Kotak ajaib di atas meja tamu itu dipandangi dengan lekat oleh Alsa dan teman-temannya. Tersisa dua buah kelereng di dalamnya – pink dan hijau. Harapan semakin besar untuk segera menemukan Kiki di salahsatu kesempatan yang diberikan oleh dua kelereng tersebut.
“Kalian tetap ga mau ikut cari Kiki?” Alsa menawarkan pada Yanu dan Arum.
“Tinggal dua lagi nih. Ga setia kawan banget…” Ovi mulai berucap dengan sindirannya.
Setelah meneguk habis minuman yang tersisa di gelasnya, Yanu dengan ragu melihat ke arah Arum yang masih melihat ke dalam kotak ajaib.
“Hm…aku ikut deh, Al…” perkataan Arum membuat teman lain terkejut sekaligus senang. Tinggal menunggu respon Yanu. Semuanya kompak menatap ke arahnya.
“Eh, aku…aku…hmm…nanti dulu deh. Pas kelereng terakhir aja yaa hehehe…” semua menghembuskan napas kekecewaan setelah mendengar jawaban Yanu. Dengan sungkan Yanu bertukar posisi duduk dengan Arum yang akanikut berpetualang dengan ketiga teman lainnya. Saat Alsa ingin memberikan kesempatan pada Arum untuk memilih kelereng yang akan dimasukkan ke kotak ajaib, tiba-tiba saja ponsel Alsa berdering. Panggilan masuk dari Mas Alfa – kakak pertama Alsa. Ia lalu bangkit dari duduknya dan menjawab panggilan dari teras rumah.
“Iya Mas. Ada apa?”
“Nanti siang ada teman Mas Alfa mau antar barang ke rumah. Trus, Mas minta tolong ya…”
“Tolong apa, Mas?”
“Di atas meja yang di kamar, ada buku yang sudah disiapkan. Teman mas mau pinjam itu.”
“Oh oke. Nanti aku ambil dulu di kamar.” Setelah mengucapkan terima kasih dan mengucap salam, sambungan telepon diakhiri. Alsa kembali bersama teman-temannya.
“Ada apa, Al?” tanya Indira sedikit berbisik. “
“Nanti mau ada teman kuliahnya Mas Alfa mau datang. Jadi baiknya kita mulai secepatnya supaya pas dia datang, kita udah di sini.”
Lalu dengan tarikan napas panjang, Arum memilih kelereng pink berbintik perak untuk dimasukkan ke dalam lubang pada kotak ajaib.
Hati yang tulus, hati yang memberi kehidupan.
Seorang yang berjiwa besar akan membesarkan jiwa lain untuk terus bersama.
Dialah pejuang sebenarnya.
Arum mengernyitkan keningnya, mencoba memahami kalimat yang muncul pada kaca tanam. Yang lainnya mengingat kalimat itu sambil menggenggam tangan temannya, bersiap masuk ke dalam portal waktu yang akan membawanya ke tempat petualangan dengan cerita baru. Di dalam pikiran Alsa, wajah Kiki selalu muncul dan menjadi sebuah target pencapaian.
“Aku harus segera menemukan Kiki,” gumamnya dalam hati.
Terduduk di sebuah kursi panjang yang menghadap ke arah sebuah danau dengan hamparan rumput hijau. Tampak dari kejauhan di sebelah kanan, ada sebuah bangunan berbentuk seperti lonceng yang ramping dengan beberapa pohon di sekitarnya. Alsa melihat sekeliling, ia mereka-reka lokasi dan mencari sebuah benda yang selalu ia harapkan setiap kali ia terbangun dan tiba di tempat baru – papan peta lokasi.
“Sejuk banget udaranya… Ini dimana ya?” Indira bertanya sambil menghirup udara yang bersih dengan bebasnya.
“Di sini ga terlalu ramai. Ayo kita jalan ke sana. Mungkin ada petunjuk lokasi,” ajak Alsa ke persimpangan jalan yang tak begitu ramai kendaraan.
Keempat remaja itu berjalan menggunakan trotoar yang bersih dan lebar, sangat nyaman dipakai untuk pejalan kaki dan juga pengguna sepeda. Tak ada sampah yang terlihat. Beberapa orang yang berpapasan justru ada yang tersenyum ramah seolah sudah biasa melihat remaja seperti mereka. Terlihat juga di kejauhan beberapa kendaraan lewat tanpa bunyi klakson yang yang bising. Kota ini sungguh nyaman dan tenang meskipun terlihat banyak orang berlalu lalang.
