di depan mereka yang sedang asik membaca novel bersama merasa terganggu.
Ketika melewati meja dua gadis itu, Gunay berhenti dan menarik novel yang sedang dibaca Kanselir.
Ketenangannya sudah terusik, dan kini bocah bandel itu malah mencari perseteruan. Kanselir memelototinya.
"Novel baru lagi, ya? Wah, lu gak capek-capek apa baca beginian?" tanya Gunay sambil membolak-balikkan isi buku itu. Kawan-kawannya yang lain pun turut serta mendekat dan ikutan melihat.
Ketika membolak-balik buku itu, Gunay membuka halaman secara asal dan mencoba membaca isinya. "Anj*r, novelnya bahasa Inggris, guys," kata Gunay terkagum-kagum. Lanjut terus membalik buku itu.
"Emang lu ngerti, Sel?" tanya salah seorang dari sekawanan yang memperhatikan setiap detail isi buku itu.
"Ngerti, lah. Lo jangan sepele sama Kansel, dia tuh punya banyak temen bule. Ya, kan, Sel?" ujar Gunay caper.
Beberapa saat ketika dia masih terus-terusan memuji-muji kemampuan bahasa Inggris Kanselir, Srak! tanpa sengaja tangan bodohnya merobek salah satu halaman buku.
Sedari tadi Kanselir tidak sedikit pun menggubris ucapan-ucapan Gunay. Tapi ketika mendengar suara sobekan itu ....
Dugh!
Kanselir langsung menjedukkan buku paket kimianya ke kepala Gunay. Membuat si korban pun langsung tersentak, dan seketika melonggarkan genggamannya pada buku novel itu. Kanselir langsung merampasnya.
"Ini tuh novel yang gue pesen dari China, Gunay!! Tau gak berapa bulan gue nabung demi bisa beli di toko legalnya?! Dan tangan bodoh lo itu malah ngerobeknya?!" Kanselir menatap sedih halaman novelnya yang sobek. Terlihat hampir menangis.
Gunay tampak keringatan—merasa bersalah. Dia pun menatap Kanselir mencoba membujuk, "Gu-gue ganti, deh, Sel. Jangan nangis, dong."
Kanselir tidak memedulikannya, hanya membalik badan sambil mendengus, lalu duduk dengan hening di tempat duduknya.
Tapi Gunay masih terus ingin mengusiknya, dia menggoncang-goncangkan bangku Kanselir sambil terus bertanya, "Gue ganti, kok, Sel. Sel ... kasih tau aja nama tokonya, biar gue minta kakak pesenin lagi buat lo. Sel ...."
Kanselir membalik badan sambil memelototinya. "Gak usah!"
Gunay pun akhirnya terdiam.
Beberapa menit setelahnya, bel masuk berbunyi.
Saat ini adalah jam pelajaran Kimia. Guru Kimia yang terkenal lebih killer dari Pak Guru Olahraga itu kini sudah memasuki kelas. Dia adalah Bu Nova, guru dengan peringkat satu paling disiplin di antara semua guru di sekolah ini.
Bu Nova masih muda, masih berusia sekitar 30-an awal. Tapi sifatnya yang cukup kejam dan pemarah itu membuatnya tampak lebih tua.
Guru kelewat rajin ini sudah selesai menyampaikan semua materi kimia kelas sepuluh seminggu yang lalu, padahal ujian kenaikan kelas masih dua bulan lagi.
Dan sekarang, dia memutuskan untuk me- review semua materi yang telah ia sampaikan. Mencari tahu murid mana yang tidak pernah memberikan perhatiannya ketika proses pembelajaran.
"Gunay!" panggilnya tiba-tiba, membuat si pemilik nama yang sedari tadi pikirannya travelling kemana-mana tersadar.
"Ya, Bu!" sahut Gunay sembari berdiri dari duduknya.
Bu Nova memicing padanya. "Apa perbedaan atom, ion, dan molekul?"
Gunay tanpa berpikir lama langsung menjawab dengan lantang, "Atom adalah suatu materi yang tidak dapat dibagi lagi secara kimiawi, ion adalah atom yang bermuatan listrik, dan molekul adalah gabungan dari dua atau lebih atom!"
Seisi kelas seketika tercengang. Gunay yang mereka kira berotak kosong yang hanya tau berbuat ulah dan usil ternyata begitu lancarnya menjawab pertanyaan yang mungkin bagi orang lain menjawabnya perlu melihat isi buku.
