Nadia membulatkan mata saat Rendra mengantar Damian. Wajahnya lebam dan berwarna biru. Wanita itu tak percaya dengan apa yang Damian alami.
“Kamu kenapa, Dami?”
Rendra mengulas senyum tipis pada Nadia. “Anakmu ini sok jagoan, Nad. Tapi pasti dia punya alasan kuat.”
Nadia mengelus pelan pipi anaknya dan meringis saat menyadari Damian yang mengaduh kesakitan.
“Lukanya udah dibersihin, Nad. tapi kamu harus sering kompres biar cepat sembuh,” ujar Rendra lagi.
“Makasih ya, Ren. Ayo, masuk dulu. Aku buatkan teh.”
Rendra menggeleng pelan. “Aku cuma memastikan Damian nggak berbuat yang aneh lagi. Oke, Nad, sampai kita ketemu lagi. Dam, jaga dirimu, ok?”
Damian mengiakan mengusap pelan lengan Rendra sebagai wujud terima kasih.
Nadia menuntun Damian sebelum memintanya duduk di ruang tengah. Wanita paruh baya itu lalu membuka lemari dan mengambil baskom. “Kamu ada masalah apa, Dami? Dan kenapa harus sampai berantem? Kamu kayak anak kecil tahu nggak,” ujar Nadia, menuang air dingin ke baskom.
Damian menghela napas, kembali teringat perkataan Auriga. Damian tidak pernah menduga jika sahabatnya malah memasukkannya ke jurang terdalam. “Nggak papa, Ma. Hal biasa kalau aku melampiaskan emosi.”
Nadia mengembuskan napas kesal. Wanita itu tahu Damian tidak menceritakan yang sebenarnya.
“Pasti ada yang memicu, kan? Nggak mungkin tiba-tiba kamu meninju orang,” ujar Nadia duduk di sebelah anaknya.
Damian memandang langit-langit dan membiarkan Nadia mengompres pipinya. Kain basah yang bertemu dengan lukanya membuat lelaki itu meringis.
“Ma, pelan-pelan. Masih perih,” ujar Damian lirih.
“Tahan. Tapi kamu tumben ketemu Rendra. Ada hal penting?” tanya Nadia, mengalihkan pembicaraan.
Damian menatap Nadia sejenak. “Kami mau kerjasama, Ma. Dan nggak sengaja aku ketemu Auriga.”
Nadia mengernyitkan kening mendengar nama itu. Damian menghela napas, menyadari tidak mungkin lagi ia mengelak. Nadia mengamati wajah anaknya hingga Damian menceritakan kronologisnya.
Nadia terdiam sejenak, mencerna perkataan Damian. “Bukan soal siapa yang benar dan salah, Dami. Tapi gimana kamu menguasai dirimu. Kamu bisa bilang kalau kamu memang mencintai Laras tapi caramu kurang tepat. Tapi Mama nggak bisa mengatur kendalimu. Semua udah terjadi, kan?” ujar Nadia.
Wanita itu menatap pigura foto di dinding saat Yoga, suaminya, masih ada. Kerinduan menyeruak dalam hatinya tapi ia tetap memilih kuat dalam rasa itu.
Damian meraih tangan Nadia dan meremasnya lembut. “Aku belum sempurna untuk jadi anak kesayangan Mama. Selalu ada hal yang buat Mama sedih. Tapi hebatnya Mama nggak pernah bosan memperhatikanku. Terima kasih ya, Ma.”
Nadia mengulas senyum dan menatap manik cokelat Damian. “Walaupun kamu sering buat Mama kepikiran, Mama yakin kamu anak yang tahu membedakan hal baik dan buruk. Sekarang kamu sedang ditempa untuk menjadi versi terbaikmu.”
Damian membenarkan perkataan Nadia sebelum memeluknya erat. Lelaki itu lupa jika ada luka yang di punggungnya. Refleks ia memegang bagian yang sakit.
“Ada yang luka, Dami?” tanya Nadia cemas.
Damian mengiakan, membiarkan Nadia membantunya untuk membuka kausnya. Nadia kembali membulatkan mata seiring hatinya yang terluka. Biar bagaimanapun, wanita paruh baya itu hanya menginginkan Damian dalam keadaan baik. Luka itu memanjang di bagian pinggir. Warna kulit lelaki itu yang gelap memang menyamarkan warna birunya tapi tetap saja Nadia tak karuan melihatnya.
“Ya udah, sini Mama kompres. Pemulihannya mungkin lebih lama, Dami. Ah, tapi kamu pasti bisa.”
Nadia masih membubuhkan kain ke luka itu ketika Satria menangis. Damian refleks beranjak dari tempatnya. Namun, Nadia mencegahnya. “Biar Mama aja. Kamu mendingan telpon Dhisti. Suruh dia kemari buat bantuin jaga Satria.”
“Dia kerja, Ma. Aku lagi minta para karyawan untuk kasih pelayanan yang maksimal. Lagian, aku bisa sendiri, kok.”
Nadia berdecak. “Mama tahu A Latte lagi perlu perhatian khusus. Tapi lihat keadaanmu sekarang.”