“Swan River, Perth, Western Australia,” Arum membaca judul di peta dengan terbata-bata.
Alsa melihat dan mempelajari lokasi dari tempat mereka berada. Gedung berbentuk lonceng itu bernama The Bell Tower atau orang-orang biasa menyebutnya Swan Bells. Terlihat begitu unik dan mereka pun ingin mengunjunginya. Ovi memimpin berjalan menyusuri tepi sungai yang bersih, meski langit begitu cerah namun tidak terasa panas karena beberapa pohon teduh memayungi di sepanjang trotoar yang berwarna merah bata. Sesampainya di depan gedung itu, barulah mereka menyadari bahwa bangunan itu mirip dengan tubuh angsa dengan leher yang menjulang. Lalu mereka berfoto di dekat menara lonceng dengan beberapa gaya. Tak lama mereka bertemu dengan seorang wanita muda berambut pirang berkacamata hitam.
“Hallo… Are you from Malaysia or Indonesia?” sapanya ramah. Ia seperti sudah akrab dengan turis-turis berpenampilan seperti Alsa dan teman-temannya.
“Yes, we are from Indonesia,” jawab Alsa dengan senyum hangat.
“Ah…selamat siang…” wanita itu menyapa mereka dengan Bahasa Indonesia yang beraksen Australia. “Selamat datang di Perth,” ucapnya kemudian. Alsa dan yang lainnya begitu senang bertemu dengan bule yang bisa berbicara Bahasa Indonesia.
“Wah, kamu bisa bicara Bahasa Indonesia dengan baik,” ucap Indira.
“Nope. I can only say greetings. I know it from some Indonesian friends here,” jelasnya.
“But, that sounds great! I really appreciate it,” Alsa membalasnya dengan ramah. Selanjutnya ia mulai berkenalan dengan wanita tersebut dan diikuti oleh lainnya. Wanita yang ramah itu bernama Marion Connors, dan ia ingin disapa dengan sebutan Mary. Lalu ia mengajak Alsa dan teman-teman menyusuri sisi lain dari kota Perth. Berjalan di sepanjang Barrack Street, Mary dengan ramah menjelaskan tentang kota yang nyaman tersebut.
“Mary, boleh aku bertanya sesuatu?” seperti biasanya Alsa selalu ingin tahu tentang latar belakang orang yang baru dikenalnya. “Apa pekerjaanmu?”
“Hm…aku hanya seorang seniman jalanan,” jawabnya singkat. “Aku memiliki tempat berkreasi di kawasan Murray Mall, Perth CBD. Maukah kalian kuajak ke sana?”
“Yes, absolutely,” jawab Alsa dan Ovi hampir bersamaan.
Perth CBD terletak sejurus dengan Swan Bells dan berjarak sekitar 800 meter. Mereka berjalan kaki dengan santai karena rute bus yang dapat digunakan berjalan dari arah sebaliknya. Perth CBD layaknya restoran besar di antara pertokoan. Meja dan kursi makan terletak di tengah-tengah gedung pusat perbelajaan dan kafetaria. Ada beberapa seniman di pojok-pojok pertokoan yang memainkan alat musik berbeda untuk menghibur pengunjung. Suasana yang ramai tetapi tetap tenang dan nyaman.
“Ini kawasan Hay Mall karena terletak lurus dengan Hay Street. Disanalah Murray Mall yang searah dengan Murray Street,” Mary menjelaskan lokasi tempat mereka berada.
“Lihat! Itu ada Restoran Masakan Padang,” Alsa terkejut begitu ia menoleh ke kanan dan menemukan rumah makan khas masakan dari Indonesia. Yang lain terlihat begitu sumringah. Meskipun di negara lain jika melihat rumah makan Padang terasa dapur rumah begitu dekat di lidah.
“Hi Mary. Do you want to get ready earlier?” seorang lelaki tua dengan saxophone menyapa Mary dengan ramah.
“Ah, tidak. Saya hanya mengajak turis dari Indonesia berjalan-jalan.”
