Wanita mana yang tidak tersipu jika dirayu oleh seorang lelaki. Meski wajahnya menyiratkan ketidaksukaan, tetapi hati tidak bisa berbohong. Namun itu hanya berlaku jika yang melontarkan rayuan adalah orang yang disukainya. Kini, laki-laki yang ada di hadapanku, rayuannya hanya sebuah kebohongan.
"Salma, kenapa kamu tidak membalas perasaan saya?"
Ya, lagi-lagi Kak Hendra mencoba merayuku.
"Kan aku udah bilang, Kak, aku nggak mau pacaran," jawabku.
"Oke. Kalau saya bilang, saya mau melamar kamu?"
"Kalau mau ngelamar ya ke orangtua saya, bukan di sini." Intonasiku semakin meninggi.
Terdengar decakan dari Kak Adit. Kak Bastian meneriaki Kak Hendra, "Inget uban, Ndra! Jangan ngegombalin junior terus!"
Begitulah suasana kumpul kru redaksi jurnal. Apalagi kali ini Karin izin tidak datang. Aku jadi bulan-bulanan Kak Hendra. Untung saja kabar dia menyatakan perasaannya kepadaku tidak tersebar seantero kampus. Aku merasa tidak enak, karena aku tahu Kak Hendra tidak serius. Apalagi teman sekelasku ada yang menaruh hati kepadanya. Kak Hendra memang orang yang cerdas, pandai menulis, tak heran jika dia ditunjuk menjadi Pemred Jurnal. Hanya saja sifat playboy-nya yang merusak itu semua.
"Kamu rencana menikah umur berapa, Salma?" tanya Kak Hendra kembali. Belum ada sepuluh menit, dia kembali menggangguku.
"Rahasia."
"Kamu nggak takut nanti kalau lulus kuliah nggak ada yang ngelamar kamu? Tapi tenang aja sih, kalau sampai nanti lulus nggak ada yang ngelamar kamu, Adit siap kok. Kalau kamu nggak suka, masih ada saya. Saya siap ngelamar kamu kapan saja, tinggal hubungi saya aja. Masih ada nomer saya, kan?"
Aku bergidik ngeri. Tiba-tiba Kak Bastian melemparnya dengan pulpen. "Woy, kerja. Jangan gangguin cewek terus. Kalau Karin tahu, baru tahu rasa diomelin!"
Keesokan harinya aku mengadu kepada Karin. Lalu ketika rapat, Karin langsung memarahi Kak Hendra.
Namun Kak Hendra dengan entengnya menjawab, "Teman kamu terlalu cantik untuk dianggurin."
Emosi Karin semakin memuncak ke ubun-ubun. Kalau seperti ini, ujung-ujungnya Kak Adit bertindak. Dia sudah seperti melerai anak-anak asuhnya. Karin dan Kak Hendra memang sering bertengkar, tapi bukan saling benci satu sama lain. Hanya saja sifat Kak Hendra yang menyebalkan dan Karin yang selalu ingin melindungiku. Mungkin dia tahu betapa hancurnya kehidupanku yang lalu, jadinya dia selalu memastikan kebahagiaanku. Bahkan sering kali dia tak segan-segan ingin melabrak Bagas, karena telah mempermainkanku. Aku melarangnya, karena sebenarnya Bagas tidak mempermainkanku. Aku saja yang terlalu besar hati. Sudah tahu Bagas laki-laki buaya, aku masih saja terbuai.
***
Manusia sangat menyukai kabar burung yang tak diketahui siapa yang pertama kali menghembuskan berita itu. Mungkin sudah tabiat manusia yang selalu ingin tahu, bahkan terhadap sesuatu yang tidak berhubungan dengannya sekali pun. Akhir-akhir ini para mahasiswi sedang mengidolakan salah satu anggota LDK. Katanya orang tersebut sangat aktif di LDK, semangat, ramah, dan tampan. Ternyata orang tersebut adalah Bram. Aku baru saja mendengar salah satu mahasiswi di kelas membicarakannya secara terang-terangan.
Awal masuk kuliah, Bram hanya bergaul dengan anak-anak orang kaya saja. Jarang terlihat di kampus, apalagi mengikuti organisasi. Aktifitasnya hanya pamer mobil mewah, lalu pergi jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri bersama teman-temannya. Bahkan dari poto yang ditandai oleh pacar teman-temannya, tak jarang aku melihat mereka menggunakan bikini saat di pantai. Bram tidak mempunyai pacar, tapi aku yakin banyak wanita yang tergiur oleh hartanya.
