Aku segera maju ke depan. Acel berlari ke arahku, memelukku erat. Aku juga. Kembali, kami menangis terharu di bawah sinaran cahaya bulan dan bintang. Menteng dan Itok segera ikut memelukku dan Acel. Nico di samping kami, dia mengusap matanya. Sepertinya, dia adalah anak laki-laki yang jaim untuk menangis.
Dia tetap di belakangku. Waspada menatap ke depan.
“Kalian, waspada di depan ada orang yang akan mendekat!”
Sontak, Nico dan Menteng kembali ke formasi semula. Aku menggendong Acel ke belakang dia. Itok menjagaku kembali di belakang.
Sosok itu ada dua orang. Mereka mengangkat tangan. Satu perempuan muda memakai baju lapangan dan topi—kurasa umurnya sekitar 26 tahun dan seorang pria berjas hitam rapi membawa koper dengan selempang tambahan. Umur mereka tampak hampir sama.
“Jangan nyalakan bumbung, Hamak!” perintah Acel.
Aku kaget. Kenapa Acel palah menyuruh kami berdiam diri? Kalau dua orang itu berbahaya bagaimana?
Acel meronta ingin turun. Dia melangkah mendekat pada dua orang itu.
“Acel! Jangan ke sana,” cegahku sambil menarik lengannya.
Acel tersenyum padaku. “Mereka bukan orang jahat, Bu Damay.”
Aku menggeleng tegas. “Jangan pernah percaya dari tampilannya.”
Si pria memutar bola mata, “Gyn, jadi apakah aku terlihat seperti penjahat? Oh, gila. Padahal aku seorang pengacara,” ujarnya menggunakan bahasa asing.
“Kita memang buronan, Brian,” jawab perempuan itu juga menggunakan bahasa asing tanpa menurunkan tangan.
Aku dan dia saling tatap. Baru pertama kali ada buronan yang mengaku buronan.
“Siapa kalian?” tanyaku sambil memegang lengan Acel lebih kencang. Tentu, dengan bahasa asing.
“Ehem, bisakah kami menurunkan tangan?” tanya si Pria.
Aku dan dia saling tatap. “Kalau kalian menyerahkan senjata kalian, kami persilakan.”
Benar, mereka melucuti senjata mereka. Pistol, jam yang entahlah apa, dan satu benda yang bentuknya mirip seperti yang diberikan Inak Bunan. Aku mengeluarkan benda itu. Sama.
“Perkenalkan, namaku Gyn. Lengkapnya Coelogyne Pandurata,” ucapnya.
“Tak ada yang meminta kau berkenalan, Gyn,” sanggah si Pria.
“Di sebelahku, adalah orang gila bernama Gabrian,” tambahnya lagi.
Si pria itu mendengus ke Gyn. Nama yang aneh.
Dia terkesiap melihat Gyn. “Kau, Gyn? Gyn si peneliti muda itu? Gyn yang ...” Dia berhenti berkata.
Gyn mengangguk. “Ya, benar. Itu aku. Si komplotan pemberontak.”
Astaga! Aku langsung menarik Acel, memeluknya erat.
Dia menggeleng tak percaya. “Sudah bagus kau menjadi seorang peneliti muda nan cerdas, mengapa harus jadi pemberontak?”
Gyn hanya tersenyum lebar. “Ketahuilah, suatu kata bisa bermakna banyak. Homonim. Mungkin, kau hanya memaknai arti pemberontak adalah sesuatu yang ganjil dan negatif.”
“Tumben sekali kau menjelaskan soal itu, Gyn,” ledek Gabrian.
“Dan, sebelahku adalah pengacara handal dan lugas, tentu dengan sikap yang menjengkelkan.” Gyn tidak menjawab ledekan Gabrian. Dia sosok yang serius.
Gabrian hanya memutarkan bola mata. Mereka berdua perlahan menurunkan tangan. Acel melepas genggamanku, menarik tanganku untuk bersalaman pada Gyn. Muka yang bukan orang Asia. Mata setajam elang. Postur tubuh yang tinggi dan tegap. Rambut pendek sebahu dengan segelintir rambut berwarna hijau. Menyiratkan dia adalah orang yang tegas.
