Read More >>"> Miracle of Marble Box (Sang Penggenggam Dunia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Miracle of Marble Box
MENU
About Us  

“Dunia sempit banget ya…” tiba-tiba Ovi berucap.

“Kenapa?” Yanu bertanya ‘kepo’.

“Ya…itu… Kak Rasya. Lama dirindukan eh ternyata muncul di depan mata. Udah gitu, dia masih ingat namaku lagi,” wajah Ovi mulai bersemu merah karena tadi ia disapa Rasya yang ternyata teman kuliahnya Alfa, kakak pertama Alsa.

“Kok kamu ga pernah bilang kalau Kak Rasya itu teman kakakmu?” tanya Indira ke Alsa.

“Aku juga baru tahu. Mas Alfa juga ga bilang kalau temannya yang mau datang itu namanya Rasya.”

“Hm…perlu ditelusur tuh,” imbuh Yanu, tetapi tak digubris oleh Alsa.

Setelah mengobrol santai sejenak sehabis makan siang, Alsa dan teman-teman bersiap kembali melanjutkan petualangan dengan kotak ajaib. Tersisa satu kelereng berwarna hijau muda yang cantik mirip seperti batu giok. Hati Alsa penuh dengan harapan besar untuk dapat menemukan Kiki di kesempatan terakhir ini. Tak hanya Alsa, Ovi pun demikian. Tak peduli kemana portal waktu membawanya asal ia dapat menemukan sahabatnya kembali. Alsa pun membujuk semua temannya untuk dapat ikut dalam petualangan dengan kelereng terakhir ini.

“Seperti janji kita di awal, kita akan menyelesaikan semua ini bersam-sama dan akan menemukan Kiki juga bersama-sama,” ucap Alsa.

“Nah, berarti Yanu dan Arum wajib ikut masuk,” tambah Ovi.

“I…i…iyaa, Vi,” jawab Yanu sedikit terpaksa. Tapi mau bagaimana lagi karena Yanu pun juga sudah berjanji sebelumnya bahwa ia akan ikut berpetualang lagi di kelereng terakhir.

Mereka pun duduk berdekatan di ruang tamu, dan sebelumnya sudah mempersiapkan segala yang diperlukan. Kali ini Alsa merasa gugup karena inilah kesempatan terakhir untuk mencari Kiki melalui portal waktu sekaligus menjawab teka-teki dari kotak ajaib. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Alsa pun juga terlihat membaca doa-doa agar perjalanan kali ini membawa hasil yang baik. Ovi dan teman lain menyadari kecemasan Alsa karena semua ini berawal dari keinginannya berpetualang dengan kotak ajaib yang ia temukan saat Persami minggu lalu. Selain itu, Alsa bersikukuh untuk mengikuti setiap petunjuk yang dimunculkan pada kaca tanam dengan alasan akan bertanggung jawab untuk menemukan Kiki yang hilang di Menara Kembar Petronas, Malaysia. Tanpa menunggu lama lagi, Ovi langsung mendekatkan kotak ajaib ke hadapan Alsa yang terlihat tegang tak seperti biasanya.

“Ayo dibuka, Al. Semoga berhasil,” ucap Ovi. Alsa menerimanya dengan gugup.

Begitu kotak ajaib dibuka perlahan, yang lainnya saling mendekatkan bahu mereka untuk melihat apa yang akan terjadi sebelum kelereng terakhir dimasukkan Alsa ke dalam lubang. Tiba-tiba muncul sebuah kalimat di kaca tanam.

Bola mimpi dan harapan memberi arti.

Yang terpilih akan mengakhiri dengan sebuah jawaban.

Waktu berputar, kenangan tak memudar.

“Ini maksudnya apa?” Indira bertanya, tetapi Alsa hanya mengangkat bahu dan terdiam. Tak berselang lama, tulisan itu menghilang. Alsa menggigit bibir bawahnya, dan teman-teman hening. Setelah mengucap basmallah, Alsa bersiap mengambil kelereng terakhir.

“Tunggu, Al.” Semuanya terkejut saat Yanu menghentikan tangan Alsa.

