“Oke. Stop, Pak,” ujar Nadia memindai A Latte yang berdiri dengan elegan. Nadia mengulas senyum saat melihat beberapa pelanggan yang menikmati kopi dan bercengkrama di bawah kanopi. Ia mengeratkan gendongan Satria sebelum turun dari taksi.
“Biar saya bantu keluarin kereta bayinya, Bu.”
Nadia mengangguk pada supir yang sigap menolongnya. Wanita itu memberi uang padanya dan perlahan mendorong keretanya. Satria tertidur tenang setelah tadi minum susu.
Rania menyambut Nadia dengan senyuman ramah sebelum mengarahkannya untuk duduk di dalam. Rania memastikan kereta bayi itu tidak jauh dari jangkauan Nadia. Ia menggeser meja dan meminta Nadia duduk di sofa.
“Terima kasih. Oh ya, Damian ada di kantornya, kan?” tanya Nadia ramah.
Rania mengangguk. “Ada perlu, Bu? Biar saya panggilkan.”
“Boleh. Bilang Nadia mau ketemu.”
Rania mengiakan sebelum melesat pergi.
Damian mengernyitkan kening melihat Nadia yang menatap Satria lembut. Lelaki itu menghampiri Nadia dan mencium tangan wanita itu.
“Mama kenapa kemari? Terus Satria nggak papa dibawa jalan jauh?” tanya Damian beruntun.
Nadia mengulas senyum dan menatap anaknya dalam. “Mama mau pastikan kamu baik-baik aja. Kamu juga nggak balas pesan dan telepon Mama. Mama kan jadi kepikiran. Nih, Satria tidur nyenyak,"ujar Nadia penuh emosi.
Damian menatap anak lelakinya hingga terbitlah senyum yang merekah menuntunnya dalam kedamaian.
“Ma, aku bawa Satria ke kantorku aja. Biar dia nggak keganggu. Mama juga bisa istirahat di sana.” Nadia mengiakan, membiarkan Damian mengambil alih Satria. Jauh di belakang mereka, dari tirai jendela yang terbuka Rania dan Fino mengamati setiap gerakan keduanya.
“Itu anak Pak Bos, Ran? Tapi sama siapa? Perasaan nggak pernah ada cewek yang sering dibawa Pak Bos. Aduh, gimana kabar Dhisti kalau dia tahu berita ini?”
Rania mendesah pelan. Ia tidak mungkin memberitahu Fino tentang Damian dan Laras. Bisa-bisa ia kehilangan pekerjaannya kalau berita itu tersebar luas di A Latte.
“Mana gue tahu. Yang jelas kita bisa lihat Pak Bos nggak marah aja udah cukup,” jawab Rania dengan lugas.
Dhisti yang hendak ke pantry tertegun melihat dua temannya memindai sesuatu. Wanita itu menjawil pundak keduanya. “Eh, lagi ngintip apaan sih kalian?”
Fino dan Rania menoleh pada Dhisti. Keduanya meletakkan jari telunjuk di bibir memberi tanda pada Dhisti untuk diam.
“Dhis, ada bad news. Tapi gue harap, lo tetap yakin kalau udah jodoh pasti nggak ke mana”, ucap Fino lirih.
Dhisti mengernyitkan kening seiring pandangannya yang terarah pada ruangan kaca. Dua sosok yang selama ini menguasai hatinya hadir di tempat yang sama. Dhisti menelan ludah berniat untuk berbalik. Namun, Nadia lebih dulu melihatnya. Wanita paruh baya itu melambaikan tangan padanya sambil tersenyum ramah. Tak lama Nadia membuka pintu kaca dan memanggil Dhisti.
“Dhis, kemari sebentar,” ujar Nadia sedikit berteriak.
Wanita bermata almond itu bergeming di tempatnya. Ia belum siap berhadapan lagi dengan Nadia atau Damian. Tapi ia tidak punya pilihan lain. “Iya, Tan. Ada apa?”
Nadia mengelus pelan lengan Dhisti dan tersenyum. “Dhis, sebelumnya terima kasih udah mengurus Damian. Dia kadang nggak mau dikompres lukanya kalau di rumah. Ada aja alasannya buat menghindar.”
Dhisti mengulum bibir belum tahu berkata apa. Wanita itu mengalihkan pandang pada Satria yang tertidur. “Loh ada Satria juga, Tan?”
“Iya. Mumpung dia lagi anteng, Tante mau ajak kamu makan siang.. Ah, sama Dami tentunya.”
Damian menghela napas panjang. “Ma, Dhisti bisa sendiri. Lagian ini masih jam kerjanya.”
Nadia berdecak. “Apa salahnya fleksibel sedikit, Dami? Kamu bisa minta tolong karyawan lain kan?”
Damian menatap Nadia yang menatapnya lembut tapi dalam. “Oke. Aku minta Fino buat siapkan semuanya.”
**
Nadia tersenyum lebar melihat hidangan yang tersaji di meja. Harum ikan mujair asam manis dan capcay sangat menggoda selera. Nadia mengucapkan terima kasih pada Fino dan Rania sebelum duduk di tengah. Dhisti memainkan ujung bajunya dan menunduk. Ia belum siap bertatapan dengan Damian yang duduk di depannya.
