Mendekati penilaian akhir semester dan ujian praktik, Maria dan Jun sementara vakum untuk menjadi konten kreator. Mereka mempersiapkan nilai sebagus-bagusnya agar bisa masuk Akademi Musik dan Drama Amerika, New York. Itu adalah mimpi mereka, sekarang mereka lebih menghabiskan waktu untuk belajar daripada dance.
“Jun …. Habis ini ada praktik kamera,” lirih Maria saat membaca materi tersebut di kelas. Hampir 3 tahun sudah berlalu, dia masih saja berada di dekat Jun karena yang lainnya tidak respek dengan keberadaan Maria. Pekerjaan mereka cuma membicarakan orang dan melakukan hal yang tidak penting, sangat monoton.
Yang memerhatikan Maria akhir-akhir ini hanya satu orang, yaitu Naya. Naya juga sering mampir ke rumahnya, terkadang membantu Maria dan Jun untuk take video. Mungkin suatu saat jika Two World ID membutuhkan editor, pasti Jun dan Maria memilih Naya untuk menjadi editor mereka.
“Ya emangnya kenapa, sih?” Jun sibuk mengutak-atik kamera yang dia bawa.
“Gue kurang paham. Mending praktik olahraga, kan enak bro,” keluh Maria. Dia sangat menantikan praktik olahraga, karena menurutnya sangat mudah dan tidak terlalu berpikir keras. Hanya membutuhkan mental sekaligus fisik yang kuat, Maria ahli dengan hal seperti itu.
“Masalah fisik doang lo ye nomor satu!” Jun merangkul Maria lalu mengacak-acak rambutnya gemas.
“Harus dong,” ujar Maria. Tiba-tiba ketika mereka asik berkelahi, ada Naya yang menghampiri bangku mereka sambil membawa kantong plastik yang entah apa isinya itu.
“Eh Nay.” Jun yang malu dilihat oleh Naya langsung melepaskan pelukannya kepada Maria.
“Ada Naya?” Maria lalu menoleh ke arah Naya.
“Hai Naya!” Maria melambaikan tangannya menyapa Naya.
“Hehe ... hai,” Naya juga ikut melambaikan tangannya.
“Ada apa, Nay?” tanya Maria.
“Ini mama gue nyuruh gue kasih kalian ini.” Naya meletakkan kantong plastik yang cukup besar itu di atas meja.
“Apa ini Naya? Kok repot-repot?” Maria membuka isi dari kantong plastik itu. Ternyata isinya adalah dua kotak berisi brownies dan dua kotak yang berisikan vitamin.
“Masya Allah, beneran buat kita ini?” Mata Jun berbinar. Makanan favoritnya adalah brownis, antara senang dan merasa tidak enak. Naya terlalu berlebihan memberikan sesuatu.
“Iya beneran. Dimakan, ya? Vitaminnya juga minum biar dance-nya kuat,” ujar Naya.
“Tapi ini banyak banget, Nay,” kata Maria.
“Nggak papa, kalau gue ke rumah lo atau ke rumah Jun aja sering dibawain. Yakali gue nggak?” itu adalah sebagai ucapan terimakasih Naya kepada Jun dan Maria.
“Ya udah deh. Makasih banyak, ya, Nay, nanti gue sama Jun main ke rumah lo deh. Oke?” ujar Maria.
“Sama-sama. Oke gue tunggu!” Naya mengacungkan kedua jempolnya kea rah Maria dan Jun, lalu kembali ke bangkunya karena sebentar lagi guru akan memasuki kelas untuk melakukan praktik.
********
Sore harinya, sebelum Maria dan Jun pergi ke rumah Naya untuk mampir mereka diperintah oleh Maya untuk melakukan video endorse. Followers Instagram mereka sudah banyak dan sudah mendapatkan verified, jadi banyak orang atau penjual meminta tolong kepada mereka untuk mempromosikannya.
“Ma, kurang berapa lagi? Aku sama Jun mau keluar nih,” rengek Maria. Dia lelah karena terlalu banyak berbicara.
“Ini terakhir, habis ini selesai. Kalau udah selesai, kalian main gih!” jawab Maya.
Matanya sibuk menatap berbagai macam laporan, karena Maya menjadi manager Jun dan Maria.
“Oke, Jun ayo gercep!” perintah Maria sambil mengambil barang dan handphonenya.
“Siap, Bu Bos,” jawab Jun.