“Kenapa?”

“Kalau yang terpilih yang mengakhiri, apa nanti kita akan terpisah?” Yanu mengingat-ingat kalimat sebelumnya. Ovi menghela napas.

“Dari kemarin-kemarin kita ga ada yang terpisah kok. Berangkat bertiga, ya balik bertiga. Makanya, jangan duduk sama makan aja…” Ovi menjelaskan dengan nada kesal karena Yanu hanya mengulur waktu saja. Yang lainnya mencoba tak terbawa emosi. Alsa juga melemparkan senyumnya untuk membuat Yanu tetap tenang.

Kelereng hijau diambil perlahan oleh Alsa, lalu dimasukkannya ke dalam celah di tengan kotak. Semuanya mengatur napas tegang dan menunggu kalimat yang akan muncul di kaca tanam. Yanu menggenggam tangan Arum penuh ketegangan.

Garis yang membelah bumi menjadi pemersatu.

Langkah kecil untuk tujuan besar, dunia dalam genggaman.

Jarak pertemuan semakin dekat.

Mereka berlima kembali berpetualang, menghilang dalam portal waktu. Membawa sebuah petunjuk baru yang harus dicari, sebuah teka-teki yang akan memberi sebuah harapan – menemukan Kiki kembali.

“Aduh!”

“Kenapa lagi sih, Nu?” Kini Arum yang mulai khawatir karena Yanu.

“Ini…ini panas banget kursinya.”

“Aaahhhh…lebaaaayyyy……” teman yang lain kompak mengomentari. Entah karena gugup ataupun hanya mencari perhatian, Yanu bertingkah yang dianggap berlebihan oleh teman-temannya. Sedangkan yang lainnya serius untuk mencari jawaban dari teka-teki terakhir yang diberikan oleh si kotak ajaib.

Saat semua tersadar dan bersiap untuk mencari tahu tentang lokasi mereka berada, terdengar suara seorang anak kecil di kejauhan. Ia memanggil ayahnya yang hendak berangkat dengan mobil bak terbuka. Anak laki-laki kecil itu menggunakan kaos kuning dan celana pendek hitam jelas berbicara bahasa Indonesia. Ia membawa kantong plastik hitam di tangan kanannya. Begitu mobil ayahnya berhenti, ia berbicara namun terlihat ayahnya memberi isyarat tidak mengizinkan, lalu pergi meninggalkan anak kecil itu dengan wajah yang sedih dan kecewa. Namun ada rasa lega untuk Alsa dan teman-teman karena mereka yakin bahwa saat ini mereka ada di negara sendiri, entah di kota mana, tak jadi masalah.

“Kamu kenapa?” Alsa mendekati dan membuat anak kecil itu terkejut.

“A..a..aku mau ke tugu. Tapi ayah tidak mau,” jawab anak kecil itu sedih.

“Ke tugu apa, dek?” Indira bertanya sambil berjongkok agar dapat melihat wajahnya.

“Tugu ekuator.”

Jawaban anak lelaki itu membuat Alsa dan teman-teman menjadi bertanya-tanya. Seingat Alsa ada tugu khatulistiwa di Pontianak, tetapi apakah tugu ekuator itu juga yang dimaksud tugu khatulistiwa. Arum dan Yanu hanya terdiam karena mereka kurang mengetahui tentang tugu yang dimaksud oleh anak lelaki tersebut.

“Kakak nak kemana?”

“Eh…mau ke tugu ekuator juga,” jawab Alsa. “Jauh tak dari sini?” rasa penasarannya membuat ia ingin tahu tugu ekuator yang dimaksud anak lelaki itu seperti apa.

“Al, mau apa ke sana?” Ovi menyenggol bahu Alsa.

“Kita coba aja dulu ke sana. Siapa tahu ada petunjuk.”

“Kalau ga ada apa-apa, gimana? Kan kita ga tau itu dekat apa jauh.”

“Tugu tak jauh. Tapi harus pergi naik mobil…” anak lelaki yang bernama Paton itu mendengar percakapan Alsa dan Ovi lalu ia memberi informasi lokasi tugu.

