Meong~
"Kemarilah, Sev."
Kucing itu menurut, ia melompat ke tempat tidur dan bergelung di pangkuan perempuan yang masih berkutat dengan handphone-nya. Salah satu kaki Sev, si kucing, terangkat. Seolah menyuruh perempuan itu untuk berhenti.
"Bentar lagi, Sev. Nathan masih belum selesai sama argumennya ...."
Kucing berbulu putih mengeong dengan nada jengkel, seolah berkata "Terserahlah, aku ingin tidur." Dan perempuan itu masih berkutat hingga urat di wajahnya terlihat, menandakan bahwa ia benar-benar kesal dengan kekasihnya, Nathan. Dari mereka berdua, baik perempuan itu atau Nathan, tidak ada yang mau mengalah.
"Tinggal ngaku kalo lo selingkuh, apa susahnya, sih?" gerutu perempuan itu.
Ia memutuskan untuk melempar handphone-nya ke sembarang arah. Terserah, ia kesal dengan kekasihnya. Ia memutuskan untuk berbaring di samping kucing kesayangannya. Mulai mendusel di perut Sev, yang membuat si kucing mengeong menolak kehadiran babunya sendiri. Perempuan itu merengut, menenggelamkan wajahnya diantara bulu-bulu halus itu.
Sunyi, hanya suara jam yang berbunyi dan dengkuran halus dari Sev, menandakan bahwa ia benar-benar tertidur dengan lelap, begitu nyaman. Tubuhnya ia bawa untuk berbaring dengan telentang, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru langit. Sesekali bergumam atau bersiul, ia masih badmood atas perlakuan kekasihnya. Ia berniat memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh serta pikirannya. Hanya memejamkan mata sebentar, ia tidak berniat untuk tidur.
Tin tin!
Mobil sialan, pikirnya. Baru saja menikmati malam yang sunyi di kamarnya, ditemani sinar dewi malam, tetapi apa sekarang? Klakson mobil? Apakah yang menyetir tidak mengetahui adab bertamu di malam hari?
"Sekarang apalagi?!" erangnya. Tentu, ia merasa kesal dengan hal yang mengusik ketenangannya. Ia segera bangun dan melangkah menuju jendela, berniat melihat siapa yang mengganggu malam tenangnya.
Mobil Porsche 911, berwarna hitam, itulah yang ia lihat sekarang. Mata minus sialannya itu membuatnya melihat dengan pandangan yang sedikit kabur. Sedikit merasa kesal karena memiliki pandangan buram, ia tetap memaksakan dan sengaja memelototkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, tetapi hasilnya malah matanya berair dan terasa ingin copot. Dirinya berdecak, memutuskan mengambil kacamata yang berada di meja belajarnya.
Kepalanya mulai berpikir, apakah itu kekasihnya yang berusaha membujuknya dan mereka baikan lagi untuk kesekian kalinya? Atau kekasih dari salah satu orang tuanya? Ah, mengingat hal itu, membuat mood perempuan itu kembali menurun. Entah sejak kapan, kedua orang tuanya malah suka saling berselingkuh, entah dengan niat saling balas dendam atau memang hormon mereka kurang belaian, ia tidak mau tahu, malas sekali.
Suara mobil itu kembali terdengar, memecah lamunan perempuan itu. Lantas, ia segera berlari sembari memakai kacamatanya. Sial sekali! Mobil itu telah melaju membelah jalanan yang sunyi nan gelap itu. Suara decak kembali terdengar, dan dibalas oleh kucing kesayangannya. Tampaknya, kucingnya kini sedang julid kepadanya. Ah, persetan. Ia pusing memikirkan berapa banyak masalah yang dibuat oleh dua orang yang telah membesarkannya.
Ia lelah.
"Ah, udahlah. Lebih baik gue tidur aja. Cape banget gue."
Tubuhnya jatuh ke ranjang, kembali berbaring. Kedua netranya menatap kucingnya yang sudah kembali tertidur dengan lelap. Sementara, ia sendiri masih di pikirannya yang membayangkan, atau lebih tepatnya mencari potongan kilas balik, bagaimana perselingkuhan ini bermula. Namun, otaknya seolah menyuruhnya untuk tidur saja daripada mengurusi masalah orang dewasa.
Ia hanya berharap, dapat bermimpi dengan indah, dan keluar dari kenyataan pahit ini.