“Kenalkan, dia adalah guru paling cantik. Bu Damaylia.” Acel memperkenalkanku pada Gyn. Gyn menjabat tanganku erat. Aku tidak tahu harus berekspresi apa. Gabrian mendekat dan iku mengangguk. Aku membalas mengangguk. Nico, Menteng, dan dia ikut mendekat.
“Bu, Gyn inilah yang menyelamatkanku dari gerombolan itu,” jelas Acel.
“Saat aku digendong oleh ketua kelompok mereka, Gyn mengayunkan tongkat panas ini, lantas memukulnya di bagian kaki. Mereka ambruk dan kesakitan tak bisa berjalan. Entahlah, nasib mereka sekarang. Gabrian juga keren sekali, mengayunkan pistol, telak mengenai bahu mereka. Tak ada satu pun yang mati dibunuh Gyn dan Gabrian, Bu. Mereka menyelamatkanku, bahkan memberiku makan.” Acel menunjukkan roti berbentuk panjang.
“Dan ....”
Acel menatap kami bergantian. “Aku akhirnya tahu siapa orang tuaku, Bu ....”
Aku terkesiap. Menatap Acel. Orang tua Acel? Hal yang tidak pernah terpikirkan. Nico, Menteng, dan Itok ikut mendekat. Menatap Acel tidak percaya.
“Ya, memang benar orang tuaku asli dari desa ini. Namun, aku tahu mengapa aku diculik oleh gerombolan itu. Yang jelas, karena orang tuaku.”
Aku belum mengerti.
Acel menahan tangisnya, “Bu, akulah yang merengek untuk bertemu Bu Damay untuk terakhir kalinya di sini.”
Aku menatap dia, Nico, Itok dan Menteng bergantian. Menatap Gyn dan Gabrian.
“Percayalah, suatu saat nanti, aku pasti akan menemui Bu Damay, Hamak Fian, Nico, Menteng, dan Nico lagi. Aku harus menjalankan apa pesan dari orang tuaku. Misi besar.”
Aku menggeleng, “Acel, kamu masih kelas lima SD, kamu tidak usah ikut dengan mereka, kami akan selalu ada ....”
Acel menggeleng, “Tak bisa, Bu. Sungguh tak bisa. Aku harus ikut Gyn dan Gabrian untuk menuruti pesan dari orang tuaku.”
“Bisa saja mereka mengada-ada, Acel!” sanggahku.
Acel menggeleng kuat. Dia mengeluarkan jam—bentuknya sama yang digunakan Gyn dan Gabrian. Dia memencet tombol, keluar layar virtual, lantas berkedip sebentar, lantas keluarlah wajah dua orang dengan bayi yang digendongnya.
“Selamat malam, anakku sayang. Hari ini, adalah hari terakhir kita membuat video bersama. Hamak dan Inak ingin menyampaikan suatu pesan singkat padamu, yang pastinya, Hamak percaya pesan ini akan tersampaikan.”
Kedua orang tua itu saling menatap. Mereka melihat bayi mereka sesekali.
“Namamu adalah Acel. Anak perempuan yang cerdas nantinya, karena Hamak tahu, Inakmu sangat cerdas. Apalagi soal marah-marah, cerdas betul. Tapi, ketahuilah, sayang. Kami sangat mencintaimu, jangan sesekali kamu berpikiran bahwa kami meninggalkanmu karena membuangmu. Tidak. Kami benar-benar mencintaimu, sangat.”
Pria itu mengusap matanya. Wanita di sebelahnya sudah menangis sambil menutup mulutnya.
“Acel, dengarkanlah pesan ini. Suatu saat nanti, apabila kamu bertemu seseorang bernama Coelogyne Pandurata, Shawn, atau Handa. Tolonglah, ikut bersama mereka. Kamu akan aman dan menjalankan suatu misi yang Hamak tidak bisa jelaskan saat ini juga. Nanti, Shawn akan memberitahumu. Dengarkanlah mereka, kalian jangan bertengkar. Hiduplah dengan baik-baik.”
