Malam kembali merajut mimpi bagi tiap makhluk yang mendambanya. Laras menatap rumah minimalis di hadapannya sebelum beranjak masuk. Harum mawar dan megar sore membuatnya tersenyum. Nuri memang menaruh perhatian pada tanaman. Senyum Laras mengembang tatkala teringat ia pernah membantu Nuri memasukkan tanah ke pot-pot. Dan hanya karena cacing yang menggeliat, Laras jadi enggan menyentuh peralatan berkebun.
Wanita itu menghembuskan napas dan menyentuh handle pintu. Seperti sudah sebulan ia meninggalkan rumah ini hingga mampu memunculkan kerinduan. Ah, apa semua karena dirinya terlalu asyik dengan dunianya? Ditambah, Auriga yang meninggalkannya begitu saja.
Nuri meletakkan majalahnya saat sosok yang ia nanti akhirnya datang. "Laras, Ibu cariin kamu. Semua telepon dan pesan Ibu nggak dibalas. Untung Dhisti tahu,” ujar Nuri, membawa Laras dalam pelukan hangat.
Laras membalasnya. "Maaf ya, Bu. Pekerjaanku sangat menyita waktu."
Nuri mengendurkan pelukannya dan menatap wajah Laras yang tampak lelah. "Ibu tadi buat spaghetti. Sana, mandi. Terus kita makan."
Laras mengangguk sebelum menjatuhkan tubuh di sofa yang menghadap kabinet kecil. Ia tidak memiliki selera makan sejak bertemu Damian tempo hari. Ya, lelaki itu pun menambah bebannya.
"Kamu tumben dinas luar kota dadakan, Ra,” lanjut Nuri, menyodorkan segelas air mineral.
"Iya, Bu. Rupanya ada projek yang terlewat. Jadi, kami harus siap," jawab Laras menghalau apa yang sebenarnya terjadi. Ia menatap Nuri sebelum berpaling. Tidak mungkin ia menceritakan tentang semua yang membelitnya pada Nuri. Wanita paruh baya itu pasti tertekan.
"Oh. Auriga jemput kamu, kan?"
Laras berjengit. Ia menutup mata sejenak sambil menguasai hati. "Aku bisa sendiri, Bu. Lagian ada supir kantor yang jemput di stasiun."
Nuri mengembuskan napas. "Hubungan kalian kayak jalan di tempat. Ibu jadi curiga kalian lagi berantem. Riga juga jarang hubungin Ibu."
Laras meraih tangan Nuri dan menggenggamnya. Pandangannya tertuju pada manik hitam Nuri, seakan mampu menembus hatinya. "Kami baik-baik aja. Ibu jangan overthinking."
Nuri mengamati wajah Laras dan mengulas senyum tipis. Sekian lama Nuri berharap anaknya menikah hingga ia tiba di titik tidak mau lagi memaksakan kehendak.
"Kalau memang sudah saatnya menikah, jangan ditunda lagi, Ra. Ibu kan, nggak tahu kapan dipanggil Tuhan."
Laras menoleh dan mengelus pelan lengan Nuri sebelum pamit ke kamarnya. Harum lemon menyeruak ke hidungnya membuat wanita itu mengibaskan tangan. Laras membuka jendela untuk mengusir aroma tadi ketika perutnya bergejolak, menciptakan mual. Laras berlari ke toilet dan menumpahkan hal yang mengganjalnya. Laras membasuh mulutnya sementara tangannya mengelus perutnya. Ia bersiap keluar saat mual itu kembali datang. Nuri yang hendak ke dapur menghentikan langkah ketika melihat jendela yang terbuka. Wanita paruh baya itu segera berjalan ke kamar anaknya. Melewati toilet, Nuri mendengar suara keran mengalir yang berpadu dengan erangan Laras. Nuri membuka pintu toilet yang tidak dikunci dan menghambur masuk.
"Ra, kamu sakit?"
Nuri mengelus pelan punggung anaknya seraya merapikan rambut Laras yang mencuat ke wajah.
"Masuk angin kayaknya, Bu," ucap Laras lirih.
"Ibu buatin teh manis, ya," ujar Nuri.
"Oh, ya. Aroma di kamarku perlu diganti deh, Bu. Menyengat banget."
Nuri terkesiap mendengarnya. "Itu lemon, Ra. Kesukaanmu. Kenapa tiba-tiba minta ganti?"
Laras membulatkan mata mendengarnya. Perubahan yang ia rasakan sangat di luar kebiasaan. Laras mengingat lagi apa yang menimpanya. Damian yang menolongnya saat ia mabuk. Laras menurut saja ke mana Damian membawanya. Yang wanita itu tahu, ia menemukan dirinya di kamar lelaki itu, tanpa sehelai kain. Hanya selimut tebal dan harum kopi menyambutnya pagi tadi. Sentuhan dan pelukan Damian yang membuat Laras makin tak berdaya. Wanita itu juga menikmati semua itu sampai tidak menahan kemauan Damian. Laras menutup mulutnya.