Sekarang Bram berubah secara drastis dan aktif di LDK. Dia bersosialisasi dengan siapa pun, tidak memandang status sosial, harta, dan lainnya. Saat acara LDK terkadang dia menjadi MC dan terlihat sangat bersemangat. Semua orang disapa ketika dia berjalan. Hanya kepadaku saja dia bersifat dingin.
"Lu nggak berubah pikiran untuk nerima Bram? Dia udah berubah nggak kayak dulu lho. Daripada ngarepin Bagas yang nggak jelas," saran Karin.
"Gue udah nggak mikirin Bagas kali. Soal Bram, ya kita liat nanti aja lah, Kar. Gue bakal ngasih jawaban sama cowok yang benar-benar serius ngelamar gue aja."
"Nih... kalau ya, kalau Bram ngelamar lu, terus Bagas nggak ngasih kepastian. Lu harus gimana? Nolak Bram dan tetap nunggu Bagas atau sebaliknya?"
Aku terdiam sejenak. Sampai Karin menepuk pundakku, baru aku menjawab.
"Gue bakal ngasih jawaban ke Bram. Jawabannya tergantung hasil istikharah gue. Gue nggak perlu nungguin cowok yang sama sekali nggak ada niatan untuk serius. Bakal sia-sia aja Kar."
"Tahu nggak sih, Kar, gue baru ingat perkataan salah satu ustad waktu gue ikut kajian di LDK. Mencari jodoh itu seperti mencari kayu bakar di hutan. Kita bakal mencari kayu yang bagus terus-menerus sampai ketika sudah jauh, kita baru teringat bahwa yang pertama adalah kayu yang bagus. Gue nggak mau menyesal nantinya hanya menunggu yang nggak pasti," lanjutku lagi.
"Hebat temen gue nih! Eh iya, kalau lagi ya, kalau misalkan Kak Adit beneran suka sama lu, gimana? Lu bakal terima nggak?" tanyanya lagi. Akan tetapi kali ini sambil tersenyum jail.
"Ya, jawabannya tetap sama, Karin sayang. Pertanyaannya, dia bakal ngelamar gue nggak? Bakal sia-sia aja walaupun kita punya perasaan yang sama," jawabku sambil mencubit pipinya.
Memang pada teorinya aku sangat tahu, bahkan hafal di luar kepala. Namun jika apa yang dikatakan Karin benar-benar terjadi, aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan. Jujur, jika Bram benar-benar serius melamarku, aku tidak siap. Apakah aku bisa menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak kucintai? Apakah menikah itu membutuhkan cinta yang menggebu-gebu seperti halnya perasaanku terhadap Bagas?
***
"Salma, kamu ikut nyumbang tulisan di edisi kali ini ya. Kemarin kan Bastian dan Karin udah, kalau saya sudah sering. Jadi kamu sama Adit bakal nyumbang tulisan di jurnal edisi bulan ini," kata Kak Hendra ketika rapat redaksi jurnal.
"Kak, aku yang nulis resensi ya," pintaku.
"Resensi yang nulis si Adit, soalnya edisi kali ini saya rencananya full bahasa Inggris, kecuali resensi. Bahasa Inggris kamu lebih bagus dari si Adit, kata Karin."
"Eh, gue nggak pernah bilang begitu!" protes Karin. Dia memelotot kepada Kak Hendra.
Aku hanya bisa pasrah menerima tugas darinya. Kebetulan aku juga harus mengerjakan tugas essay dari mata kuliah yang dosennya sangat killer.
Setelah selesai rapat, aku memutuskan untuk mampir ke perpustakaan. Ketika aku ingin mengambil buku di rak pada bagian tengah ruangan, ternyata di depannya ada Bagas sedang duduk. Sepertinya dia sedang membaca novel. Aku hanya menebak, karena dia meletakkan bukunya di atas meja dan aku tidak melihat sampulnya.
Entah kenapa aku selalu bertemu dengannya. Padahal kami hanya ikut satu komunitas bersama dan tidak sekelas. Seperti biasa, aku berjalan seolah-olah tidak melihatnya. Aku berjalan pelan supaya dia tidak menyadari kehadiranku. Namun sepertinya keadaan tidak bersahabat. Aku tak sengaja menjatuhkan buku dari rak saat mengambil salah satu buku. Bukan hanya Bagas yang menoleh, tapi orang-orang sekitar juga ikut mencari asal bunyi tersebut.
