<6 Juli 2015, 06:39. Jakarta.>
Chop chop chop.
Pisau menggesek talenan, potongan wortel berubah menjadi bongkahan, masuk ke dalam panci setinggi setengah lengan. Campuran jagung, kentang, lobak, dan irisan bawang dituang ke dalam larutan air, tutup rapat, dan naikkan intensitas api. Semerbak harum dari sup sayur perlahan merambat dari cela-cela besi tanpa karat, uapnya membumbung saat dibuka untuk menuang daging cincang, tepung untuk mengentalkan isi keseluruhan, lalu diaduk.
Aku buru-buru membuka jendela dorong, mengipas-ngipas asap putih yang mulai mengepul. Api dikecilkan, sendok kuah disiapkan bersama dengan gula dan garam untuk mencoba rasa.
Ting.
Rice cooker pelan memberikan notifikasi. Tutup dibuka, nasi putih siap dihidangkan.
Akhirnya dapat menghela nafas. Syukur saja jadwal tak jelas dari pihak universitas bisa membuatku memasuki fase bolos-masuk-bolos-masuk.
Melihat keluar, pemandangan dua tower yang menjadi keseharian telah tampak jelas, kabur dari kegelapan yang menyelimuti. Embun masih menempel, enggan untuk lepas. Tuan matahari kalah bergelut melawan cumulonimbus, atau apapun istilah awan gelap, sinarnya hanya samar-samar meninggalkan jejak di beberapa petak dinding.
Menyadari masih ada waktu sebelum sayur matang, aku bergegas memberdirikan kombinasi sapu dan sekop, menyasar debu dan batu kecil yang mungkin terseret masuk.
Selanjutnya mengepel, lalu merapikan isi kulkas. Daging kaleng yang segelnya terbuka menimbulkan semacam bau tak menyenangkan. Lalu memunguti sisa-sisa biskuit yang Morrigan suka kunyah saat dia bersantai di dekat dapur.
06:50, saatnya membuka penutup panci dari sup.
Heh, skill memasakku sudah fantastis. Satu cicip, bau dan rasanya pas di lidah, efek panas seakan bisa melelehkan lidah oleh kayanya rasa dari sayur sesimpel ini.
Mangkuk ayam menampung isi masakanku hingga penuh, taburan telur yang dipotong tipis-tipis menghiasi atasannya. Mangkuk melanin diisikan nasi yang dipadatkan, menemani lauknya yang telah berada di nampan. Lalu segelas air putih dari dispenser.
Kuminum satu gelas air paling sehat ini, sebelum gelas yang sama diisi penuh lagi, melengkapi bagian kosong yang janggal dari nampan.
Aku mengetuk pintu kamarku.
“Morrigan, kau bangun? Aku bawakan makanan.”
“Walter. Apa yang kau bawa?” Morrigan bersin, suaranya serak, batuk mengguyur semangat jahilnya, meninggalkan tubuh lemah yang seharusnya sedang terbaring di kasur.
“Makanan yang harus dimakan orang sakit agar bisa kembali semangat.”
Terdapat keluh kesah dengan jeda yang sangat mencolok.
“Ugh, aku terlalu lemah untuk bangun.” Kali ini, Morrigan terdengar lebih lemah dari sebelumnya, meskipun jelas sekali ini adalah akting yang dibuat-buat.
“Jangan bercanda, bocah.” Aku menendang pintu kamarku sekali, tetesan dari air mineral yang kuisi penuh berhasil kutangkap saat kontennya hampir tumpah. “Aku memasak ini dengan susah payah dan kau akan memakannya. Lagipula, jika benar kau tak bisa bangun, dimana kekuatan telekinesimu?”
“Ugh, ini adalah hari yang mendekati kehancuran dari kekuatanku, jadi oleh karena itu, aku sudah tidak bisa lagi ...”
Aku memutar kunci pintu kamar cadangan.
Morrigan tertangkap basah sedang memegang stik PS, layar didepannya mendeklarasikannya sebagai pemenang dari duel 1v1 melawan pemain top global yang entah bagaimana caranya bisa ditemuinya. Senyum polos muncul saat stik yang dipegangnya tiba-tiba hilang. Ingus kental mengalir dari lubang hidung, ditariknya kembali sebelum dikucek-kucek. Iluminasi cahaya ultraviolet yang menembus sudut di dekat dudukannya memperjelas wajahnya yang sedikit merah.
“Uhm, aku bisa jelaskan.” Tanduknya entah kenapa bisa layu, seperti telinga manusia kelinci yang elastis.
Lalu bersin dengan keras. Botol keripik kentang dipegang, isinya dikunyah dengan nyaring.
Aku menghela nafas panjang, meletakkan nampan di spot kosong didekat meja belajar, menggendong Morrigan yang di luar dugaan telah setidaknya menjadi dua kali lebih ringan dari saat pertama kali ia menimpaku.
“Dengar. Kau membangunkan tidur nyenyakku sejam yang lalu dengan teriakan kesakitan yang mengoyak hati, lalu bilang kau sakit. Sekarang, saat aku telah menyiapkan sesuatu untuk membantu pemulihanmu, kau bilang kau tak ingin memakannya?”
“Aku tak menyuruhmu membuatnya. Ehe~” Morrigan membuat simbol tangan V.
Nenek-nenek ini benar-benar ingin menguji kesabaran seorang mahasiswa.
“Apapun itu, kau akan makan apa yang kumasukkan ke mulutmu. Titik!” Aku pelan-pelan mencelupkan sendok ke mangkuk sup, mengambil sedikit nasi, berniat menyuapi Morrigan.
Di luar dugaan, Morrigan membuka mulutnya.
Aku reflek mengangguk kepala, menyuapinya.
Morrigan menggigit dengan antusias, lagi-lagi di luar dugaan, ekspresi wajahnya jauh dari orang yang dipaksa memakan sesuatu yang dianggap busuk oleh pikirannya.