Si pria menghela napas panjang. “Selamat tinggal, sayangku. Selamat delapan bulanmu, ya. Kamu adalah anak terhebat!”
Virtual mati. Acel menangis sesegukan. Menteng dan Nico segera menepuk bahu Acel perlahan. Itok ikut menangis. Tentu, ini adalah kejadian yang baru aku tahu. Aku hanya bisa terdiam, dia juga. Ternyata, Acel adalah anak dari salah satu peneliti terkemuka. Peneliti Biologi, aku tahu dari Ruki, saat itu dia menunjukkan wajah seorang pria, peneliti Biologi terkemuka, memilih mengundurkan diri demi hidup bersama hutan.
Kini, aku mengerti, mengapa Acel begitu menyukai hutan. Karena, dari orang tuanya saja sangat mencintai hutan. Aku jongkok, mengelus kepala Acel. Dia langsung memelukku. Aku memeluknya erat.
“Apa yang bisa aku percaya kalau kalian membawa Acel pergi?” Dia bertanya.
Gabrian memberikan sebuah kartu pada Dia. “Ini, tapi sifatnya rahasia. Hanya orang-orang di sini yang tahu, jangan sampai kartu itu ke tangan siapapun.”
Dia menerima kartu itu. “Apakah ini palsu?”
Gibran menggeleng, “Tidak. Silakan dicoba, kalau palsu, kalian bisa memberikannya ke kantor polisi,”
Dia menatapku. Aku menatap Acel. “Kamu mau pergi?”
Acel mengangguk. Dia menangis lagi. Nico, bahkan seorang Nico yang tak pernah menangis, dia ikut menangis dalam diam. Tidak terisak, hanya mengeluarkan air mata. Menteng sudah terisak. Itok menggeleng kuat, tangisannya adalah perwakilanku.
“Bu Damay, Hamak Fian, Menteng, Itok, dan Nico. Acel pamit. Suatu saat, aku pasti akan bertemu kalian lagi. Terima kasih, sudah menjadi teman Acel yang menyenangkan.”
Pipiku basah lagi. Mengelus pipi Acel perlahan. Mengangguk perlahan. “Janji?”
Acel mengangguk. “Janji.”
Aku memeluk Acel erat sekali. Menteng, Itok, Nico ikut memeluk Acel. Dia mengelus kepala Acel. Aku tidak mau mengatakan ini perpisahan, karena aku percaya, Acel akan menemuiku lagi. Suara derap langkah mendekat. Gyn dan Gabrian memberi kode pada Acel untuk pergi.
“Jangan bilang siapapun atas pertemuan ini, termasuk kau, Menteng. Kau itu selalu bual ke mana-mana!” Acel berlari pergi meninggalkan kami bersama Gyn dan Gabrian.
Suasana lengang.
Ada dua perasaanku saat ini. Bahagia, Acel baik-baik saja. Sedih, Acel pergi meninggalkan kami. Yang kami tidak tahu, dia akan pergi ke mana.
***
Dua hari setelah kepergian Acel
Aku nekat datang ke Puskesmas sepulang sekolah. Sendirian. Membawa hadiah yang ingin kuberikan padanya. Pembatas buku. Apakah dia ada di Puskesmas? Ternyata ada. Puskesmas di desa ini memang buka dua puluh empat jam. Terkecuali, saat dia izin ke kota. Aku mengintip di pintu. Dia sedang menuliskan sesuatu. Saat aku hendak mengetuk, dia berdiri dan membuka pintu. Terjadilah pertemuan canggung di antara kami.
“Eh? Em, Damay?” sapa dia setelah dua hari kami tidak bertegur sapa.
Aku menggaruk tengkuk. Bingung mau bilang apa.
Dia tertawa perlahan, mencairkan suasana. “Baru saja aku akan datang menemuimu di rumah Inak.”
