Read More >>"> Nyanyian Burung di Ufuk Senja (11. Miracle of Love ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Nyanyian Burung di Ufuk Senja
MENU
About Us  

“Kak, maaf aku telat,” ujarku yang terengah-engah akibat berlari-lari di bawah terik matahari.

“Nggak apa-apa kok, Salma. Kita baru aja mulai. Kamu pesen minuman dulu ya,” kata Kak Hawra sembari tersenyum.

Aku langsung beranjak ke meja kasir café untuk memesan es frappucino. Keringat membasahi beberapa bagian gamisku. Apalagi tadi harus berdesak-desakan di dalam gerbong kereta. Kebetulan seminggu ini liburan akhir semester tiga. Sebentar lagi aku memasuki semester empat. Tidak terasa sudah satu setengah tahun aku berada di Universitas Pemuda Bangsa. Aku harus memanfaatkan waktu-waktu selama kuliah, karena hal ini bakal dikenang dan dirindukan ketika sudah masuk dunia pekerjaan.

Setelah mendapatkan minuman yang aku pesan, aku kembali ke meja bersama Kak Hawra dan teman-teman. Kami berkumpul lima orang untuk berdiskusi masalah-masalah sosial yang dihadapi serta solusinya dalam Islam. Kali ini kami akan membahas peran muslimah di keluarga dan masyarakat. 

“Kak, aku boleh tanya?” tanyaku kepada Kak Hawra ketika dia selesai menjelaskan.

“Iya silakan, Salma,” kata Kak Hawra.

“Kalau misalkan seorang wanita sudah menikah tapi belum dikaruniai keturunan. Apakah dia tetap mendapatkan kemuliaan seperti halnya wanita yang mengandung, melahirkan dan mendidik anak?” 

“Kemuliaan sebagai wanita tidak akan hilang hanya karena Allah belum menakdirkan wanita tersebut berupa keturunan. Tidak benar juga bila dikatakan bahwa wanita yang belum pernah hamil, maka belum menjadi wanita yang sempurna. Kamu tahu Sayyidah Aisyah istri Rasulullah? Sayyidah Aisyah tidak memperoleh keturunan dari pernikahannya dengan Rasulullah, tetapi tidak pernah Sayyidah Aisyah meminta kepada Rasulullah supaya mendoakannya mendapat keturunan. Lalu apakah Sayyidah Aisyah bukan wanita yang mulia? Justru Sayyidah Aisyah merupakan wanita yang diteladani para muslimah. Beliau adalah ummul mukminin. Sayyidah Aisyah dikenal sebagai sosok yang pintar dan cerdas, tak heran jika beliau meriwayatkan banyak hadis.” 

“Keturunan masuk kategori rezeki. Kita semua tahu bahwa jodoh, rezeki, maut itu semua Allah yang mengatur. Semua yang Allah berikan hanya sebagai perantara kita untuk beribadah. Jika Allah memberikan hamba-Nya berupa harta berlimpah, artinya Allah mau dia beribadah melalui hartanya. Jika Allah memberikan hamba-Nya berupa keturunan artinya Allah mau dia mendidik anaknya menjadi anak yang sholih dan sholihah,” ujar Kak Citra, salah satu teman Kak Hawra yang hadir dalam diskusi hari ini.

Aku menganggukkan kepala dan tersenyum. Aku menanyakan hal ini, karena aku teringat dengan Kak Salsa. Sudah tiga tahun pernikahannya dengan Bang Aldi, tapi belum dikaruniai keturunan. Berbagai macam omongan serta sindiran orang lain yang terdengar. Kak Salsa selalu sabar menanggapinya dengan tersenyum dan meminta agar medoakannya. Rasanya aku ingin menimpuk orang-orang yang tidak bisa mengontrol lidahnya. Walaupun Kak Salsa terlihat tegar, terkadang aku sering tak sengaja melihatnya yang terisak dalam pelukan Bang Aldi. 