“Bagaimana dengan kondisimu? Sebaiknya kamu tak perlu bekerja hingga malam…”
“Tidak apa-apa. Dengan bekerja, aku menjadi lebih senang dan bisa sedikit demi sedikit mengumpulkan uang.” Dari percakapan dengan lelaki itu, Mary terdengar sedang dalam kesulitan. “Oh iya, kenalkan… Ini remaja dari Indonesia yang sedang berlibur di Perth,” Mary memperkenalkan Alsa dan teman-teman dengan Mr. Russell, seorang veteran Angkatan Laut yang menjadi seniman jalanan untuk mengisi hari tuanya.
Mary lalu mengajak Alsa dan yang lainnya untuk mengambil tempat di depan sebuah kafe. Duduk sejenak, menikmati roti manis yang dibelikan oleh Mary sambil menikmati permainan saxophone dari Mr. Russell yang begitu memukau. Bapak itu memiliki keahlian bermusik yang luar biasa, terlebih napas yang teratur. Tak heran memang karena ia adalah mantan tentara perjuangan. Di usianya yang senja, Mr. Russell tetap terlihat bugar dan gagah.
“I play this song…special for the beautiful lady over there. I hope she will stay healthy and happy…” ucap Mr. Russell sebelum ia memainkan sebuah lagu spesial untuk Mary. Namun, kalimat harapan setelahnya membuat Alsa menjadi penasaran. Ada apa dengan Mary?
“Thank you so much for the song. I’ll bring you some tea. Stay here…” Mary lalu masuk ke dalam kafe dan mengantri untuk memesan sesuatu.
“Maaf Mr. Russell, saya ingin menanyakan sesuatu. Do you mind?” Alsa tak menyia-nyiakan waktu untuk mencari tahu tentang kondisi Mary.
“Tentang Mary?” Mr. Russell sepertinya memahami apa yang akan ditanyakan oleh Alsa. Ia mengangguk perlahan. “Dia sedang sakit. Sirosis hati… Sebelumnya ia pernah terkena Hepatitis.”
Alsa terkejut mendengar kalimat dari bapak karismatik tersebut, sampai ia menutup mulutnya. Sambil terus mengawasi posisi Mary di dalam kafe yang sedang mengantri, ia menjelaskan bahwa Mary seharusnya melakukan transpalasi hati, namun biayanya sangat besar. Mary semula bekerja di sebuah perusahaan perdagangan tetapi karena kondisinya semakin lemah, maka ia memutuskan untuk mengundurkan diri.
“Sebenarnya saya bisa membantunya, tetapi ia selalu menolak. Maka ia bermain biola sambil bernyanyi di sini setiap dua malam sekali,” jelasnya.
“Apakah tidak ada asuransi kesehatan yang bisa membantunya?” tanya Ovi.
“Jika ia masih bekerja di tempat yang sebelumnya, mungkin bisa… Mary selalu beralasan musik bisa membuatnya sembuh.” Karena Mary mendekati meja mereka, maka Mr. Russell berhenti bercerita. Alsa dan Ovi bersimpati pada Mary yang tetap terlihat biasa saja meski memiliki penyakit yang begitu kronis. Saat Mary memberikan segelas teh mint kepada Mr. Russell, semua tersenyum simpul dengan sikap Mary tersebut.
“Kalian pasti sudah membicarakan tentang aku, ya?” Mary menebak situasi yang ada saat ia ke dalam kafe tadi.
“No…no… Kita tidak membicarakan tentang kamu,” Ovi berkelit menutupi perbincangan dengan Mr. Russell. Mary tersenyum simpul seolah mengetahui yang sebenarnya.
“Dia terlalu khawatir tentangku. Padahal aku baik-baik saja…”
“Bagaimana bisa kamu baik-baik saja?! Kamu terlihat semakin kurus dan pucat…” Mr. Russell menyela dan ia terlihat sangat prihatin dengan Mary. “Kalau tidak segera operasi, kondisimu akan semakin membahayakan.”
“Berada di sini…bersama kalian…menikmati teh…musik…” Mary berbicara terbata-bata seolah ingin menangis. “…dan aku…aku… Uhukk…uhukkk…” Mary terbatuk keras dan terlihat bercak merah di bibirnya – darah segar.