Damian menatap Nadia yang menuju kamar Satria. Lelaki itu mendesah pelan sebelum mengambil gawai di tasnya. Ia meringis saat tangannya terjulur. Untuk hal kecil saja ia memerlukan bantuan. Well, Damian memang harus memanggil Dhisti.
**
A Latte sedang sibuk hari itu. Beberapa pelanggan lama kembali berdatangan setelah membaca pesan berisi promosi. Dhisti memastikan segalanya berjalan dengan lancar hingga esok hari mereka tetap memilih cappuccino A Latte. Wanita itu mengulas senyum ketika mereka memberi respon yang baik. Tak lama, gawainya bergetar panjang di saku apron. Mencari tempat sepi, wanita itu menggeser ikon telepon berwarna hijau.
“Ke rumah Mama sekarang juga. Kalau ada yang tanya, bilang saya yang minta,” ujar Damian langsung pada sasaran.
Dhisti hendak bertanya tapi Damian lebih dulu mematikan telepon. Wanita bermata almond itu berdecak kesal mengetahui lelaki itu sering membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Dhisti menurut dan menemui lelaki itu tanpa ada perasaan buruk sekalipun.
Dhisti tertegun ketika melihat Damian. Wanita itu menutup mulutnya menahan teriakan ketakutannya. “Bapak kenapa? Ya ampun, siapa yang udah berbuat jahat sama Bapak?”
Damian menggeleng. “Kamu berlebihan. Jangan banyak tanya. Udah sana, bantuin Mama.”
Dhisti memperhatikan wajah lelaki itu lebih saksama. Kedua pipinya lebam dan ada luka yang mengering di sudut bibirnya. Dhisti membayangkan pukulan demi pukulan yang menyerang Damian. Refleks, tangan Dhisti terangkat dan menyentuh luka itu, mengabaikan erangan Damian.
“Saya bantu kompres ya, Pak.”
Damian mengelus pipinya setelah menghalau tangan wanita itu. “Udah tadi sama Mama. Kamu ngerti tadi saya suruh apa?”
Dhisti mengangguk dan segera masuk ke kamar Satria walau hatinya terpaut pada Damian.
Sebenarnya apa yang terjadi, Dam? Kenapa perasaanku jadi nggak enak gini?
Satria sudah tertidur sementara Nadia berdiri di sisi tempat tidur cucunya. Nadia mengulas senyum ketika Dhisti datang.
“Akhirnya. Tadi Satria sempat nangis. Tante pikir Satria nggak akan keurus kalau Tante sama Dami.”
Dhisti menatap Nadia dalam dan meraih tangan wanita paruh baya itu. “Kenapa dengan Pak Bos, Tante?”
Nadia menghela napas sebelum menuntun Dhisti ke taman dekat kamar Satria. Ada kursi rotan dan bantal berbentuk hati yang siap menjadi tempat mereka saling mendengarkan. Nadia menatap wajah Dhisti dan menemukan kecemasan yang mendalam.
“Dhis, tenanglah. Semua nggak seperti yang kamu pikir.”
Dhisti terperanjat mendengarnya. Namun, wanita paruh baya itu segera menceritakan semuanya.
“Aku sama sekali nggak mengira semua berakhir begini, Tan. Jujur aku belum tahu gimana Mbak Laras sekarang tapi dia pasti baik-baik aja.”
Nadia mengangguk. Dhisti tidak tahu harus berkata apa lagi. Pandangannya kini terarah pada tanaman jeruk dalam pot yang berbunga. Yang jelas, Dhisti menyadari satu hal. Hatinya ikut terluka ketika lelaki itu disalahkan. Wanita bermata almond itu menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Entah untuk alasan apa Dhisti sanggup merasakan hal ini.
Nadia menyentuh lengan Dhisti. Cepat, wanita itu mendongak. Nadia terperanjat menyadari Dhisti yang hampir menangis. “Kamu kenapa, Dhis?”
Dhisti mengalihkan pandang pada hijaunya taman dan membayangkan hal lain. “Nggak papa, Tan.”
“Tante ngerti perasaanmu, Dhis. Wajar kalau kamu sedih apalagi ada rasa yang kamu simpan buat Dami.”
Dhisti tertegun lama. Ia menatap Nadia dengan hati berkecamuk. Walau beberapa kali Dhisti menyangkal perasaan spesial untuk Damian, sinar matanya tidak bisa bohong. Sudah ada beberapa orang yang menyadari itu. Tapi lain masalahnya jika itu Nadia, orang terdekat Damian. Dhisti tidak bisa lagi menyembunyikannya.
“Aku takut kalau Pak Bos kenapa-napa, Tan. Aku nggak tahu kenapa harus secemas ini,” ujar Dhisti lirih.
Nadia mengulas senyum dan meraih tangan Dhisti, meremasnya lembut. “Kamu sudah selangkah lebih dulu mencintai Damian, Dhis. Jangan kamu sangkal lagi. Akui saja dan lihat yang terjadi.”
Dhisti belum mengerti apa yang Nadia maksud tapi hatinya menghangat mendengarnya.
“Tetap lakukan bagianmu, Dhis. nanti ada sesuatu yang besar menunggumu. Percaya itu, ya?”
Dhisti mengiakan sebelum memeluk Nadia dengan erat.
**