Setelah selesai berdiskusi, kami mengobrol banyak hal sampai tidak terasa azan Asar berkumandang. Kami salat berjamaah di musala café. Pantas Kak Hawra mengajak untuk diskusi di sini. Para pegawai cafe menaruh papan bertuliskan "sedang salat". Keren.

***

Tak terasa azan Isya berkumandang setelah aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Tadi aku hanya mampir sebentar di rumah Kak Hawra, lalu langsung pamit pulang supaya tidak kemalaman. Namun terdengar suara isak tangis Kak Salsa di ruang tamu. Aku buru-buru menghampirinya yang sedang dipeluk  oleh Bang Aldi.

“Kenapa, Kak? Ada masalah apa?” tanyaku pelan.

Kak Salsa hanya menggelengkan kepala yang wajahnya dibenamkan ke lengan Bang Aldi. 

“Bukan mau aku juga yang kepingin kayak gini. Sudah dari lahir begini. Memangnya mereka nggak tahu kalau udah berapa jamu dan obat yang kuminum,” ujar Kak Salsa di sela isakannya.

Aku langsung merangkulnya dan Bang Aldi membiarkanku menenangkan istrinya dan dia tetap berada di samping Kak Salsa. Sepertinya ada yang melukai hati Kak Salsa tentang dia yang belum hamil.

“Sudah ya, Sayang. Aku udah bilang ke ibu sama Bang Hilman dan istrinya supaya tidak mengungkit hal ini lagi,” kata Bang Aldi.

Bang Hilman adalah kakak kandung Bang Aldi. Memang Bang Hilman dan istrinya dikenal paling tidak bisa mengontrol lidahnya. Pernah aku melihat Bang Aldi membentak Bang Hilman, karena sudah menyinggung Kak Salsa soal kehamilan.

***

Pada sepertiga malam, aku terbangun dan memutuskan untuk salat tahajud. Kali ini aku berzikir dan berdoa panjang memohon kepada Allah supaya Kak Salsa dan Bang Aldi diberi kekuatan. Aku sangat menyayangi mereka. Mereka yang melindungiku menggantikan Ayah dan Ibu selama ini. Aku merasa sedih melihat kedua kakakku bersedih.

Aku melipat mukena dan menggantungnya di belakang pintu. Tenggorokan terasa kering sehabis menangis terlalu lama ketika berdoa. Aku memutuskan ke dapur untuk mengambil air putih. Di meja makan terlihat Kak Salsa sedang duduk dan meminum air putih dengan masih menggunakan mukena. Aku pun ikut duduk dan minum di sampingnya.

“Kakak udah baikan?” tanyaku pelan.

Kak Salsa menganggukkan kepala.

“Kamu jangan cerita ke siapa-siapa ya. Apalagi ke Ibu.” 

“Pasti, Kak. Kakak jangan sedih lagi ya. Aku percaya kakak pasti kuat. Pokoknya kalau butuh apa-apa bilang aja sama aku.” 

“Iya Ma, makasih ya. Sebenarnya Kakak malu kalau nangis gini sama Allah. Padahal Allah udah ngasih banyak nikmat ke kita tanpa kita minta. Cuma tadi Kakak udah nggak kuat sama omongan kakak ipar. Seolah-olah Kakak nggak pernah usaha untuk program hamil. Padahal kalau mereka tahu, udah berapa terapi yang dilakuin. Belum lagi obat dan jamu yang diminum.” 

“Sedih itu wajar, Kak. Manusiawi. Cuma aku yakin Kakak bukan orang yang berlarut-larut dalam kesedihan, karena Allah juga nggak suka kita seperti itu. Kalau Kakak merasa lelah, menangis sebentar itu bukan kesalahan. Nggak terapi atau minum obat dulu juga nggak apa-apa. Istirahat dulu. Toh, anak itu Allah yang nentuin, bukan kita.” 

Kak Salsa memelukku dan terisak. 

***

“Ma, besok lu kosong, kan? Kak Hendra ngajak makan-makan kru jurnal. Bukunya abis diterbitin katanya, sekalian ngomongin jurnal selanjutnya,” pesan Karin saat dia menelponku kemarin.

