Pagi kembali menyapa, memberi kesempatan bagi tiap makhluk untuk kembali menjalani hari, termasuk Dhisti. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan yang terletak di ujung. Jantungnya bertalu dua kali lebih cepat. Dhisti menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu dan menemui Damian. Lelaki itu berdiri menghadap jendela, membiarkan pepohonan hijau menjadi lukisan alam yang menenangkan.
"Pak, saya mau kumpulin draft pertamanya," ujar Dhisti langsung to the point.
Damian berbalik, mengamati Dhisti dengan saksama. Dengan seragam hitam dan celemek cokelat muda yang membalut tubuhnya, memang tidak bisa mengidentifikasi latar belakang keluarganya. Damian berdeham, memperhatikan wajah bulat Dhisti dan mata almondnya. Sinar mata Dhisti tidak pernah menyiratkan kehidupannya. Dhisti menunduk, tidak berani membalas tatapan lelaki di hadapannya yang menghujamnya. "Nanti saya baca. Thanks, ya. Oh, soal kemarin. Saya harap kamu nggak menyalahkan takdir atas apa yang terjadi di hidupmu. Semua itu punya alasan untuk kebaikanmu. Mungkin kamu belum melihatnya sekarang, tapi ada hal luar biasa yang nantinya kamu syukuri."
Dhisti mendongak, menatap lelaki itu dengan debaran hangat di dada. Entah kenapa tatapan Damian jadi berubah. Tidak ada lagi bentakan atau cibiran yang membuatnya kesal. Hanya ada kedamaian dari setiap kata yang keluar dari mulut lelaki itu.
Dhisti mengiakan dan mengulas senyum simpul.
"Kamu harus ingat kalau pelangi selalu ada. Saya nggak mau karena masalah kemarin, kinerjamu jadi turun. Saya nggak ada waktu buat training orang yang hatinya berantakan," lanjut Damian.
Dhisti terdiam sejenak dan tersadar kalau hidup harus terus berjalan entah apa yang ia alami sekarang. Walau Damian kembali menyindirnya, Dhisti tidak menaruh kepahitan. Sampai detik ini Damian cukup profesional untuk tidak mencampuri urusan pribadinya. "Terima kasih buat pengingatnya, Pak. Ya udah, nanti kalau perlu revisi, panggil saya ya, Pak."
Damian mengangguk kecil dan membiarkan Dhisti pergi. Dari tempatnya, Damian menatap punggung wanita itu. Tidak pernah ada yang mengerti jalan takdir tapi percayalah kalau ada hal yang bisa kamu syukuri dalam tiap fase hidupmu.
**
Malam itu bulan menggantung di langit, menyertai perjalanan Laras. Di kantornya, sedang ada tamu dari negara lain yang berkunjung untuk mengadakan kerjasama. Laras harus menemani Bosnya dan memastikan semua berjalan sesuai rencana. Kesibukan itu yang membuatnya sedikit melupakan Auriga. Namun, itu tidak lama saat Laras menyadari semua pesan dan teleponnya tidak mendapat balasan sampai sekarang.
"Kamu ke mana sih, Hon? Apa hubungan kita udah nggak penting lagi?"
Laras mendesah pelan dan menginjak pedal gas, menuju rumahnya. Tapi alih-alih berkendara ke Galaksi, Laras membelokkan mobilnya ke apartment Auriga yang tak jauh dari tempatnya sekarang.
Sementar itu, Damian memandang gedung tinggi yang berdiri angkuh di hadapannya. Lelaki itu mengarahkan mobilnya menuju pintu masuk. Ia tersenyum ramah pada satpam yang menyambutnya.
"Ada janji sama Auriga, Pak," ujar Damian sebelum memberikan kartu identitasnya. Menghela napas panjang, ia turun dari mobilnya dan berjalan ke kamar sahabatnya di lantai 17.
From: Auriga
Ada hal penting yang perlu gue omongin. Soal Laras. Lo bisa kan nanti mampir?
Damian masih teringat pesan Auriga tadi sore. Dan naluri Damian mengatakan ia harus tahu mengenai hal yang berhubungan dengan wanita itu. Damian mengetuk pintu apartment Auriga dan seorang wanita dengan piyama pendek menyapanya. Damian membulatkan mata melihatnya.
"Sorry. Ada Auriga?"
Tania memindai penampilan lelaki di hadapannya dan mengangguk.
"Babe, temanmu nih," ujar Tania sedikit berteriak ke arah kamar.
Tak lama seorang lelaki dengan kaus putih dan celana panjang muncul. Senyumnya lebar seakan memberitahu dunia ia adalah orang yang paling bahagia.
"Hey, thanks for coming," ujar Auriga, merangkul Damian.
Auriga meminta sahabatnya untuk duduk di sofa, setelah membisikkan sesuatu pada Tania yang mengangguk sambil tersenyum. Damian menatap mereka penuh tanya.
"Just wait for me, babe,” ujar Auriga, mengecup pipi Tania dan menatap wajahnya dalam.
Auriga segera duduk di sebelah Damian dengan santai sebelum menaikkan kakinya ke meja.
"Ga, ada apa sih? Siapa cewek itu?"
Auriga mendesah pelan. Mengetahui kalau Damian pasti langsung menanyakan hal itu.
"Tania. Gue udah tunangan sama dia di Bali. Dan sekarang gue lagi cari cara buat mutusin Laras," ujar Auriga dengan enteng.
Damian membulatkan mata, tak percaya. Perjalanan panjangnya kemari hanya untuk mendengar kabar yang di luar dugaan. "Lo gila, ya. Padahal lo tahu Laras sayang banget sama lo."
"Gue ngerti. Makannya gue minta lo kemari buat minta tolong. Deketin Laras dan buat dia lupa sama gue."