“Oh no, Mary!” Mr. Russell terlihat sangat panik. Ia segera berdiri dan menghampiri Mary, lalu mengangkat bahunya untuk segera berdiri. “Let’s go to hospital!”
Mary hanya menggeleng, mengusap bibirnya dengan tisu. Ia justru menyuruh kami semua untuk tetap duduk dan tenang. Alsa dan yang lainnya pun terkejut dan khawatir melihat yang terjadi pada Mary. Ovi dan Indira membujuknya agar mengikuti saran Mr. Russell untuk ke rumah sakit. Mary tetap duduk, tak ingin beranjak. Ia mengelus tangan Mr. Russell agar tak perlu panik.
“I must bring you to hospital now. It’s getting worse, Mary…”
“I’m okay… Aku sudah biasa seperti ini. Hanya saja tadi aku agak jauh berjalan. But, that’s fine,” ucapan Mary membuat Alsa dan teman lainnya merasa bersalah. Mereka tadi berjalan memang cukup jauh. Bahkan selama berjalan mereka banyak bertanya pada Mary yang akhirnya harus menjelaskan dengan detil.
“Mary, we’re really sorry… Kamu jadi kelelahan karena berjalan jauh dengan kami dari Swan Bells tadi,” Alsa menyesali yang dilakukan sebelumnya tetapi Mary menggeleng, menyatakan kalau itu tak jadi masalah. Lalu ia terbatuk lagi, dan kini darah yang keluar lebih banyak hingga membasahi tangannya. Indira dan Arum tercekat. Mereka panik dan ingin segera mencari bantuan. Mr. Russell tak lagi membujuk, ia langsung mengangkat Mary dari kursi dan membawanya. Beberapa orang melihat mereka dan terjadilah kepanikan masal di Murray Mall. Mary mulai terlihat lemas karena ia melihat darahnya yang banyak keluar. Mr. Russell meminta siapa saja yang bisa membantu untuk membopong Mary dan membawanya ke rumah sakit. Ia juga meminta Alsa dan yang lainnya untuk ikut ke Royal Perth Hospital yang berjarak tak jauh dari kawasan Murray Mall.
Sesampainya di rumah sakit, Mary sudah dalam kondisi tak sadarkan diri dan dibawa ke ruang gawat darurat terpadu. Mr. Russell langsung bergegas menemui dokter di bagian pelaporan dan memberikan keterangan tentang kondisi Mary yang sebenarnya. Alsa dan yang lain hanya menunggu dengan cemas dan melihat Mr. Russell dari kejauhan. Setelah dokter terlihat memahami segala informasi yang diberikan oleh bapak baik hati itu, ia langsung memberikan instruksi pada perawat untuk mengurus beberapa dokumen. Lalu Mr. Russell dipersilakan untuk menunggu bersama keempat remaja kawan baru Mary.
“Bagaimana Mr. Russell?” tanya Alsa hati-hati setelah Mr. Russell duduk dan mengatur napasnya yang terengah-engah.
“Mary harus segera operasi transpalasi hati. Tak ada pilihan lain…” semua hening mendengar jawaban Mr. Russell. Kondisi yang sangat mendesak, tetapi Alsa dan teman-teman pun tak bisa membantu apa-apa. Tak lama terdengar suara perawat memanggil Mr. Russell dan ia segera menghampirinya.
Arum terlihat menitikkan air mata. Alsa mendekatinya dan berusaha menenangkannya. Ia meyakinkan Arum bahwa Mary akan baik-baik saja dan Alsa mengajak yang lainnya berdoa untuk kesembuhan Mary.
“Bukan hanya tentang Mary… Aku sedih… Kenapa setiap kelereng yang kuambil pasti membawa kita ke dalam masalah yang begitu menyedihkan? Seperti dulu tentang Aishawa…”
“Yaa itu kan hanya kebetulan, Rum. Kita semua ga ada yang tahu bakal dapat kejadian dan teka-teki seperti apa dari kelereng di kotak ajaib itu,” Ovi membesarkan hati Arum.
“Ambil hikmah dari setiap kejadian yang ditemui, Rum. Supaya kita bisa mendapatkan pengalaman dan pelajaran yang berharga buat kita ke depannya,” Indira memberi saran. Arum mengangguk dan menghapus air matanya. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan agar lebih tenang.