Bagas segera berdiri dan membantuku mengambil buku yang terlempar tepat di bawah tempat duduknya. Aku mengucapkan terima kasih dan tersenyum.
"Mau ke mana?" tanya Bagas. Mungkin dia melihatku ingin pergi.
"Ini mau mencatat yang ada di buku di sana," jawabku.
"Di sini aja. Nggak ada yang nempatin kok," tunjuknya kepada kursi kosong di depannya.
Mau tak mau, aku duduk di kursi tepat di hadapannya. Aku berusaha fokus mencatat tulisan yang ada di buku pada laptopku. Dia pun fokus membaca bukunya.
Tak terasa jam dinding menunjukkan jam lima sore. Para mahasiswa terlihat banyak yang mulai meninggalkan perpustakaan Aku mulai resah karena takut sendirian di perpustakaan. Apalagi perpustakaan terlihat horror jika menjelang magrib.
"Tenang, aku bakal tungguin kamu kok. Udah lanjut nulis aja," ujar Bagas.
Aku tersenyum canggung. Bagas selalu pintar membaca gerak-gerikku, tetapi sayangnya dia tak pandai membaca perasaanku. Mungkin kebanyakan pujangga seperti itu. Lebih suka menumpahkan perasaannya lewat tulisan ketimbang menyatakannya. Berharap sang wanita memahaminya. Bagaimana bisa paham jika tidak pernah mengatakannya? Wanita bukan pembaca pikiran orang lain.
Ketika aku sedang melanjutkan lagi mencatat tulisan, ada seorang lelaki yang menghampiri kami. Ternyata lelaki itu adalah Bram dan agak jauh di sampingnya ada temannya yang sepertinya sama-sama aktif di LDK, sedang menunggunya.
"Ma, bentar lagi magrib. Juga banyak mahasiswa yang udah pulang. Sebaiknya kamu pulang, nggak baik berduaan," ujarnya, lalu pergi bersama temannya.
Mendengar itu, aku langsung mematikan laptop, memasukkan buku, dan pergi ke ibu penjaga perpustakaan untuk meminjam buku yang belum selesai kucatat. Bagas menemaniku. Padahal kami tidak benar-benar berduaan, ada dua ibu penjaga perpustakaan yang menunggu di meja dekat pintu tak jauh dari kami. Aku berpikir positif saja, karena sebentar lagi memasuki waktu magrib. Meskipun masih satu jam kurang untuk menunggu magrib. Aku memutuskan untuk segera pulang supaya bisa salat di rumah.
"Cowok itu cemburu ya kalau kamu dekat sama aku?" tanya Bagas ketika kami berjalan di koridor kampus.
"Maksud kamu Bram? Nggak, dia cuma khawatir aja kalau sampai kemalaman di perpus."
"Aku nggak bodoh, Salsabila. Jelas-jelas dia suka sekali sama kamu."
Aku hanya terdiam.
"Kamu suka sama dia?"
"Apaan sih kamu nanya kayak gitu? Udah ya aku duluan, takut ketinggalan kereta."
Dasar Bagas bodoh! Seharusnya bukan itu yang dia tanyakan. Apakah selama ini belum jelas bahwa hanya dia yang kusukai?
***
Kak Hendra: Salma, bagaimana progres tulisannya?
Akhir-akhir ini aku sering mendapatkan pesan teror dari Kak Hendra. Dia seperti rentenir yang menagih hutang. Aku merasa stress. Baru saja aku menyelesaikan tugas essay, aku harus langsung mengerjakan tulisan untuk jurnal. Padahal aku baru selesai merangkum semua yang kutulis dari referensi-referensi yang berhasil kukumpulkan.
Salma: Belum, Kak. Aku baru selesai nyatet yang ada di referensi. Belum disusun jadi tulisan.
Kak Hendra: Belum sama sekali? Padahal saya sudah bantu kasih referensi enam hari yang lalu.
Salma: Aku kan udah bilang ada tugas essay. Dua lagi. Ini lagi mau dikerjain. Kasih waktu dua minggu ya.
Kak Hendra: Satu minggu. Kalau nggak, saya bakal bilang saya suka kamu di depan banyak orang.
Salma: Bodo ah, pokoknya dua minggu.