Mereka semua lalu berpikir bagaimana cara untuk menuju ke tugu tersebut. Tak ada orang lain yang mereka kenal selain Paton. Indira memberi usul untuk memberhentikan mobil yang melintas, tetapi Ovi menolak dengan alasan berbahaya jika nanti malah dibawa ke tempat yang tidak baik atau mendapatkan perlakuan yang tidak sopan. Terlebih mereka hanya pendatang sementara.

“Aku mau tunggu mobil Mama’ lewat. Kakak mau ikut kah?” Paton mengajak Alsa meski sedikit ragu karena baru saja mengenalnya.

“Oh, ibumu mau ke tugu juga?” Indira memastikan.

“Hm…bukan Umaiku, tapi Mama’. Hmm…adik Umai.”  Paton menjelaskan beberapa sapaan keluarga dalam bahasa Dayak. Ternyata Mama’ itu adalah paman, sedangkan ibu dalam bahasa Dayak adalah Umai.

Alsa dan yang lain bersedia ikut Paton meskipun tak tahu mereka akan menaiki mobil apa dan akan berhenti dimana. Namun Paton bersedia untuk menjadi pemandu mereka yang ingin ke tugu ekuator. Sebuah mobil bak terbuka berwarna biru tua melintas perlahan lalu berhenti karena Paton melambaikan tangannya. Sedikit berbincang dengan seorang lelaki yang membawa mobil tersebut, tak lama Paton menyuruh Alsa dan teman-teman untuk naik ke mobil tersebut. Yanu terkejut saat ia harus naik ke mobil bak.

“Serius nih?”

“Kalau ga mau naik, yaudah kamu disini aja sendiri,” Ovi menakut-nakuti Yanu yang masih saja terlihat linglung.

“Ayo, Nu. Pelan-pelan aja, ditungguin kok sama Pak Buyo,” Indira mengulurkan tangan seraya membantu Yanu untuk naik ke mobil bak.

Setelah semua berada di atas mobil, Pak Buyo memberi aba-aba untuk bersiap jalan. Cuaca yang terik membuat semuanya kepanasan tetapi demi mencari tahu tentang tugu ekuator mereka menahan sinar matahari yang menyengat. Alsa pun tetap memegang harap untuk dapat memecahkan misteri terakhir. Di dalam mobil bak itu, Alsa melihat beberapa tumpukan karung putih, tak banyak tetapi menggelitik Alsa untuk mencari tahu bungkusan apa itu.

“Lidah buaya?” wajah Yanu tegang, ketakutan.

“Bukan lidah buaya dari mulut buaya. Itu tanaman lidah buaya yang sudah dipotong. Mau saya antar ke rumah untuk dijadikan manisan,” ucap Pak Buyo.

“Wah, besar sekali lidah buayanya. Kalau di Jakarta, saya belum pernah lihat sampai sebesar ini,” Alsa terkagum dengan tanaman yang ditakuti Yanu tadi. Ukuran lidah buaya yang sudah dipotong itu hampir sepanjang 50 cm. Memang sebesar lidah buaya dari mulut buaya muara. “Apa di sini banyak yang menanam?”

“Iya, tanaman ini banyak ditanam di sini. Ada yang memang menjadikan bisnis untuk manisan dan dijual keluar pulau.”

“Selain lidah buaya, apa lagi yang biasa dijual dan khas dari Pontianak?”

“Hm…durian.”

“Waaahhh… Asik tuh!” Yanu, Indira, dan Ovi berseru hampir bersamaan.

“Kakak suka durian ya?”

“So pasti dong,” jawab Yanu bersemangat. “Kamu mau ajak aku makan durian ya…”

“Eh, aku hanya tanya. Maaf kak…” ucap Paton menghancurkan harapan Yanu.

“Hahahaahaaa… Emang enak. Makanya jangan makanan terus yang dipikirin,” seloroh Ovi sembari meledek Yanu.

