Di jam pelajaran kedua—pelajaran Bahasa Indonesia, guru mereka tidak masuk kelas dan hanya menitipkan tugas. Kebanyakan dari mereka tidak peduli akan hal itu. Paling-paling dijadikan PR, pikir mereka.
Sebenarnya Kanselir juga malas mengerjakannya, Bahasa Indonesia bukanlah pelajaran yang disukainya. Tapi karena dia benar-benar tak tahu harus melakukan apa, jadinya ia pun memutuskan untuk mengerjakan saja.
Di depan kelas, di atas meja guru, berdiri seorang murid yang tampaknya akan memiliki masa depan suram sedang mengadakan konser dengan suaranya yang sumbang. Spidol ditangan kanannya ia jadikan seolah mikrofon.
"Epribadi, let sing wit mi!!"
Teriaknya dengan tak tahu malunya mengajak murid yang lain merusuh. Ditambah dengan pronounciation-nya yang menggelikan. Siapa lagi murid yang tahu malu di kelas ini kalau bukan Gunay.
Gerombolannya yang sangat beradab pun ikut mendekat ke arah meja guru dan bernyanyi bersamanya. Berjoget-joget seperti acara dangdutan yang biasa diadakan di pinggiran kota.
"Entah aapaaa yang meraasukiimuu~" Suara emas Gunay mulai menggelegar di seluruh penjuru ruang kelas.
Kanselir menatap mereka jijik, ia beralih ke Yumna yang ternyata sedang menikmati acara dangdutan murahan itu. Mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama mereka.
Kanselir pun menghela napas kasar.
Ia menatap ke arah mereka sekali lagi, ternyata pelopor acara dangdutan itu juga sedang menatap ke arahnya sambil menunjuk dan berkata sembari menaik-turunkan alisnya, "Hey girl, let join as."
Saat berkata begitu, tiba-tiba sesosok bertubuh besar muncul dan berdiri di pintu.
Itu adalah Pak Guru Olahraga!
Guru olahraga yang terkenal killer itu sedang menatap para dangduters itu lekat. Wajahnya datar.
"Jangan ada yang beranjak!" titahnya pada mereka semua. Jumlah mereka saat itu ada bertujuh orang dan menjadi delapan jika ditambah Gunay sebagai pelopornya.
Mereka seketika membeku, menahan napas seolah jika sekali saja mereka menghembuskan napas maka roh mereka akan berpindah tempat saat itu juga.
Gunay yang berdiri sendirian di atas meja merasa jantungnya hampir copot. Dia membeku persis seperti patung tanah liat di atas sana dengan ekspresi yang mengundang cemoohan.
Pemuda satu itu memang aneh, berlagak berandalan tapi sebenarnya sangat takut jika berhadapan dengan guru. Apalagi guru seperti pak guru olahraga yang killer ini.
"Ketua kelasnya mana?" tanya pak guru itu. Kini dia sudah masuk beberapa langkah ke dalam ruang kelas.
Dimas yang tengah berada di antara kerumunan para tersangka mengangkat tangannya takut-takut. "Sa-saya, Pak."
Melihat itu, pak guru tersebut hanya terdiam menatapnya sambil berdecak beberapa kali.
"Kalian semua, ikut saya!"
ujarnya singkat sembari berjalan melangkah keluar.
Para tersangka itu pun mengikutinya seperti sekumpulan anak bebek.
Murid lain yang sedari tadi hanya menjadi penonton bingung harus tertawa atau kasihan pada nasib mereka.
Sedangkan dalam lubuk hati Kanselir yang terdalam, ia benar-benar bahagia melihat bocah songong itu akhirnya kena hukum.
Ia memang sudah lama sekali kesal pada bocah berandal satu itu, sejak awal mereka masuk sekolah, Gunay selalu terus-terusan mengganggu dia. Mulai dari menarik-narik jilbabnya, mengotak-atik kotak pensilnya, menyodorkan hewan-hewan aneh di depan wajahnya, merampas novelnya dengan paksa, sampai memoroti uang jajannya saat berada di kantin. Pertanyaannya, dari sekian banyak orang, kenapa harus dia yang selalu diganggu?