Hari ini kami berlima berencana untuk makan siang di Saung Mang Jali, restoran dekat kampus. Kak Hendra berniat menraktir kami sebagai tasyakuran bukunya telah diterbitkan oleh penerbit. Kak Hendra memang sudah kesekian kalinya karyanya diterbitkan. Kebanyakan karyanya berupa buku non fiksi seperti motivasi dan sebagainya.

Ketika sampai di restoran, ternyata Kak Hendra, Kak Bastian, dan Karin sudah datang. Tinggal menunggu Kak Adit. Sambil menunggunya kami memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Setelah beberapa menit sehabis kami memesan makanan, Kak Adit datang.

“Eh, tahu nggak tadi sebelum ke sini kan saya chatting sama Adit….” 

“Jangan cari gara-gara deh, Ndra. Udah makan aja,” potong Kak Adit. 

Namun Kak Hendra tidak menghiraukannya. “Tadi kan saya pesan ke Adit, jangan lupa bawa novelnya Salma yang saya pinjam. Kebetulan ketinggalan di rumah Adit. Eh, dia bilang, mana mungkin seorang Majnun lupa sesuatu yang berkaitan dengan Layla.”

Kak Adit tersedak, lalu buru-buru mengambil minuman di sampingnya. Karin melempari Kak Hendra dengan tisu makan. Aku pura-pura tak paham dengan perkataan Kak Hendra dan mengambil novelku yang diletakkan di atas meja. 

Sebenarnya aku paham dengan perkataan Kak Hendra. Apa benar Kak Adit berkata seperti itu? Aku masih tidak percaya, tetapi sepertinya Kak Adit benar-benar mengatakannya. Jika Kak Hendra berbohong, mana mungkin Kak Adit sampai tersedak seperti itu. Melihat kecanggungan diantara aku dan Kak Adit, Kak Bastian langsung mengalihkan pembicaraan. Akhirnya kami tertawa kembali dengan humor receh Kak Bastian. 

Pada saat di perjalanan pulang dari restaurant, Kak Adit berjalan di sampingku dan berkata, “Jangan diambil hati yang diomongin Hendra ya. Biasa, si fakir asmara suka usil.”

Aku tergelak. “Tenang aja, Kak. Aku sudah terbiasa dengan ketidaknormalan Kak Hendra.” 

“Oh iya, boleh nggak saya pinjam novel yang tadi dipinjam Hendra? Kelihatannya seru tuh.” 

“Boleh, Kak. Emang seru ceritanya,” ujarku seraya menyodorkan novel yang kupegang kepadanya.

“Tumben, Kak Adit suka novel romantis. Baru kali ini,” celetuk Karin.

“Saya lagi mau berusaha puitis,” ujarnya sambil tertawa.

Tak lama kemudian, muncul Bagas dari gang kost yang ditempatinya. Dia tersenyum dan menyapa kami. Karin dan Kak Adit menjawabnya, hanya aku yang tersenyum canggung kepadanya. Lalu dia berlalu begitu saja. Kami pun berpisah dengan Kak Adit di depan kost Karin, karena rumahnya masih melewati beberapa gang lagi. 

Sesampai kami di dalam kamar Karin, baru saja merebahkan tubuh di atas kasur, ada pesan masuk. Ternyata dari Kak Hendra. Dia mengirim screenshot percakapan antara dia dan Kak Adit. Isinya sama persis yang dia katakan di restoran tadi.

Kak Hendra: Ini saya kasih bukti. Saya nggak berbohong sama sekali.

Tiba-tiba perutku terasa mulas. Padahal tadi aku tidak makan sambal berlebihan. Jantungku berdetak kencang dan pipiku terasa panas. Aku berusaha terbangun dari tidurku dan ketika telah berhasil berdiri, aku terkejut. Aku berada di hamparan kebun bunga dipenuhi kupu-kupu cantik. Di ujung jalan setapak disana terlihat siluet Kak Adit yang samar-samar tersenyum kepadaku. Kenapa seperti ini? Ada apa ini?