“Enak?”
Ia mengangguk dengan cepat, sebanyak dua kali. Keripiknya dilepaskan dari pelukan. “Terenak yang pernah kumakan. Makanan di pesta dan jamuan sama sekali tak ada tandingannya. Bahkan hingga makanan pabrik ini!”
“Bagus.” Aku mengambil suapan berikutnya.
Morrigan terbatuk-batuk, memuntahkan sebagian isi mulutnya, cipratan merah bercampur dengan sisa-sisa makanan yang berserakan. Batuknya tak mau diam saat aku menepuk-nepuk pundaknya, darah segar kembali mengotori lantai dengan warna gelapnya.
“Oi! Kau tak apa-apa?”
Morrigan hanya menggeleng-geleng kepala, mulut membuka lebar, lidah dijulurkan.
“Tenang, tenang. Kau baru muntah darah, Morrigan.”
Gelombang kedua kembali datang.
Butuh waktu beberapa menit hingga ia kembali tenang, nafas terengah-engah.
“T-tak apa, Walter. Jika iblis sakit, mereka kadang akan muntah darah, tergantung kondisi. Dan kondisiku sekarang adalah orang yang setengah sekarat, ingat?”
Pahlawan sialan. “Apa tak ada cara meringankan sakitmu?”
“Jangan sering makan, minum, atau memiliki emosi negatif, kurasa.”
“Kalau tak makan atau minum, darimana energimu?”
Mukanya tiba-tiba menjadi suram, sebelum Morrigan menyembunyikannya lagi dengan senyuman yang jelas terlihat palsu. Pandangannya tak fokus, kakinya bergoyang-goyang. “Iblis punya ketahanan luar biasa dalam aspek ini, kau tahu?”
“Tapi bagaimanapun, kau hidup. Dan semua makhluk hidup perlu makan.”
Kedua tangannya dikalungkan ke leherku, memelukku. Aku tak menolak atau menyingkirkannya. Jatah supnya perlahan kuletakkan di meja.
“Maaf.”
“Tak perlu meminta maaf. Kau sudah kuizinkan tinggal di sini, jadi sudah sepantasnya aku bertanggung jawab atas kesehatanmu.”
Aku menyodorkannya gelas air. Ia menelan satu tegukan dengan perlahan dan kasar.
Morrigan menggeleng kepala. “Bukan itu. Sepertinya, aku telah sedikit berlebihan saat double date kita kemarin.”
Berlebihan ...?! Rupanya begitu, pantas ia kelihatan sedikit terlalu antusias, bahkan sampai melakukan teleportasi berulang-ulang, bahkan hingga mengubah wujud.
Morrigan telah memaksakan diri untuk event kemarin.
Aku membalas memeluknya. “Apa itu karena aku? Aku minta maaf.”
“Tidak, itu untukku.” Ia melepaskan diri dari pelukan, berdiri dengan oleng, perlu kugandeng tangannya agar kedua kaki dapat tegak menginjak tanah. “Saat-saat terakhir dalam hidup telah mendekat. Jadi setidaknya, aku ingin coba mengencani seseorang.”
“Morrigan ...”
“Tak peduli iblis atau manusia. Aku ingin punya pengalaman untuk merasakan jatuh cinta.”
Sepenuhnya menyerahkan diri untuk bergantung pada irama jalanku, Morrigan mengarahkan langkah kaki pada beberapa pajangan foto di dinding. Dari foto terlama yang berisikan keluarga inti, foto reuni teman SMP, kelulusan SMA, hingga foto terbaru kami bertiga.
Berlatarbelakang taman aquarium, bingkainya dibeli dari toko perlengkapan, lengkap dengan tiket pemberian Clarissa yang tak sudi kutukar, hadiah pertama darinya. Di sana, aku dihimpit oleh Morrigan di kiri dan Clarissa di kanan. Keduanya memegang tanganku, nafsu untuk menguasai tempat pada foto menghasilkan ekspresi wajah yang ngakak dan penuh kenangan. Aku sendiri membatu dalam muka memerah.
Secercah tawa kecil meluber.
“Ingin tahu?”
“Apa?”
“Tentang dongengku di dunia sana? Tentunya tak kalah dari apa yang ada di duniamu, wahai manusia.” Mukanya pucat pasi, bibirnya digigit, tapi genggaman tangannya masih kuat.
“Tidak. Kau akan menggunakan sihirmu lagi, bukan?”
Ia kembali terbatuk-batuk, menyerap ingus dengan sebuah tarikan nafas kuat. Aku membawanya kembali ke kasur dan membaringkannya, menutupi badannya dengan selimut.
Morrigan menurut saja.
“Kita hanya akan mengakses ingatanku saja. Tak ada sihir.”
“Kau butuh istirahat, iblis.”
“Tolong.” Mukanya memelas. “Kau bukan manusia pertama yang menawarkanku kemewahan untuk berinteraksi normal antar satu sama lain, tapi kau adalah yang terbaik. Karena itu, biarkan aku juga mengenalkan favoritku.”
Aku tak bergeming, menyuapinya sesuap nasi dengan taburan jagung dan wortel.
Morrigan mengunyah dengan pelan. “Ini juga bisa membuatku lebih rileks.”
Aku menghela nafas dalam.
Apapun untuk meredakan rasa sakitnya, untuk membuatnya tak memikirkannya. “Tentu.”
Morrigan tersenyum lebar. “Kalau begitu, kita mulai ya. Waktu akan berjalan sesuai dengan bagaimana semestinya di dunia nyata. Kau tak punya kelas, bukan?”
Aku mengangguk, menoleh ke pintu. “Pintu masih terkunci.”
“Bagus. Semakin sedikit gangguan, semakin bagus.”
Ia menyentuh dahiku dengan lembut.
...
...
...
Visualku gelap, seperti saat Morrigan menteleportasi kami ke taman aquarium.