Kak Hendra: Saya serius, saya bakal nembak kamu kalau minggu depan nggak selesai.
Salma: Dengan segala hormat, saya sanggupnya dua minggu. Kalau tidak mau, cari aja penulis lain.
Kak Hendra: Oke, oke, jangan marah. Saya kasih satu minggu setengah ya. Deal pokoknya.
Ya sudahlah, dikasih waktu tambahan meskipun sedikit. Aku berusaha konsentrasi mengerjakannya. Sampai-sampai Kak Salsa menyuruhku untuk istirahat akibat aku duduk terus-menerus di depan laptop. Hanya beranjak ketika pergi ke kampus, salat, dan ke kamar mandi. Makan hanya sekenanya saja.
Walhasil, tiga hari kemudian, aku demam. Ketika demam, aku pun masih melanjutkan untuk menulis. Karin datang ke rumah menjengukku. Dia menyuruhku istirahat dan akan membujuk Kak Hendra supaya memberi tenggang waktu.
"Eh, ada salam dari Kak Adit, katanya cepat sembuh. Nanti dia yang bakal bilang ke Kak Hendra supaya kasih kelonggaran buat lu." Karin menyenggol lenganku.
"Thank's ya, Kar. Bilang makasih juga ke Kak Adit."
"Makasih doang nih? Nggak ada embel-embel lain?"
"Apaan sih lu. Ya makasih aja. Memangnya mau apa lagi?"
Karin hanya tertawa. Akhir-akhir ini entah kenapa semuanya memberi kode-kode tidak jelas. Aku tak paham apa maksud mereka. Sampai ketika Kak Hendra mengirimiku pesan.
Kak Hendra: Kamu sakit ya? Maaf ya, saya nggak maksud maksa kamu nulis terus-terusan.
Salma: Iya nggak apa-apa, Kak. Ini udah mendingan.
Kak Hendra: Kenapa nggak bilang? Kan bisa saya ajak kru untuk menjenguk kamu.
Salma: Nggak usah, Kak. Tadi Karin udah ngewakilin.
Kak Hendra: Teman saya khawatir banget lho sama kamu. Ini dia ada di samping saya. Saya benar-benar melihat dia seperti anak ABG yang sedang jatuh cinta pertama kali. Padahal umurnya sudah kepala dua.
Salma: Teman yang mana?
Kak Hendra: Siapa lagi kalau bukan Adit. Teman dekat saya kalau bukan dia, ya Bastian. Meskipun Bastian juga sepertinya naksir kamu, tapi saya tetap dukung kamu sama Adit.
Salma: Udah ah, Kak, nggak baik ngegosip. Mau tidur dulu.
Mataku tidak bisa terpejam walau berkali-kali berusaha untuk tidur. Semua yang dikatakan Kak Hendra masih terngiang-ngiang. Aku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Apa benar Kak Adit, orang nomor satu di Universitas Pemuda Bangsa suka padaku? Sepertinya mereka mengada-ngada.
Aku tidak boleh berkhayal terlalu tinggi. Kalian tahu kan akibat seseorang berusaha menggapai bintang di langit? Orang itu hanya mendapatkan harapan belaka. Aku seorang wanita pendiam yang tidak pandai bergaul hanya bisa memandanginya dari jauh. Meskipun aku tidak bohong jika aku nyaman dengannya. Dia bisa menasehatiku dengan bijaksana tanpa menjatuhkan siapa pun. Aku hanya sebatas kagum dengannya. Akan tetapi apakah rasa kagum dengan rasa suka itu mirip? Aku pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di kepala.
***
"Alhamdulillah tulisan sudah selesai diedit semua dan biografi penulis semuanya sudah rampung. Kalian juga tahu kalau ini merupakan edisi jurnal terakhir untuk kepengurusan kru kita. Kita akan adakan makan-makan bersama untuk perpisahan. Kebetulan saya, Adit, dan Bastian bentar lagi akan masuk semester tujuh dan sibuk dengan skripsi dan KKN. Jadinya sudah melepas semua organisasi," kata Kak Hendra.
"Asyik... makan-makan! Nanti kalau kakak-kakak wisuda, traktir kita lagi loh," ujar Karin.
"Pastilah, mana mungkin kita lupa kalian. Ya nggak, Dit?" celetuk Kak Bastian sambil menepuk pundak Kak Adit. Kak Adit hanya tersenyum saja.