***

Hujan membasahi sebagian jilbab dan wajahku. Secara tiba-tiba hujan mengguyur kota Jakarta dengan deras. Buru-buru kulangkahkan kaki masuk ke dalam lobi gedung fakultas. Aku merogohkan tangan ke dalam tas selempangku. Ternyata tisuku ketinggalan, padahal aku yakin sudah memasukkannya. Tiba-tiba ada yang menyodorkan tisu di hadapanku. Aku menengadah dan menemukan Bagas tersenyum. Aku pun mengambil beberapa tisu dan mengucapkan terima kasih. 

Kami berjalan bersama menelusuri koridor kampus. Aku berbasa-basi menanyakan kabarnya.

“Baru hari ini aku merasa baik. Mungkin benar hujan yang menyatukan kita,” jawabnya.

Aku mengernyitkan dahi. Namun dia hanya tersenyum dan berbelok ke arah toilet meninggalkanku. Sepertinya aku familiar dengan kata-kata itu, tetapi di mana ya? Sesampaiku di kelas, aku baru teringat kata-kata tadi.

“Ya ampun, itu kan puisi yang pernah ditulisnya,” ujarku sambil menepuk kening. 

“Apaan sih? Puisi apaan?” tanya Karin. 

“Ada deh.” 

“Halah, palingan soal Bagas. Ya ampun, temen gue udah jadi budak cinta.” 

“Enak aja budak cinta!” 

***

Aku teringat setelah salat zuhur ada acara bedah cerpen bersama Komunitas Sastra. Saking tergesa-gesanya aku keluar dari masjid, aku tidak sengaja menabrak salah satu mahasiswi. Hasilnya, buku yang kubawa berserakan di halaman depan masjid. Aku memungutnya dan seorang lelaki membantuku. Ternyata Bram, dia menyodorkan buku yang berhasil dipungutnya kepadaku sambil tersenyum. Aku mengucapkan terima kasih.

Kami berjalan bersama di koridor kampus. Di tengah-tengah sedang berjalan, aku memulai pembicaraan.

“Aku denger kamu aktif di LDK ya?” 

Dia menganggukkan kepala dan terdiam. Ke mana Bram yang selalu cerewet ketika bertemu denganku? Setelah itu, dia menyodorkanku sebuah buku.

“Ini buat kamu. Kayaknya kamu lagi suka nulis cerpen Islami. Lumayan buat tambahan referensi. Aku lebih suka kalau kamu menulis untuk berdakwah,” ujarnya.

Aku mengambil novel yang diberikannya.”Terima kasih ya, Bram. Aku masuk ke sana dulu ya, ada acara.” 

“Kenapa nggak ikut di komunitas menulis bersama teman-teman LDK?” 

“Ikut kok sesekali. Cuma aku udah terlanjur masuk sini juga.” 

“Aku saranin, lebih baik kamu ikut sama teman-teman LDK kalau mau fokus menulis cerpen Islami. Apalagi batasan antara akhwat dan ikhwan lebih terjaga.” 

Aku merasa tersinggung dengan perkataannya. “Di sini juga kita menjaga jarak kok antara lawan jenis. Ketika kumpul tempat duduk cewek dan cowok dipisah. Nggak usah khawatir.”

Kenapa dia berlebihan seperti itu? Padahal ketika kumpul dengan Komunitas Sastra sama seperti kumpul dengan teman-teman di majalah dan jurnal. Saat berkumpul, perempuan dan laki-laki dipisah dan tidak campur satu sama lain. Mengingat ada beberapa mahasiswi yang berjilbab. 

Aku melihat tatapan Bram yang mengarah ke pintu ruangan Komunitas Sastra. Ternyata ada Bagas sedang berdiri di sana. Aku tahu, sepertinya dia cemburu dengan Bagas. Dia bukan mengkhawatirkan pergaulanku, tetapi khawatir aku selalu dekat dengan Bagas. Bagas terlihat melirik tajam kepada Bram. Aku meninggalkan Bram dan masuk ke dalam ruangan tanpa menyapa Bagas. 