Kekasih dewi malam, sang dewa siang mulai melaksanakan tugasnya. Sinarnya masuk ke sela-sela jendela kamar milik perempuan itu. Namun, hal itu membuat si pemilk kamar tak terbangun atau minimal merasa terusik dengan cahaya mentari yang begitu cerah di pagi hari. Justru, ia semakin bergelung dan memeluk Sev lebih erat lagi, membuat kucing itu mulai mengerang karena merasa tak nyaman dipeluk terlalu erat.
DUG DUG DUG!
Suara ketukan pintu keras itu memaksa si pemilik kamar bangun dengan rasa malas, selimutnya ia singkirkan disertai erangan malas darinya. Ah, astaga. Mengapa harus ada weekdays?
"LUNA KIREI, CEPAT BANGUN! MAU JADI APA KAMU NANTI KALAU BANGUN SIANG TERUS?"
Dirinya berdecak pelan, ia membalas berteriak kepada ibunya itu.
"Iya iya, ini bangun."
Luna, si pemilik kamar itu menapakkan kakinya ke lantai yang dingin, keadaan normal di pagi hari. Sebenarnya, ia sudah malas sekali rasanya menjalani weekdays, tetapi biarlah. Ia harus tetap bersekolah dan menimba ilmu, agar ia dapat membangun rumahnya sendiri, tanpa harus ada kedua orang tuanya yang selalu saja bertengkar.
Luna paling tidak betah berada di rumah. Bangunan yang berisi dirinya dan kedua orang yang sudah membesarkan pula merawatnya. Memang, ia sempat merasakan euforia keluarga, ia tahu rasanya seperti apa, rasanya indah, ia ingin seperti itu hingga selamanya. Luna Kirei, lahir di keluarga cemara yang telah ditebang pohon cemaranya. Ia tidak ingat pasti, kapan keluarganya menjadi hutan hitam dan kosong. Yang pasti, masalah memiliki kekasih baru takkan pernah selesai. Seolah, kedua orang tua itu bersaing menunjukkan siapa yang membawa kekasih paling fresh dan paling kaya.
Headphone yang semula hanya menggantung di lehernya, kini ia pakai. Memilih berjalan menuju ke sekolah yang memang jaraknya tak cukup jauh dari rumah sialannya itu. Memainkan lagu kesukaannya di aplikasi musik, menggumamkan beberapa nada, menikmati pagi yang cerah disertai lagu yang ia mainkan di handphone-nya.
Tap.
"Pagi, Luna."
Luna melepas headphone miliknya, menoleh ke arah belakang. Ia mengulas senyum, bertemu dengan sahabatnya memang mampu menghilangkan badmood-nya pagi ini. Mereka segera berjalan menuju kelas sembari berbicara.
"Pagi juga, Aleesha. Tumben berangkat pagi, biasanya kena ospek OSIS dulu, baru masuk sambil nenteng surat izin masuk," ucap Luna sembari tertawa dan meletakkan tasnya di kursi miliknya.
"Lun, lo harusnya bangga sama gue, udah mecahin rekor. Tadi malem, gue dimarahin bokap gegara keseringan marathon drakor. Yaudah, hp sama laptop gue disita, jadinya gue tidur lebih awal," gerutu Aleesha, membuat Luna tertawa terpingkal-pingkal. Pasalnya, wajah julid yang terpampang di depannya ini sangat dijiwai oleh sahabatnya. Memang benar, untuk masalah julid, Aleesha-lah juara 1-nya.
"Sebenernya, hal kayak gitu ga perlu dibanggain--"
"Wahh! Kapten basket angkatan kita masuk, guys!"
Wajah ceria Luna yang awalnya terpasang jelas di wajahnya, kini kembali luntur dan menjadi wajah datar, wajah yang biasa ia tampilkan bila ia bersama orang asing atau merasa kesal. Kapten basket angkatannya yang dimaksud adalah Nathan Pradipta, kekasih bajingannya yang tadi malam tidak mau kalah berargumen dengannya.
Dan kini, laki-laki tak tahu diri itu datang ke kelasnya dan sengaja menebar pesona, membuat beberapa perempuan di kelasnya terpana dan berteriak histeris dengan ketampanannya, yang menurut Luna itu sangat menjijikkan. Dipikir, dengan begitu ia akan memaafkan tingkah Nathan? Ia sungguh tidak sudi.
