Read More >>"> Nyanyian Burung di Ufuk Senja (10. Berita Heboh dari LDK) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Nyanyian Burung di Ufuk Senja
MENU
About Us  

Kumbang dan Anak Surau

Wahai kumbang

Hatiku meradang

Wajahku usang

 

Kau tahu?

Ini ulah anak surau

Sebulan lalu

 

Masih terasa

Meski tak ingin dirasa

 

Kumbang

Tak bisa kah kau bawa dia datang

Bersama serbuk kembang

 

Aku menunggu

Sampai kau memanggilku

Aku membawa si anak surau

 

“Ma, maksud dari puisi lu yang diposting di Instagram untuk Bram?” tanya Karin di sebelahku ketika kami sedang menunggu dosen datang di kelas.

Aku mengernyit heran dan berkata,“Hah? Bukanlah, Kar. Sejak kapan gue bikin puisi buat dia? Gue lagi latihan bikin puisi buat di Komunitas Sastra. Memangnya kenapa?”

“Oh, kirain gue yang dimaksud dari si anak surau ini si Bram. Soalnya gue denger-denger dia jadi anggota LDK dan sering di masjid. Gue pikir dia ikut-ikutan elu aktif di sana.” 

“Gue malah baru tahu si Bram masuk LDK. Gue nggak aktif di LDK, cuma rutin ikut kajiannya aja.” 

Lalu pembicaraan kami terputus akibat dosen masuk. Suatu berita yang sangat mengejutkan bahwa Bram masuk LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Setahuku Bram itu anti sekali dengan komunitas seperti itu. Bahkan tak pernah kulihat batang hidungnya di masjid kampus. Masih lebih rajin Bagas ketimbang Bram. Meskipun ada yang lebih rajin lagi, yaitu Kak Adit. Bukan hanya ketika salat wajib saja. Berkali-kali aku bertemu dengannya di pagi hari, sepertinya dia juga rajin salat duha. Rajin mengikuti kajian juga, bahkan aku meminta jadwal kajian LDK darinya sewaktu rapat jurnal. 

Berkat info dari Kak Adit, aku jadi makin rajin datang kajian yang diadakan LDK setiap Selasa-Kamis. Hari Jumat ada kajian khusus wanita di ruangan khusus akhwat LDK. Aku pun jadi akrab dengan pengurusnya, karena sudah sebulan aku rajin mengikuti kajian. Sampai ditawari menjadi pengurus. Namun aku menolaknya, karena masih ada tanggungan jurnal dan Komunitas Sastra. Kak Hawra merupakan ketua LDK bagian akhwat, kebetulan aku dekat dengannya. Orangnya sangat baik dan ramah sekali.

Siang ini ada kajian khusus akhwat. Aku melangkahkan kaki masuk ke ruang LDK khusus akhwat. Kak Hawra langsung menyambutku dengan senyuman lebar. 

“Ini dia anggota kajian paling rajin akhirnya datang juga,” ujarnya kepadaku.

Aku tersenyum dan bersalaman dengannya.

“Oh iya Salma, aku denger kamu katanya suka bikin cerpen? Mau ikut kita-kita nggak? Sama anggota LDK lainnya. Kita juga suka kerjasama dengan forum kepenulisan besar. Kebetulan salah satu dari anggota LDK ada kakaknya yang jadi pengurus salah satu komunitas,” ajak Kak Hawra.

“Wah, mau banget sih, Kak, tapi aku juga masih sibuk jurnal sama di Komunitas Sastra. Lagi finishing project kumpulan cerpen mau dikirim ke penerbit,” jawabku.

“Kalau di kita nggak ada kewajiban apa-apa sih. Paling kita kumpul kayak seminar kepenulisan. Ada bengkel tulisan, yaitu cerpen kita dikoreksi dan kita nerima kritik dan saran dari anggota, tapi cuma yang mau aja. Kalau kamu kosong aja ikut. Hitung-hitung nambah pengetahuan, apalagi kalau kedatangan pemateri keren.” 

“Pasti, Kak, aku bakal datang kalau nggak bentrok sama yang lain.” 

Setelah itu kajian pun dimulai, hari ini temanya tentang Fikih Darah Wanita. mengenal jenis-jenis darah wanita dan hukumnya dalam Fikih Islam. Kajian berlangsung selama tiga puluh menit dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. 

