Pengabdian berakhir. Tiga hari sebelum kepulanganku.
Anak-anak berkerumun saat sudah kububarkan. Entah apa yang mereka bahas, asyik sekali. Aku beringsut ke kantor. Di kantor sudah ada semacam pelepasan kecil-kecilan untukku. Sederhana, tapi membuatku terharu. Mereka memberikan kenang-kenangan untukku berupa rompi tenun khas desa mereka. Aku pulang ke rumah Inak Bunan. Dia sedang menyirami bunga Anggrek Hitamku.
“Sudah pulang?”
Aku mengangguk. Membentangkan rompi yang diberikan. “Aku dapat kenang-kenangan yang indah, Inak,”
“Kau suka?”
Aku mengangguk.
“Syukurlah. Nanti malam, kau pakai untuk menghadiri acara.”
Aku mengerutkan kening. “Acara apa, Inak?”
Dia tersenyum. “Dulu, saat ada yang sama sepertimu kemari, tiga hari sebelum dia pulang juga ada acara perpisahan. Nah, tiga harinya bisa kau gunakan untuk berwisata ke sekitar Pustussibau kalau kau mau.”
“Acaranya apa, Inak?”
“Api unggun.”
Wah, sepertinya seru.
“Lantas, kita akan bakar-bakar makanan yang banyak. Menyanyikan lagu khas suku kami, tarian, bahkan drama kecil perang-perangan juga ada nanti. Kau pakai saja rompi itu, pasti cantik sekali,” ucapnya sambil tersenyum.
Mukaku merona merah. Kalau aku cantik, dilihat Dia juga, kan? Aduh, Dia nanti akan seperti apa ya? Apakah akan tampil keren? Aku senyum-senyum sendiri.
“Senyum-senyum sendiri, kenapa? Tak sabar bertemu Hamak tampan penjaga Puskesmas?”
Aku terperanjat. Menatap Inak dengan muka panas. “M-maksudnya?”
Inak melambaikan tangan. “Kau pikir aku tak tahu? Bahkan sejak awal Inak tahu bagaimana cara kau memandangnya?”
Aku menelan ludah. Inak saja sampai tahu, bagaimana dia? Jangan-jangan dia juga sudah tahu? Tamat riwayatku.
“Sepertinya, Dia belum tahu. Itu kesimpulan Inak,” jelas Inak seperti tahu yang kupikirkan.
“Inak tahu apa yang aku pikirkan?”
Dia tertawa keras sekali. “Inak sudah pernah pula jatuh cinta. Jadi tahu,”
Aku meringis. “Em, suami Inak merantau?” tanyaku hati-hati. Karena, selama tinggal di sini, aku belum pernah melihat suami atau anak-anaknya.
Inak tersenyum lebar. “Nanti, setelah selesai acara, Inak akan ceritakan,”
Aku mengerutkan kening. Penasaran. Inak itu, tergolong cantik. Walau sudah banyak keriput, aku yakin masa mudanya pasti cantik.
“Sekarang, makan siang, istirahat sambil membereskan semua, lantas mandi.” Inak mengusir halus.
Aku manyun, mengangguk pelan. Memeluk Inak Bunan. “Makasih, Inak. Sudah menjadi Ibu terbaik di sepajang Sungai Kapuas.”
“Bualnya! Lama-lama mirip Menteng kau nanti.”
Aku tetap memeluk Inak. “Terima kasih, Inak.”
Dia balas memelukku. “Iya. Jangan lupakan Inak, ya?”
Aku mengangguk. “Mana ada melupakan Inak dengan makanan terenak kedua di dunia.”
“Nomor satunya?”
“Ibuku.”
Inak menggelengkan kepala sambil tertawa. “Makanlah lantas beristirahat.”
Aku mengangguk pelan. Menuruti perkataan Inak. Hanya butuh sepuluh menit mandi dengan air segar yang sudah disaring, aku masuk ke dalam kamar. Memilah baju terbaik untuk dipakai. Rompi itu juga akan kupakai. Setelah kucoba satu-satu, akhirnya mendapat baju yang pas sesuai dengan aksen rompi itu. Aku tersenyum lebar.
Apapun, aku ingin mengatakannya malam ini. Yang selama ini aku pendam dalam diam, akan kutumpahkan segera. Aku tidak tahu jawabannya nanti. Dari sikapnya yang selalu baik, bahkan terkadang kita berdua, saat luka peluru itu, bahkan dia menggenggam tanganku erat. Mungkin, ada kesempatan tujuh puluh persen. Bahkan, dia mengajakku melihat senja, terkampul pada longboat di sungai Kapuas. Kejadian yang spektakuler bagiku.