“Walter? Bangun, bangun~~”
Suara Morrigan.
Aku membuka mata, baru menyadari tubuh sedang berada dalam kondisi terbaring di atas padang rumput, berselingan dengan pepohonan.
Mungkin berbaring adalah posisi yang sewajibnya diterapkan, mengingat pemandangan kastil melayang di langit beserta bongkahan tanahnya adalah sesuatu yang impresif.
4 tower tertinggi menusuk awan untuk menembus langit, ujungnya terhalang kombinasi cahaya dan ilusi mata. Panjangnya menjulang layaknya keajaiban dunia terpanjang di bumi, pembawaan dari model arsitekturnya elegan namun megah. Entah berapa banyak jendela yang tersedia di lingkungan atasnya, seharusnya dapat menampung ribuan pengunjung. Taman area hijau tampak seperti wafer berbalut teh hijau, air yang mengalir dari kolam-kolam disuplemen oleh patung singa dengan sumber daya tak terbatas. Pelindung sihir yang menutupi keseluruhan kastil layaknya bola kaca hampir transparan, sosok-sosok hitam dengan sayap beterbangan mengelilinginya dalam formasi patroli.
“Selamat datang di duniaku, Verden.” Morrigan mengulurkan tangan, wujudnya telah kembali dewasa. Zirah besi menutupi hampir seluruh lengan dan kakinya, sisa bagian tubuh yang tak tertutup dibiarkan terbalut dalam material kain ungu kemerahan yang biasa dipakai bangsawan di film-film. Pedang tersarung di pinggang, tanduk menjulang tinggi, mata merah menyala layaknya sihir sedang aktif, sayap terkembang, rambut putih terurai.
“Morrigan? Itu kau?” Aku agak ragu dalam menerima tangannya.
Ia menarikku dengan kuat hingga berdiri. “Yup. Terkejut?”
“Tidak, hanya kagum saja. Kau terlihat kuat dan cantik pada saat yang bersamaan.”
Morrigan reflek melihat ke samping, menggaruk-garuk pipinya.
“Terima kasih. Uhm, aku senang.” Telunjuknya mengarah ke sesuatu di belakangku.
Mode anak kecil Morrigan sedang melakukan kuda-kuda, mukanya imut mirip seperti adikku saat mereka masih penurut. Pedang kayu di tangan, setitik cahaya semacam aura ungu menyelimuti pedangnya saat ia bergerak maju. Pakaiannya entah kenapa sangat mirip dengan seragam adikku yang akan masuk ke SMP, rok model kotak-kotak dan baju putih dengan saku berlogo sekolah tertentu.
Lubang di udara terbentuk akibat dua tebasan beruntunnya, diikuti lompatan lebar, badan berbalik untuk kaki menghempas tanah dengan kuat. Setitik darah mengalir dari mulutnya, bibirnya dirapatkan untuk melanjutkan pergerakannya.
“Morrigan, itu ...”
“Kenangan masa kecil.”
Latar berubah tempat ke pepohonan gelap, angin kencang bertiup dari arah pantai yang samar-samar terlihat dari bagian tak rata semak-semak. Jejak makhluk pemburu dan bekas-bekas tulang belulang mengotori lumpur yang baru mengering setelah diguyur hujan. Bulan bersembunyi di balik kegelapan, cuitan berfrekuensi tak tentu dari burung hantu mengintensifikasi rasa gelisah. Deru arus pekat dari sungai di sekitar juga tak membantu.
Morrigan kecil berlari tanpa arah, keringat mengucur deras, mulut bernafas buru-buru, mata tajam mencari-cari sesuatu. Kali ini ia telah lebih tinggi, pedangnya terbuat dari besi. Kelucuan dan keluguan dari mukanya hilang, ditelan sesuatu suram yang biasa dialami prajurit di garis depan.
Seekor serigala berbulu lebat entah dari mana saja melompat keluar, menghalangi jalan Morrigan kecil. Cakarnya tajam, bulu lebat, ukurannya hampir dua kali lipat singa.
Baru ingin meraung dan memanggil kawannya, serigala itu telah ditebas Morrigan, darah yang bermuncratan entah kenapa malah lebih terlihat seperti kencing dan ditutupi mosaik hitam putih.
“Oi!” Aku menoleh ke Morrigan.
Morrigan bersiul palsu tak bersuara. “Detail gore tak perlu. Nanti kau tak kuat.”
Dua raksasa hijau perlahan mengendap-ngendap tak terdeteksi, muka buruk rupa tersenyum lebar akan kegagalan Morrigan kecil dalam menyadari mereka.
Tinju terbentuk.
“Oi!” Aku reflek berlari ke arah tinju, berusaha memblokirnya.
Namun sia-sia, aku layaknya objek transparan yang hanya bisa dilewati.
Morrigan asli menarikku pergi. “Jangan berbuat yang sia-sia. Ini ingatanku.” Matanya melototiku. “Kau tak akan bisa merubah apapun, oke?”
Aku menelan ludah, seperti baru sadar akan fakta ini saja.
Sial.
“Tapi, aku tetap mengapresiasi intensimu, Walter.”
Tinju lurus menghantam gadis itu ke pohon, benjolan besar di punggung dan pipi terlalu besar untuk diabaikan.
Tak memberi kesempatan bangkit, monster hijau setinggi rumah 3 lantai yang dari tadi diam mendekati Morrigan kecil yang masih terbaring, berniat menginjaknya hingga gepeng.
Syukurnya, Morrigan kecil menghindar tepat waktu. Berguling ke samping, ia berhati-hati tak jatuh ke seretan arus deras.
Mumpung raksasa di kejauhan masih mendekatinya dengan pelan, Morrigan kecil menggunakan kekuatan tak masuk akal, mencincang si raksasa di dekatnya hingga menjadi 8 potongan daging rapi, darahnya lagi-lagi tersensor.