Kajian telah usai, setelah berpamitan dengan yang lainnya, aku melangkah keluar ruangan. Ketika keluar, aku melihat Bram yang menggunakan baju koko dan celana bahan kain berwarna hitam. Tumben. Ah, mungkin tadi sehabis salat Jumat. Syukurlah dia jadi rajin sekarang. Dia tersenyum menatapku dan berlalu melewatiku. Ada yang aneh. Biasanya dulu ketika bertemu denganku dia sangat antusias dan langsung membuntutiku berjalan meski telah kuusir berkali-kali. Memang setelah kejadian waktu kedatangan ibu, jika dia bertemu denganku terlihat marah dan menampakkan dengan jelas kekesalannya. Namun sekarang dia hanya tersenyum saja. Aku merasa aneh dengan kenormalan Bram. 

***

“Ganti baju dulu, Neng, terus makan habis itu,” ujar Kak Salsa saat aku merebahkan diri di sampingnya yang asyik menonton teve.

“Bentar dulu, Kak, capek nih berdiri di kereta. Oh iya, Kak, tahu nggak tadi aku ketemu Bram. Dia jadi aneh tahu.” 

“Aneh gimana? Tapi dia udah nggak ganggu kamu lagi kan?” 

“Udah nggak sih. Tadi aku ketemu dia senyum ramah ke aku terus lewat aja gitu. Padahal sehabis kejadian waktu itu, dia tiap ketemu selalu masang muka marah. Terus penampilannya berubah jadi seperti ikhwan di LDK. Kata Karin dia juga aktif di LDK.” 

“Oh ya? Bagus dong kalau gitu. Dia mungkin benar-benar serius mau berubah. Mungkin dia beneran serius sama kamu.”

“Tapi bisa aja kan dia ikut-ikutan aku aktif di LDK, karena aku akhir-akhir ini aktif ikut kajian. Soalnya yang udah-udah dia selalu gitu, ikut-ikutan masuk klub sastra lah.”

“Jangan berpikir negatif gitu, Ma. Bisa aja dia beneran berubah.”

Aku terdiam. Benar juga, aku tidak boleh berburuk sangka terus kepada Bram. Aku seharusnya bersyukur kalau dia bisa berubah. Malah bagus dia bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya di masa lalu. Ibunya sampai kewalahan dengan sikap kekanak-kanakannya. 

Aku pernah bertemu dengan ibunya saat Bram memperkenalkanku di parkiran sekolah. Dengan terang-terangan dia mengatakan kepada ibunya bahwa aku perempuan yang disukainya. Aku terkejut dengan respon ibunya ketika melihat aku orang yang disukai oleh anaknya. Ibunya pun mengacungkan jempol kepada Bram. Ibunya oernah bilang kepadaku bahwa dia takut jika Bram suka dengan perempuan-perempuan yang tidak jelas seperti pacar teman-temannya yang dibawa ketika main ke rumahnya. 

Ibunya berbeda dengan Bram, sangat baik, ramah dan hangat kepadaku. Aku sampai tak percaya bahwa Bram adalah anaknya. Ibunya mengakui bahwa Bram anak yang sangat manja dan harus dituruti semua keinginannya. Makanya ketika dia memutuskan ingin menjadi pacarku, dia terus-terusan memaksaku. Mengenai ayahnya, aku hanya pernah melihatnya sekilas.

Sebenarnya Bram orang yang tidak terlalu buruk untuk ukuran parasnya. Mungkin karena selama ini dia selalu berdandan seperti artis luar negeri. Rambut dicat, menggunakan bandana dan aksesoris lainnya. Namun ketika aku bertemu dengannya tadi dengan perubahan penampilannya, jadi mirip dengan Dude Herlino. Aduh, apa-apaan sih, Salma?! 

Aku memutuskan untuk mandi dan makan, baru setelah itu beristirahat. Sambil merebahkan badan di atas kasur, aku membalas satu-persatu pesan yang masuk, dan pandanganku terhenti pada suatu nama.

Bagas: Salsabila, tolong dicek ya biodata kamu di antologi cerpen kita untuk diberikan ke penerbit. Periksa takut ada kekeliruan.

Untungnya sekarang aku sudah bisa bersikap normal dengannya, tidak terlalu menggebu-gebu jika mendapat pesan darinya. Setelah kejadian sebulan yang lalu dan mulai aktif di kajian, sedikit demi sedikit aku sudah lebih membaik. Tidak terlalu memikirkannya. 

Salma: Oke, Gas, sebentar ya aku cek dulu.

Bagas: Puisi yang di Instagram bagus. Kamu terinspirasi dari siapa? Kok aku nggak di-tag-in?

