Hari masih pagi tapi dapur keluarga Prasetya sudah sibuk. Sebuah mangkuk plastik yang berisi potongan wortel dan daun bawang itu ada di dekat kompor, sementara botol-botol berisi rempah-rempah memenuhi meja. Beberapa sendok dan garpu yang habis dipakai ada di wastafel, menanti dibersihkan. Di dekat mangkuk kosong, ada pisau dan kulit bawang yang berceceran. Seakan menambah riuh, cangkir-cangkir teh yang mengepulkan asap ada di dekat botol kaca yang berisi bubuk cabe kering.
Damian menyalakan keran dan mencuci beras, membiarkan air di panci mendidih. Di dekatnya, gawainya menyala, menampilkan video seseorang yang membuat bubur ayam.
"Abis ini, siapkan potongan ayamnya. Eh, tapi ada nggak ya, di kulkas?" tanya Damian, meninggalkan pekerjaannya. Lelaki itu belum membuka kulkas saat pagar depan terbuka.
Damian mematikan kompor sebelum menemui Dhisti. Wanita itu menyapa Damian dengan ramah sebelum menyelipkan rambutnya yang mencuat ke belakang telinga.
Sejenak, Damian memperhatikan wajah itu dan menyadari ada ketenangan yang mengalir di hatinya. Damian membiarkan rasa itu hadir, menyadari ada yang berbeda dari Dhisti. Wanita itu mengenakan kemeja hitam motif hati dan celana panjang hitam. Lengan kemejanya yang pendek menampilkan keindahan tersendiri saat Dhisti yang mengenakannya. Renda yang menghiasi pakaian Dhisti mempercantik penampilan. Damian belum pernah merasa begitu damai saat memandang seseorang. Dhisti mengulas senyum tipis, menyadari tatapan Damian yang begitu intens, tapi ia tidak ingin menyelam lebih dalam.
"Pak, saya langsung ke Tante Nadia atau Satria?" tanya Dhisti.
Damian segera mengusir pikiran tadi dan memasang wajah tegas. "Kamu lama banget sih, nyampenya? Bantuin saya dulu buat bubur. Harus enak, ya," balas Damian sebelum berbalik.
Dhisti mendesah pelan sebelum mengiakan perkataan Bosnya. Wanita itu mengikuti langkah Damian dan seketika membulatkan mata melihat kekacauan di dapur.
"Ini Bapak mau masak atau perang? Berantakan banget, sih. Fino bisa nangis lihat ini, Pak," ujar Dhisti menggelengkan kepala.
Damian menoleh pada Dhisti sambil memasukkan beras ke panci. "Nggak usah menghina begitu, Dhis. Makannya saya minta kamu kemari untuk bantuin. Dan nggak usah bawa-bawa Fino. Tugas dia bukan beresin dapur, kan?"
Dhisti memajukan bibir dan melangkah perlahan menuju meja saji. Melawan Damian tidak akan menemukan ujung yang membahagiakan. Wanita itu melepas tas selempangnya dan meletakkan buket bunga dengan hati-hati. Damian menoleh dan menaikkan alisnya.
"Ngapain kamu beli mawar?"
Dhisti mengulas senyum, melirik mawar putih dan desi merah muda. Hiasan pita dengan warna senada menambah kesan manis. "Buat Tante Nadia. Mereka bilang, orang yang sakit akan cepat pulih kalau lihat bunga."
Damian berdecak. "Terserah kamu. Udah, ini tolong kamu lanjutin. Saya mau cek Mama dan Satria. Oh ya, sekalian siapkan susu buat Satria. Tadi udah habis.”
Dhisti mengiakan sebelum berjalan mengambil alih pekerjaan Damian. Perlahan, Dhisti mengaduk beras di panci sambil memindai yang lain. Ia harus mempersiapkan pelengkapnya agar lebih cepat selesai. Tangan Dhisti bergerak cepat sambil menyiapkan semuanya.
Sementara itu, Damian menatap Nadia yang terbaring lemah. Wajahnya terlihat lemah dan sedikit pucat. Damian perlahan membenarkan letak selimut ibunya.
"Ma, sebentar lagi makan, ya. Abis itu minum obat," ujar Damian lembut.
Nadia membuka matanya walau sulit dan menatap Damian. "Nanti aja, Dami. Mama belum lapar."
Damian mendesah pelan. Kemarin malam Nadia mengeluh kepalanya sakit. Damian sudah memintanya untuk beristirahat tapi Nadia malah sibuk mengurus Satria. "Ma, lain kali kalau badannya nggak enak jangan dipaksa. Mama ada darah rendah soalnya."
Nadia mengangguk lemah mengerti dengan kecemasan Damian.
"Katanya Dhisti mau kemari," ujar Nadia lirih.
Damian mengembuskan napas, menyadari Nadia yang sepertinya sangat mengharapkan kehadiran Dhisti. "Iya. Dia lagi siapkan bubur buat Mama."
Tak lama Dhisti memasuki kamar membawa nampan. "Halo, Tante. Selamat pagi," sapa Dhisti lembut.