Aku bersiap-siap untuk merapikan rambut sebagus mungkin, lantas berdandan anggun. Baiklah, kali ini aku akan mencoba ber-make up tipis saja, hehe. Astaga, benar-benar ya. Aku cekikikan sendiri. Apapun, akan kusampaikan apa yang ingin kusampaikan. Termasuk, pesan dari Ranaya.
***
Acara di mulai.
Aku berangkat bersama Inak Bunan. Titik kumpulnya berada di lapangan dekat sekolah dan Puskesmas. Kami harus naik longboat. Di dalam longboat, Menteng dan Nico sudah menunggu. Aku menghela napas pelan. Biasanya, di tengah mereka ada Acel.
“Wah, Bu Damay berbeda sekali malam ini,” ujar Nico. Menteng hanya diam saja.
“Kenapa kau, Menteng? Sakit gigi?” tanya Inak Bunan sambil naik ke longboat.
Dia menggeleng. “Sepi juga tidak ada Acel.”
Mendadak, suasana jadi berubah. Kami terdiam. Inak Bunan menghela napas keras. “Yang hilang kembali hilang, yang ada kembali ada, tenang. Sudah ditakdirkan sedemikian rupa. Kita tinggal menjalani dan mengakui. Acel memang telah pergi, tapi kenangannya tetap ada di sini.” Inak menunjuk dadanya.
“Di hati rohani yang masih berdiri.”
Aku menghela napas pelan. Menatap Menteng yang begitu muram. Nico menepuk pundak Menteng keras. “Bukankah biasanya kau dengannya bertengkar? Ada-ada saja.”
“Justeru itu, tidak ada yang kujahili lagi. Kau? Mana mungkin. Bisa-bisa aku dilindas truk karena meledekmu.”
Aku dan Inak tertawa. Nico melotot pada Menteng.
“Nah, kan? Tak seru kalau kau yang melotot, lebih seru Acel kalau melotot.”
“Lebih cantik, begitu Menteng?” ledekku.
Dia mengalihkan muka. Pura-pura bermain air. Pengemudi menyalakan mesin, bersiap ke lapangan. Malam ini mendukung. Bulan purnama penuh, langit bersih, bertabur bintang yang banyaknya sekian-sekian. Menteng dan Nico beradu gambar rasi bintang. Menebak-nebak soal musim sesuai rasi.
Pasti akan menyenangkan bila Acel di sini. Dia akan berani meledek Menteng, lantas ledek-ledekanlah mereka. Balas membalas satu sama lain. Yang ada akhirnya saling ngambek, lantas bertengkar. Diam-diaman. Pulih, ledek-ledekan lagi. Acel pergi entah ke mana. Mungkin, keliling dunia, seperti yang diinginkannya. Melihat rahasia setiap pulau yang tak berpenghuni. Atau, ada suatu tempat rahasia, yang tidak bisa dijangkau akal oleh manusia. Bukankah bisa saja? Yang tiada ada, yang ada tiada.
Lima menit perjalanan, sampailah di pinggir dermaga kayu. Dari kejauhan terlihat kayu-kayu sudah terpasang rapi. Meja dari sekolahan sudah tertata rapi. Piring-piring sudah siap tersedia. Berbagai makanan. Beberapa lampu mengelilingi api unggun juga sudah siap. Keren sekali. Kalau di Yogyakarta, mirip dengan toko makanan di pinggir jalan dengan lampu-lampu kuning di atasnya. Bedanya, ini skalanya lebih besar.
Aku berhati-hati turun ke dermaga. Iya, kali ini aku memakai sepatu selop khas perempuan, bukan boots atau kets. Memakai baju kurung sampai di bawah lutut berwarna hitam, lantas memakai rompi pemberian sekolah. Setengah rambut ku-gelung sampai atas, sisanya kubiarkan lurus di samping. Berkali-kali aku menghapus make up. Yang entah ketebalan, atau terlalu tipis, baru hitungan kelima, kurasa sempurna, bersiap pergi. Inak Bunan sampai kesal menunggu.
Orang-orang memandangiku.
“Inak, apakah penampilanku aneh?” bisikku sambil berjalan.
Dia menggeleng. Tersenyum lebar. “Kau cantik sekali hari ini. Ditambah pendar cahaya bulan purnama, kau bagai puteri yang turun dari khayangan.”
Aku menepuk pelan bahu Inak. “Inak mulai berbual.”
Inak menatapku tak percaya, “Sungguh, tanya saja Nico. Bu Damay cantik hari ini bukan?”
