Loading...
Logo TinLit
Read Story - Teman Hidup
MENU
About Us  

Pagi kembali menyapa tiap makhluk, memberi kesempatan untuk menjalani hari baru. Damian mengambil kunci mobil dan tas kerjanya sebelum membuka pintu kamar. Nadia yang sedang menata piring di meja makan, menoleh. Wanita itu mengamati anaknya yang berpakaian rapi. 

"Kamu yakin mau kerja, Dami? Lukamu belum pulih benar, loh," ujar Nadia mengelus pelan pipi lelaki itu.

"Udah mendingan, Ma. Lagian nggak enak kalau kerja di rumah. Aku perlu memantau kinerja di A Latte," jawab Damian.

Nadia mendesah pelan, menyadari ada ketegasan dalam nada suara Damian. 

"Ya udah, hati-hati di jalan dan jangan paksakan diri kalau nggak kuat."

Damian mengiakan sebelum mengecup pipi Nadia lembut. "Aku titip Satria, Ma. Kalau dia nangis, video call aku."

Nadia mengulas senyum walau hatinya tidak tenang. 

**

Damian menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang sambil memikirkan apa lagi yang harus ia lakukan untuk kelangsungan A Latte. 

"Apa aku coba buat menghadirkan kopi legendaris A Latte, ya?"

Lelaki itu memelankan lajunya ketika melewati kafe Auriga. Banyak kendaraan  yang memenuhi area parkir. Belum lagi promosi yang berbeda tiap minggunya. Tania dan Auriga sepertinya serius menekuni bidang ini. Damian mendesah dan teringat dia harus bangkit dan usaha lebih keras lagi.

Ayla hitamnya menjadi satu-satunya mobil yang terparkir di A Latte. Lelaki itu  mengedarkan pandang ke segala penjuru teras kafe. Belum ada pelanggan yang datang. Hanya ada Rania yang membersihkan meja. 

"Pagi, Pak. Eh, tunggu. Bapak nggak papa?" tanya Rania menunjuk pipi Damian. 

Lelaki itu berdecak. "Kalau saya sakit ngapain masuk? Lanjutin kerjanya. Oh ya, tolong panggilkan Fino dan Dhisti ke kantor. Sekarang, ya."

Rania memberi hormat dan berlalu dari hadapan Damian.

Lelaki itu menaiki anak tangga dengan pigura yang menampilkan beberapa pencapaian A Latte. Damian mengulas senyum sebelum duduk di kursinya. Sejenak ia memperhatikan setiap detail di kantornya. Ruangan itu tidak terlalu luas tapi dengan pot-pot tanaman hijau yang tertata rapi di rak dan di sudut membuat suasananya jadi lebih asri. Damian memang menyukai konsep alam yang membuat kinerjanya jadi lebih maksimal.

"Permisi, Pak," ujar Fino ramah.

Damian berbalik dan mendapati dua karyawannya yang berdiri dekat pintu. Fino terperangah menyadari kedua pipi Damian yang sedikit biru seperti habis dipukul. Fino menoleh pada Dhisti. Wanita itu mematung, memandang Damian dengan debaran di dada.

"Maaf, Pak. Bapak yakin nggak papa?" tanya Fino mendekati meja  Damian.

Damian mengangkat bahunya. "Cuma luka sedikit. Nggak usah khawatir. Duduk. Saya ada hal penting yang perlu disampaikan."

Keduanya menurut dan mendengarkan dengan saksama walau Dhisti lebih banyak memperhatikan Damian.

"Gimana, ada pertanyaan?"

"Saya setuju Pak kalau kita menghadirkan lagi menu nostalgia A Latte tiga tahun yang lalu. Saya yakin banyak yang mau berkunjung lagi," ujar Fino dengan mantap.

Damian mengangguk sebelum berpaling pada Dhisti.

"Hm, saya sependapat. Selama komoditasnya masih bisa dicari dan bisa mengembalikan kejayaan A Latte, kenapa nggak?"

Damian mengiakan dan segera meminta Fino untuk merekap hasil rapat sebelum mengaplikasikannya.

"Pak, saya ambilin kompres, ya. Tante Nadia bilang, Bapak tetap harus melakukan ini," ujar Dhisti setelah Fino meninggalkan ruangan.

"Saya baik-baik aja. Udah sana, balik kerja," ujar Damian dengan tegas.