Aneh. Apa urusannya aku harus menandai dia dalam setiap unggahanku?

Salma: Inspirasi dari mana ya? Iseng aja sih waktu buatnya. Hitung-hitung ngelatih bikin puisi. Maaf kalau nggak di-tag, soalnya aku nggak nge-tag siapa-siapa.

Bagas: Oh gitu. Kirain kamu udah lupa sama aku.

Salma: Hahaha lupa gimana? Nanti juga kumpul kita ketemu. Oh iya ini udah aku cek. Sudah sesuai semuanya. Aku kirim ya.

Bagas: Terima kasih, Gadis Manis. Sampai ketemu hari Senin.

Aku bukannya ingin melupakannya, tetapi ini harus kulakukan. Aku tidak mau menguras energi untuk cinta yang sia-sia. Bahkan sampai sekarang pun aku masih tertatih untuk bangun dari keterpurukan. Aku sadar seharusnya aku tidak terbawa perasaan. Namun jika bertemu dengannya, hatiku selalu meresah. 

***

“Gas, Perempuan yang ada di cerpen lu siapa? Kayaknya dalem banget. Panas dalem ya lu, karena terlalu lama memendam perasaan?” ledek Gilang kepada Bagas.

“Siapa lagi kalau bukan si gadis manis, kayak nggak tahu dia aja lu,” sambar Ezra.

Aku melirik kepada mereka. Sekilas tadi aku melihat Ezra melirik ke arahku dan menyenggol lengan Bagas. Bagas hanya tersenyum menanggapi mereka. Aku pura-pura tak melihat dan mendengar mereka. Hari ini jadwal cerpen Bagas yang akan dibedah. Cerpennya kental sekali dengan genre romansa.

“Aku ini penggila romansa, Salsabila,” ujarnya dulu ketika kami sedang bedah cerpen di taman kampus.

Judul cerpennya yang sekarang dibedah adalah Perempuan dan Mimpi yang Nyata. Bercerita tentang seseorang perempuan yang dicintainya berada di alam mimpinya, tapi terasa nyata. Namun pada realitanya ada jarak yang memisahkan mereka, yaitu keadaan sosial dan keluarga. Entah kenapa aku selalu jatuh cinta pada setiap tulisannya. Seperti masuk dimensi lain. Tiba-tiba aku sudah terbangun di antara hamparan bunga indah. Begitu memabukkan. 

Dua jam berlalu dan acara bedah cerpen telah selesai. Aku memutuskan untuk salat asar di masjid kampus terlebih dahulu sebelum pulang. Ketika berjalan ke arah tempat wudu, sekilas aku melihat para ikhwan anggota LDK sedang berkumpul di masjid. Salah satu di antaranya... Bram?! Aku sampai berkali-kali mencubit kedua pipiku supaya yakin apa yang kulihat. Apa yang dikatakan Karin ternyata benar. Bram aktif di LDK!

Ternyata Bram juga melihat ke arahku, aku cepat-cepat pergi ke tempat wudu. Ketika aku sedang memakai sepatu di pelataran masjid setelah salat, aku bertemu Bram. Dia tersenyum dengan ramah sama seperti sebelumnya. 

“Assalamualaikum,” sapanya.

“Waalaikumussalam,” jawabku.

“Oh iya, aku mau minta nomer Bang Aldi nanya jadwal kajian. Nomernya kehapus. Bisa minta tolong kirim ke nomerku?” 

“Iya, nanti aku kirim.” 

Setelah itu dia berpamitan dan pergi. Selama aku berjalan menuju stasiun kereta, aku termenung. Masih tidak percaya dengan apa yang kulihat.

***

Biasanya di hari Minggu aku bersantai-santai di rumah, tapi kali ini aku berjalan di bawah terik matahari. Aku melangkahkan kaki menuju rumah Kak Hawra. Aku berniat berdiskusi dengannya soal cerpen yang baru saja kubuat.

Akhir-akhir ini aku membuat cerpen bertema Islami. Kebetulan Kak Hawra ahli dalam soal ini, karena komunitas menulis yang ada di LDK, dia salah satu pencetusnya. Dia pernah menulis novel dan diterbitkan.

Saat aku sampai di depan rumahnya, aku mengetuk pintu. Dia tersenyum lebar menyambutku. Kak Hawra menyediakan minuman dingin dan beberapa camilan. Setelah beberapa menit membaca cerpenku, dia tersenyum.