Nico mengangguk. Tersenyum simpul. Menteng mengangkat bahu sambil berkata ‘ya’ singkat. Mukaku mulai merona. Pasti kalian bisa menebak, mengapa mendadak mukaku merona? Ya, apakah Dia akan mengakuinya juga? Walaupun, ya di dalam hati.
“Ah, Bu Damay, kemari!” seru Hamak Ampong.
Aku berjalan bersisian Inak Bunan. Nico dan Menteng sudah ngacir entah ke mana.
“Amboi, cantik nian Bu Damaylia,” puji Hamak Ampong.
Aku agak tersipu. “Terima kasih, Hamak.”
“Kalau aku bujang, sudah kupastikan berani berkenalan pada Bu Damay, bukan begitu?” tanyanya sambil melirik ke salah satu pemuda. Pemuda itu menggarukkan kepala.
“Ah, abaikan pemuda yang hanya bisa mengandalkan rasa malunya, mari, Bu Damay, acara akan segera dibuka!”
Aku mengangguk. Melongok-longok mencari seseorang.
“Dia tidak ada di sini.” Inak Bunan tahu apa yang aku cari.
Aku menatap Inak. “Dia sudah pulang?”
Inak Bunan hanya tertawa, lantas melangkah bersama masyarakat lainnya.
Acara dibuka. Dimulai dengan pidato singkat dari Hamak Ampong, selanjutnya dariku lantas acara dibuka dengan bumbung yang diarahkan ke atas. Ya, mirip kembang api, tapi itu tidak memancarkan kembang api. Semua bertepuk tangan riuh.
Hamak mengangkat tangannya. Keadaan kembali hening.
“Mari, kita berdoa pada Sang Pencipta, arwah Acel akan disambut nenek moyang dengan baik-baik saja. Semoga, Acel berbahagia di sana.” Hamak memberi kode untuk mengheningkan cipta.
Betul, Hamak saja tidak tahu bahwa Acel sebenarnya masih hidup. Tapi, mereka menganggap Acel sudah hilang entah mati atau tidak. Semua orang berdoa untuk Acel. Aku berdoa, semoga dia baik-baik saja bersama Gyn dan Gabrian. Semoga, mereka orang yang bisa dieprcaya.
“Untuk mengenang Acel, mari kita isi kedukaan ini dengan bergembira dan bersenang-senang!”
“HOOOO!” seru para pemuda. Para Ibu bertepuk tangan. Musik khas suku mulai terdengar, api unggun besar mulai dinyalakan. Masyarakat mengerubung, lantas menari bersama. Agar pergilah duka, datanglah bahagia.
Aku masih bersikeras mencari-cari dia. Di mana? Apakah benar tak datang lagi? Kenapa? Apakah sudah kembali ke asalnya? Aku menghela napas keras. Lantas buat apa aku berdandan seperti ini? Nico dan Menteng menarik tanganku.
“Hei, mau dibawa ke mana Bu Damay?” tanyaku.
Mereka saling tatap. Tertawa. “Rahasia!”
Mereka terus menarikku. Aku menurut saja. Kami melewati Puskesmas, lantas lurus terus. Sekitar tiga menit berjalan, Menteng dan Nico masuk ke semak-semak raksasa. Seperti pintu rahasia. Wah, seru juga. Aku masuk perlahan, sambil melindungi rambutku agar tidak berantakan.
Di ujung semak, terhampar luas lapangan. Aku berhenti berjalan. Terkesiap sampai sempurna mulutku berbentuk ‘o’. Ratusan cahaya berkelap-kelip di angkasa. Mulai layang kecil hingga besar mengudara. Langit semakin cantik dengan taburan bintang ditambah cahaya kelap-kelip dari lampu-lampu layangan. Rasanya, aku terharu sekali melihat ini.
“SELAMAT DATANG DI KAMPUNG LAYANG-LAYANG, BU DAMAY!” teriak semua muridku kelas lima. Aku menutup mulut. Sumpah, aku terharu sekali. Ternyata, ini yang mereka rencanakan?
Dan ....
Seseorang melangkah, mendekat. Dia memakai celana kain hitam, kemeja berwarna biru dongker lengkap dengan jaket hitam yang menambah wibawanya, dan rambut yang disisir rapi. Tentu, dengan poni yang sama. Dia berhenti sejenak, lantas tersenyum lebar.
“Selamat dating! Ini ide anak-anak, apakah kau mau singgah sebentar di desa baru kami? Desa penuh dengan kelap-kelip lampu dan bintang?” Dia memposisikan diri mirip seperti seorang pangeran, eh, pelayan yang menyilakan pengunjung masuk.