Setelah limabelas menit perjalanan di atas mobil bak, akhirnya Alsa dan teman-teman sampai di depan sebuah lokasi dengan penjagaan petugas keamanan di depan pagar tinggi. Lalu Paton mengajak turun dan memasuki tempat yang terlihat seperti alun-alaun kota. Petugas keamanan seolah sudah mengenal baik Paton, sehingga Alsa dan teman-teman langsung diperbolehkan masuk tanpa pertanyaan-pertanyaan.

“Paton, kita ga beli tiket masuk dulu?” Tanya Alsa heran karena mereka semua hanya masuk saja melewati pagar tinggi dan tidak membeli tiket masuk.

“Tak apa. Aku bilang kalau kakak-kakak ini dari sekolah tempatku dulu. Mau belajar.”

“Ah kamu bisa saja. Terima kasih ya.” Meskipun santai, tetapi Alsa tetap saja menyimpan sebuah pertanyaan yang ingin lebih lanjut ditanyakan pada Paton – sekolah yang dulu. Kata-kata Paton mengusik pikiran Alsa.

“Itu dia, tugu ekuator! Atau orang-orang sebut itu tugu khatulistiwa.”

Ah, benar dugaan Alsa. Ternyata tugu ekuator itu adalah tugu khatulistiwa, sebuah bangunan ikonik yang ada di kota Pontianak. Tugu ini didirikan sebagai penanda bahwa garis ekuator yang membelah bumi menjadi dua bagian di tengahnya melewati Indonesia. Paton dengan semangat mengajak Alsa dan teman-teman mendekati tugu tersebut dan menceritakan bahwa ia sering mengunjunginya dan bertemu banyak wisatawan dari beberapa negara yang ingin melihat-lihat maupun mempelajari tentang geografi serta fenomena alam yang terjadi di wilayah tersebut.

“Tugu yang asli ada di dalam, Kak,” ucap Paton yang begitu paham dengan lokasi tugu tersebut. “Usianya sudah lebih dari 90 tahun.”

“Apa boleh kita lihat bentuk tugu yang asli? Apa ada sejarah tentang bangunan ini?” Alsa memberondong Paton dengan pertanyaan penuh rasa ingin tahu.

“Boleh. Di sana juga ada foto-foto tentang angkasa luar dan kejadian-kejadian alam.” Paton yang berusia 11 tahun benar-benar seperti pemandu wisata cilik. Ia berjalan di depan rombongan Alsa, dan mengajak mereka masuk ke dalam planetarium tugu khatulistiwa. Ruangan yang sedikit redup itu berbentuk seperti lingkaran dan di tengah-tengahnya terdapat tugu khatulistiwa yang asli. Paton menceritakan bahwa tugu khatulistiwa itu awalnya dibuat oleh seorang ahli geografi dari Belanda, lalu disempurnakan oleh arsitektur Indonesia.

Ada sebuah tulisan yang menjelaskan sejarah singkat di bawah tugu yang berdiri setinggi 3 meter tersebut. Paton membaca tulisan itu menggunakan tiga bahasa dengan fasih: Indonesia, Inggris, dan Belanda. Semua takjub, bukan hanya tentang tugu melainkan Paton. Lidahnya lancar sekali berbahasa Belanda. Ia menjelaskan tentang tulisan ‘evenaar’ yang ada di atas lingkaran besi, yang berarti ekuator atau berada di 0 derajat lintang. Ia juga menjelaskan tentang angka yang terdapat di tengah-tengah lingkaran besi; 109o20’0’’OlvGR yang artinya garis khatulistiwa di tempat itu menunjukkan 109 derajat bujur timur 20 menit 00 detik GMT.

“Posisi ini kalau ditarik garis lurus akan sampai di kota Greenwich di Inggris,” mendengar penjelasan dari Paton kelima siswi kelas IX SMP Cakrawala Ilmu terdiam, mengangguk serius mencerna pengetahuan baru.