Raksasa terakhir yang panik langsung berlari pergi, kali ini dilahap oleh sebuah tangan ungu yang penuh kekuatan, tak menyisakan apapun di jalurnya.
Morrigan kecil jatuh terbaring.
Setelah entah berapa lama, ia bangkit dan mulai menguliti monster yang ia taklukkan. Kemah pembakaran simpel yang terbuat dari tongkat, ranting kayu, daun kering, dan sulur ikat menjadi saksi bisu akan pesta besar yang dialami ratu iblis masa depan ini.
Morrigan kecil dengan lahap menelan makanannya, tak menyisakan apapun.
“Semua sumber gizi tentu tak boleh dilewatkan.” Morrigan membusungkan dadanya, mendekati versi kecilnya seperti dapat mencium bau harum dari asap pembakaran makanan di tempat kejadian. Tangannya berniat mengelus Morrigan kecil, lagi-lagi tak tersentuh.
“Masa lalumu brutal, Morrigan.”
Ia mengangguk. “Selain di kota-kota manusia, hukum rimba berlaku di seluruh pelosok. Yang kuat bertahan, yang lemah musnah. Dengan cara inilah aku melewati masa kecilku.”
“Kau pernah berharap kehidupan yang lebih damai, lebih menenangkan dari ini?”
“Aku akan berbohong jika mengatakan tidak. Tapi, aku juga tak menyesal. Ini mengajarkanku untuk hidup kuat.”
Morrigan punya cara berpikir yang di luar nalarku. Brutal, tapi simpel dan indah.
“Kalau begitu bagus.”
Kegelapan tiba-tiba sirna ditelan cahaya matahari yang menyilaukan.
Kastil yang menjadi tempat tinggal Morrigan serasa menjauh dan semakin sulit untuk dicapai, sebelum aku menyadari bahwa aku sedang terjun bebas dari angkasa. Tekanan tinggi dari udara dan gaya gravitasi menyeretku turun, kuusahakan dapat berbalik badan dan kembali pada posisi berdiri, berusaha melambatkan pergerakanku.
“SIAL!” Angin yang menabrak serasa menanggalkan gigi dan menyeret bola mata keluar.
Morrigan yang berada di sampingku mengepakkan sayap hitamnya. Menghilang sebentar, ia kemudian memegang pinggangku. Perlahan, kami mengapung di udara.
“Woah!”
Energi kuat berbentuk tangan ungu menahanku, memberiku tempat pijakan sementara di tengah udara. Wanita iblis itu sama sekali tak tampak terkejut, terus tenang sambil menyemangatiku untuk tak jatuh.
“Hati-hati, oke? Meskipun ini hanya replay dari ingatanku, tapi aku tak dapat menjamin tak ada efek samping atau semacamnya jika kau tiba-tiba mati, atau yang lain.”
“Proses jatuh ini juga termasuk bagian ingatanmu?”
“Ya. Saat aku belajar terbang.”
“Heh, kau membuat semua ini terlihat sangat mudah. Berpindah dunia dan sebagainya.”
Morrigan membusungkan dadanya. “Tentu. Keberanian dan kepintaranku adalah duo yang tak dapat dipisahkan.”
Dia sudah belajar banyak dari istilah dunia manusia, eh? Hm?
Tidak, kalau dipikir-pikir, ia sudah berbicara dengan bahasa manusia sejak awal kemunculannya.
Karena pengaruh sihir?
Tapi tak dapat kupungkiri, aku penasaran dengan apa yang ada di dalam kastilnya. Terutama saat mendongak ke jarak di antara kami yang kembali terentang lebar, seolah objek itu tak ingin aku mendekatinya.
Morrigan juga tampak tak sabar lagi menunjukkannya.
“Siap ke atas?”
“Ya!”
Layaknya roket yang dipilotkan untuk terbang lurus menuju antariksa, kami mengikuti imajinasi tersebut, mendekati markah tanah milik Morrigan tersebut dalam hitungan detik. Segaris blur yang tampil dalam warna berbeda-beda adalah semua yang dapat kulihat, sebelum Morrigan melambatkan tukikan terbangnya, berhenti tepat di luar lingkaran pelindung kastil.
Ia berhenti untuk menganalisis sebentar, sebelum kami terjun ke dalam dengan gampangnya, sama sekali berkontras dengan burung yang terpantul ke luar ketika mencoba menembus ke dalam. Tubuh kami transparan saat lewat, namun kembali seperti semula saat tak berinteraksi dengan lingkungan sekitar lagi.
“Ingat. Kita dalam mode penonton, oke? Kurasa kita telah berada dalam periode awal pemerintahanku sebagai penguasa tanah iblis” Morrigan mengepalkan dan membuka tangannya, mengulanginya beberapa kali hingga ia terbiasa.
“Kita melewatkan periode kebangkitanmu sebagai ratu iblis?” Aku sedikit berteriak.
“Karena periode itu penuh dengan pertarungan berdarah-darah dalam upayaku menyatukan iblis-iblis bermasalah dan bertahan dari serbuan manusia. Semua itu ribet dan panjang untuk diperlihatkan, jadi semuanya dapat disimpulkan dengan kalimat ini.” Bulatan sihir kecil terbentuk di depan bibirnya, semacam pengeras suara portabel.
Aku mengangguk.
“Dengan kecerdasan dan kekuatan Ratu Iblis Morrigan, ia dapat mempersatukan seluruh bangsa iblis dan menang melawan malaikat, monster, dan manusia dalam upaya mereka menjatuhkannya.” Morrigan tertawa terbahak-bahak.
Bajunya berubah menjadi dress panjang kemerahan dengan potongan setinggi lutut. Lengannya menutupi hingga pergelangan tangan, atasannya terbuka untuk menutupi bagan vital. Namun yang terpenting, adalah mahkota mini berwarna emas yang terkait di rambutnya. Disangga jarum-jarum yang meliuk-liuk melewati rambut saljunya, pantulan sinarnya terang dan mengintimidasi, simbol iblis bersayap dua di tengahnya menginspirasi sekaligus menakutkan.