"Luna, I'm sorry about--"
"Basi, Nath. Lo sering minta maaf, dan lo sering selingkuh. Lo mau gue menormalisasi tingkah lo yang suka nebar benih di lubang cewe? Ga ah, makasih. Bokap gue aja bajingan, lo malah ikutan. Dulu, lo paling nentang perselingkuhan. Tapi sekarang apa? Lo penasaran gimana dosanya atau gimana sih?" Luna sama sekali tak memberikan Nathan kesempatan untuk berbicara. Cukup, ia muak.
Persetan ia akan menghadapi kenyataan akan dibenci oleh seluruh murid di sekolah (mungkin) karena dianggap sudah mempermalukan laki-laki idaman perempuan di sekolah. Persetan, ia sudah terlanjur kesal dengan laki-laki di depannya ini.
Semuanya langsung terdiam, merasa tak percaya bahwa Luna mengatakan hal tersebut kepada Nathan. Tangan Nathan terkepal, ia segera menarik tangan kekasihnya dan keluar dari kerumunan orang-orang, meninggalkan mereka yang masih diselimuti rasa tak percaya, terkecuali Aleesha. Ia merasa puas, juga bangga kepada sahabatnya yang sudah mulai berani melawan lelaki brengsek seperti Nathan.
Mereka-atau lebih tepatnya Nathan menarik tangan Luna dengan keras, membuat sang empu meringis kesakitan akibat cengkraman dari laki-laki itu. Biar bagaimanapun, Luna tetaplah perempuan, dan tenaganya tak sebesar milik Nathan yang memang notabene-nya merupakan seorang laki-laki. Pada akhirnya, mereka tiba di taman dekat kantin sekolah. Di sana cukup sepi, saat yang pas untuk memulai pertengkaran.
"Apa-apaan banget sih lo, Luna? Kekanak-kanakan banget bilang gitu di depan banyak orang?" tanya Nathan dengan kesal.
"Terus kenapa, ga terima lo digituin? Yaudah, ayo putus."
"Enak banget lo bilang gitu," geram laki-laki itu sembari menunjukkan rahangnya yang mengeras.
Luna tertawa, apakah Nathan mencoba melucu?
"Harusnya gue yang bilang gitu. Lo yang lucu, anjir. Selingkuh sana-sini, tapi pas diomongin malah gamau dan ngerasa malu. Denger, apa yang lo lakuin sekarang, akibatnya ada di masa depan. Ga takut kena karma lo? Oh ya, lo pasti ga puas ya pacaran sama gue, maunya gue jadi budak seks lo? Ga ah, makasih. Masih ada yang harus gue lakuin daripada ngangkang dan ngedesah di bawah lo, ga sudi, gue bukan jalang. Maka dari itu, gue ngajak putus. Gue ga ada apa-apa anjir, apa yang mau lo kejer? Reputasi? Lo kan udah punya dengan jabatan kapten basket paling ganteng di angkatan 75. Jadi, buat apa masih mertahanin gue? Ga guna."
Atmosfer berubah menjadi dingin, menusuk tulang Luna. Tapi, apa pedulinya? Ia sudah terlanjur kesal dengan lelaki di depannya ini. Jadi, ia mengeluarkan semua yang ia tahan selama ini. Tampak, Nathan menahan amarahnya. Tangannya terkepal, membuat urat-urat di tangannya terlihat. Hening sejenak, lalu Nathan menarik nafasnya dalam-dalam dan menatap Luna dengan rendah.
"Dengan lo bilang begitu, lo nunjukin bahwa diri lo ga pantes dipake sama cowo manapun selamanya. Oke, kita putus. Gausah nyesel sama perkataan lo sendiri. Gue denger, orang yang ngajak putus duluan, biasanya gamon berat."
Nathan berbalik, meninggalkan Luna terdiam dengan ucapannya. Sangat menohok, ucapan laki-laki itu sangat merendahkan dirinya. Luna merasa marah, tangannya ikut terkepal dan mulai meninju angin. Ia merasa kesal, sangat kesal! Rasanya ia ingin membunuh Nathan saat itu juga. Tapi, tentunya ia tidak berani benar-benar membunuh laki-laki itu, ia masih ingin memiliki masa depan yang cerah. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia menyimpan dendam kepada Nathan yang sudah berkata demikian kepadanya.
Yang Luna tidak ketahui dan sadari adalah dendam itu merupakan bibit takdir yang akan segera tumbuh dan mengubah garis kehidupannya.
.
.
.
Chapter 1: Luna dan Bibit Takdirnya, selesai.