Damian menatap sepasang mata cokelat Auriga. Tidak ada keraguan di sana, hal yang sejenak membuat hati Damian tidak karuan.
"Gue nggak bisa. Belum tentu juga Laras mau sama gue seandainya itu yang lo harapkan."
"Wow, seorang Damian nggak mungkin jadi pecundang. Dia selalu jadi pemenang."
Damian menggeleng kuat. Ia menaruh hati pada Laras tapi menyadari wanita itu mencintai Auriga, kesempatannya hanya nol persen.
"Tapi nggak dengan cara kayak gini, Ga. Mendingan lo kasih tahu Laras. Lo harus hadapin apapun itu konsekuensinya. Bukannya lo lelaki sejati?"
Auriga terdiam, menyandarkan punggung ke sofa sambil menatap langit-langit.
"Hubungan kami nggak bisa diselamatkan lagi. Tujuan kita udah beda."
Damian menggeleng. "Dengan lo cari cewek lain, bahkan tunangan, itu malah nambah semuanya rumit, Ga."
Auriga mengangguk. Ia tahu konsekuensi yang harus ditanggung. "Gue nggak ada pilihan."
Perbincangan mereka terhenti saat seseorang mengetuk pintu. Auriga berdiri dan berjalan membukanya. Tak lama, kedua matanya membola menyadari tamunya.
"Laras?"
Wanita itu menatap Auriga dalam seakan sanggup menelannya. "Kamu nggak ada muka bersalahnya, Hon? Kamu nggak merespon semua pesan dan teleponku. Kamu juga minta Damian ketemu aku tempo hari. Kamu udah nggak menghargai hubungan kita?"
Auriga meraih tangan Laras berusaha menenangkannya. "Calm down, Ra. Kita masuk dulu, okay?"
Laras menggeleng. “Aku cuma minta kejelasan, Hon. Kamu ngerti nggak kalau aku juga usaha biar komunikasi kita tetap jalan? Terus, apa yang kamu lakuin?”
“Ra, please. Aku juga ada kerjaan."
Laras menepis tangan lelaki itu dan bersedekap. "Omong kosong. Kalau aku nggak kemari, mungkin kamu akan tetap begini." lanjut Laras.
Auriga membuka mulutnya saat Tania berjalan ke arah mereka. Wanita itu memeluk pinggang Auriga sambil menatap Laras. Sebelah tangan Tania mengelus perut Auriga, menampilkan cincin yang melingkar di jari manisnya. Auriga refleks membalas Tania dan menatap wanita itu lembut. Laras membulatkan mata melihat semuanya.
“Jadi, kalian?”
Auriga menggenggam tangan Tania erat, seakan menegaskan hubungan yang intim di antara keduanya. “Ra, hatiku berubah. Aku nggak bisa lagi melanjutkan semua. Thanks for being my beloved.”
Ribuan jarum menusuk hati Laras, membawanya dalam kesesakan. “Kalau gitu lo bisa pergi sekarang. Semua udah jelas, kan?”sambung Tania.
Laras menatap Auriga dan kekasihnya dengan hati mendidih. Kesesakan tadi meronta ingin melepaskan diri. Laras mengepalkan kedua tangan dengan wajah memerah. Pandangannya tertuju pada Auriga sebelum tangannya melampiaskan segala energi negatif tadi ke pipi lelaki itu.
“Aku benci kamu, Auriga,” ujar Laras sebelum berlalu, membawa hatinya yang hancur berkeping-keping.
Damian beranjak dari tempatnya, pamit pada Auriga dan mengejar Laras. Wanita itu pasti memerlukan teman untuk berkeluh kesah. Damian tahu Laras pasti mengusirnya tapi setidaknya ia tidak membiarkan Laras seorang diri dalam kekalutan.
Laras melebarkan langkahnya hingga tiba di parkiran. Damian masih bisa melihatnya dan segera mengeluarkan kunci mobilnya.
Laras menghela napas panjang dan menghapus air matanya. Tidak mungkin ia menyetir dengan pandangan yang kabur. Perlahan, tangannya menyalakan radio dan menaikkan volumenya. Biar saja itu menjadi pengingatnya untuk tetap waras selama di perjalanan.
Damian memastikan Laras tetap dalam jangkauannya dan berdoa agar wanita itu tidak bertindak gegabah. Damian mengenali jalan yang kini ia lalui, mengingat hal yang tertinggal di sana. Saat mobil Laras berbelok ke bangunan warna merah muda, Damian teringat Dhisti.
Laras mengambil tasnya dan keluar dari mobil. Langkahnya pasti menuju kamar saudaranya. Dhisti membuka pintu dan membulatkan mata. “Aku lagi nggak mau diganggu. Kalau Ibu telepon, bilang nggak tahu,” ujar Laras.
Dhisti terdiam, membiarkan Laras menginvasi tempat tidurnya sebelum menutup wajahnya. Dhisti makin tak mengerti apa yang terjadi ketika Damian menelponnya, memintanya turun.
“Kamu lihat cewek yang barusan pakai blazer hitam?”
Dhisti terperangah. “Maksudnya Mbak Laras, Pak?”
“Kamu kenal?”
Dhisti mengiakan dan menjelaskan singkat siapa Laras. Damian menghembuskan napas lega. “Syukurlah. Tolong jagain Laras. Saya nggak mau dia kenapa-napa.”
Dhisti mengernyitkan kening mendengarnya. Semua pertanyaan tentang Laras terhenti di ujung lidahnya. Damian sepertinya menyimpan rasa pada Laras. Tidak perlu cenayang untuk tahu hal ini. Dhisti mengiakan dengan hati teriris. Ia harus menata hati agar tidak terjatuh terlalu dalam pada hal yang belum tentu jadi miliknya.
**