Pakaianku sendiri masih sama santainya saat berada di rumah, kaos dan celana jeans setengah lengan. Berkat tangan energi Morrigan, mengapung di udara bukan masalah lagi setelah sedikit waktu penyesuaian.
“Ya, ya.” Bagaimana rasanya, ya, tinggal di zaman yang sama dengan Morrigan?
Bagaimana tentang iblis yang berada di bawahnya? Apakah Morrigan adalah ratu yang baik? Bertanggung jawab?
Seperti menyadari pemikiranku, Morrigan menunjuk ke kastilnya. “Ingin masuk?”
“Aku tak sabar ingin melihat tempat tinggalmu.”
Morrigan tersenyum. “Secara teknis, ada banyak perubahan yang terjadi di dekorasi markasku setelah beberapa ratus tahun. Tapi, dasarnya masih ada.” Ia menghilangkan tangan energinya dengan perlahan. “Ikuti aku.”
Sama sekali tak ada waktu untuk terkejut kenapa aku bisa terbang.
Aku mengikuti Morrigan masuk ke kastilnya.
Mendarat di gerbang depan kastil yang mewah dan penuh aksesoris, aku melihat Morrigan dan menggeleng-geleng kepala. Dua patung penunggu iblis yang seharusnya hidup bertengger di atasnya, menemani sekitar 10 orang penjaga yang berjaga dengan tombak dan pedang. Model kunci dari istana tersebut rumit dengan mekanisme jalur petak yang dilengkapi sihir password, membuat penyusup sulit menginfiltrasi.
Ini terlalu mewah.
Morrigan langsung membuka kedua tangannya, berusaha mengelak. “Ini permintaan bawahanku, supaya kastil terlihat megah. Aku pikir juga tak ada salahnya.”
Kami lanjut masuk tanpa halangan.
Metaforaku tak salah saat mengindikasikan bahwa taman yang ada di area kastil hanyalah wafer yang dibalut oleh krim teh hijau kental, mengingat kondisi rumputnya yang terkotak-kotak dengan rapi. Air mengalir melalui serangkaian teknik sihir ajaib dari mulut singa yang lebih besar dari patung versi di bumi. Jalan meliuk-liuk dimulai dari sini, menghubungkan area barak penjaga, kolam terapung yang entah kenapa penuh dengan kios-kios penjaja makanan seperti di bumi, 2 menara jam, perpustakaan yang berlambang ensiklopedia besar di atapnya, dan tentu saja istana Morrigan.
Morrigan menuntun langkah masukku melewati pilar-pilar megah yang kelihatan tak bisa runtuh menghadapi bom nuklir sekalipun. Layaknya ruang di dalam ruang, interior terbagi ke dalam 3 bagian kiri, tengah, dan kanan. Dimana ruang tengah selalu mengarah lurus dan tertutup karpet merah, jalan di sampingnya dipenuhi staff dan petinggi istana.
Ada yang membawa makanan baru matang, peneliti berjubah putih dengan botol bersampel racun, dan prajurit yang berlalu-lalang dengan senapan mesin?!
“Itu inovasiku.” Morrigan mengelus-ngelus punggungku untuk menenangkan teriakanku.
Keramaian yang ada menciptakan suasana hidup, meskipun keramahtamahan yang ditunjukkan penghuninya terlalu formal.
Kami terus berjalan lurus melewati sekat demi sekat, hingga akhirnya tiba di ruangan kosong minim furnitur, sebuah tahta di tengah yang seharusnya ditempati Morrigan saat menterinya menginginkan rapat, atau semacamnya.
“Itu singgasanaku.” Morrigan menunjuk ke kursi permanen yang diselimuti lingkaran sihir berlapis-lapis di dasarnya. “Aku sering ongkang-ongkang kaki di sini.”
“Apa itu benar-benar bahasa yang sopan dan santun dari seorang ratu kerajaan?”
“Ehe.”
Morrigan berhenti sebentar untuk berpose anggun, melipat satu kaki dengan tangan di dagu. Seperti dapat melihat ke dalam pikiranku, aura yang dilepaskannya memang kurang lebih sama seperti para diplomat ulung di dunia internasional.
Aku mendekat, menggendongnya berdiri.
Morrigan mengangguk, lanjut mengapung di udara layaknya hantu penasaran, menuju ke ruangan kecil di belakang dua tangga yang meninggikan ruang singgasana.
‘Kecil’ akurat untuk dipakai dalam mendeskripsikan ukuran ruangan pribadi Morrigan ini terhadap ruang singgasananya, tapi ini bahkan masih sebesar lobi apartemenku.
Di sana, versi dewasa seperti yang ditunjukkannya sekarang sedang duduk santai, meletakkan stempel dan serius membaca gulungan dokumen di meja super panjang. Kasur lebar dan super empuk di samping, senjata dan zirah diletakkan rapi di dalam lemari pakaian yang penuh dengan jenis dan model berbeda dari pakaian wajib seorang tirani iblis.
Yang mengejutkan, adalah wanita berambut merah gelap yang sedang menulis di meja kecil di samping yang digunakan Morrigan, mungkin sedang mengoreksi sesuatu. Pupil hitamnya familiar mengingatkan akan seseorang, model wajah dan ukuran tubuh serta tinggi badan pun hampir sama. Yang berbeda, adalah kepemilikan sepasang sayap hitam dan tanduk seperti yang dimiliki sang Ratu Iblis.
“Tunggu, Anda salah lagi di bagian penutupan surat ini! Nanti Jendral Werner akan komplain lagi tentang suplai perang yang diterimanya, Yang Mulia.” Wanita itu melempar kotak gulungan ke arah Morrigan, yang di luar dugaan, menerimanya begitu saja.