Aku menggelengkan kepala. “Ide siapa ini?”
“HAMAK FIAN!” teriak mereka dari kejauhan.
“Hei! Sudah kubilang sesuai sandiwara yang kutulis!” jawabnya. Mukanya sedikit merona.
Aku tertawa kecil. “Baiklah, aku mau mengunjungi desa ini.”
Kami berjalan beriringan. Kalau diisi musik slow, sepertinya, ini akan menjadi suasana romantis. Anak-anak dari kejauhan ada yang menyiapkan makanan kecil, ada yang berjaga-jaga di benang layangan.
Dia mengangkat tangan. Anak-anak berlarian, lantas duduk melingkar. Dia berada disisiku. Astaga, aku seperti sangat dijamu acara spesial malam ini.
“Bu, maafkan, kalau kami banyak salah.” Nico langsung to the point.
Anak-anak mengangguk. Ada yang menahan tangis. Sudah terisak.
“Sungguh, kalau diberi pilihan. Maka, kami ingin Bu Damay tetap mengajar kami.” Nico menunduk lalu mendongak kembali.
“Terima Kasih, Bu Damay. Semoga Bu Damay suka dengan desa lampu-lampu layangan kami,” seru mereka kompak. Aku yakin, pasti berlatih dulu.
“Ini memang ide Hamak Fian, tapi kamilah yang bertanya dahulu. Sepertinya, sudah terlalu biasa kalau kami hanya menghadiahkan bingkisan. Bu Damay juga sudah mendapatkan rompi yang aduhai, cantik sekali dipakai malam ini. Bu Damay begitu menawan,” kata salah satu murid perempuanku.
“Iya, tak, Hamak Fian?” tanya Menteng.
Mendadak mukaku mulai panas.
Dia tertawa, “Kalau kubilang Bu Damay banci, pasti ngamuk dia.”
Di luar ekspetasi. Dia malah meledekku. Aku melotot padanya.
“Nah, kan? Terbukti.”
Anak-anak tertawa. Di depan kami terhidang kue-kue kecil, buatan anak-anak. Kami segera makan sepenuh hati.
“Apakah kalian tidak akan datang ke api unggun?” tanyaku.
“Itu suatu keharusan, Bu Damay. Setelah ini, kita akan ke sana bersama-sama Bu Damay. Makan daging sepuasnya!” Itok menjawab.
“Oh, DAGING BABI!” Menteng berseru keras.
Nico mengacak rambut Menteng. Menteng berseru sebal. Makanan tandas, anak-anak berlalu pergi. Entah ke mana. Tertinggalah aku dan Dia berdua. Iya, B-E-R-D-U-A.
“May—”
“Bang—”
Kami saling menatap. Memanggil secara bersamaan.
“Kau dulu saja, May,” katanya.
Aku menggeleng, “Abang dulu saja.”
Dia menggaruk kepala. Tertawa. “Baiklah, aku dulu.”
Suasana hening cukup lama. Aku juga ingin mengatakan sesuatu yang tepat. Sepertinya, ini waktu yang tepat untuk aku membuka semuanya. Memberikan hadiah yang tertunda, memberi tanda pengenalnya, dan mengatakan salam dari Ranaya. Lalu, tentang perasaanku.
“Akhirnya, kita berdua akan pergi dari tanah ini, ya?”
Aku mengangguk.
“Aku sangat bahagia, Damay. Bersama anak-anak, bersama para penduduk, dan kedatangamu, membuat kejadian demi kejadian yang menyenangkan.”
“Dan kejadian yang tidak terduga ....” Dia kembali diam.
Aku diam. Menatap langit penuh taburan bintang dan lampu-lampu. Angin sangat stabil malam ini.
“Apakah...apakah kau memaafkanku?” tanyanya lagi.
Aku memberi waktu padanya.
“Apakah, kau akan memaafkanku tentang semua kesalahanku. Jujur, aku selalu tidak tenang. Saat di sungai kau hanya mengatakan tidak ada yang salah di antara kita. Aku tak bisa tidur, setidaknya katakan saja. Apakah kau sudah memaafkanku atau tidak?”
Aku menatapnya. Dia ikut ikut menatapku. Bola matanya memang tidak terlihat bening malam ini.
“Bang, apakah aku mampu tidak memaafkan seseorang yang terlampaui baik? Aku memaafkanmu, Bang. Selalu,” jawabku dengan lembut.
Dia menghela napas keras sekali. Pipinya basah. Dia mengelap ingusnya. “Terima kasih, Damaylia. Terima kasih.”