“Bagus banget ceritanya. Sangat menginspirasi. Apalagi jaman sekarang banyak remaja muslimah yang mengaku-ngaku muslimah, tapi berpikiran negatif kalau Islam diskriminasi terhadap perempuan. Padahal Islam sangat memuliakan perempuan. Kamu dis ini mengingatkan peran sebagai muslimah,” puji Kak Hawra.

Aku tersenyum lebar dan berterima kasih.

“Cuma ada beberapa penulisan yang salah. Ini sudah aku kasih tanda, dan tulisan yang benar ada di dalam tanda kurung ya,” ujarnya lagi.

“Oh iya, Kak, aku mau bikin tulisan lagi tentang seorang perempuan yang bingung karena dilamar bersamaan oleh dua orang lelaki. Nanti ayahnya bakal kasih ujian buat nentuin calon yang dipilih gitu, Kak.” 

“Boleh, bagus tuh. Kenapa? Kamu lagi ada yang ngajak ta’arufan ya?” 

Aku tertawa. “Nggak ada, Kak. Oh iya, Kak, aku boleh curhat nggak? Tapi Kakak jangan bilang siapa-siapa ya. Aku nggak pernah cerita ini ke orang lain.”

Kak Hawra mengangguk dan meyakinkanku bahwa dia tidak akan memberi tahu siapa pun. Aku pun bercerita tentang Bagas tanpa memberi tahu nama sebenarnya. Aku cuma bilang lelaki yang aku sukai. Aku bercerita bagaimana aku memendam perasaan. Aku menjauh karena takut tersakiti akibat perasaan tak terbalaskan. Bagas juga tidak pernah jelas perasaannya kepadaku. 

Kak Hawra tersenyum selama mendengarkanku bercerita. 

“Sekarang Kakak tanya, kalau cowok itu nyatain perasaannya sama kamu, mau dijawab apa?” tanya Kak Hawra.

“Iya sih, Kak, aku juga sama sekali nggak berniat untuk pacaran dan sudah bertekad untuk tidak berpacaran. Tapi wajar nggak sih, Kak, kalau punya perasaan seperti ini?” 

“Pasti wajar, Salma. Sebagai wanita yang normal, pasti ada kecenderungan tertarik dengan lawan jenis, karena Allah sudah menciptakannya seperti itu. Itu adalah sifat alamiah manusia. Cuma agama Islam datang untuk mengontrolnya, tidak boleh berpacaran dan hanya boleh mengungkapkannya kepada pasangan resmi suami-istri. Islam sangat mengangkat derajat wanita, makanya tidak dibolehkan ber-khalwat dengan lawan jenis, berpacaran dan sebagainya. Jadi mau cowok yang kamu suka punya perasaan yang sama atau nggak, nggak ada artinya kalau dia tidak mempunyai niatan melamarmu.” 

Aku terdiam. 

“Makasih ya kak atas nasihatnya. Aku jadi lega sekarang. Oh iya, Kak, kenal yang namanya Bramantyo anak jurusan Bisnis nggak? Dia kayaknya aktif di LDK akhir-akhir ini.” 

“Kayaknya sih ada satu ikhwan yang baru masuk terus aktif banget di LDK, tapi Kakak nggak terlalu tahu. Tahu itu waktu pendataan anggota seluruh LDK.” 

Sepertinya benar, Bram sekarang benar-benar aktif di LDK. 

“Kenapa emangnya? Hayo…! Nanya-nanya naksir ya? Dia cowok yang tadi dicurhatin?” 

“Hah? Nggak, Kak, bukan dia. Dia temen SMA-ku dulu. Aku bersyukur aja dia sekarang berubah jadi lebih baik.” 

Aku merasa senang menghabiskan waktu dengan Kak Hawra. Banyak pengetahuan yang kudapat darinya. Hatiku menjadi tenang mendengar semua nasihat yang diberikannya. Aku juga sering curhat dengan Kak Salsa. Namun untuk urusan lelaki aku merasa malu, pasti ujung-ujungnya dia meledekku habis-habisan. 

Mungkin aku harus lebih sering menghabiskan waktu dengan Kak Hawra. Dia juga mengajakku kajian kecil-kecilan di Café Satu Titik dekat rumahnya sebulan dua kali. Aku menyetujuinya.

***

Aku terkejut saat mendapati Bram berdiri di depan pintu rumah. Aku sudah bersiap-siap jika dia membuat masalah. Padahal baru saja dua hari yang lalu aku memujinya. Namun dia hanya tersenyum kepadaku. Dia juga mengenakan baju koko dan celana bahan kain seperti sebelumnya. 