Bahkan gaya berbicaranya pun mirip Clarissa.
“Kau lanjutkan sisanya, Lisa. Kau tahu aku lebih pandai bertarung daripada diplomasi.” Morrigan mengelak, menggunakan semacam kekuatan tak terlihat untuk mengembalikan gulungan tersebut ke meja original, kuas mengapung di depan wanita asisten itu. “Lagipula, perjanjian damai telah ditandatangani, jadi kita bisa sedikit santai, bukan?”
Namanya juga mirip.
“Itu bukan alasan!” Lisa menggeleng-geleng kepalanya. “Yang Mulia, anda benar-benar harus belajar. Bagaimana kalau saya tak hadir karena sakit atau event tertentu, hmm?”
“Tumpuk saja masalahnya. Dan jika terjadi perselisihan, maka itu adalah giliranku untuk menyelesaikannya.” Ratu Morrigan memamerkan otot di lengan kanannya.
“Tidak adalah tidak!” Lisa merentangkan kedua tangannya, lagi-lagi mengumpulkan segepok buku dan surat-surat dengan kekuatan tak terlihat, kemudian menenggelamkan Ratu Morrigan dalam tumpukan kertas tanpa peringatan.
Secercah kegelapan muncul dari sela-sela buku. Kemudian Ratu Morrigan telah hilang.
“Argh! Dia kabur lagi! Awas dia kalau balik!”
Morrigan hanya menyaksikan saja, tenggelam dalam pemikirannya. Tidak, otot dahinya sedang tegang, matanya menyipit.
“Morrigan, kenapa orang itu ...”
Morrigan menyelaku sebelum aku dapat membuka mulut. “Dia asisten serta sekretarisku Lisa Hartmann, dan kalau kau tanya kenapa dia sangat mirip dengan gebetanmu Clarissa, aku tidak tahu. Jujur, aku baru menyadarinya sekarang.”
“Tunggu, Clarissa bukan gebetanku atau ...”
“Ya, ya. Kau tak perlu mengulangi kebohongan basi itu.”
Aku terdiam, Morrigan juga terdiam.
Aku menatap ke mukanya, ia menatap balik, ekspresi hampa.
Ia perlahan menjulurkan lidahnya, aku menyipitkan mata.
“Mungkin dunia yang kita tempati adalah bagian dari semesta gelembung.”
“Masuk akal.” Tidak, tidak. “Kau tahu dari mana istilah itu, hah? Dunia fantasi yang kau tempati lebih mengutamakan kemajuan sihir daripada teknologi, bukan? Teori itu ...”
Morrigan hanya mengangkat tangan kosongnya.
“Kau menderita amnesia?”
“Tidak.”
“Yakin?”
“Kurasa?”
Lalu, latar berpindah lagi.
Angin dingin serasa menusuk kulit, tanah berubah warna menjadi biru, dimana pijakan terlalu keras di bagian yang salah akan berakibat retakan, bongkahannya memisahkan diri. Gunung es mengapung dari kejauhan, bekas belahannya mirip tebasan mesin gergaji. Uap air, atau embun berlomba-lomba mengejar ke tempat kami berdiri, melewatiku dan Morrigan tanpa sensasi suhu yang menurun.
Setiap kali sihir dipakai, bau unik seperti tanah gersang yang baru diguyur hujan merajalela. Kali ini juga sama, seorang pria berambut hitam yang menutupi matanya mengontrol bola kristal yang mengambang di tangan, gumpalan es yang ujungnya ditajamkan ditembakkan selayaknya misil dari pesawat tempur.
Sosok iblis dengan dua sayap hitam menghindar dengan luwes. Tombak di tangan, ia membelah bongkahan es dengan cekatan dan lincah, sisi belakangnya dilindungi tangan energi ungu sebesar patung istananya.
Selayaknya tak menyadari serangannya tak mempan, pria berjubah itu tak bergeming.
Beberapa yang dapat dihindari, Ratu Morrigan mengelak dengan santai, layaknya sedang bermain-main.
“Pertarungan dengan pahlawan, ya?”
“Eh? Jadi dia pahlawan yang mengutukmu?”
Morrigan mengangguk, pandangannya terasa jauh ke depan. Serasa bukan melihat pertarungan ulang ini, melainkan seperti langsung mengalaminya.
Muak dengan posisi bertahan, Ratu Morrigan terbang lurus ke arah pahlawan yang mengapung di udara. Tangan energinya digunakan dengan defensif, membentuk penghalang yang melingkari area sekitarnya.
Si pahlawan akhirnya merespon, menarik balik kristalnya untuk menggantinya dengan pedang setinggi menara pencakar langit.
Ia menghantamkannya langsung ke Morrigan.
“Lagipula, kenapa kalian bisa bertarung satu sama lain, sih? Kau tak punya pikiran aneh seperti ingin menguasai dunia, tentu?”
Morrigan menggeleng kepala. “Tidak, aku hanya menguasai negara yang lebih dulu berperang dengan kami. Setidaknya masih ada setengah dunia yang belum kusentuh, dan itu juga bukan eksklusif di bawah kendali pria itu.”
Tangan energi hilang dalam sekejap, udara dingin menyembur, mengaburkan pandangan.
Morrigan telah berada di belakang pahlawan, muncul kembali dengan tangan energinya yang telah dilipatgandakan, menepuk musuhnya yang berada di tengah. Pedang si pahlawan hancur, begitu juga dengan tangan energi Ratu Morrigan.
Adu jotos tak terelakkan saat keduanya menghantam satu sama lain.
“Jadi, kau benar-benar menguasai dunia?” Aku meremas kulit kepalanya dengan lembut.
“Tidak! Kau dengar apa yang kubilang? Aku HANYA menguasai negara yang menyentuh kami. Si pahlawan itu dikontrol pikiran oleh dewa jahat. Hubungan kami sebelum itu sebenarnya lumayan bagus.”