Gunay tidak tahu akibat dari perbuatannya itu, dia hanya senang saat melihat perubahan ekspresi di wajah Kanselir saat diganggu. Senang ketika melihatnya berteriak marah padanya.
Dari semua perbuatan menjengkelkan Gunay, sebenarnya yang paling tidak bisa Kanselir tolerir adalah saat ia baku hantam dengan Mirza. Mereka benar-benar saling tinju sampai wajah keduanya membengkak saat itu.
Bukannya ia ingin menyalahkan Gunay, dia bahkan tak tahu akar permasalahannya. Dia hanya ... hanya tak menyangka, Gunay yang tengil dan selalu usil itu punya sisi menyeramkan juga.
Kanselir tidak tahu apa sebabnya perselisihan mereka, tapi dari yang Kanselir ingat beberapa menit sebelumnya, Kanselir sempat mengajak Mirza bicara mencoba mendekati murid pendiam itu dengan memberikannya sebungkus cokelat. Siapa tahu bisa akrab trus bisa dimanfaatin pas lagi ujian, pikir Kanselir.
Saat itu masih pagi dan pelajaran belum dimulai. Mirza yang baru saja keluar dari toilet berpapasan dengan Kanselir di lorong sekolah. Di tangannya, ia menggenggam sebungkus besar cokelat yang dibawanya dari rumah.
"Mirza, nih cokelat, dibawa nenekku dari Qatar, di rumah kebanyakan jadinya aku bawain buat ka—"
Tanpa melihat sedikit pun cokelat yang Kanselir sodorkan, ia lanjut melangkah mengabaikannya.
Hati Kanselir benar-benar seperti akan retak, tapi ia masih mencoba menyunggingkan senyum. Ia mengejar Mirza dan kembali menghalangi langkahnya.
"Yakin gak mau? Ini enak loh, Za," katanya sambil menyodorkan sekali lagi.
"Gue gak suka cokelat." Mirza berucap singkat dengan menekankan setiap katanya. Berharap gadis di depannya ini paham bahwa dia sangat tak ingin diusik.
Dia sempat melangkah beberapa langkah ke depan sebelum akhirnya berhenti, berujar ke gadis itu tanpa menoleh, "Satu lagi, jangan coba-coba deketin gue. Lo, bukan tipe gue."
Mendengar perkataan menyakitkan barusan, Kanselir hanya membeku di tempat, tak berkutik, pandangannya kosong.
Mirza sudah pergi meninggalkannya beberapa menit yang lalu namun dia masih terpaku di tempatnya berdiri.
Ih, kasar banget, umpatnya dalam hati.
Jadinya, ia hanya bisa kembali ke kelas, dengan tampang bodo amat.
Tapi sebelum itu, dia menyempatkan diri ke kantin sebentar untuk membeli minuman favoritnya—susu kotak stroberi.
Namun, saat ia sampai di depan pintu kelas, ia melihat orang-orang yang sedang mengerumuni dua orang yang tengah adu fisik. Beberapa mencoba melerai sedangkan lainnya hanya menonton sambil berteriak-teriak tak jelas.
Kanselir mendekati dua orang yang sedang adu jotos itu. Melongo sambil menutup mulut bingung harus berbuat apa.
Gunay yang merasakan kehadiran Kanselir seketika menghentikan tinjunya yang sedikit lagi akan mencium pipi putih Mirza. Nafasnya tersengal-sengal.
Beberapa detik kemudian, ia pun beranjak pergi diikuti teman-temannya dari belakang.
Mirza yang ditinggal sendiri terdiam beberapa saat, lalu menatap Kanselir tajam. Mendengus kasar padanya kemudian memalingkan wajah dan kembali ke tempat duduknya.
Kanselir benar-benar bingung. Kenapa Mirza menatapnya sampai segitunya? Apa dia begitu tidak sukanya pada Kanselir? Dia memiliki masalah dengan Gunay tapi malah menatapnya penuh dendam, kenapa?