Beberapa jam kemudian, akhirnya selesai juga. Dengan buru-buru Maria dan Jun, bersiap untuk pergi ke rumah Naya. Tidak lupa sebelum berangkat, mereka berpamitan terlebih dahulu. Baru saja sampai keluar di teras, udaranya begitu menusuk padahal masih sore hari. Jun yang khawatir dengan Maria, langsung melihat keadaannya. Tadi ketika take video, wajah Maria sudah mulai pucat tapi tidak sepucat sekarang.
“Mar, are you okay?” tanya Jun memastikan. Maria yang tadi fokus menatap langit, terkejut ketika Jun berbicara.
“Ah? I’m okay,” jawab Maria.
“Nggak usah bohong. Daritadi lo pucat banget Mar,” ujar Jun sambil menggenggam tangan Maria.
“Gue nggak papa. Sekarang udah nggak apa, ayo ke rumah Naya! Keburu malem nanti,” rengeknya.
“Ah bandel,” gerutu Jun lalu melepas jaketnya. Untung saja dia selalu membawa jaket, berjaga-jaga ketika Maria kedinginan seperti ini.
“Senang banget minjemin jaket ke gue, kayaknya lo ya? Ya udah ayo, deh!” Maria menggenggam tangan Jun dan menariknya.
Jun gelagapan mengikuti kecepatan langkah Maria yang terburu-buru itu, meskipun sakit tetapi semangatnya tak tertandingi. Itulah Maria Oktaviana. Sampainya di rumah Naya yang jaraknya hanya enam rumah dari rumah Maria, rumah Naya terlihat sepi. Membuat Maria sedikit kecewa, tapi Jun menyuruhnya untuk menekan bel rumahnya.
“Assalamualaikum Naya,” teriak Maria sambil berusaha menekan bel rumah Naya beberapa kali agar Naya atau orangtuanya segera keluar.
“Assalamualaikum,” imbuh Jun berniat untuk memperjelas.
Beberapa menit kemudian pintu terbuka, Naya keluar dari dalam rumahnya. Sepertinya dia sedang mengerjakan sesuatu yang penting, sampai tidak mendengar suara bel rumah dengan jelas.
“Waalaikumsalam Maria, Jun! Sini-sini, masuk yuk!” Naya mempersilakan Maria dan Jun masuk ke rumahnya.
“Permisi, ya,” ujar Maria dengan sopan dan pelan masuk ke ruang tamu.
“Duduk. Gue bikin minuman dulu,” kata Naya mempersilahkan mereka berdua duduk terlebih dahulu.
“Enggak usah repot-repot Nay. Cuma sebentar juga.” Jun menolaknya. Dia takut merepotkan Naya.
“Udah ah diam. Duduk dulu.” Naya tetap saja bersikeras membuatkan mereka minuman dan pergi ke dapur.
"Ssst ... nggak papa udah,” bisik Maria kepada Jun.
“Oke.” Jun mengangguk menurutinya.
Selesai Naya membuatkan mereka berdua minuman, mereka bertiga mengobrol membicarakan banyak hal. Awalnya Maria dan Jun ingin juga berkenalan dengan kedua orangtua Naya terpaksa gagal, ternyata kedua orangtua Naya sore hari sedang sibuk bekerja.
Menghabiskan waktu sekitar 2 jam mengobrol, tiba-tiba Maria memegang kepalanya dan bersandar di bahu Jun.
“Eh Mar, Mar.” Naya terkejut tiba-tiba Maria lesu seperti itu.
“Ya ampun nih anak,” gerutu Jun. Dia sudah bisa menduga hal ini akan terjadi.
“Maria sakit?” tanya Naya tetapi Maria tidak menjawabnya. Pasti dia sedang menahan rasa sakit.
“Iya, daritadi kelihatannya nggak enak badan. Gue suruh istirahat nggak mau,” jawab Jun.
“Mar, apanya yang sakit?” Jun memastikan keadaan Maria.
“Kepala, pe-perut,” jawabnya dengan napas yang tersenggal-senggal.
“Nay, kita pamit pulang dulu, ya. Maaf ngerepotin,” ujar Jun kepada Naya.
“Perlu gue pinjamin motor?” kata Naya.
“Nggak usah. Biar gue gendong aja,” jawab Jun lalu menggendong Maria yang lemah itu di punggungnya.
“Assalamualaikum Nay.” Sebelum keluar Jun memberi salam.
“Waalaikumsalam. Hati-hati,” jawab Naya.