Baiklah. Sebagian besar ini adalah salahnya, dan sisanya, adalah salah dia.
Tercipta tanpa Luna sadari, hanya berdasarkan amarah dan dendam yang terpendam, awalnya merupakan teman, tetapi sekarang, adalah lawannya, yang mengancam dunia lain hingga merembet ke bumi, dunia asalnya.
Sama sekali tidak terbesit di kepalanya, akan terjadi hal ini. Awalnya, ia kira, bumi mengalami kiamat, karena memanglah sudah berada di akhir season. Ternyata bukan, ada penyebab lain yang menyebabkan langit tampak aneh sehingga seperti sudah kiamat. Sekali lagi, itu ulah dia.
Sekarang, mereka saling menatap. Satu dengan pandangan sendu, satu lagi dengan pandangan datar, seolah tak peduli dengan apa yang baru saja ia lakukan.
"Aku mohon, hentikanlah perbuatanmu ... Mereka tidak bersalah, mengapa kamu melakukannya?" ucap Luna dengan putus asa, suaranya serak, habis karena terus berteriak mengatakan bahwa dia harus berhenti.
"Berhenti? Oh, tidak, tidak, tidak, Luna. Apa kamu lupa, apa yang sudah aku ceritakan kepadamu waktu itu? Mereka menyakitiku, membuangku, memfitnahku! Aku bahkan tak pernah melakukan yang mereka ucapkan. Mereka semua dusta! Dan kau," jarinya mengarah kepada Luna, perempuan yang sudah terlihat putus asa, "dulu kau lebih membelaku. Sekarang apa, apa yang mereka bisikkan hingga kau berpaling dariku?" Nadanya meninggi, membuat suaranya menggema bahkan di ruang semesta.
Luna menggeleng, air matanya kembali menetes. Membuat dia memutar matanya dengan malas. Tangan dia mengeluarkan asap hitam, menandakan bahwa sihirnya telah aktif. Matanya kembali menghitam, kembali ke wujud aslinya. Wajah retak, kulit seputih tulang, gaun hitam khasnya, seperti itulah tampilannya sekarang.
"Aku akan menghancurkan apapun hingga kamu mengakui bahwa kamu berada di pihakku."
Dia mulai pergi, dengan asap hitam yang menutup wajah Luna, membuat Luna tidak dapat menglihat dengan jelas dia kabur kemana. Dan hal itu membuat wajah Luna memerah, menandakan bahwa kesabarannya telah habis. Luna juga ikut terbang mengejarnya, di ruang semesta yang sunyi, hitam, dikelilingi galaksi.
Mereka saling kejar-kejaran. Tak jarang dia melempar planet lain ke arah Luna, agar Luna tidak dapat mengejarnya. Namun, dengan lincah Luna menghindarinya. Luna melakukan hal yang sama, ia meluncurkan sihir bulannya agar dia dapat tertangkap, tetapi hasilnya tidak sesuai ekspektasinya. Kemarahan yang menguasai Luna, membuat perempuan itu menyerang dia dengan membabi-buta, tak mengindahkan penduduk semesta yang terkena serangannya atau beberapa galaksi yang bertabrakan karena serangannya. Ia tidak peduli dengan itu, yang terpenting, dia tertangkap.
Tassh! "Arrgh! Lepaskan aku, dasar perempuan tak tahu diri!"
"KAMU LAH YANG TAK TAHU DIRI! Hampir membuat celaka satu semesta, dunia air, bahkan bumiku! Kamu harus menemui ajalmu," ucap Luna dengan kesal.
Dia terus memberontak, tubuhnya yang ditali oleh tali cahaya, membuatnya kepanasan. Cahaya adalah kelemahannya, terlebih, cahaya harapan yang membuatnya sangat lemah hingga nyaris membuatnya menghilang.
Lalu, suara tawa mulai terdengar. Membuat Luna mengeratkan tali yang dibuatnya. Dia menatap Luna dengan remeh, seolah, kelemahan Luna juga sedang ia genggam.
"Asal kamu tahu, Luna. Bila kamu menghapusku, maka, dirimu juga akan menghilang. Ingat, kita adalah satu jiwa. Tak ada gunanya raga kamu yang kosong itu nantinya. Jadi, masih mau menghapusku?"
Dia mulai tertawa, puas dengan ekspresi terkejut dari Luna. Ada benarnya, Luna lupa akan hal itu. Sekarang, nyawa siapa yang terpenting? Nyawanya dan dia, atau nyawa bumi?