Malam membalut bumi, merangkai rindu yang menggebu dalam hati Laras. Wanita itu menghembuskan napas seiring memori Auriga dan wanita pilihannya kembali bermain dalam pikirannya. Laras menggeleng tak mengerti dengan jalan pikiran lelaki itu. Lembaran penuh cinta itu kini berubah menjadi kebencian yang menimbulkan luka. Laras mengedarkan pandang ke ruangan yang kini terasa dekat dengannya. Merapikan rambutnya asal, Laras beranjak dari tempatnya dan melangkah menuju balkon. Memang ini bukan kosan premium tapi ia menawarkan pemandangan yang cukup mengesankan. Wanita itu mendongak, menemukan beberapa bintang dengan kilaunya, seakan mengingatkannya untuk percaya ada harapan dalam kegelapan sekali pun. Pandangan Laras kini tertuju pada jalan yang lengang memberi ruang bagi jangkrik untuk memainkan musiknya.
"Mbak, makan dulu, yuk. Aku beliin kebab kesukaan Mbak," ujar Dhisti memecah keheningan.
Laras menoleh, memperlihatkan wajah kuyu dan mata sembabnya. Hati Dhisti jadi tak menentu menyadari perubahan saudaranya. Laras yang selalu tampil all out dalam segala hal kini seperti orang yang kehilangan cahayanya. Wanita itu bahkan tidak peduli jika hanya mengenakan piyama yang sama dari pagi hari. "Aku nggak lapar, Dhis. Lagian, aku lagi mau sendiri."
Dhisti mendesah pelan, menatap saudara tirinya dengan pandangan iba. Ada sesuatu dalam diri Laras yang membuat Dhisti jadi menaruh perhatian. "Mbak, aku nggak tahu apa yang menimpa Mbak. Tapi aku di sini kalau Mbak mau cerita," lanjut Dhisti.
Laras menggeleng pelan. "Kamu nggak akan ngerti rasanya, Dhis. Yang jelas, kebahagiaan itu nggak ada di hidupku lagi. Semua karena Auriga. Dia yang udah buat semuanya hancur lebur."
Dhisti mencerna perkataan Laras dan seketika ia terperangah. Rupanya hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Dan kalau wanita begitu tertekan, sementara pihak lelaki tidak ada tindakan, bisa jadi mereka sudah memilih jalan yang berbeda.
"Aku bukan cewek yang beruntung, Dhis."
Dhisti terdiam, memperhatikan Laras yang berdiri dan masuk ke kamar. Laras membuka lemari pakaian Dhisti seirama dengan matanya yang memindai cepat. Tangannya bergerak mengambil sebuah dress lengan pendek bermotif floral di bagian paling bawah. Laras berdecak saat beberapa pakaian menyembul keluar. Wanita itu mencobanya, mendesah pelan saat mengetahui panjang dress itu yang melewati lutut. Tapi ia tidak punya pilihan lain.
"Apa yang cewek nggak beruntung lakuin supaya kembali bersemangat ?" gumam Laras.
Saat hatinya tidak menentu seperti sekarang, hanya ada satu tempat yang membuatnya kembali menemukan kekuatan dirinya.
Dhisti melongo melihat kelakuan saudaranya. "Hm, Mbak mau ke mana?"
Laras menaikkan bahunya sebelum melesat ke kamar mandi. Dhisti tidak bisa membiarkan Laras pergi tanpa pengawasan. Terlebih Damian sudah mengingatkannya untuk berkabar soal saudaranya itu. Wanita bermata almond itu segera mengambil gawai di saku celananya dan mencari kontak lelaki itu. Jemarinya menari di papan ketik seiring hatinya yang tidak karuan. Di sisi lain, ia berharap Damian hanya memperhatikan dirinya tapi ia juga tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Laras.
To: Pak Bosku
Pak, Mbak Laras mau keluar. Saya nggak tahu ke mana tapi perasaan saya nggak enak.
Sent! Dhisti kini membuka bungkusan makanan dan menata di piring. Ia harus melakukan hal lain agar Laras tidak curiga. Tak lama, Laras mengeringkan rambut sambil duduk di depan meja rias. Barisan botol dan kotak make-up yang diletakkan begitu saja membuat Laras kesal.
"Kamu nggak pernah dandan ya, Dhis? Masa eyeliner udah mau abis nggak beli baru? Jangan- jangan masa berlakunya udah abis."
Dhisti meringis sambil merapikan piring di lemari dapur. "Aku jarang pergi pesta, Mbak. Jadi ya, seadanya aja."
Laras mengembuskan napas mendengarnya. Ia menggerakkan kuas di kedua pipinya agar merona. Bekas matanya yang sembab dikompres dengan es batu sebelum ia aplikasikan foundation dan eyeliner pada garis bawah mata.
Laras mengulas senyum tipis walau hatinya meronta. Namun, ia tidak bisa berada di kosan Dhisti lebih lama lagi. Ia harus menemukan tempat yang tidak akan menghakiminya tentang apa yang tengah ia rasakan. Wanita itu mengambil tas tangannya dan menoleh pada Dhisti.
"Jangan cariin aku. Kalau Ibu telepon lagi, bilang aku ada dinas luar kota."