Aku mengangguk pelan. Ingin rasanya aku mengelus kepalanya. Tapi, aku tahu diri.
Kami terdiam cukup lama. Suasana lengang.
“May, kau mau bicara apa?”
Aku menggeleng. “Abang sudah selesai?”
Dia menggeleng. “Belum.”
Aku menunggu.
“Apakah, kau ingin tahu mengapa aku begitu menyukai bandara dan pesawat terbang?”
Mukaku mendadak merona. Bukankah saat itu, dia bertanya satu hal padaku?
Dia menatapku. “Kau ingin tahu?”
Aku mengangguk.
Dia menghirup napas. “Ibuku adalah seorang Bidan di desa pelosok Kalimantan juga. Ayahku seorang guru di pelosok juga. Mereka saling bertemu dan menikah. Mereka saling jatuh cinta, dan lahirlah aku. Hingga umur lima tahun, aku tahu betapa kerasnya perjuangan Ibu dalam memberi pelayanan kesehatan. Bahkan, Ibuku terpaksa memakai kuda untuk menyelamatkan seorang Ibu yang mau melahirkan.”
“Ibu tetap gigih dan pantang mundur. Hingga suatu saat ....”
Dia menghirup napas lantas menghelanya keras. “Ibuku meninggal karena badai besar saat menyeberangi sungai untuk menyelamatkan pasien yang gagal jantung. Bukankah kau tahu sendiri bagaimana akses layanan kesehatan di tanah pelosok? Masih sangat butuh dan kurang. Pada akhirnya, semua tewas. Seketika.”
Dia mengusap muka. “Saat itu pula, aku mengingat perkataan terakhirnya sebelum pergi ... Ibuku mengajakku ke bandara untuk melihat pesawat terbang. Dan dia berkata ‘terbanglah ke manapun yang ingin kamu mau. Jangan lupa untuk apa kau terbang harus ada alasannya. Sekecil apapun alasannya itu.’ Akhirnya, aku memilih untuk memberikan pelayanan kesehatan di desa ini. Ternyata, pengalaman jauh lebih berharga dari apapun,”
Kami hening sejenak.
“May, akhirnya aku menemukan seseorang. Seseorang guru, sama seperti kisah Ibu dan ayahku.”
Hatiku mulai berdetak tak karuan. Siapa itu? Apakah aku atau bukan?
Dia menyerahkan selembar undangan kecil berwarna merah muda. Tertulis namanya dan seorang perempuan. Seketika, perutku terasa mulas. Jantungku tak berhenti berdegup. Dan, air mataku memaksa keluar. Aku masih bisa mengusahakannya agar tidak tumpah.
“Aku harap, kau mau datang, Damay. Kami akan menikah dan tinggal di pelosok Kalimantan Selatan,” ujarnya lirih. Aku tidak berani melihat ekspresi mukanya. Tidak akan.
Lutuku terasa lemas. Ingin rasanya aku ambruk waktu itu juga. Ingin rasanya aku jongkok, lantas menangis sejadi-jadinya. Mataku mulai berkacar-kaca, mengendalikan agar tidak tumpah. Menerima undangan itu dengan tangan bergetar. Tanpa berkata apapun.
“Oh, May, tadi kau ingin bilang apa?” tanyanya.
Aku masih menunduk, lantas menatap lampu layang-layang di udara. “Tidak ada.”
Bukankah gila kalau aku mengungkapkan peraaanku? Dia akan menikah seminggu lagi. Bisa-bisa aku dikatakan pelakor. Di dalam benakku, juga tidak bermaksud seperti itu. Hanya ingin mengungkapkan, lega.
Aku menghela napas. Akhirnya, aku tahu kepastian itu. Kepastian aku hendak ke mana dan harus apa. Tapi, tolong untuk malam ini, aku ingin menangis sepuasnya. Ingin meluruhkan apa yang aku rasakan.
“Bang, aku ingin ke api unggun dulu, ya?”
“Bisa kita berjalan bersama?”
“Tapi, piring-piring itu belum dibereskan. Aku duluan, ya?”
Dia menepuk dahi. “Baiklah, aku akan menyusul nanti,” jawabnya langsung berlari ke tumpukan piring-piring
Tepat, saat membalikkan badan, air mataku langsung tumpah. Dia tidak akan tahu. Tidak akan pernah tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku berjalan cepat, menangis dalam diam. Dia tidak akan pernah tahu. Jangan pernah tahu.
Biarkanlah, ku-papras sendiri, kurenungkan sendiri. Lantas, berdiri dengan kesanggupanku. Untuk melangkah yang pasti. Ke depan. Tanpa ada nama dia lagi.