“Benaran?”
Kau bukan manusia pertama yang menawarkanku kemewahan untuk berinteraksi dengan normal antar satu sama lain, tapi kau adalah yang terbaik.
Jadi, manusia itu adalah si pahlawan.
Morrigan terus maju, berhati-hati untuk tak menyentuh dirinya di masa lalu yang sekarang telah terkunci dalam kondisi seri dengan si pahlawan. Tangan penuh cakarnya tertahan oleh pisau pendek si pahlawan.
“Dulunya, kami adalah teman seperjuangan dalam menentang kediktatoran dewa jahat Jassy. Pahit dan manis perjalanan masih nyata dalam ingatanku, saat kami bersama-sama menebas dewa jahat yang akan memperbudak seluruh dunia dalam genggamannya.”
Ratu Morrigan tersenyum. Kekuatan luar biasa dari cengkeramannya berhasil meremukkan pisau terakhir si pahlawan.
“Dan kami berhasil. Yang timbul setelahnya, dewa itu malah mengambil alih tubuh si pahlawan, yang kau lihat sedang melawanku ini. Dalam situasi hidup mati, aku terpaksa harus membunuh dia, atau aku yang akan terbunuh.”
Semua itu terjadi dengan cepat.
Pahlawan terhempas. Ratu Morrigan menggunakan kekuatan terakhirnya untuk mengantarkan serangan terakhir.
Leher si pahlawan terkoyak, laki-laki itu muntah darah, tangannya memegang perut Morrigan.
Lubang hitam terbuka, Morrigan terdorong ke dalam lubang.
Meletakkan kutukan, eh?
Tunggu.
Sialan?!
“Dan itulah akhir dari ceritaku.” Morrigan berbalik badan, kegetiran dari dalam hati ditahan dengan menundukkan kepala, melihatku saja tak mampu.
“Morrigan.”
“Maaf. Niat kita bersenang-senang malah hilang karena memori ini.” Senyumannya tulus, seakan mengabaikan kejanggalan yang ada.
Pahlawan itu telah menjadi mayat nihil nyawa, penampilannya pun jelas disinari matahari pemalu yang baru keluar dari persembunyiannya.
Pahlawan itu ... memiliki wajah, postur badan, dan perawakan yang persis denganku.
“Walter?”
Pupil mata yang terbelalak berwarna hitam gelap, rambutnya pun demikian. Badannya kurus berotot, namun memiliki bekas kulit yang sama terkikisnya di sekitar area jantung. Itu bekas lukaku saat terjatuh dari belajar sepeda. Tingginya persis, dan tangannya memiliki tanda lahir bulat di pergelangannya.
Aku berteriak, karena marah?
“Bajingan yang mengutukmu ... adalah aku?!” Karena aku terlibat dalam penderitaan Morrigan, dan masa hidupnya yang akan segera berakhir?
Morrigan mematung, mulutnya menganga tak mempercayai apa yang ada di depannya.
“Apa ini benar-benar bagian dari gelembung semesta?”
“Kenapa ...? ARGHHHGH!” Morrigan jatuh berlutut di tanah, tangan mengepali kepala, ingin menghilangkan rasa sakit intens dari kepala.
“Morrigan!” Bergegas menghampirinya, aku memeluknya.
“Tak perlu minta maaf. Justru, aku bersyukur dapat tumbang karenamu.”
Suara ini ...?
Urgh, tiba-tiba rasanya pusing. Visual menggelap, kesadaran .... sedang menghilang.
...
...
...
Awan mendung, hujan ganas.
Ajaibnya, kemah api kami tak padam. Daging orc terbalik yang terikat masih menyala terbakar, bau harum yang menggugah nafsu makan mengundang bermacam-macam monster di hutan untuk mendekat, tentu tidak dengan intensi baik.
Mayat-mayat berdarah segar dari jelmaan bayangan dewa Jassy telah dimusnahkan oleh pasukan aliansi. Meski begitu, monster-monster tentu tak akan puas memakan abu.
Pertarungan pertama secara bersama-sama memang melelahkan, apalagi perlu mengadaptasi diri agar terhindar dari perbuatan tak sengaja menyerang satu sama lain. Lagipula, hubungan baik perlu dijaga.
Sebuah jentikan jari dari Walter menciptakan penghalang es, memisahkan tanah yang dikuasai kami dan mereka. Teman seperjuangan yang terdiri dari gabungan iblis dan manusia terlelap di dalam tenda masing-masing, menyisakan kami untuk menikmati hidangan mewah di tengah peperangan.
“Hasil yang tak buruk, huh, Ratu iblis?”
“Morrigan! Namaku Morrigan Schwerin Strecker Graf Seydlitz von Kaminenz und ...”
“Ya, ya. Tak ada juga orang yang mampu mengingatnya.”
“Tak sopan! Bagaimana jika kuolok nama keluargamu, manusia? Atau mungkin perlu kululuhlantakkan villa warisan dari nenek moyangmu agar ...”
Kedua sisi dari ketiakku digelitik tanpa ampun olehnya, perasaan kosong oleh sensasi gelinya terlalu banyak untuk ditahan.
“Oke, oke. Aku minta maaf, aku berlebihan, oke?!”
Akhirnya dia berhenti.
“Oi, tadi kau bilang siapa namamu?”
“Aku? Walter Hoffman. Tangkap.” Ia melempariku paha orc yang telah matang, kristal putih dari garam tertabur secara merata.
“Oop. Terima kasih, kurasa.”
“Jangan pikirkan. Kita adalah teman seperjuangan hingga dewa jahat Jassy tumbang.”
“Dan setelahnya?” Mungkin aku sedikit berharap akan sesuatu yang egois.
Si pahlawan terdiam sebentar, tertegun dalam pikirannya.
