Kembali ke enam bulan yang lalu, lebih tepatnya di bulan November.
Itu merupakan bulan tersibuk bagi Meira. Perusahaanya menuntut banyak projek harus selesai sebelum berganti tahun.
Semua divisi merasakan hal yang sama namun bagi Meira yang tidak hanya punya satu pekerjaan tentu itu lebih menyiksanya secara personal.
Jam tidurnya mulai berkurang, makan mulai tidak teratur karena kalah dengan kesibukannya. Secara bertahap ia jadi jarang merawat diri.
Dengan keadaan seperti itu, Meira masih tetap berambisi untuk mengambil satu projek tambahan dari seorang klien yang telah ia kenal sejak dua tahun lalu.
Klien itu merupakan seorang pria berkebangsaan asing yang tinggal di Ibu Kota dan dikenal dengan nama Fujiyama.
Sebelumnya, mereka hanya berbisnis via online. Ini merupakan pertama kalinya, Fujiyama mengajak Meira bertemu di sebuah café untuk membicarakan bisnis mereka.
Pukul 19.45 Meira terlihat sangat tergesa-gesa menuju Rustic Cafe yang telah ditentukan untuk jadi tempat pertemuan mereka.
Cafe itu di desain simpel minimalis modern. Kaca-kaca besar bertuliskan ornamen dengan bahasa asing sebagai hiasan luar. Gagang pintunya terbuat dari kayu berukuran besar berbentuk persegi panjang yang bisa di dorong dari luar maupun dalam.
Bagian interior dalam cafe dibuat simple tanpa ada hiasan yang megah dan glamour kecuali lampu kuning khas cafe modern, sebuah rak tinggi yang berisi jejeran mug dan tumbler, dengan tujuan untuk memasarkannya pada pembeli yang datang.
Tidak lupa penempatan barstool - kursi dan meja yang berukuran lebih tinggi - di tengah dengan area barista juga kasir yang berada disebelah kanannya.
Selain menyediakan tempat indoor, cafe itu juga menyediakan outdoor-space yang terletak di ujung café lantai dua.
Meira pun tiba di cafe dengan masih menggunakan kemeja yang ia kenakan seharian kemudian dilapisi cardigan tipis untuk menutupi tubuhnya yang kurus.
Sambil mengamati sekitarnya, Meira melangkah menyusuri cafe mencari pria yang seharusnya ia temui lima belas menit yang lalu.
Di sisi luar cafe, di area rooftop Meira melihat seorang pria berambut blonde, bermata sipit, mengenakan kemeja biru tua yang sedang menikmati secangkir kopi dengan elegan.
Tanpa berpikir panjang, Meira langsung berlari menuju ke arah pria tersebut.
"Mister Fujiyama?" Meira menyapanya untuk memastikan apakah benar pria ini yang ia cari-cari.
Tidak ada jawaban dari pria berusia tiga puluh dua tahun itu. Ia hanya balik menatap Meira dengan masih memegang cangkir kopinya.
"My big appologize for making you wait Sir-"
"Please have a sit and take your breath, Miss Meira." Fujiyama memotong kalimat Meira.
Kala itu, Fujiyama tidak menyangka bahwa wanita yang akan ia temui akan terlihat sangat jauh lebih muda darinya.
Meira menelan ludah dan terdiam sejenak.
Entah dikarenakan rasa bersalah telah membuat kliennya menunggu begitu lama atau karena terkejut mendengar suara pria di depannya yang begitu berat. Meira mendadak terintimidasi. Ia tanpa sadar mengikuti perkataan pria di depannya.
"First of all, let me introduce my self. My name is Fujiyama Uwais. Nice to meet you." Fujiyama di akhir kalimatnya sedikit menundukkan kepalanya.
"Ah, My name is Meira Wijaya. Nice to meet you Sir." Meira tanpa sengaja juga sedikit menundukkan kepalanya ke depan.
Untuk beberapa saat mereka hanya membisu. Meira menatap pria di depannya yang masih sibuk mengambil sesuatu dari hand bagnya.
"Miss Meira?" Fujiyama kembali menatap Meira sambil memegang sebuah dokumen di tangannya.
"Yes!" Meira yang masih gugup menjawab dengan sedikit bersemangat. Tentu saja menyesali itu seketika.
"May I ask you something?"
"Yes.. of course." Meira berusaha tenang dan tidak membuat malu dirinya sendiri.
"How old are you?"
"Um, 26 y/o?"
Hening. Fujiyama hanya menatap Meira keheranan.
"Sorry, I thought you were 20."
"Huh? No Sir. I'm 26 y/o. Do you want to see my ID Card?" Meira dengan cepat menarik KTP dari dompetnya dan memaksa Fujiyama untuk melihat informasinya.
"Oh, I see.. you look younger than your age." Fujiyama mengangguk.
Meira tersenyum masam sambil memasukan KTPnya dengan asal ke dalam tas. Matanya tetap fokus pada Fujiyama.
"Em, may I ask you something too?"
Fujiyama hanya mengangguk.
"Are you living here Sir? I mean, as I know you're living in Bekasi."
"Yes. I moved in 2 month ago. I have a lot of request so I contact you as soon as possible."
Hening sesaat.