“Apakah kalian keluarga Mr. Russell atau Ms. Marion?” seorang perawat menghampiri mereka sambil membawa sebuah catatan kesehatan. Alsa dan yang lain menggeleng.
“Kami hanya orang yang kebetulan bersama mereka saat kejadian Mary batuk darah,” Ovi memberikan keterangan.
“Oh baiklah… Mr. Russell ingin bertemu dengan salahsatu dari kalian di ruang tunggu laboratorium,” perawat itu menyampaikan pesan dari Mr. Russell, tetapi mereka bingung siapa yang akan menemui Mr. Russell. Akhirnya, semua sepakat Ovi dan Arum yang akan menemui beliau. Lalu perawat itu mengajak mereka ke dalam, sementara Alsa dan yang lainnya menunggu.
“Hai Mr. Russell, ada apa dengan Anda?”
“Hm…saya tidak apa-apa. Ah, siapa namamu tadi?” Bapak tua itu memang belum mengingat nama semua teman baru Mary. “Ovi… Seperti rencana yang tadi saya katakan. Saya akan membantu operasi Mary, jadi kalian tak perlu khawatir tentang dia.”
“Apa semua biaya dibayarkan oleh Anda?”
“Bukan…bukan tentang biaya. Rumah sakit akan menghubungi pihak asuransi kesehatan Mary untuk operasi ini.”
“Lalu?” Arum bertanya heran dengan satu kata yang disampaikan.
“Saya akan berikan hati saya untuk Mary agar ia bisa sembuh dan dapat bermain musik lagi,” ucapan Mr. Russell mengejutkan Ovi. “Setelah operasi Mary berhasil nanti, sampaikan amplop ini kepadanya. Apa kamu bisa melakukan ini?”
“Mr. Russell, you are the kindhearted soldier I’ve ever met… Tetapi saya benar-benar minta maaf karena saya dan teman-teman tak bisa berlama-lama di sini. Kami hanya turis yang sedang berkunjung…” Jauh di dalam hatinya, Ovi menyesal sekali. Ia sebenarnya ingin membantu Mr. Russell tetapi waktunya tak banyak karena ia harus kembali melalui portal waktu.
“Oh, baiklah. Jika begitu, kau bisa titipkan pada perawat atau keluarga Mary yang datang. Saya harus beristirahat sebelum operasi. Sampaikan salam saya kepada semua temanmu. Kalian adalah anak-anak baik yang ada di dalam hati saya juga…” Arum menerima amplop yang diberikan Mr. Russell untuk disampaikan pada Mary.
“…Saya tak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih yang begitu besar. Izinkan saya memeluk Anda, Mr. Russell,” Ovi yang biasanya tegar dengan segala kejadian, kini ia tak dapat lagi membendung air matanya. Terlebih Arum, yang sedari tadi sudah menitikkan air mata. Seorang mantan tentara yang biasanya penuh ketegasan bahkan terkadang terkesan garang ternyata memiliki empati yang luar biasa. Mr. Russell tidak bunuh diri! Ia mendonorkan hatinya untuk Mary agar dapat menjalani hidupnya lebih baik. Beliau juga berkata sebelum berpisah bahwa selama Mary hidup maka dirinya juga tetap hidup karena di dalam tubuh Mary ada hati dari seorang tentara yang berjiwa besar.
Arum masih terisak meninggalkan ruangan Mr. Russell. Ovi pun berusaha untuk tetap terlihat tegar meski ada jejak-jejak air mata yang tadi sudah membasahi pipinya. Bahkan di foto terakhir yang ia ambil bersama Mr. Russell, wajahnya terlihat sembab. Tidak seperti foto yang diambil saat duduk bersama di kafe kawasan Murray Mall. Meskipun Alsa dan Indira hanya mendengarkan pesan-pesan terakhir Mr. Russell yang diceritakan oleh Ovi, mereka juga sangat sedih sekaligus kagum atas keputusan Mr. Russell untuk menyelamatkan nyawa Mary. Beliau tak memiliki hubungan darah dengan Mary, tetapi atas kepedulian terhadap sesama Mr. Russell rela mengorbankan hidupnya.