Dari dalam sakunya, ia memberiku sebuah cincin kayu.
Aku menerimanya, menerawangnya ke langit penuh pasiran bintang.
“Mungkin status kita akan berubah menjadi pasangan suami-istri? Kau lumayan lucu juga, setelah dilihat-lihat dari dekat.” Walter mengambil keuntungan dari kecepatan geraknya untuk mengistirahatkan tangan di bahuku.
Suhu badanku langsung naik, jantung berdegup kencang, nafas tertegun.
“Kurang ajar!!!” Bola meteor mini mengejar pria mesum itu saat ia kabur ke jalan setapak menuju kota iblis.
...
...
...
“Jadi, katamu aku bukan orang asli dari dunia ini?” Aku menggoyang-goyang kepala Walter yang sedang berbaring di pangkuanku, mengelusnya lembut. Walter sendiri sedang membaca buku tentang teori teleportasi dari dunia lain, mulut mengatup dan membuka, menerima tawaran stik susu sapi.
“Yep. Jumlah pasokan kekuatan magismu hampir tak terbatas, dan elemen nihilitasmu bukan sesuatu alami yang berasal dari dunia ini.” Ia mengangkat kepala, mengisyaratkanku untuk menyodorkan makanan ke mulutnya.
“Yah, ingatan masa kecilku sebelum aku berlatih memang samar, sih. Suara mirip Jassy sering terdengar di benak, mencoba membimbingku ke suatu tempat.” Aku mengibaskan rambut yang menghalangi, sedikit menunduk untuk mendekatkan tangan ke bibirnya.
Pria itu malah mengambil kesempatan mencium pipiku.
“Hei!” Aku menampar pipinya, kekuatanku diturunkan beberapa jengkal.
“OW!” Walter mengelus-ngelus pipinya, hanya untuk menjerit layaknya ayam yang akan disembelih saat Clarissa memukul perutnya dengan ensiklopedia tebal.
“Bangun, dasar pemalas! Beraninya kau mengambil kesempatan dan asal mencipok Yang Mulia Ratu Morrigan, huh?!” Sekretarisku yang bisa diandalkan, Clarissa, menawarkanku kain untuk mengelap pipi, yang kutolak.
Mengelus pipi, aku kembali tersipu, mata tak berani menatap Walter.
“Kelihatannya kau memang benar-benar telah terpesona olehku, Morrigan. Aku mengira-ngira apa yang akan terjadi jika aku tiba-tiba berkhianat dan mencari wanita lain, hmm?” Walter menggunakan telunjuknya untuk mengangkat daguku.
“Siap-siap saja tubuh kalian termutilasi.” Aku memamerkan kesepuluh cakarku yang tajam.
“Uhm, aku minta maaf.”
Clarissa yang berada di sampingnya segera menghindar dengan jijik, sihir air mengguyur lantai bekas pijakannya hingga mengilap, hampir berubah menjadi cermin.
Walter tak bergeming. “Yang pasti, hipotesisku adalah bahwa Jassy ingin meminjam kekuatanmu, si penyintas dunia.” Ia menunjukku, kemudian ke dirinya sendiri. “Untuk melawan aku yang merupakan musuh bebuyutannya. Tapi, dia tentu tak menyangka bahwa kita malah menjadi pasangan.”
Pipinya memerah.
Aku juga.
...
...
...
Kemenangan yang seharusnya dirayakan dengan berpesta selama 3 hari 3 malam sesuai janji, malah berubah menjadi malapetaka.
Walter yang seharusnya terluka berat dan tak sadarkan diri setelah pertarungan sengit melawan Jassy, bangkit layaknya sedang bermimpi jalan. Mata seperti ikan matinya segera tertutup poni rambut, kekuatan es meledak dengan penggunanya yang menembakkan gumpalan penuh sihir.
Langkahku melambat, goresan demi goresan di tubuh yang seharusnya bisa dihindari malah semakin menjadi-jadi. Energi telah hampir habis setelah selesai pertarungan dengan sebuah dewa benaran, dan aku harus kalah melawan calon suami masa depanku?
Jangan bercanda.
Hanya perlu bersabar. Tahan serangannya, menghindar, jangan menyerang.
Jassy telah merasuki tubuhnya, tapi dewa bajingan itu sendiri telah mati.
Mungkin masih ada cara menyelamatkan Walter.
Pedang penebas dewa yang ditinggalkan nenek moyang Walter telah dihunuskan untuk kedua kalinya, sebuah serangan setengah bunuh diri yang menghancurkan inti tubuh Jassy kembali digunakan.
Yang berarti, tak ada harapan lagi. Jantung Walter telah tak berdetak lagi.
Bertahan dengan pelindung energi murni.
Lalu serangan kejutan. Jassy memanfaatkan insting perang Walter, menahan seranganku dengan pisau cadangan. Perlu mengakhirinya dengan cepat agar penguasaan boneka mati dewa busuk itu tak bertambah mematikan.
Lagipula, ia salah jika beradu kekuatan denganku.
Cakarku dengan gampang menembus leher Walter, mengabaikan tendangan zirah esnya di dada.
Selamat tinggal, Walter. “Maaf.”
Tetesan air mata mengalir di kulit.
Tunggu, aku lengah. Tidak hanya menendang, dewa sialan Jassy itu telah menanamkan kutukan di perut, sensasinya layaknya disetrum petir 7 langit milik Clarissa langsung tanpa mengenakan pelindung apapun.
Lubang hitam terpanggil, kemampuan unik Walter.
Sialan kau, Jassy!
“Tak perlu minta maaf. Justru, aku bersyukur dapat tumbang karenamu.”
Walter runtuh, jatuh ke tanah, badannya tertusuk gunung es tajam yang dipanggil Jassy. Luka menganga bermandikan darah.
Aku juga, sebentar lagi akan tertelan masuk ke lubang hitam ini.
Maaf, Walter.