Mukaku kembali merona. Perasaanku tak karuan. Jantungku kembali berdebar. Ah, jatuh cinta itu memang isinya soal deg-degan, kecewa, was-was, cemburu, dan rindu. Bukankah begitu? Dua hari setelah kejadian, setiap malam aku merenungi atas sikapku kepadanya. Sepertinya, aku berlebihan memarahinya. Apalagi, tahu Acel masih hidup dan akan hidup baik-baik saja.
“Kau ingin tahu, kemarin aku langsung ke kota, mencoba nomor itu, dan Gibran yang mengangkat. Dia marah-marah karena sibuk. Mungkin, sibuk kabur.”
Aku mengangguk. “Berarti, Acel akan baik-baik saja.”
“Sebenarnya, aku masih penasaran, kenapa seorang Gyn peneliti muda, mau menjadi seorang pemberontak dan buronan? Tapi, kenapa seorang buronan mau berbaik hati memberikan kartu berisi nomor mereka?”
Aku menghela napas. “Kita tunggu Acel datang suatu saat nanti, Bang. Aku yakin ada alasan terbaik.”
Dia mengangguk. Suasana canggung.
“Em, kau mau teh hangat?” tawarnya.
Aku mengangguk. Dia segera masuk ke dapur, sedangkan aku masih memegang pembatas buku itu. Duduk di ujung tangga. Melihat sungai yang luas. Pantas saja dia betah di sini. Pemandangannya saja mempesona.
Dia datang, duduk di sebelahku. “Ini, untukmu. Kau sedang tak diet, bukan?”
Aku menggeleng mengulum senyum.
“Nanti, pria salah lagi. Tehnya kenapa dikasih gula?”
Aku tertawa kecil mendengar leluconnya. Terdiam. Kami hening sambil menyeruput teh hangat. Melihat ke sungai yang luas.
“Apakah, kau tertarik melihat senja langsung dari sungai?” tanyanya.
Aku menatapnya. “Memang bisa?”
Dia tersenyum lebar. “Tentu, kau mau?”
Aku mengangguk. Dia mulai berjalan menuju pinggir sungai. Aku membuntutinya dari belakang. Satu longboat terparkir. Dia masuk ke dalam.
“Ini punya siapa, Bang? Kita izin dulu.”
Dia menggeleng, “Ini punya keluarga Itok. Mereka mempersilakanku setiap waktu untuk memakainya. Ayo!”
“Memang, Abang bisa mengendarai longboat?”
Dia terkekeh, “Kau naik sajalah dulu, nanti akan tahu sendiri.”
Aku menghirup napas panjang. Baiklah, kalau aku sampai tenggelam, dialah yang bertanggung jawab. Dia mengulurkan tangan, aku memegang tangannya erat.
“Siap?” tanyanya.
Aku mengangguk. Menatap ke depan, membelakanginya. Memejamkan mata berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa. Nyatanya, omongan dia bukan omong kosong. Longboat berjalan perlahan, memberikan bekas lurus di belakang. Dia bisa ‘menyetir’ dengan sempurna.
“Bagaimana? Sudah pantas belum aku menjadi Pengemudi longboat?”
Aku mengangguk. “Sangat, Bang.”
Dia terkekeh.
Kami terdiam di perjalanan. Aku begitu menikmati pemandangan pohon-pohon di pinggir sungai dengan suasana yang menyenangkan. Yang membuatku lega semua telah baik-baik saja. Tentu, kami tidak memberitahu sama sekali soal Acel. Kami menggeleng kompak, tidak ada tanda-tanda, akhirnya Acel dinyatakan hilang. Hamak melapor ke polisi untuk menangani kasus ini. Tetap saja, Acel pasti tidak akan ditemukan. Perkiraanku, Acel akan dinyatakan hilang oleh Kepolisian.
“Menurutmu, Gyn asli dari mana?” tanyanya memecah suasana.
“Yang jelas bukan asli Asia,” jawabku.
“Betul!”
Aku menoleh ke belakang. “Abang sudah tahu, kan, Gyn dari mana?”
Dia mengangguk. “Dia berasal dari negara yang tersembunyi. Cosnuci.”
Aku mengangkat alis, “Aku belum pernah dengar negara itu.”
Dia tersenyum lebar. Tidak menjawab pertanyaanku.