Kanselir pun ikut tercengang sambil membatin, Apa rohnya John Dalton tiba-tiba merasuki tubuhnya??
Mendengar jawaban lantang Gunay, Bu Nova terdiam sesaat lalu berkata menyindir, "Itu hanya pertanyaan yang mudah, siapa saja bisa menjawabnya, bahkan anak IPS pun pasti bisa menjawabnya dengan benar."
Gunay tersenyum canggung.
Bu Nova pun bergerak menuju papan tulis dan tampak menuliskan beberapa rumus senyawa kimia.
Melihat pergerakan Bu Nova, Gunay pun kembali duduk.
"Eh, eh, siapa yang menyuruhmu duduk?!" sentak Bu Nova ketika ia membalik badan dari papan tulis.
Gunay pun kembali berdiri sambil nyengir bodoh.
Bu Nova bertanya lagi, "Gunay, apa nama senyawa yang saya tuliskan itu?"
"Semuanya, Bu?"
"Ya!"
Gunay mulai memperhatikan setiap detail yang dituliskan Bu Nova sambil berpikir. "Engg ... yang pertama itu ... natrium ... nitrat? Yang kedua ... engg ... apa, ya?" jawabnya patah-patah sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Bu Nova tampak jenuh melihat betapa lambatnya Gunay hanya untuk menyebutkan keempat nama senyawa itu, dia pun beralih ke seseorang di sudut lain.
"Mirza, beri tahu mereka jawabannya!"
Mirza dengan tenang berdiri dan memenuhi panggilan itu.
"Yang pertama adalah natrium nitrat, yang kedua kalsium nitrat, ketiga aluminium sulfat, dan keempat adalah tembaga (ll) sulfat."
Dia berhasil menjawab semuanya dengan nada datar. Di depan sana, Bu Nova tampak tersenyum simpul mendengarkan itu.
"Baiklah, duduk," suruhnya.
Kemudian dia menambahkan lagi, "Seharusnya semua orang seperti Mirza, mendengarkan dengan baik materi yang saya sampaikan. Lihat, kan? Dia menjawabnya dengan mudah."
"Mana mau saya seperti dia Bu!"
Suara lantang itu muncul dari arah tempat duduk Gunay. Ia berkomentar tak setuju dengan ucapan Bu Nova barusan
"Mana mau saya kayak dia Bu, nolep, gak ada semangat hidup kaya batu, udah gitu mulutnya kasar lagi," sambungnya dengan begitu berani.
Wajah Bu Nova seketika berubah antara merah dan ungu. Dia begitu syok mendengar penuturan itu.
"Gunay!! Beraninya kamu menyela ucapan saya! Saya hanya memberikan contoh buat kalian! Terutama buat anak nakal macam kamu!"
"Jadi Ibu ingin membandingkan saya dengan dia? Hanya karena dia selalu memperhatikan Ibu setiap pembelajaran makanya Ibu muji-muji dia? Apa Ibu tahu kenapa dia gitu? Dia tuh begitu ya karena gak punya temen, Bu! Gak punya teman buat ngobrol!"
Dimas menepuk keningnya, lelah dengan tingkah orang di sebelahnya.
"Lancang sekali kamu menaikkan suara ke saya, ya! Keluar kamu! Keluar kamu dari kelas ini sekarang!"
Gunay tampak sumringah mendengar kalimat terakhir Bu Nova. Itu yang memang ditunggu-tunggunya sedari tadi. Keluar dari kelas yang membosankan itu!
Dia langsung beranjak dari duduknya dan dengan santai melenggang keluar kelas.
Jelas sekali terlihat maksud terselubung dari Bu Nova barusan. Dia sengaja awalnya menanyakan pertanyaan pada Gunay hanya untuk memperjelas perbedaan antara Gunay dan Mirza yang merupakan murid kesayangannya.
Gunay sudah tahu hal itu, Bu Nova tak pernah suka padanya, apapun yang ia lakukan akan selalu terlihat buruk di mata guru itu. Jadinya, ia hanya bisa mengikuti permainan yang sedang dimainkan Bu Nova dan ikut menikmatinya sesekali.
Gunay menghabiskan jam pelajaran kimia dengan berjalan-jalan mengelilingi setiap sudut sekolah sambil meletakkan kedua tangan dibelakang leher dan sehelai rumput di mulutnya. Ke mana saja, asalkan tak perlu melihat wajah guru pilih kasih itu.