Jangan-jangan aku hamil? Oh, shit.
"Ra? Kita ke rumah sakit aja gimana? Kamu kelihatan pucat," ujar Nuri, mengembalikan Laras ke dunia nyata.
Laras menggeleng dan mengelus pipinya. "Nggak usah. Nanti aku baikan kok, Bu."
Nuri memastikan Laras tidak lagi mual dan pergi ke dapur, memberi kesempatan buat Laras kembali mencerna yang terjadi.
Wanita itu tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia harus memeriksanya tapi tidak mungkin dia keluar lagi. Nuri pasti mencurigainya. Ia mengambil gawai di tas dan mengetik pesan.
To:Dhis
Dhis, jangan banyak tanya. Tolong beliin test pack kehamilan terus antar ke rumah. Bilang ke Ibu mau antar makanan.
**
Dhisti mencengkeram alat itu di tangannya sebelum memasukkan ke tas. Wanita bermata almond itu tidak bisa menebak apa yang menimpa saudaranya. Kini ia berdiri di depan rumah Laras. Mengatakan maksudnya pada Nuri, wanita paruh baya itu membiarkan Dhisti menemui Laras. Wanita itu mengunci pintu dan memastikan Nuri tidak mengikuti Dhisti.
"Lama banget, sih?"
"Maaf, Mbak. Aku baru selesai kerja dan apoteknya lumayan jauh."
Laras mendesah pelan dan meminta test pack sebelum berlari ke toilet. Dhisti melongo melihat kelakuan saudaranya. Laras memegang alat itu dengan gemetar berharap muncul tanda negatif. Bisa saja dia hanya kecapekan atau ada gejala penyakit lain. Laras membulatkan mata menyadari tanda yang terbentuk.
"Positif?" ucap Laras lirih. Ia tidak salah melihat seiring lirihannya yang menjelma teriakan. "Nggak! Mana mungkin?"
Dhisti terperanjat dan berjalan ke pintu. "Mbak, ada apa?"
Laras membawa test pack itu sebelum keluar menemui saudaranya. "Telepon Damian sekarang juga."
Dhis kembali melongo memperhatikan Laras.
"Kenapa bengong? Bosmu itu udah kurang ajar, Dhis. Karena dia, aku hamil."
Seperti terpaku di tempat, Dhisti menatap saudaranya. Dhisti mencerna perkataan Laras yang bagai petir di siang bolong. Damian yang ia sukai melakukan hal itu pada Laras?
"Maksudnya, Mbak? Ah, Mbak yakin?" tanya Dhisti, setelah berhasil menguasai diri.
Laras menatap saudaranya dengan tajam sebelum menunjukkan hasil itu di hadapannya. "Lihat, nih. Kamu pikir aku ngarang?"
Dhisti membulatkan mata menyadari tanda yang membentuk tanda plus di alat itu. Semua katanya tertahan di tenggorokan. Ia tak menyangka Damian melangkah di luar prediksinya.
"Cepet hubungin dia, Dhis. Aku perlu bicara sekarang."
Dengan hati tak karuan, Dhisti mengambil gawai dan mencari kontak lelaki itu.
Di seberang, Damian yang masih berkutat dengan pekerjaannya mengabaikan telepon salah satu karyawannya. Laras mengetik pesan dan tak lama lelaki itu menghubunginya.
"Ra, kenapa?"
"Gila kamu, Dam. Aku hamil."
Damian tercekat. Mouse yang ia genggam bagai membeku.
"Kamu yakin, Ra?"
Laras berdecak. "Masih bisa kamu nanya begitu, Dam? Pikir apa yang kamu lakuin malam itu."
Damian mengembuskan napas dan beranjak dari tempatnya. "Ra, aku nggak ada maksud buruk. Aku akan menikahimu dan bertanggung jawab dengan anak itu."
Laras menggeleng. "Nggak semudah itu, Dam. Kamu udah buat semuanya hancur. Masa depanku, keluargaku."
Damian menutup kedua matanya. "Tenang, Ra. Aku akan bicarakan ini dengan kedua orang tua kita."
"Terserah. Yang jelas aku nggak sudi melihat anak ini."
Laras mematikan telepon membuat Damian tak menentu. Begitu pula dengan Dhisti yang tercekat mendengar percakapan keduanya.
"Aku nggak bisa begini, Dhis. Aku harus aborsi," ujar Laras mantap.
Dhisti terperanjat, hampir jatuh dari duduknya. "Mbak, jangan. Itu bisa membahayakan Mbak juga."
Laras menggeleng. "Kamu nggak ngerti Dhis. Ini hidupku jadi kamu nggak usah ikut campur."
Dhisti tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Semua ini begitu cepat, membawanya dalam pusaran dalam yang tak berujung. Yang jelas, semua akan terasa berbeda sejak hari ini.
**