Tiba-tiba mereka dikejutkan suara pengunjung yang terdengar berbincang di depan pintu masuk planetarium. Paton terlihat tersenyum seolah kedatangan teman baru, dan ia siap menyambutnya. Alsa dan Indira memperhatikan beberapa foto yang mengelilingi di sekitar tugu asli, sedangkan Ovi, Arum dan Yanu masih tertegun di depan tugu. Tanpa disadari, Paton menghampiri lalu menyapa para turis asing dengan ramah. Tak lama, seorang turis terdengar berbicara bahasa Perancis dengan rekannya. Dan…pemandangan selanjutnya sungguh luar biasa! Paton berbicara dengan fasih dalam bahasa Perancis menjelaskan tentang tugu khatulistiwa. Sama persis seperti yang ia jelaskan pada Alsa dan teman-teman. Alsa dan yang lainnya hanya tertegun melihat anak lelaki Dayak itu memandu para turis.

Belum habis rasa kagum mereka, masuk lagi dua orang turis bermata sipit ke area planetarium dan Paton menyapa mereka dengan ramah. Setelah mendengar Paton menanyakan tentang asal turis itu, Alsa lagi-lagi dikejutkan oleh keahlian Paton. Ia berbicara bahasa Jepang dengan lancar. Arum terbelalak dan Yanu hampir lupa menutup mulutnya yang melongo karena melihat Paton. Bagaimana bisa? Seorang anak kecil menguasai berbagai macam bahasa asing, dan ia begitu santai menjelaskan tentang sejarah dan pengetahuan tentang tugu khatulistiwa. Setiap penjelasan yang diberikan Paton, Ovi menelan ludahnya. Selama ini ia berpikir bahwa pengetahuan yang ia miliki dan juga bahasa asing yang ia kuasai tak seberapa dari yang dikuasai oleh Paton.

Setelah hampir 45 menit memandu para wisatawan, Paton lalu keluar planetarium dan mempersilakan turis-turis itu untuk berfoto di taman khatulistiwa. Ia juga menunjukkan sebuah garis lurus yang menandakan pemisah antara lintang utara dan lintang selatan.

“Setiap 21-23 Maret dan 21-23 September banyak yang datang untuk melihat fenomena titik kulminasi matahari,” Paton memberi informasi lanjutan. “Jika kalian berada di titik ini saat hari itu, maka tak ada bayangan di sekitar tugu. Kalian pun tak memiliki bayangan untuk beberapa detik.”

Wow! That’s amazing,” ucap beberapa turis itu tercengang.

So, I invite you to be here again on that days,” Paton mengundang turis-turis seraya mempromosikan wisata ilmu yang ada di kotanya. Semua mengangguk dan beberapa mengatakan setuju untuk kembali ke Pontianak di hari istimewa itu. Lalu mereka pamit untuk meninggalkan planetarium. Ada beberapa turis yang mengabadikan pertemuan mereka dengan Paton di depan tugu khatulistiwa. Terlihat wajah puas atas pelayanan dan bantuan yang diberikan Paton, dan pastinya kekaguman atas kepandaiannya.

“Kamu luar biasa, dek.” Alsa langsung menghampiri Paton setelah turis-turis itu pergi.

“Ah, biasa saja, kak.”

“Kamu belajar bahasa-bahasa itu di sekolah?” Indira pun penasaran.

“Hm…tidak. Aku sudah tidak sekolah tiga tahun lebih…” ucapan Paton membuat semuanya terbelalak.

“Ga sekolah? Kenapa?” Ovi pun juga terheran-heran.

“Ituu… Orangtuaku tak ada cukup uang untuk sekolah… Lagi, ada adik yang masih kecil,” jawaban Paton menyayat hati. Ia tak melanjutkan sekolah karena kondisi ekonomi keluarga yang tak mencukupi. Ayahnya hanya buruh harian yang mengantar barang dari perkebunan ke tempat pengolahan. Ibunya dulu bekerja membantu industri rumah tangga membuat lempok durian, tetapi sejak memiliki bayi ia tak lagi bekerja.

“Terus, dari mana kamu bisa bicara bahasa-bahasa asing itu?” Ovi masih penasaran.