"Aku masakin bubur sama bawain bunga buat Tante," lanjut Dhisti lagi.
Nadia mengulas senyum kala matanya melihat bunga kesukaannya. "Wah, makasih, Dhis. Indah sekali bunganya."
Damian membantu Nadia untuk duduk sambil mengatur bantal di punggung ibunya agar lebih nyaman.
“Ini kamu harus letakkan bunganya di vas, Dami. Tambah air sedikit saja,” ujar Nadia, menunjuk buket.
Damian mengiakan sebelum membuka jendela lebih lebar, memberi kesempatan udara pagi untuk memasuki ruangan. Dhisti menatap Nadia lembut dan meraih tangan wanita paruh baya itu.
“Tante makan dulu, ya. Aku suapin.” ujar Dhisti.
Nadia mengangguk dan membiarkan kehangatan bubur memberinya energi. Namun, kehadiran Dhisti lebih dari segalanya.
"Tante kayaknya terlalu sibuk. Makannya diminta istirahat. Tapi nggak nyaman, Dhis. Biasanya jam segini udah sama Satria," ujar Nadia setelah buburnya tandas.
Dhisti mengiakan dan meraih tangan Nadia. "Kan, ini demi kebaikan Tante juga. Nanti setelah pemulihan Tante harus lebih ekstra menjaga kesehatan."
Nadia mengangguk dan menatap dalam wajah Dhisti yang tersapu make-up tipis. "Tante perlu kamu buat jadi pengingat dan teman ngobrol, Dhis."
Dhisti mengernyitkan kening mendengarnya. "Maksudnya, Tan?"
"Suatu hari nanti kamu pasti ngerti. Damian walau kadang ketus, hatinya baik dan penuh cinta. Tapi terlebih buatmu, Dhis. Dia akan melakukan apapun buat menjagamu.”
Damian bertukar pandang dengan Dhisti. Keduanya terperanjat mendengar perkataan Nadia. Namun, Damian lebih dulu menguasai dirinya. “Ma, please. Lebih baik istirahat, ya?”
Dhisti membenarkan perkataan Damian sebelum membereskan mangkuk dan gelas.
“Kalian ini memang pandai menyangkal,” ujar Nadia, mengulas senyum.
Damian menggeleng sebelum keluar dari kamar ibunya, meninggalkan Dhisti. "Sebentar aku lihat Satria ya, Tan. Aku kembali lagi buat bantuin Tante minum obat."
Wanita paruh baya itu mendesah pelan ketika dua orang itu pergi dan kembali berbaring. Nadia yakin, keadaannya sudah lebih baik sekarang. Ya, kadang hal sederhana pun bisa membuat beban sedikit terangkat.
**
Di dapur, Dhisti berusaha untuk menyibukkan pikirannya agar tidak fokus pada perkataan Nadia. Wanita itu mengembuskan napas berkali-kali sebelum mencuci piring. Caranya berhasil dan ia bisa sedikit lebih tenang. Namun, ia kembali mempertanyakan perasaannya. Dhisti menggeleng dan segera mengelap meja makan sebelum membersihkan laci. Dehaman Damian membuat wanita itu menghentikan pekerjaannya. Dhisti berbalik dan menemui lelaki yang selama ini menjungkirbalikkan hatinya.
“Jangan kamu berharap lebih sama saya, Dhis,” ujar Damian.
Wanita itu mengernyitkan keningnya. “Saya nggak ngerti, Pak.”
Damian berdecak kesal. “Saya cuma lagi mikir kalau kamu berharap saya mengambil langkah lebih jauh. Seperti menjalin hubungan serius, misalnya. Well, ingat ya. Mama cuma nggak tenang lihat saya yang masih single.”
Dhisti perlahan menatap manik cokelat Damian yang berkilat penuh ketegasan. Dhisti teringat saat kali pertama ia mengenal lelaki itu yang penuh karisma. Namun, wanita bermata almond itu tidak menyangka jika perasaannya berubah. Betapa rumitnya cinta.
“Dhis, ngerti kan?”tanya Damian, tak sabar.
Wanita itu mengiakan sebelum melanjutkan pekerjaannya. Damian mengangguk dan memberi perintah agar Dhisti memasak makan siang untuk Nadia.
“Nanti saya pesan makanan aja buatmu, okay?”
Dhisti belum menjawab saat tangisan Satria terdengar. Damian, tanpa memberi perintah lagi, segera berjalan cepat untuk menemui anaknya. Dhisti mengikuti langkah lelaki itu dan mengintip dari balik pintu. Di dalam, Damian memainkan kincir angin sambil menyanyikan lagu sambil menggoda Satria dengan perkataan yang dibuat serupa anak kecil. Meski Dhisti tidak bisa melihat Satria, tapi wanita itu yakin, anak itu kini tertawa bahagia. Dhisti mengembuskan napas, tak pernah mengerti dengan Damian yang begitu cepat berubah. Wanita itu menemukan Damian yang begitu perhatian tapi dalam hitungan menit, dia akan kembali bersikap menyebalkan.
"Tapi anehnya, aku nggak pernah bisa membencimu, Damian," ujar Dhisti, lirih.
**