Dhisti menghembuskan napas dengan kesal. Biar bagaimanapun ia harus memastikan Damian cepat pulih. Hatinya tidak karuan melihat lelaki itu kesakitan. Wanita itu pamit dan mengambil baskom serta kain di pantry. Rania membulatkan mata melihat sahabatnya yang menyiapkan semua itu. 

"Mau ngapain lo, Dhis? Eh, itu Pak Bos habis berantem apa gimana?"

Dhisti mengambil sedikit air dingin sebelum mencelupkannya di kain. "Panjang ceritanya, Ran. Sebentar ya," ujar Dhisti sebelum berlalu.

Rania mendesah pelan. Sepertinya ada hal besar yang terjadi. Wanita itu mengangkat bahunya dan melanjutkan pekerjaannya.

Damian membulatkan mata melihat Dhisti yang membawa baskom. Wanita itu mengulas senyum simpul, menenangkan detak jantungnya yang bertalu dua kali lebih cepat. Perlahan ia mendekati meja kerja Bosnya. 

“Saya bantu ya, Pak,” ujar Dhisti pelan.

Damian terdiam lama. Ia tahu Nadia pasti memikirkan keadaannya tapi ia tidak pernah menyangka kalau Nadia meminta tolong pada Dhisti.

Lelaki itu kembali menatap Dhisti yang menunduk. Sejenak Damian memperhatikan wanita itu yang beberapa waktu terakhir membuatnya merasakan ketenangan sekaligus rasa yang menuntunnya dalam relung penuh tanya. Well, apa salahnya memberi kesempatan pada wanita itu?

“Atau Bapak mau sendiri aja?” tanya Dhisti memecah keheningan.

Damian menarik kursi terdekat dan meletakkannya di depan kursinya. Dhisti memperhatikan gerakan Damian dengan penuh dugaan. Tak lama, lelaki itu menunjuk dengan dagunya. 

“Okay. kamu duduk di situ. Saya nggak bisa sendiri kalau nggak ada cermin,” ujar Damian.

Dhisti menelan ludahnya dan melangkah menuju kursi itu. Damian lekat menatap wanita itu yang kini memeras kain. Dhisti menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan sebelum mengangkat tangannya, mendekati wajah Damian. Rupanya kursi itu lumayan berjarak dengan Damian. Dhisti harus memanjangkan tangan demi tercapainya tujuannya.

“Majuin kursinya, Dhis. Kamu takut sama saya?” ujar Damian santai.

Dhisti mendesah pelan dan melakukan instruksi yang membuat hatinya tak karuan. Dengan kain di tangannya, Dhisti menempelkannya pada luka Damian yang mulai membaik.

Kecemasan yang awalnya melingkupi hati Dhisti kini berubah jadi kelegaan. Wanita itu mengulas senyum tipis tapi Damian bisa melihatnya. Lelaki itu sejenak merasakan ketenangan yang sama.

“Pelan-pelan, Dhis. Kadang masih perih tahu nggak?” ujar Damian, mengusir rasa tadi. Ia tidak mau terlalu cepat mengakui rasa itu.

“Iya, Pak.  Saya ngerti.”

Dhisti kembali menatap wajah yang selama ini ia kagumi. Ia tidak tahu ke mana hatinya membawa rasa ini. Yang jelas, wanita itu merasakan kenyamanan saat ada Damian di dekatnya. Walau Damian jarang bersikap lembut dan kesannya selalu memberi perintah, Dhisti tetap merasakan ada sesuatu dalam diri lelaki itu yang membuatnya rapuh. Dan Dhisti yakin, ia bisa menambalnya. Entahlah, timbal balik apa yang saat ini Dhisti pikirkan.

“Kamu memang hobi ngelihatin saya, ya?”

Dhisti terperanjat mendengarnya. “Hah? Nggak kok, Pak. Saya kan memang harus lihat Bapak lebih dekat. Nanti saya salah kompres,” jawab Dhisti, menguasai dirinya dengan susah payah. 

Damian mengangkat bahunya. “Udah, sini saya aja yang lanjutin,” ujar Damian, mengambil alih kain yang dipegang Dhisti. Lelaki itu mengambil kain di genggaman tangan Dhisti, tapi ia malah merasakan desiran hangat dalam hatinya. Bersentuhan lagi dengan tangan Dhisti, lelaki itu menatap manik hitam wanita itu menemukan sinar penuh kelembutan di sana. Refleks Damian menyentuh wajah Dhisti dan menatap matanya dalam. Wanita itu terpana dengan perlakuan Damian. Ia terdiam, membiarkan hatinya dipenuhi kenyamanan tadi.