Dhisti mengangguk, membiarkan Laras membuka pintu dan menghilang.
**
Laras memarkir mobilnya di depan bangunan dengan lampu yang berkelap-kelip di sekeliling pohon artifisial. Ia sudah lama tidak mengunjungi tempat ini tapi ia yakin perasaannya akan jauh lebih baik.
Langkahnya pasti menuju bar di depannya. Hingar bingar musik yang berpadu dengan beberapa orang yang asyik berbincang atau menggoyangkan badan seperti memanggilnya untuk kembali menikmati kebahagiaan. Wanita itu mengulas senyum dan duduk di kursi yang menghadap seorang bartender. Lelaki itu menuang cairan ke dalam gelas panjang sebelum menyadari tamu barunya.
"Hello, beautiful lady. Wine or vodka untuk malam indah?"
Laras berpikir sejenak. "Vodka, please."
Bartender itu mengiakan sebelum meracik minuman tadi. Sudut matanya memperhatikan Laras yang menatap kosong botol-botol yang dipajang di etalase.
"Sedang ada masalah cinta?"
Laras mendongak, sedikit terkejut oleh pertanyaan tadi. "Apa begitu kelihatan?"
Bartender itu menaikkan bahu. "Beberapa yang kemari seperti buku yang terbuka. Tapi nggak papa. Justru hal itu membuat kita jadi manusia seutuhnya."
Laras menggeleng. "Manusia yang remuk redam."
Bartender itu mengulas senyum sebelum tertawa pelan. "Semua ini cuma sementara, lady. Here you go," ujar pria itu, menyodorkan segelas kecil vodka.
Laras mengambilnya sebelum mengecapnya sedikit demi sedikit. Ada secercah rasa yang memasukinya, membuat perasaannya seketika melambung ke angkasa. Auriga bisa meninggalkannya dengan mudah. Laras juga yakin ia sanggup melupakannya malam ini juga dan mencari lelaki lain.
"Aku mau cranberry. Kamu bisa buatkan?" tanya Laras, mendorong gelas vodka tadi ke sisinya.
Bartender itu menaikkan alisnya. "Pilihan yang oke tapi kamu yakin?"
Laras mengiakan dengan mantap. Tidak ada yang bisa mengalahkan keinginannya. Bartender itu kembali meracik dan menghadirkan cranberry ke hadapan Laras.
"Thanks. You are the best," ujar Laras dengan senyuman lebar.
Wanita itu bisa merasakan Auriga yang meraih tangannya dan menyematkan cincin di jari manisnya.
Memang skenario itu menyenangkan tapi tidak saat kepala Laras terasa berat dan pandangannya kabur.
"Auriga, kamu bisa jemput aku, kan?"
Laras mengambil tasnya sebelum beranjak dari tempatnya.
"Hey, lady. Are you ok?"
Laras tidak menanggapi dan melangkah perlahan. Baru selangkah tubuhnya begitu berat hingga ia tidak bisa mengatur keseimbangannya. Di tengah jalan, tangannya terantuk meja dan hampir terjatuh. Beruntung seseorang menangkapnya.
"Ra, please. Kita harus pulang sekarang."
Hati Laras segera dipenuhi bunga musim semi mendengar suara itu. Ia menoleh, mendapati sepasang mata cokelat yang menatapnya dalam. "Honey, kamu datang?"
Laras membelai wajah Damian dan tertawa, sebelum kepalanya terkulai ke bahu lelaki itu. Damian mengambil kesempatan itu untuk memapah wanita itu ke mobilnya, melewati para pengunjung lain yang memperhatikan keduanya. Damian tidak menyangka jika Laras pergi ke klub dan mabuk. Lelaki itu membuka pintu mobil, memapah Laras dan memasang sabuk pengaman sebelum menyalakan mesin mobilnya.
"Kamu milih aku lagi akhirnya. Cewek itu nggak ngertiin kamu, kan?"
"Ra, udahlah. Kamu perlu istirahat."
Laras kembali meracau tentang hubungannya dan Auriga. Damian menyetir dengan berbagai pikiran yang tak menentu. Ia tidak mungkin membawanya ke kosan Dhisti atau menyewa motel. Ia mengangguk sebelum mengarahkan Ayla hitamnya ke apartment nya. Jalanan sepenuhnya lengang saat mobil melewati pekatnya malam. Damian menoleh pada Laras yang memegangi kepalanya. Lelaki itu mengembuskan napas dan kembali menggendong Laras hingga tiba di unitnya.
Damian membaringkan wanita itu sambil menatap wajah yang selama ini ia kagumi. Dari jarak sedekat ini, lelaki itu bisa membaui aroma alkohol dari mulut Laras. Laras mengulas senyum, kembali mengelus pipi Damian, menimbulkan getaran nan hangat dalam diri lelaki itu.
"Hon, lepasin cewek itu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu."
Damian refleks merapikan rambut Laras yang terurai berantakan sebelum menutup kedua matanya. Tak lama Damian mendekatkan tubuhnya pada wanita itu, membaui aroma bunga yang bercampur cranberry.
Just like this, Ra. Dan aku bisa buat kamu lupain Auriga.