“Ah itu, aku belajar dari turis-turis yang datang,” jawabnya polos. “Dulu pernah datang Mr. Lewis dari Inggris. Dia seorang dosen dan sering datang ke tugu. Pernah aku tengok dia sedang lihat-lihat sekitar tugu dan mengukur-ukur dengan alat canggih. Lalu dia ajarkan aku bahasa Inggris.” Paton yang cerdas itu lalu mengisahkan tentang siapa-siapa saja yang telah mengajarkan bahasa asing kepadanya. Meskipun putus sekolah, semangat Paton tak pernah surut untuk terus mengejar ilmu. Ia mengunjungi tugu khatulistiwa setiap hari dan menemui banyak orang dari negara yang berbeda setiap harinya. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar, bertanya tentang hal-hal baru, bahkan ia tak malu untuk sekedar membantu membawakan barang atau mengambil gambar. Tidak hanya ilmu yang ia dapat, ia pun terkadang mendapatkan imbalan dari pengunjung yang telah dibantunya.

“Jadi, berapa bahasa yang kamu bisa?” Indira pun bertanya dengan rasa penasarannya.

“Hm…coba aku lihat dulu,” Paton membuka kantong hitam yang ia bawa. Lalu ia mengeluarkan buku tulis kecil, dan melihat catatannya. “Inggris, Perancis, Mandarin, Jerman, Jepang, Arab… sedikit bahasa Spanyol dan Italia. Aku juga masih belajar bahasa Rusia karena itu susah. Ah, satu lagi yang baru. Korea!”

“Wow!!! Ckckck…kamu itu seperti Google Translate ya…” Alsa berdecak kagum sambil mengelus bahu Paton. “Apa kamu juga punya kamus untuk belajar sendiri?”

“Iya, aku pernah dibelikan kamus bahasa Perancis dan Jerman oleh Madam Diane.” Ia juga menyebutkan seorang ahli lingkungan yang pernah menetap di Pontianak selama 8 bulan dan mengajarkan ia tentang banyak hal. Semua yang dipelajari oleh Paton ditulis di bukunya dan ia selalu membacanya ulang dan mempraktikkannya.

“Apa saja yang selalu kamu bawa di kantong itu?” Arum pun ikut bertanya penasaran.

“Ada…buku tulis, pulpen, kamus, dan…peta dunia.”

“Peta dunia? Untuk apa?” Ovi mencoba meminjam peta yang ditunjukkan oleh Paton.

“Aku memberi tanda di peta itu, orang-orang yang datang ke sini dari mana asal mereka. Aku juga memberi tanda negara mana saja yang bahasanya sudah kupelajari.”

Alsa tak henti-hentinya berdecak kagum dan sesekali menggelengkan kepalanya. Ia merasa kecil dibandingkan Paton yang usianya lebih muda. Kepandaiannya di kelas ataupun di sekolah tak sebanding dengan ilmu yang dimiliki Paton. Andai ia diketahui oleh seorang Youtuber atau influencer dunia maya pastilah akan menjadi viral. Ia seperti berlian di tengah khatulistiwa. Meski ia tak memiliki telepon genggam yang canggih namun dunia seakan ada di dalam genggamannya. Ia tak pernah menginjakkan kaki di ibukota tetapi kemampuan yang dimilikinya seolah telah membawa ia keliling dunia. Alsa dan teman-teman menemukan sebuah semangat untuk semakin giat belajar dan terus menggali ilmu. Kondisi mereka lebih beruntung daripada Paton, tetapi terkadang mereka lalai atau tak serius dalam menggunakan kesempatan menambah pengetahuan dan menggapai cita-cita.

“Paton, boleh kulihat peta punyamu?” izin Alsa.

“Boleh, Kak,” tangan kurus kecoklatan Paton menyerahkan peta ke tangan Alsa yang putih bersih. “Kalau kakak pasti pernah jalan-jalan keluar negeri. Boleh aku lihat tak, sudah ke negara mana saja?” kali ini Paton seperti paranormal yang bisa menebak apa yang telah Alsa alami.

“Hm…kita lihat sama-sama ya.” Lalu Alsa membentangkan peta dunia di atas rerumputan taman khatulistiwa. Yang lainnya memperhatikan dari kursi taman.