Tiga hari kemudian, kami mengadakan acara makan-makan. Aku dan Karin memutuskan untuk masak supaya variasi makanan lebih banyak. Acaranya diputuskan berada di rumahku, supaya lebih santai untuk mengobrol. Aku sudah meminta izin kepada Kak Salsa dan Bang Aldi. Kebetulan sabtu ini Bang Aldi ada di rumah. Hari Jumat setelah selesai kuliah, aku dan Karin berbelanja bahan untuk masak. Karin memutuskan menginap di rumahku.
"Memangnya berapa orang yang datang besok?" tanya Kak Salsa yang sedang membantu kami menyiangi sayuran.
"Tiga orang, Kak. Ada Kak Hendra, Kak Bastian, Kak Adit," jawab Karin.
"Oh, Adit! Adit yang pernah ke sini itu? Oh iya, Abang kan pernah minta dia jadi moderator di acaranya ya."
"Iya, Kak. Gimana, Kak, mau nggak punya adik ipar Kak Adit?" goda Karin sambil melirikku dengan senyuman jail.
Aku pura-pura tidak mendengar dan sibuk memotong sayuran.
"Kalau Kakak yang ditanya ya setuju aja, tapi terserah Salma. Aduh, nggak nyangka punya adik yang banyak fansnya."
"Kalian apa-apaan sih. Udah deh jangan ngegosip," tandasku.
***
"Eh, udah pada di depan!" seru Karin setelah menjawab telepon dari Kak Bastian.
Dia langsung berlari ke depan untuk membuka pintu. Aku dan Kak Salsa masih sibuk memindahkan makanan ke ruang tengah. Ketiga lelaki itu menunggu di ruang tamu sambil mengobrol dengan Bang Aldi. Mereka terdengar akrab sekali, sampai tertawa-tawa seperti teman lama baru bertemu kembali.
"Ayo pada ke dalam, makanan sudah siap," kataku kepada mereka.
Mereka masuk ke dalam dan beberapa ke dapur untuk mencuci tangan di wastafel. Hidangan yang disediakan berupa ayam goreng, sayur asem, oseng cumi, sambal terasi, tempe mendoan, es buah, dan puding. Kami pun menyantap makanan dengan lahap.
"Gimana masakannya? Ini Salma sama Karin lho yang masak. Kakak cuma bantu-bantu dikit aja," cetus Kak Salsa.
"Apalagi Salma, semangat banget masaknya," celetuk Karin.
"Pantesan masakannya enak banget. Masaknya pakai cinta," ujar Kak Hendra sambil melirik ke arah Kak Adit.
Aku pura-pura sibuk menyantap makanan. Kak Adit pun terlihat tidak terlalu merespon Kak Hendra. Setelah selesai makan, kami mengobrol di ruang tengah sambil menikmati es buah dan puding.
"Oh iya, Salma, ini novel yang saya pinjam. Maaf baru dibalikin. Makasih ya," kata Kak Adit.
"Sama-sama, Kak."
Terdengar suara Kak Hendra berdeham. Kedua matanya melirikku dan Kak Adit. Lalu Kak Hendra mengeluarkan laptop dari tas ranselnya.
"Salma, saya minta tolong dong koreksiin cerpen saya. Saya lagi mencoba nulis cerpen nih," ujar Kak Hendra.
Aku pun menganggukkan kepala dan mengambil laptop miliknya yang diberikan kepadaku. Judul cerpennya "Prioritas." Sudah seperti iklan. Isi ceritanya tentang seorang mahasiswi yang sangat aktif berorganisasi di kampus dan sangat idealis. Dia mempunyai seseorang yang disukainya, seniornya di kampus yang sudah melanjutkan ke jenjang magister. Dia menghadapi dilema antara menghadiri sidang tesis orang yang disukainya atau menghadiri debat yang diadakan organisasi yang diikutinya.
"Aku udah selesai baca, Kak. Menurut aku judulnya terlalu kaku, Kak, kayak judul artikel. Kalau cerpen harus lebih luwes dan santai bahasanya. Terus konfliknya kurang dan terlalu banyak narasi," jelasku kepadanya.
"Wah, makasih atas masukannya, tapi saya pernah baca cerpen yang isinya narasi semua. Saya di sini lebih menekankan sisi idealisnya si cewek, jadi konfliknya hanya sebatas itu. Ada masukan nggak untuk konflik yang bagus?"