“Bang Aldinya ada? Sebelumnya udah janjian lewat telepon,” tanyanya.

Aku menganggukkan kepala dan menyuruhnya masuk. 

“Bang, itu di ruang tamu ada Bram. Katanya udah janjian sama Abang.” 

“Oh iya, oke.” 

Aku masih tidak percaya. Tumben sekali Bram ke sini tidak mencariku dan bertemu dengan Bang Aldi. Bahkan dia sama sekali tidak peduli dengan keberadaanku. Aku duduk di sofa samping Kak Salsa menggantikan Bang Aldi yang sudah menemui Bram di ruang tamu.

“Kak, itu ngapain si Bram mau ketemu Bang Aldi,” tanyaku.

“Itu… mau belajar ngaji. Biasanya sih di masjid. Cuma hari ini Bang Aldi kecapekan, jadinya disuruh datang ke rumah,” jawab Kak Salsa.

“Ngaji? Bram? Dia benar-benar aneh sekarang.” 

“Kok aneh? Justru bagus dong berubah. Dia itu serius lho belajarnya.” 

Aku hanya terdiam. Apa dia seserius itu berubah? Atau hanya biar aku menerima cintanya?

“Pasti lagi mikirin yang nggak-nggak. Jangan berpikiran negatif. Kalau dia berubah karena ingin berusaha menjadi calon suami yang baik buat kamu, ya nggak ada salahnya. Mungkin awalnya seperti itu, tapi lama kelamaan kalau dia benar-benar serius belajar agama, dia bakal sadar bahwa ini buat kebaikan dirinya sendiri. Bukannya tujuan kita diciptakan untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, kan?” 

“Ih, aku nggak mikir aneh-aneh kok. Udah ah, mau ke kamar,” ujarku seraya beranjak menuju kamar. 

***

“Kak, aku boleh minta contoh biografi penulis nggak? Punyaku kehapus di laptop,” pintaku kepada Kak hendra ketika sedang mengerjakan jurnal.

“Boleh, tapi aku masih sakit hati sama jawaban kamu bulan lalu,” jawabnya sambil memasang wajah murung.

“Udah deh Kak Hendra nggak usah drama lagi. Kasihan temen gue. Nanti tiba-tiba dia keluar terus nggak mau ngerjain jurnal lagi, gimana?” protes Karin.

“Udah tua juga. Nggak usah sok imut deh, Ndra! Inget kumis!” seru Kak Bastian.

Kami pun tertawa mendengar perkataan Kak Bastian. Kak Hendra hanya mendengus kesal dan pura-pura merajuk.

“Nggak usah ditanggapi ya, Salma. Biasalah fakir asmara suka seperti itu,” ujar Kak Adit.

Aku tertawa. “Nggak apa-apa kok, aku udah biasa. Oh iya, Bang Aldi tadi malam minta nomer Kak Adit. Katanya ada perlu, nggak apa-apa kan?” 

“Iya tadi pagi Bang Aldi ngehubungin saya dan minta jadi moderator acara seminar di Forum Dakwah Jakarta.” 

“Ciee…! Calon kakak ipar!” teriak Kak Hendra.

Kak Aditya dan Karin melemparinya dengan gumpalan kertas. Aku hanya tertawa. Aku sebenarnya tak heran jika Kak Adit mendapat tawaran menjadi moderator. Dia sudah berpengalaman dalam hal ini. Namun aku heran Bang Aldi tiba-tiba meminta Kak Adit memoderatorinya dalam acara yang dihadirinya. 

***

Hujan membasahi kota Jakarta, gemericik suara air terdengar seperti orkestra oleh para penghuni semesta. Bau tanah basah menjadi salah satu favoritku. Hujan dan kenangan terkadang datang secara bersamaan. Aku menuliskan kenangan-kenangan yang terlintas di benakku dan menuangkannya ke dalam tulisan. Aku tidak mau melewatkan begitu saja kenangan yang merupakan sumber inspirasi. Jika inspirasi itu datang dan tidak langsung dituliskan, cita rasanya akan hilang, seperti makanan basi.

Aku duduk sembari mengetik tulisan di bangku yang berada di pelataran kampus dekat dengan taman. Sambil menunggu hujan reda, kebetulan aku tidak membawa payung untuk jalan ke stasiun. Sesekali aku menyeruput teh hangat yang kubeli di kantin sebelum ke sini. 

“Lagi nunggu hujan reda atau lagi pengin nulis aja?” tanya Bagas yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku.

