Tiga bulan kemudian ...
Jam sudah menunjukkan pukul 06.40, tapi seseorang masih saja mengeluarkan dengkuran menjijikkan dari atas tempat tidur itu. Posisi tidurnya juga tak biasa, kakinya berada di atas bantal, sedangkan kepalanya menggantung di pinggiran kasur.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar berderit terbuka, menampilkan seorang wanita muda nan cantik yang masuk dan perlahan mendekati makhluk di atas tempat tidur itu.
Dia duduk di pinggiran kasur tepat di sebelah kepala yang menggantung itu, menepuk-nepuk wajah makhluk itu lembut.
"Gunay ... Nay ... bangun, Dek."
Ternyata makhluk itu adalah Gunay.
"Enghh ... Ka ... kak?" Gunay menguap, lalu membuka matanya sedikit demi sedikit, dan tampaklah pemandangan di matanya bahwa semua benda sedang terbalik.
"Hah? Semua barangnya kebalik, Kak!!" Gunay berteriak heboh, namun masih belum ada niatan untuk bangkit.
Wanita muda yang diketahui adalah kakaknya Gunay itu hanya menanggapi perkataan bodoh barusan dengan tersenyum lembut.
Dia adalah Yanli Alderan, kakak kandung Gunay sekaligus anak sulung keluarga itu. Usianya kini 21 tahun, terpaut lima tahun lebih tua dari Gunay. Memiliki wajah yang lembut dan kepribadiannya yang begitu sederhana tidak terkecuali penampilannya yang juga teramat sederhana. Rambutnya yang panjang ia sampirkan di bahu kanannya, semakin menonjolkan sosok keibuannya.
Gadis itu kini sedang berkuliah di universitas ternama di kota mereka jurusan psikologi semester akhir, tergolong cepat untuk gadis seusianya kuliah di semester itu memang, itu dikarenakan sewaktu sekolah dia adalah murid akselerasi.
Entah apa gunanya dia capek-capek berkuliah padahal perusahaan keluarga sudah menantinya. Itulah yang mungkin orang luar pikirkan tentangnya.
Tapi Yanli tak pernah peduli dengan omongan orang, dia berkuliah karena dia ingin menjadi wanita berpendidikan yang memiliki gelar. Selain itu, belajar adalah hidupnya, dia sungguh tak ingin meninggalkan buku-bukunya demi mengurusi perusahaan yang sebenarnya masih bisa diurus ayahnya dengan baik.
Selain lembut dan sederhana, dia juga merupakan perempuan yang begitu penyabar. Seluruh anggota keluarganya dan teman-temannya bahkan tak pernah sekalipun melihatnya marah.
Dia adalah tipe kakak yang benar-benar menyayangi adiknya, terlebih bocah bandel ini adalah adiknya satu-satunya, sangat dimanjakan. Tak peduli tingkahnya se-absurd apa, dia akan tetap melemparkan senyumannya padanya.
Yanli menjulurkan tangannya dan menggapai belakang kepala Gunay. Mengangkat kepalanya, lalu mendudukkannya. Benar-benar seperti bayi.
"Kau tidur terbalik," ujarnya masih dengan senyuman yang tak pernah lepas.
"Eh? Eheehhe." Gunay nyengir bodoh lagi.
"Gunay gak pergi ke sekolah? Ini kan semester baru, apa gak takut telat di hari pertama sekolah?" tanya Yanli.
Sambil memperbaiki posisi bantalnya-hendak berbaring lagi, Gunay bertanya, "Pergi dong, Kak. Emang dah jam berapa?"
"06.45."
Gunay, "...."
"Kenapa gak dibangunin dari tadi?!" teriak Gunay sambil melompat dari tempat tidur.
.
.
Tak sampai sepuluh menit, Gunay sudah selesai berkemas. Dia setengah berlari sambil memasang dasinya menuju meja makan. Tasnya ia sandang di sebelah tangan.