"Memang bisa cerpen isinya narasi semua, cuma mungkin teknik showing dan telling harus seimbang. Tentunya pemilihan diksi yang baik menjadi daya tarik. Konfliknya bisa kayak seniornya ternyata menyukai teman si cewek. Bisa juga kalau mau menunjukkan sisi idealisnya seperti si senior melamarnya, tapi dia masih mau fokus kuliah, berorganisasi, dan masih banyak cita-citanya yang harus dicapai. Jadinya dia harus nentuin mana yang prioritas, ambisinya atau jodoh?"
"Wih, keren. Nggak salah saya minta komentar dari kamu. Pantas saja teman saya sampai klepek-klepek."
"Nggak usah mulai deh, Kak." Aku mendengkus kesal dan memberikan kembali laptop miliknya.
Menjelang sore, mereka berpamitan pulang. Karin pun ikut pulang juga, karena harus belajar menghadapi ujian akhir semester empat. Ketika selesai membereskan ruang tengah dan dapur, aku beristirahat di kamar.
Aku menaruh novel yang dikembalikan Kak Adit ke rak buku yang berada di pojokan kamar. Gawai milikku bergetar, mungkin Karin baru mengabarkan kalau sudah sampai. Seharusnya sudah sampai daritadi. Setelah kubuka, ternyata dari Kak Hendra.
Kak Hendra: Salma, saya baru saja menemukan cerpen dari Adit. Isinya tentang kamu. Waktu itu kita lagi iseng nyoba bikin cerpen. Dia sedang menginap di kost saya dan sedang ke toilet. Ini saya copy dari laptopnya.
Aku jadi tahu bahwa Kak Hendra sering membuka-buka privasi temannya. Lagi pula kenapa teman-temannya ceroboh sekali meninggalkan benda-benda penting di sekitarnya? Seharusnya mereka sudah paham dengan tabiatnya. Atau memang sengaja?
Aku pun membuka file yang dikirimnya. Judul cerpennya, "Malaikatku Telah Mati." Isi ceritanya agak mirip dengan cerpen Kak Hendra, yaitu tentang seorang mahasiswi yang aktif di organisasi. Cuma dari sudut pandang seorang lelaki yang menyukainya. Sang lelaki berusaha mengobati stres si wanita yang disukainya. Si wanita stres akibat tekanan kehidupan kuliah dan organisasi. Namun si wanita berakhir dengan bunuh diri dan si lelaki menyesal tidak berhasil menyelematkannya.
Setelah aku membacanya sampai selesai, aku masih tak paham. Apa hubungannya denganku? Sebenarnya aku ingin tertawa membacanya. Dua orang seniorku ini memang terkenal jago menulis non fiksi. Namun terasa aneh ketika menulis fiksi. Mungkin baru awal menulis dan masih agak kaku. Tiba-tiba Kak Hendra mengirimiku pesan kembali.
Kak Hendra: Sudah baca?
Salma: Udah. Terus apa hubungannya?
Kak Hendra: Wanita yang ada di cerita itu kamu. Kamu kan sibuk berorganisasi sampai waktu itu kamu jatuh sakit, karena banyak tugas dan harus menulis jurnal. Dia itu khawatir banget waktu kamu sakit, dia takut kehilangan kamu.
Salma: Nggak nyambung kali, Kak. Udah, Kak, jangan suka buka-buka privasi teman sendiri. Aku mau istirahat dulu.
Kak Hendra: Saya bicara serius. Lihat saja nanti.
Mulutku bisa saja menolak dengan ucapan tidak percaya. Namun hatiku berkata lain, aku seperti ditiup semilir angin musim semi. Ada kehangatan sekaligus kesejukan. Tidak pernah kurasakan sebelumnya. Namun aku harus menepiskan semuanya. Bagas saja yang secara terang-terangan merayuku, aku masih tidak yakin dengan perasaannya. Apalagi Kak Adit yang mengirim pesan hanya ketika penting saja. Dia tidak pernah berbicara kecuali ketika berkumpul bersama. Itu pun hanya sebatas bertukar pikiran seperti halnya teman biasa. Aku harus akui bahwa aku sangat nyaman di dekatnya. Kami saling cocok satu sama lain ketika berbicara. Tak ayal jika sudah berbicara satu sama lain sampai lupa waktu. Apakah selama ini dia menyembunyikan perasaannya kepadaku?