***

Ada kemiripan antara senja denganmu.

Penuh inspirasi dan kenangan. 

Orang berkata senja itu indah.

Firasatku berkata lain.

Bukan hanya senja.

Dewi khayangan enggan turun ke bumi.

Jika di dunia ini ada dirimu.

 

Aku masih saja mengintip unggahan Instagram milik Bagas. Ya, meskipun unggahannya pasti foto senja dan puisi. Namun semua itu musnah dengan para wanita yang turut mengomentari foto tersebut. Bahkan tak segan-segan Bagas membalasnya dengan kata-kata manis, seperti, “Kamu lebih indah,” dan sebagainya.

Bagaimana bisa dia bersikap manis seperti itu kepada semua wanita Dengan sikapnya yang seperti itu, mana ada wanita yang benar-benar yakin bahwa dia hanya mencintai satu wanita? Aku benar-benar tak paham dengan jalan pikirannya.

Di Komunitas Sastra, para lelaki jika membuat cerpen romantis, selalu saja menyudutkan perempuan yang membuat mereka patah hati. Perempuan yang meninggalkan mereka dengan alasan materi, orang ketiga, dan lainnya. Padahal kalau mereka tahu, lelaki juga sering merayu wanita, lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Mereka tak tahu bahwa rayuan yang telah diucapkannya menancap ke beberapa hati wanita yang rapuh. Mulut-mulut lelaki yang lebih sering tidak bertanggung jawab. Mereka pikir rayuan hanya sebuah lelucon sesaat. Padahal menurut sebagian wanita, itu adalah hal yang serius.

Ketika aku sedang kesal dengan rayuan lelaki, secara bersamaan Kak Hendra berulah dengan menggombaliku. Aku merengut sembari memukul meja. Karin mengumpatnya habis-habisan. Konsentrasiku buyar, padahal lagi seru-serunya mengerjakan jurnal. Aku memutuskan untuk keluar membeli minuman untuk mendinginkan kepala. Di tengah jalan aku bertemu Bagas, aku berlalu saja meninggalkannya. Lalu sekembalinya dari kantin, aku bertemu Bram. Aku pun bersikap seperti tadi. Entah kenapa aku sedang muak dengan laki-laki. Setelah agak tenang, aku kembali ke ruangan redaksi jurnal.

Aku memasuki ruangan dengan tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa. Kak Hendra langsung meminta maaf kepadaku dan aku hanya berkata bahwa aku baik-baik saja. Lalu Kak Adit menghampiriku.

“Kamu masih kesal sama Hendra?” tanyanya.

“Nggak, Kak. Tadi lagi bad mood aja kak,” jawabku.

Kak Adit hanya menganggukkan kepala.

“Kak, kenapa sih laki-laki suka menggombal dan menganggap hal itu sebuah lelucon? Padahal kan nggak semua wanita suka digombalin,” kataku lagi kepadanya dengan kedua bibirku yang mengerucut ke depan. 

“Ya, nggak semua cowok kayak gitu sih. Memang ada beberapa yang seperti itu. Kalau saya sih tidak suka dengan kata-kata gombal. Saya lebih suka menunjukkannya dengan perbuatan. Orang yang suka ngegombal terlihat seperti orang yang tidak serius.” 

***

Kami merampungkan pekerjaan saat azan asar berkumandang. Aku berniat langsung pulang usai salat. Kebetulan ada buku yang tertinggal di kelas, jadi aku berjalan menuju gedung fakultas setelah dari masjid. Terlihat di lobi gedung, Bagas sedang duduk membaca novel di salah satu deretan bangku besi. Aku sebenarnya malas melewatinya, tetapi tidak ada jalan lain. 

“Udah mau pulang?” tanyanya.

Aku yang pura-pura tidak melihatnya, lalu berhenti dan menganggukkan kepala. Terlihat dia sedang memegang novel favoritnya, Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. 