Tanpa Kanselir ketahui, saat ia berpapasan dengan Mirza dan mencoba mengajaknya berbicara, Gunay yang juga baru keluar dari toilet diam-diam mendengarkan perbincangan mereka.
Mendengar Mirza berbicara begitu kasar pada Kanselir membuat hati Gunay memanas. Ia langsung mengambil jalan lain dan menghadang Mirza di pintu kelas, setelahnya, bisa ditebak apa yang terjadi.
.
.
"Baris yang rapi! Eh itu sana jangan dempet-dempetan kalian ... nah iya gitu, sekarang semuanya duduk!"
Pak guru olahraga membawa para anak bebek tadi ke lapangan dan memerintahkan mereka semua untuk duduk. Duduk di tengah teriknya mentari di siang hari. Sebenarnya belum terlalu siang, tapi panasnya cuaca betul-betul menyengat kali ini.
Wajah mereka semua mulai masam, kulit putih Gunay memerah akibat terkena sinar ultraviolet yang langsung menembus lapisan terdalam kulitnya.
"Jangan coba-coba buat kabur, kalian tahu kan kalau bapak punya indra keenam? Bapak akan langsung tahu kalau ada di antara kalian yang bertingkah. Nah, bapak tinggal dulu, semoga kulit kalian semakin eksotis."
Pak guru itu melangkah pergi begitu saja meninggalkan mereka semua.
Tentu saja seantero sekolah sudah mendengar rumor mengenai Pak Guru Olahraga yang punya indra keenam itu. Rumor tersebut sudah seperti hal wajib yang harus disampaikan secara turun temurun pada setiap angkatan.
Kakak-kakak kelas mereka terdahulu seringkali kehilangan barang-barang mereka ketika berada di sekolah, saat mereka mengadukan kehilangan mereka itu pada pak guru ilahraga, tak sampai sejam kemudian barang yang hilang itu sudah berada di genggaman sang guru. Hal itulah yang Gunay dengar dari Dimas yang mana Dimas juga mendengarnya dari abang asuhnya.
Hukuman mereka kali ini hanya disuruh duduk bersila di tengah lapangan, tanpa embel-embel menghormat bendera atau mengangkat sebelah kaki sambil memegang kuping atau semacamnya. Tidak, mereka hanya diperintahkan untuk duduk manis sambil menjadi bahan tontonan setiap guru dan murid yang lewat.
Dua menit Gunay masih tampak diam dan patuh.
Lima menit Gunay mulai menggeliat tak nyaman.
Sepuluh menit ...
Gunay benar-benar tak tahan lagi! Ia pun meregangkan kedua tangannya.
"Arghhh ... bosan ... Mas! Dimas! Woi Dimas Anggara!!" rengeknya sambil menyenggol bahu Dimas yang duduk tepat di sebelahnya. Mengusik bocah itu yang sedari tadi hanya diam menunduk, benar-benar patuh.
Hal yang paling—tidak—bisa Gunay lakukan adalah menutup mulutnya, dia benar-benar akan mati kebosanan jika tak mengoceh dalam waktu yang lama.
"Lu bisa diam, kagak? Gak denger kata pak Guru tadi, hah?" Dimas berucap pelan, hampir berbisik, takut suaranya akan terdengar ke telinga guru yang 'katanya' memiliki indra keenam itu.
"Gapapa itu, dari tadi gue geliat geliut dia gak dateng, tuh."
Ya juga, sih, batin Dimas mulai percaya hasutan sesat Gunay.
Akhirnya ia pun turut menggeliat-geliat meregangkan tubuhnya yang hampir kaku.
"Mas, Dimas~" panggil Gunay lagi mencolek-colek pipi Dimas
"Apa lagi?!" Dimas memelototinya. "Tau gak, ini tuh semua gara-gara lo, anying*! Coba tadi lu gak mulai bikin kericuhan di kelas, gue gak bakalan keseret kek gini! Lain kali kalo lo mau bertingkah ya lakuin sendiri, jangan ajak-ajak gue! Duh ... gue mulai pusing, nih."