“Tante senang kita bisa bareng begini, “ ujar Nadia menatap keduanya.
Pandangan Damian lekat pada Dhisti seakan bisa menghunusnya hingga ke dalam hati. Lelaki itu tidak pernah mengerti dengan perasaannya yang membawanya dalam kenyamanan saat bersama Dhisti. Ada kalanya ia lelah menghujani wanita itu dengan amarah tapi ia belum siap mengakui rasa cinta itu.
Ah, terlalu cepat untuk mengatakan itu, batin Damian.
“Kalian baik baik aja, kan?” tanya Nadia, memandang keduanya bergantian.
Dhisti mengangguk cepat dan melirik Damian.
“Iya, Ma. Memangnya ada yang aneh?”
Nadia memperhatikan keduanya dengan lekat merasakan energi yang berbeda. “Kalau ada yang mengganjal lebih baik dibicarakan. Bukannya ikut campur tapi semua buat kebaikan kalian,” ujar Nadia lagi.
Dhisti mendongak dan menatap Damian yang balik menghunus matanya tajam. Wanita itu sungguh tidak mengerti dengan perasaannya. Dhisti mengalihkan pandangan pada tanaman palma yang rimbun.
“Oh, ngomong-ngomong, kamu kenapa tiba tiba minta resep roti cokelat sama Mama, Dami? Itu kan udah lama banget jadi menu andalan A Latte.”
Damian mengulas senyum. “Aku ada rencana buat menghadirkan nostalgia menu buat menarik lebih banyak pelanggan, Ma. Juga kalau ada orang lama yang kangen makan itu.”
Nadia mengangguk sambil mengunyah sayuran. “Mama dukung tiap usahamu, Dami. Mama yakin kamu bisa membuat A Latte makin terkenal.”
Damian mengiakan dengan mantap dan melirik Dhisti yang asyik memakan ikan. Entah apa yang mendorongnya untuk kembali menyindir wanita itu setelah ia susah payah menghalau rasa itu.
“Mereka bilang, lebih mudah makan ikan pakai tangan. Biar nggak kemakan durinya. Tapi kalau kamu memang mau ngerepotin saya, sorry. Saya nggak ada waktu buat bantuin.”
Dhisti memajukan bibir mendengarnya. Lelaki itu mulai menunjukkan lagi keangkuhannya seakan tidak pernah puas. “Kan lagi makan bersama, Pak. Lagian nggak sopan aja kalau begitu konsepnya. Ikannya juga gampang dipotong pake garpu, kok. Ini table manner yang baik, Pak,” jawab Dhisti tidak mau kalah.
“Oh, gayanya. Biasa juga kamu kalau makan nggak peduli rapi atau nggak.”
Dhisti mendesah kesal. “Kayak Bapak tahu aja.”
Nadia menahan tawa melihat keduanya yang beradu pendapat, tidak ada yang mau mengalah. “Dami, jangan terlalu menuntut. Dhisti ada benarnya juga. Kamu itu sebagai pimpinan hargailah pendapat karyawanmu. Apalagi ini Dhisti, yang sudah lama membantumu.”
Dhisti mengiakan perkataan Nadia, mengingat ia kehilangan kata kalau harus melawan Damian. Lelaki itu kadang sulit untuk mengakui kekalahannya.
“Ma, Dhisti kan suka ngelamun. Mana dia tahu kalau tiba-tiba durinya tertelan terus stuck di tenggorokan?”
Dhisti menggeleng, tak percaya jika Damian merepotkan masalah duri ikan setelah tadi membuatnya tidak karuan.
Di sampingnya, Nadia mengulas senyum. “Buktinya Dhisti baik-baik saja. Kamu terlalu khawatir, Dami. Tapi itu tandanya peduli, kan? Dan Mama senang kalau kamu mulai membuka hati.”
Dhisti tertegun mendengarnya dan pikirannya kembali saat lelaki itu menatapnya dalam. Dan sentuhan tangan Damian di pipinya masih terasa hangat sampai sekarang. Dhisti mendesah pelan. Ia ingin Nadia tahu tentang perlakuan Damian yang sebenarnya tapi ia tidak punya daya untuk itu. Biar saja waktu yang menjawab.
Damian terdiam sejenak dan mencerna perkataan Nadia. Lelaki itu tidak menyangka jika hal seremeh ini malah menuntunnya pada rasa itu lagi. Ketenangan yang bercampur penghalang. Lelaki itu mendesah pelan dan menuang air ke gelasnya. Ia tidak mau lagi terlibat dalam percakapan ini.
“Ma, aku masih ada kerjaan. Lanjutkan aja makannya. Oh, dan kamu, Dhis. Jangan leyeh-leyeh abis makan. Bantuin Mama jagain Satria tapi juga lihatin anggotamu.”
“Dami, bicaranya jangan gitu. Biar Dhisti temenin Mama dulu.”
Dhisti mengulas senyum penuh kemenangan dan membiarkan Damian pergi dengan kesal.
**