“Ah iya, ini sambil nunggu hujan reda, iseng aja nulis,” jawabku sambil jariku terus menari di atas keyboard.

“Cerita tentang apa? Seru nih kayaknya.” Dia menenggak kopi kaleng yang dibawanya.

“Cerita tentang perempuan yang mendapatkan ta’aruf dari dua laki-laki dan dua-duanya juga berniat untuk melamarnya.”

“Kok kamu sekarang nulis ceritanya tentang hijrah-hijrah gitu. Beda lho kajian sama cerita fiksi.” 

“Maksud kamu apa? Memangnya salah kalau berdakwah lewat tulisan? Tulisan itu bebas sesuai dengan gaya penulis masing-masing. Para pembaca juga punya selera masing-masing, yang penting kita paham dengan apa yang dimaksud penulis. Bukannya nggak ada batasan ide dalam penulisan fiksi?” 

“Iya deh setuju sama kamu.” 

Aku pun melanjutkan mengetik tulisan dengan Bagas yang masih di sampingku menikmati minuman yang dibawanya. Aku tak memedulikannya, aku kesal. 

Tiba-tiba aku melihat Bram melintas di depan kami. Dia menatapku dan Bagas yang sedang duduk berduaan. Aku merasa malu dilihatnya dengan keadaan seperti ini dan langsung menutup laptopku, lalu beranjak pergi meninggalkan Bagas. Padahal aku tidak berniat berduaan. Secara tiba-tiba Bagas menghampiriku. Di bangku dengan jarak beberapa meter juga ada mahasiswa lain yang duduk. Selain itu suasana di sekitarnya ramai, karena banyak yang menunggu hujan reda. Entah kenapa aku merasa canggung dilihat Bram yang sudah berubah seperti ini ketika aku sedang bersama Bagas.  

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Under The Moonlight
1515      838     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Marry
866      408     0     
Fantasy
Orang-orang terdekat menghilang, mimpi yang sama datang berulang-ulang, Marry sempat dibuat berlalu lalang mencari kebenaran. Max yang dikenal sebagai badut gratis sekaligus menambatkan hatinya hanya pada Orwell memberi tahu bahwa sudah saatnya Marry mengetahui sesuatu. Sesuatu tentang dirinya sendiri dan Henry.
Seharap
4988      2105     0     
Inspirational
Tisha tidak pernah menyangka, keberaniannya menyanggupi tantangan dari sang kakak untuk mendekati seorang pengunjung setia perpustakaan akan menyeretnya pada sebuah hubungan yang meresahkan. Segala kepasifan dan keteraturan Tisha terusik. Dia yang terbiasa menyendiri dalam sepi harus terlibat berbagai aktivitas sosial yang selama ini sangat dihindari. Akankah Tisha bisa melepaskan diri dan ...
Premium
Antara Aku Pelangi & Hujan
3049      1181     0     
Romance
Zayn bertemu dengan seorang gadis yang sedang menangis di tengah derasnya hujan dan tanpa sadar Zayn tertarik dengan gadis tersebut Ternyata gadis tersebut membawa Zayn pada sebuah rahasia masa lalu yang di lupakan Zayn Membawanya pada sesuatu yang tidak terduga
Langit Indah Sore Hari
97      83     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Asoy Geboy
3892      1204     1     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
Dear N
3342      1359     18     
Romance
Dia bukan bad boy, tapi juga bukan good boy. Dia hanya Naufal, laki-laki biasa saja yang mampu mengacak-acak isi hati dan pikiran Adira. Dari cara bicaranya yang khas, hingga senyumannya yang manis mampu membuat dunia Adira hanya terpaku padanya. Dia mungkin tidak setampan most wanted di buku-buku, ataupun setampan dewa yunani. Dia jauh dari kata itu. Dia Naufal Aditya Saputra yang berhasil m...
1'
2564      994     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
Aku baik-baik saja ¿?
2296      1015     2     
Inspirational
Kayla dituntut keadaan untuk menjadi wanita tangguh tanpa harus mengeluh, kisah rumit dimulai sejak ia datang ke pesantren untuk menjadi santri, usianya yang belum genap 17 tahun membuat anak perempuan pertama ini merasa banyak amanah yang dipikul. kabar tentang keluarganya yang mulai berantakan membuat Kayla semakin yakin bahwa dunianya sedang tidak baik-baik saja, ditambah dengan kisah persaha...
Edelweiss: The One That Stays
1353      583     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...