Dimas terus mengomel-ngomel dengan volume suara yang semakin tinggi. Dia berkata seolah-olah Gunay lah akar dari semua masalah, jika dia terjerat dalam kenakalan Gunay, maka yang harus disalahkan adalah Gunay!
Yang sebenarnya terjadi adalah, justru dia sendiri yang terus mengekori Gunay. Bahkan dia sangat menikmati saat berbuat nakal dengan bocah itu. Tapi tingkahnya seolah-olah dia adalah anak polos yang sudah dirusak oleh bejatnya perilaku Gunay.
"Mas, Unay laper, Mas, beliin Unay mammam dong, Hyung."
Gunay mulai bertingkah lagi, dia bersandar di bahu Dimas dengan manjanya meminta dibelikan makanan.
Anak-anak lain yang sedang dihukum bersama mereka hanya tertawa geli menatap keduanya.
"Mammam pala lu peang! Kita lagi dihukum tolol!! Singkirin pala lu dari bahu gue woi berat tau gak!"
"Ekhemm," tiba-tiba suara deheman keras terdengar dari belakang mereka mengagetkan dua orang yang sedang bermesraan.
Seketika semua kembali ke posisi semula, duduk dengan diam dan patuh.
"Bapak tadi sudah bicara dengan guru bahasa Indonesia kalian, Bu Yani. Katanya dia memaafkan kalian kali ini, tak ada lain kali. Dan kamu Gunay, Bu Yani memintamu untuk menyalin semua materi dari Bab satu sampai tiga tanpa meringkas! Dikumpulkan besok."
"Tapi Pak, masa cuma sa—"
"Bapak tau kamu biang keroknya! Gak usah membantah, lakukan saja yang diperintahkan Bu Yani. Sekarang kalian boleh bubar, langsung ke kelas, dengar?! Jangan ada yang pura-pura khilaf ke kantin!" ucap pak guru olahraga menekankan kata terakhirnya sambil menatap sinis ke arah Gunay.
"Baik, Pak," ucap mereka semua serentak.
Sekarang adalah jam pelajaran Bahasa Jerman, enam orang murid memasuki ruang kelas dengan lesu.
Tunggu sebentar, enam? Bukankah seharusnya mereka berdelapan? Oh, benar saja. Bocah berandal itu benar-benar tak bisa dipercaya.
.
.
Beberapa menit sebelum mereka kembali ke kelas.
"Mas, kantin, yuk?" ajak Gunay sembari menyambar pergelangan tangan Dimas.
"Heh, lu itu dah pikun apa gimana?! Gak ingat tadi pak guru olahraga bilang apa?" bentaknya menyingkirkan tangan Gunay, geli.
"Bentar lagi kan udah mau istirahat, Mas, tanggung banget kalo masuk kelas, hayuk lah, ah,"
ucap Gunay mencoba meraih tangan Dimas lagi.
Sebelum tangan Gunay benar-benar berhasil meraih pergelangan tangannya, dia sudah lebih dulu menghindar.
"Gak! Lo aja pergi sendiri!"
"Huh, yaudah." Gunay merengut memasang tampang sok imut lalu membalik badan meninggalkan Dimas.
Gunay sudah menjauh beberapa langkah darinya, namun Dimas masih terdiam di tempat, tampak berpikir.
"Eh, kangmas? Kok kesini? Gak jadi masuk kelas?" Gunay tampak kaget melihat kehadiran Dimas di kantin yang tiba-tiba saja muncul dari belakangnya dan menyambar beberapa bungkus roti.
"Bu-bukan berarti gue ngikutin lo ya! Gue lagi lapar aja ini!" ucapnya tanpa melihat wajah lawan bicaranya, ia masih fokus membuka bungkus roti yang baru saja dia ambil.
"Oh? Oke." Gunay mengedikkan bahunya dan duduk di salah satu bangku kantin. Dimas mengikutinya.
Dimas, Dimas. Kalo emang pengen ngekorin Gunay ya jujur saja. Gak usah tsun-tsun begitu.