“Coba ditandai, Al. Ke negara mana saja kotak itu sudah bawa kita dengan teka-tekinya,” Ovi memberi saran. Lalu Alsa mengambil pensil di tas kecilnya dan meminta izin pada Paton untuk memberi tanda pada petanya.

“Malaysia…” Setelah memberi tanda pertama, Alsa terhenti. Ia teringat akan janjinya untuk mencari Kiki sampai bertemu kembali. Ia menoleh ke arah Ovi, dan ia hanya mengangguk memberi isyarat agar Alsa melanjutkan menandai peta. “Jepang, Korea Selatan, China, hm…” Alsa kembali melihat Ovi karena ia agak lupa setelahnya.

“Abis dari China itu, kalau ga salah kita ke Italia. Kedai pizzanya Donita, iya kan?”

“Iya betul,” jawab Indira.

“Italia. Terus…Arab Saudi.” Setelah menandakan negara Arab Saudi dipeta terdengar Arum mengiyakan dari belakang Alsa dan mengucapkan nama Khawla. “Abis itu kita ke New York, terus ke Perth, Australia dan sekarang ada di Pontianak.”

“Wah, kakak sudah mengunjungi banyak negara. Hebat!” Paton kini terkagum-kagum pada Alsa dan teman-teman. Ia tak mengetahui bahwa semua perjalanan itu adalah sebuah misi. “Andai saja aku bisa seperti kakak…”

“Kamu pasti bisa, Paton. Kamu itu anak cerdas,” ucap Indira membesarkan hati Paton.

Mendengar kalimat Indira dan semangat dari yang lainnya, Paton tersenyum lebar memancarkan sebuah harapan besar agar bisa mengunjungi negara-negara lain di dunia. Lalu mereka berfoto bersam di depan tugu khatulistiwa. Mengabadikan cerita bersama anak lelaki kecil yang menggenggam dunia. Tak lama, Alsa terkejut karena bunyi dan getaran ponselnya. Ia lalu segera mengeluarkannya dari saku celana.

Titik-titik bertautan menuju ke sebuah harapan.

Tanda petunjuk memberikan arah menemukan yang hilang.

Bersiaplah kembali bersama kenangan.

Alsa terkejut membaca sebuah kalimat yang muncul di layar ponselnya. Ia tertegun sejenak, lalu ia menunjukkan kepada yang lainnya. Dan, semuanya pun menjadi ikut terheran-heran. Paton pun ikut bingung, terdiam karena melihat semuanya bermuka galau.

“Al, coba kamu tarik garis dari titik-titik di peta itu,” Ovi tiba-tiba menyuruh Alsa untuk menghubungkan titik-titik yang ia tandai di peta.

“Tapi…ini punya Paton.”

“Hm…tak apa Kak. Itu kan pakai pensil, nanti bisa dihapus.”

Lalu Alsa mulai menarik garis dari titik pertama di Malaysia. Garis terus terhubung berurutan sesuai negera-negara yang telah mereka kunjungi saat terbawa oleh portal waktu. Setelah selesai sampai di titik terakhir, terlihat sebuah bentuk di atas peta. Garis-garis itu ternyata membentuk seperti huruf ‘k’. Alsa dan teman lainnya saling berpandangan.

“Kiki…” semuanya menyebut sebuah nama hampir bersamaan.