“Hati-hati ya,” ucapnya tersenyum.

Hatiku tidak bisa berbohong jika tidak ada sisa perasaan yang dulu. Tentu saja masih ada, tidak semudah itu melupakan seseorang. Apalagi kita berdua masih sering bertemu. Harus kuakui, Bagas merupakan cinta pertamaku. Kalian tahu kan betapa susahnya melupakan cinta pertama? 

Setibaku di rumah, aku mendengar suara isak tangis, tetapi diselingi tawa bahagia. Aku merasa heran, buru-buru kulangkahkan kaki masuk ke dalam. Khawatir Kak Salsa bersedih seperti kejadian seminggu yang lalu. Ketika aku masuk ke ruang tengah, Kak Salsa dan Bang Aldi tersenyum kepadaku. Ada apa ini?

“Kakak positif, Ma!” serunya kepadaku dan memperlihatkan alat testpack ke hadapanku.

“Ya Allah, Alhamdulillah!” teriakku dan langsung memeluk Kak Salsa.

“Kamu ikut ya, kita habis ini mau ke dokter buat check up. Bang Aldi udah manasin mobil.” 

Aku mengangguk sembari mengusap air mata yang luruh. Selamat Kak Salsa dan Bang Aldi. Kalian lulus melewati ujian kesabaran dengan baik.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Under The Moonlight
1515      838     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Marry
866      408     0     
Fantasy
Orang-orang terdekat menghilang, mimpi yang sama datang berulang-ulang, Marry sempat dibuat berlalu lalang mencari kebenaran. Max yang dikenal sebagai badut gratis sekaligus menambatkan hatinya hanya pada Orwell memberi tahu bahwa sudah saatnya Marry mengetahui sesuatu. Sesuatu tentang dirinya sendiri dan Henry.
Seharap
4988      2105     0     
Inspirational
Tisha tidak pernah menyangka, keberaniannya menyanggupi tantangan dari sang kakak untuk mendekati seorang pengunjung setia perpustakaan akan menyeretnya pada sebuah hubungan yang meresahkan. Segala kepasifan dan keteraturan Tisha terusik. Dia yang terbiasa menyendiri dalam sepi harus terlibat berbagai aktivitas sosial yang selama ini sangat dihindari. Akankah Tisha bisa melepaskan diri dan ...
Premium
Antara Aku Pelangi & Hujan
3048      1180     0     
Romance
Zayn bertemu dengan seorang gadis yang sedang menangis di tengah derasnya hujan dan tanpa sadar Zayn tertarik dengan gadis tersebut Ternyata gadis tersebut membawa Zayn pada sebuah rahasia masa lalu yang di lupakan Zayn Membawanya pada sesuatu yang tidak terduga
Langit Indah Sore Hari
97      83     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Asoy Geboy
3892      1204     1     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
Dear N
3342      1359     18     
Romance
Dia bukan bad boy, tapi juga bukan good boy. Dia hanya Naufal, laki-laki biasa saja yang mampu mengacak-acak isi hati dan pikiran Adira. Dari cara bicaranya yang khas, hingga senyumannya yang manis mampu membuat dunia Adira hanya terpaku padanya. Dia mungkin tidak setampan most wanted di buku-buku, ataupun setampan dewa yunani. Dia jauh dari kata itu. Dia Naufal Aditya Saputra yang berhasil m...
1'
2564      994     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
Aku baik-baik saja ¿?
2296      1015     2     
Inspirational
Kayla dituntut keadaan untuk menjadi wanita tangguh tanpa harus mengeluh, kisah rumit dimulai sejak ia datang ke pesantren untuk menjadi santri, usianya yang belum genap 17 tahun membuat anak perempuan pertama ini merasa banyak amanah yang dipikul. kabar tentang keluarganya yang mulai berantakan membuat Kayla semakin yakin bahwa dunianya sedang tidak baik-baik saja, ditambah dengan kisah persaha...
Edelweiss: The One That Stays
1353      583     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...