Kejadian antara Mary dan Mr. Russell membuat Alsa menjadi semakin bersemangat untuk segera mencari Kiki yang hilang. Bukan hanya karena tanggung jawab tetapi lebih kepada rasa persahabatan. Tanpa disadari, hilangnya Kiki karena petualangan pertama memberikan banyak pelajaran berharga untuk semuanya terutama Alsa. Dulu ia tidak begitu menyukai sikap Kiki dan Ovi tetapi sejak mengetahui latar belakang dan juga kepedulian Ovi terhadap kehidupan Kiki, Alsa pun menjadi bersimpati dengannya. Walaupun belum juga ada tanda-tanda yang mengarah kepada kondisi Kiki, Alsa tak pernah sedikitpun bosan untuk mencari cara agar dapat menemukannya kembali.
***
“Ini mie ayamnya. Maaf ya kelamaan…” Alsa menyediakan sajian mie ayam kepada teman-temannya untuk makan siang.
“Asiiikkk…” Yanu langsung mengambil satu mangkok mie ayam dan mendekapnya.
“Ih…dasar Yanu. Ga sabaran banget sih kalau lihat makanan,” Ovi menegurnya. Tapi Yanu tetap tak peduli. Yang penting ga kelaparan.
Belum sempat Alsa menyuap satu sendok mie ayamnya, terdengar ketukan di pintu rumah. Lalu ia bergegas untuk membukakan pintu sambil menjawab salam.
“Lho, Kak Rasya?”
“Eh, Alsa,” keduanya terheran-heran. “Ini rumahnya Alfaridzi kan?”
“Iya. Alfaridzi itu kakak saya…”
“Jadi, kamu adiknya Alfa,” Alsa hanya tersenyum merespon kesimpulan Rasya yang masih tidak percaya. Lalu Alsa mempersilakan Rasya untuk duduk dan menunggu di ruang tamu. Sebelumnya, Rasya menyerahkan sebuah tas kain yang berisi beberapa kaos yang merupakan pesanan Alfa.
“Teman kakakmu udah datang ya?” tanya Indira dari meja makan. Alsa mengangguk lalu segera mengambil buku yang mau dipinjam oleh Rasya.
“Boleh kenalan ga sama teman kakakmu?” Ovi mulai iseng untuk cari perhatian.
“Kalian udah kenal kok, apalagi Ovi…” jawaban Alsa membuat semuanya jadi bengong dan bertanya-tanya.
“Emang siapa sih?” Ovi yang penasaran langsung membuntuti Alsa ke ruang tamu. “Hah, Kak Rasya?!”
“Eh, hai Ovi…” sapa Rasya tetap cool. “Kalian lagi kumpul di sini ya,” Ovi hanya senyum sok manis sambil mengangguk. Jantungnya langsung berdegup begitu melihat sosok Rasya yang ternyata masih mengenalinya. Karena tak enak dengan Alsa sebagai tuan rumah, akhirnya Ovi masuk kembali dan meneruskan makannya dengan perasaan tak karuan – senang, malu, gengsi, masih lapar, dan … Ah, sudahlah.
“Ini yang tadi Mas Alfa titip. Ada yang kurang ga?” Alsa memastikan buku yang akan dipinjam Rasya tak ada yang tertinggal.
“Yap. Ini sudah semua. Makasih ya,” ucap Rasya. “Kamu sekarang pakai jilbab?” Rasya memastikan penampilan baru Alsa.
“Iya, Kak.”
“Jadi tambah cantik…” ucap Rasya pelan.
“Kenapa?”
“Eh…itu…anu…hmm…semoga tetap bisa aktif dan berprestasi ya,” Rasya mencoba mengganti kalimat lain agar tak ketahuan kalau tadi ia sempat memuji pesona Alsa.
“Amiiin… Oh iya, aku sampai lupa. Kak Rasya mau minum apa?”
“Oh, ga usah Al. Ini…saya…mau langsung pamit aja. Sampaikan salam saya untuk Alfa. Terima kasih ya,” ucap Rasya gugup.
“Oke, Kak. Maaf ya jadi ga disuguhin apa-apa…”
“Ga apa-apa, kok. Hm…lain kali aja,” Rasya berdiri dan berpamitan. Alsa mengantar sampai di depan pintu rumahnya. Ia hanya melihat Rasya keluar dari gerbang rumah lalu menyalakan mesin motornya.
Lain kali…mungkin aku bisa ngobrol sama kamu, Al – gumam Rasya dalam hati.
***