Kami hening kembali menikmati suasana sungai. Sepi, mungkin hanya kami berdua yang mengendarai longboat. Namun, dugaanku salah. Mulai ada para pencari ikan berseliweran. Mereka pulang, atau bahkan pindah tempat.
“Mereka sengaja memilih tempat ini, karena tenang. Bisa saja ikannya besar-besar.”
Aku mengangguk. Hari mula sore. Senja tentu saja akan tampak sebentar lagi. Langit biru cerah tanpa awan. Dia mengehentikan mesin. Longboat terapung-apung di atas sungai.
“Ini berbahaya atau tidak, Bang?”
Dia tertawa. “Siap-siap jadi umpan buaya.”
“Abang buayanya?” candaku.
Dia tertawa. Suasana canggung akhirnya berakhir. Lewat obrolan sederhana. Lewat candaaan yang sederhana.
“Tadi, katanya Abang mau menemuiku, kenapa?” tanyaku.
Dia menggaruk kepala. “Mau mengabari kau soal nomor itu.”
Aku ber-oh, mengangguk.
Senja mulai terlihat. Menghipnotis kami berdua. Menatap senja dengan lekat. Memang selalu indah kalau bicara soal senja. Semburatnya dari matahari yang kuning di tengahnya, lantas memancarkan cahaya, menyebar, bercampur dengan warna-warna langit, menjadi satu kesatuan yang utuh berwarna oranye. Langit mendukung lukisan terbaik. Dengan awan biru, langit tambahkan warna keunguan. Terlebih, memberikan pantulan di atas sungai persis seperti yang ada di langit. Menawan sekali.
“Aku minta maaf, Damay,” ujarnya sambil menunduk. Dia duduk di sisiku.
Aku menatapnya lekat. “Tidak, harusnya aku yang meminta maaf, Bang. Perkataanku yang keterlaluan. Pasti Abang sakit hati sekali. Sekali lagi, maafkan aku, Bang.”
Dia menggeleng lemah. “Aku sakit hati karena ....”
Dia menghentikan ucapannya.
“Karena, aku tidak bisa menepati janjiku.”
Senja semakin merendah. Membuat di pantulan sungai semakin jelas. Aku tidak menjawab, fokus ke pantulan senja di sungai.
“Apakah, kau memaafkanku?” tanyanya.
“Acel baik-baik saja, dan di antara kita tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar.”
Dia menghela napas lega, “Terima kasih, Damay.”
Aku mengangkat alis, “Terima kasih untuk?”
Dia menggeleng pelan. Tersenyum lebar. “Kau tahu, mengapa senja selalu menarik? Padahal, senja dan matahari terbit hampir sama perwarnaannya.”
Aku tersenyum. Sepertinya, dia mulai mengeluarkan kata-kata filosofisnya. “Memang kenapa, Bang?”
“Kepasrahan. Itulah yang membuat menarik.”
Aku mengerutkan dahi. Biasanya, orang akan menjawab, karena indahnya perwarnaan dengan kalimat puitis. Tapi, Dia menjawab berbeda.
“Ya, kepasrahan. Matahari pasrah menenggelamkan diri, dimakan para pegunungan dan waktu, padahal bisa saja dia bersinar terus menerus dengan tegapnya. Namun, dia berpasrah, yang membuat dia justru berbahagia. Peristirahatan untuk hari yang panjang. Sang Pencipta ciptakan warna dan aura dasyat saat malam hari. Senja berpasrah, malam mengganti tugasnya. Membuat manusia sadar akan besar alam ini.”
Aku manggut-manggut sambil menatap senja yang akan berganti malam. Baiklah, aku akan bersiap memberikan hadiah kecil itu.
“Bang ....”
Dia sibuk merogoh saku kemeja dan celana. Menatapku pias. “Sebentar, May. Aku lupa bawa senter, kita harus kembali sesegera mungkin!”
Aku menghembuskan napas. Tertunda. Hanya tertunda.
“Berpegangan erat, Damay!”
Longboat meluncur dengan kekuatan maksimal. Tumben sekali dia jadi pelupa.