"Nih, makan dulu." Yanli menyodorkan dua helai roti yang sudah dioleskan krim cokelat di atasnya.
Gunay menerimanya dan mengganyang roti itu hanya dalam beberapa gigitan. Mengunyahnya sambil berjalan keluar.
"Gunay pergi sekolah, ya, Kak," pamitnya pada kakaknya yang sedang memandanginya heran dari meja makan.
"Hoi!!" tiba-tiba suara lelaki paruh baya menggema di telinga Gunay, lantas ia berbalik.
"Kamu nggak nganggap ayah, ya?!" Pria paruh baya yang ternyata adalah ayah Gunay itu bertanya dengan nada setengah marah setengah bercanda. Pria itu sedari tadi duduk tepat di seberang Yanli. Tapi Gunay sengaja berpura-pura tidak melihatnya. Dengan maksud meledek ayahnya sebenarnya.
Gunay tampak terkikik geli melihat wajah ayahnya. Ia pun mendekat.
"Eh, Ayah. Tadi gak keliatan, soalnya Ayah ganteng banget hari ini," ujarnya menggoda ayahnya sambil mencolek dagu pria itu.
Anak laknat, batin Ayahnya.
"Ehehe muach," dia pun mencium punggung tangan ayahnya dengan bersuara lalu beranjak pergi lagi.
"Kak, Yah, Gunay berangkat sekolah dulu, dah~" katanya melambaikan sebelah tangannya dengan punggung yang membelakangi mereka berdua.
.
.
Hanya dalam beberapa menit ngebut sepanjang perjalanan, Gunay telah sampai di sekolahnya.
Dengan buru-buru ia memarkirkan sepeda motor miliknya dan bergegas menuju ke ruang kelas yang sudah ditentukan sebelumnya.
Kelas 11 IPA 2, masih dengan kelas yang sama seperti tahun lalu, hanya saja kali ini sudah naik satu tingkat.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, wajah Gunay tampak cemas, dalam hati ia berkata, Duhh, semoga Dimas gak telat ... semoga dia bisa dapetin tempat duduk yang gue minta ....
Akhirnya sampailah ia di kelas, di tatapnya seluruh penjuru ruang kelas yang berada di lantai dua ini, mengecek siapa-siapa saja yang sudah tiba.
"Heh!! Sini, lo! Lambat banget lo kek anak gadis."
Itu adalah Dimas, suaranya datang dari sudut kelas.
Tepat sekali! Itulah posisi yang Gunay inginkan. Tapi tunggu dulu ....
Gunay berjalan ke arah si pemanggil, mendekat dan akhirnya mendapati di depan tempat Dimas duduk ada dua orang gadis manis yang sedang berbincang ria. Salah seorang gadis itu menatap ke arah Gunay, dan langsung memutar bola matanya malas lalu mengalihkan pandangannya lagi. Gunay menghela napas lega, tampak sangat bahagia.
"Hai Yumna ... Hai Kan ... Katya!" sapa Gunay sok ramah melambaikan tangannya. Setelah menyapa Yumna, pandangannya sebenarnya tertuju ke arah Kanselir, tapi dia dengan sengaja berpura-pura menggantikan nama Kanselir dengan nama orang lain yang bahkan tempat duduknya sangat jauh di depan sana.
"Cih." Kanselir hanya mendecih sebal melihat tingkah menjengkelkan Gunay yang tak kunjung berubah.
"Hehe~"
Gunay pun mendudukkan pantatnya di kursinya lalu menarik Dimas mendekat ke arahnya. Ia berbisik, "Gimana caranya lu bisa dapetin posisi ini lagi, Mas?"
"Hmph!! Perjuangan hidup dan mati tau gak!"
"Hust, hust, yok keluar, ceritain di luar aja."
Lantas Gunay pun menarik tangan Dimas dan mengajaknya keluar. Tak sabar ingin mendengarkan keluh kesah Dimas.
Diluar kelas, Dimas pun mulai bercerita ...