Lelaki itu sejenak teringat Laras dan perkataan Auriga. Tak lama, ia menarik tangannya dan beranjak dari tempatnya, memandang taman belakang. Dhisti terperanjat, membiarkan kain itu terjatuh. 

“Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu, Dhis. Dan, maaf. Saya nggak ada maksud jahat ke kamu. “

Dhisti tidak mengerti apa yang terjadi hingga Damian begitu cepat berubah. Bukannya ia berharap lebih, tapi ia perlu kepastian akan rasa ini. Dhisti mendesah pelan, menyadari dia tidak akan pernah bisa mencapai hati Damian. Wanita itu berdiri membereskan barangnya dan pergi tanpa menoleh lagi. Setelah ini, Dhisti tidak tahu harus bagaimana bersikap di hadapan lelaki itu. Sementara itu, Damian berulang kali menyadarkan dirinya kalau ia belum siap untuk menerima dan memberi cinta. Pengalaman yang menyakitkan dengan Laras yang tidak membalas rasanya masih membekas. Belum lagi dengan perkataan Auriga yang merendahkannya seakan dia hanya pengejar kenikmatan wanita. 

Damian menutup matanya dan merasakan sentuhan Dhisti lewat kain tadi. Ia masih bisa merasakan ada kasih tulus yang membawanya dalam rasa cinta yang menenangkan. Namun, ada satu penghalang yang membuatnya tidak bisa mengakuinya. 

“Dhis, saya nggak mau kamu nggak bahagia nantinya. Jadi, lebih baik kita sendiri dulu sampai ada masanya kita mengungkapkan rasa dengan bebas.”

**

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Segaris Cerita
513      276     3     
Short Story
Setiap Raga melihat seorang perempuan menangis dan menatap atau mengajaknya berbicara secara bersamaan, saat itu ia akan tau kehidupannya. Seorang gadis kecil yang dahulu sempat koma bertahun-tahun hidup kembali atas mukjizat yang luar biasa, namun ada yang beda dari dirinya bahwa pembunuhan yang terjadi dengannya meninggalkan bekas luka pada pergelangan tangan kiri yang baginya ajaib. Saat s...
Meteor Lyrid
477      338     1     
Romance
Hujan turun begitu derasnya malam itu. Dengan sisa debu angkasa malam, orang mungkin merasa takjub melihat indahnya meteor yang menari diatas sana. Terang namun samar karna jaraknya. Tapi bagiku, menemukanmu, seperti mencari meteor dalam konstelasi yang tak nyata.
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
372      271     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Say Your Love
500      372     2     
Short Story
Dien tak pernah suka lelaki kutu buku sebelumnya. Mereka aneh, introvert, dan menyebalkan. Akan tetapi ada satu pengecualian untuk Arial, si kutu buku ketua klub membaca yang tampan.
Pertama(tentative)
914      489     1     
Romance
pertama kali adalah momen yang akan selalu diingat oleh siapapun. momen pertama kali jatuh cinta misalnya, atau momen pertama kali patah hati pun akan sangat berkesan bagi setiap orang. mari kita menyelami kisah Hana dan Halfa, mengikuti cerita pertama mereka.
Rasa Itu
697      512     0     
Short Story
Premium
Cheossarang (Complete)
10649      1834     3     
Romance
Cinta pertama... Saat kau merasakannya kau tak kan mampu mempercayai degupan jantungmu yang berdegup keras di atas suara peluit kereta api yang memekikkan telinga Kau tak akan mempercayai desiran aliran darahmu yang tiba-tiba berpacu melebihi kecepatan cahaya Kau tak akan mempercayai duniamu yang penuh dengan sesak orang, karena yang terlihat dalam pandanganmu di sana hanyalah dirinya ...
Percikan Semangat
874      478     1     
Short Story
Kisah cinta tak perlu dramatis. Tapi mau bagaimana lagi ini drama yang terjadi dalam masa remajaku. Cinta yang mengajarkan aku tentang kebaikan. Terima kasih karena dia yang selalu memberikan percikan semangat untuk merubahku menjadi lebih baik :)
Seperti Cinta Zulaikha
1805      1173     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
Wake Me Up With Amnesia
770      476     2     
Short Story
who would have thought that forgetting a past is a very difficult thing