Meira menyadari sesuatu. Fujiyama lancar berbicara dalam bahasa Inggris meski kadang aksennya sedikit tercampur. Lebih mengagumkannya lagi, Fujiyama menyadari hal itu sehingga secara spontan akan mengulangi kalimatnya dengan bahasa yang lebih ringan dan mudah di pahami.
"Thank you-"
"I like your work Miss Meira. We have been known since past two years. But, I don't know that you are sloth type for time." Fujiyama mengkritik perihal Meira yang datang terlambat.
I know it!! I know he will say something about it! Damn! Meira menyumpahi dirinya dan juga pria di depannya dalam hati.
"Honto Ni Gommenasai." Meira mengucapkan permohonan maafnya dengan bahasa yang sangat familiar untuk Fujiyama.
"You really have so many talent Miss Meira. You know how to speak Japanese as well."
"No, no. I mean, I just know little-"
"Ok. Let's back to business." Fujiyama kembali memotong kalimat Meira.
WHAT THE HELL IS GOING ON? Batin Meira memekik.
Meira meremas kedua jemarinya. Kalau saja tidak ada meja yang menutupi sebagian tubuhnya, pastilah sekarang Fujiyama bisa melihat kepalan tinju tangan Meira.
Rasa jengkel Meira bisa hilang bagai ditiup angin begitu pramusaji datang mengantarkan secangkir coklat panas dan cheesecake pesanannya.
Tiga puluh lima menit berlalu, mereka akhirnya mencapai kesepatakan berdua.
"Alright, I agree with this pattern and tone of colour. When you will send me the layout?" Fujiyama menatap Meira dengan tatapan serius.
"About one mon-"
"I think it's too long miss, i can't wait for it." Tatapan mata Fujiyama yang tajam seakan ada laser yang keluar dari matanya. Membuat Meira hanya bisa berkedip tanpa kata.
"Ten days from now. I hope you can make it out."
Meira menghela nafas panjangnya. Bagaimana pun juga ia berusaha untuk tampak se-propesional mungkin meski akal sehatnya nyaris hilang.
"Alright. Ten days for the layout. Ten days for the finishing. Deal?" Meira berusaha untuk tersenyum.
"Deal."
Fujiyama menandatangani kontrak yang sedari awal ia bawa dan menyerahkannya pada Meira.
"This is our contract. Please sign here." Fujiyama menunjuk letak untuk Meira tanda tangani. Satu rangkap di bawa Meira dan satu rangkap di bawa oleh Fujiyama.
"Then I will leaving. Thanks for your time Miss Meira." Fujiyama sekali lagi menundukkan kepalanya sedikit.
Meira tanpa kata-kata juga ikut menundukkan kepalanya sedikit sambil memejamkan matanya.
Pada saat Meira hendak membuka mata dan mulai menegakkan badan serta pandangannya, Meira mendapati bahu dan seluruh punggungnya telah terbungkus oleh blazer berwarna abu-abu gelap milik Fujiyama.
"Please keep warm in this weather."
"Eh? Sir?" Meira baru menyadari bahwa Fujiyama baru saja menyampirkan blazer itu pada bahunya.
"Sir! Wait, your jacket-"
"Please don't be late again in the next meeting. You can also return my blazer in that day too." Fujiyama melangkah meninggalkan Meira yang kebingungan.
Sambil masih memakai blazer itu di pundaknya, Meira menatap kosong ke arah hilangnya Fujiyama. Kemudian ia baru menyadari kalau angin malam tidak begitu dingin lagi sekarang.
"Should i laundry this? Wait, laundry kiloan bisa nggak sih?" Meira memikirkan ke mana ia akan mencuci blazer mahal itu.
Blazer itu lebih tebal dan berat dari yang ia bayangkan. Kainnya lembut dan jahitannya rapi. Walau tidak tau seberapa mahalnya tapi ia yakin pasti itu bukan barang murah melihat kualitasnya yang sangat bagus dan nyaman.
Masalahnya, kalau sampai salah tempat pencucian dan rusak, entah hal gila apalagi yang akan terjadi padanya. Hari ini ia sudah cukup malu.
"Kayaknya nggak perlu di cuci deh. Wangi kok." Meira tanpa sengaja mengendus blazer di pundaknya.
Kemudian tanpa sengaja matanya kembali melihat ke arah meja yang tadi ia gunakan sebagai tempat diskusi.
Pertemuan singkat dengan seorang bule yang sangat lugas dan spontan. Siapa pun yang menatap pria itu pasti merasa keningnya nyaris berlubang.
Meski begitu, Meira tidak bisa berbohong kalau Fujiyama adalah pria yang good looking.
Mulai dari warna kornea mata yang kehijauan, hidung yang mancung, rambutnya yang blonde.
Tinggi badannya juga proporsional. Mungkin sekitar 183 centi meter. Hanya saja, wajahnya sedikit tirus membuatnya terlihat lebih tua dari pada usianya.
Well, what I like the most is this smell of perfume. Batin Meira bergumam sambil kedua tangannya mengusap lengan blazer milik Fujiyama.
Kemudian ia termenung sesaat.
"DAMN IT! I look like pervert now! AISSH." Begitu menyadari isi kepalanya, Meira merasa malu dan langsung menutup mukanya dengan sebelah tangannya.
¤¤¤