Beberapa menit sebelum Gunay tiba di kelas.
"Sel, kali ini kita duduk di mana?" tanya Yumna ketika mereka berdua baru saja memasuki ruang kelas.
Kanselir menjawab, "Kayak biasa aja, lah."
"Oke, kebetulan di sana masih kosong, tuh, yuk?"
Setelah Kanselir dan Yumna duduk dan mengklaim tempat duduk mereka, Dimas datang seraya mendekat ke arah mereka. Ingin mengambil tempat duduk tepat di belakang mereka berdua seperti waktu mereka kelas sepuluh.
Kanselir tiba-tiba bangkit berdiri dan menghalangi jalan Dimas dengan merentangkan kedua tangannya.
"Eh, eh, mau kemana lo? "
Dimas agak terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu.
"Duduk," jawabnya terus terang.
"Gak! Gak boleh di situ lagi! Kalo lo di situ, pasti Gunay juga, kan?! Enggak! Pokoknya enggak!"
"Emangnya kenapa, sih?" Dimas menggaruk kepalanya. Merasa tertekan.
"Gue capek liat kalian, capek diusilin kalian terus! Cari tempat lain aja."
Dimas terdiam sebentar. Tiba-tiba menerobos pertahanan Kanselir dengan menyingkirkan satu tangannya. Menuju kursi itu dan memeluknya erat.
"Eh?!"
Kanselir langsung menarik-narik tas yang masih disandang Dimas sedari tadi, menyuruhnya agar menyerah saja dan mencari tempat duduk yang lain.
"Gak bisa Kansel ... ini Gunay yang minta ... kalo gue gak dapetin tempat duduk ini dia ngancem laporin kejahatan gue ke ayahnya." Dimas kini memohon-mohon, wajahnya tampak memelas sedangkan tangannya masih menempel pada kursi.
"Gue gak peduli! Yumna, bantuin! Dia berat banget ini ...."
Yumna yang sedari tadi melongo tiba-tiba tersentak. "Hah? O-oke."
Mereka saling tarik-menarik, Dimas menarik kursi, dia ditarik Kanselir dan kanselir ditarik Yumna.
Pada akhirnya, dua gadis itu lelah juga, mereka pun menyerah untuk mencegah Dimas mengambil tempat duduk itu. Mereka pasrah.
Beberapa menit setelahnya barulah Gunay datang ke kelas dengan santainya.
Gunay tertawa terbahak-bahak sampai hampir berguling ke tanah mendengar cerita menyedihkan Dimas. Dia pun menepuk-nepuk bahu sahabat sekaligus sepupunya itu dengan maksud meledek.
Dimas mengumpatinya.
Setelah selesai upacara bendera, mereka semua pun masuk ke dalam kelas. Menanti siapakah gerangan yang akan menjadi wali kelas mereka.
Sepuluh menit mereka menunggu, akhirnya muncullah seorang guru wanita berwajah manis dan tampak ramah.
Itu adalah Bu Dian! Guru bahasa Jerman mereka saat kelas sepuluh.
Guru yang menjadi idaman semua murid karena sikap baiknya. Tapi, ternyata dia tidak datang sendirian.
Seorang gadis cantik berkulit putih dengan kuncir kuda berjalan di sampingnya dan tiba di dalam kelas.
Saat ia benar-benar sudah masuk, Bu Dian pun mulai menyapa para murid.
"Pagi semuanya."
"Pagi, Bu," jawab mereka semua serentak.
"Kayanya ibu gak perlu memperkenalkan diri lagi, kan? Kita sudah bertemu di kelas sepuluh. Nah, yang perlu memperkenalkan diri adalah anak gadis di samping ibu ini, perkenalkan dirimu, Nak."
Gadis itu terdiam sejenak, memutar matanya memerhatikan setiap orang di dalam kelas. Lalu membuka suaranya, "Halo semuanya, perkenalkan, nama saya Liu Mingyan."