Tiba-tiba peta milik Paton bersinar terang dari bentuk huruf ‘k’ tersebut. Alsa dan teman lain langsung berkumpul saling berdekatan dan bergenggaman. Yanu berkeringat dingin seiring cahaya terang itu semakin terang dan semakin besar. Arum menarik napas panjang. Indira dan Ovi bersamaan menyebut nama Alsa setengah berteriak. Dan…tiba-tiba mereka semua menghilang terhisap cahaya terang. Paton terbelalak melihat kejadian di hadapannya, lalu ia terkulai tanpa kata perpisahan.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kanvas Putih
119      104     0     
Humor
Namaku adalah Hasywa Engkak, yang berarti pengisi kehampaan dan burung hitam kecil. Nama yang memang sangat cocok untuk kehidupanku, hampa dan kecil. Kehidupanku sangat hampa, kosong seperti tidak ada isinya. Meskipun masa depanku terlihat sangat tertata, aku tidak merasakannya. Aku tidak bahagia. Wajahku tersenyum, tetapi hatiku tidak. Aku hidup dalam kebohongan. Berbohong untuk bertahan...
Orange Haze
360      252     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
ALTHEA
78      61     0     
Romance
Ini adalah kisah seorang perempuan riang yang memiliki perasaan lebih ke manusia es batu, manusia cuek yang telah menyukai seorang perempuan lain di sekolahnya. Walaupun ia tahu bahwa laki laki itu bukan menyukai dirinya, tetap saja ia tak akan kunjung lelah untuk mendapatkan perhatian dan hati laki laki itu. Akankah ia berhasil mendapatkan yang dia mau? "Dasar jamet, bales chat nya si...
I love you & I lost you
4912      2028     4     
Romance
Kehidupan Arina berubah 180 derajat bukan hanya karena bisnis ayahnya yang hancur, keluarganya pun ikut hancur. orang tuanya bercerai dan Arina hanya tinggal bersama adiknya di rumah, ayahnya yang harus dirawat karena mengalami depresi berat. Di tengah hancurnya keluarganya, Arina bertemu kembali dengan teman kecilnya, Arkan. Bertemunya kembali mereka membuka sebuah lembaran asmara, namun apa...
Premium
Take My Heart, Mr. Doctor!
4858      1585     2     
Romance
Devana Putri Aryan, seorang gadis remaja pelajar kelas 3 SMA. Ia suka sekali membaca novel. Terkadang ia berharap kisah cintanya bisa seindah kisah di novel-novel yang ia baca. Takdir hidupnya mempertemukan Deva dengan seorang lelaki yang senantiasa menjaganya dan selalu jadi obat untuk kesakitannya. Seorang dokter muda tampan bernama Aditya Iqbal Maulana. Dokter Iqbal berusaha keras agar s...
My World
535      353     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Adiksi
5715      1964     2     
Inspirational
Tolong ... Siapa pun, tolong aku ... nafsu ini terlalu besar, tangan ini terlalu gatal untuk mencari, dan mata ini tidak bisa menutup karena ingin melihat. Jika saja aku tidak pernah masuk ke dalam perangkap setan ini, mungkin hidupku akan jauh lebih bahagia. Aku menyesal ... Aku menyesal ... Izinkan aku untuk sembuh. Niatku besar, tetapi mengapa ... mengapa nafsu ini juga sama besarnya!...
KSATRIA DAN PERI BIRU
132      112     0     
Fantasy
Aku masih berlari. Dan masih akan terus berlari untuk meninggalkan tempat ini. Tempat ini bukan duniaku. Mereka menyebutnya Whiteland. Aku berbeda dengan para siswa. Mereka tak mengenal lelah menghadapi rintangan, selalu patuh pada perintah alam semesta. Tapi tidak denganku. Lalu bagaimana bisa aku menghadapi Rick? Seorang ksatria tangguh yang tidak terkalahkan. Seorang pria yang tiba-tiba ...
Lebih Dalam
129      110     2     
Mystery
Di sebuah kota kecil yang terpencil, terdapat sebuah desa yang tersembunyi di balik hutan belantara yang misterius. Desa itu memiliki reputasi buruk karena cerita-cerita tentang hilangnya penduduknya secara misterius. Tidak ada yang berani mendekati desa tersebut karena anggapan bahwa desa itu terkutuk.
Premium
SHADOW
4355      1448     0     
Fantasy
Setelah ditinggalkan kekasihnya, Rena sempat mencoba bunuh diri, tapi aksinya tersebut langsung digagalkan oleh Stevan. Seorang bayangan yang merupakan makhluk misterius. Ia punya misi penting untuk membahagiakan Rena. Satu-satunya misi supaya ia tidak ikut lenyap menjadi debu.