Read More >>"> 1' (Jangan Perlihatkan Mukamu Di hadapanku!) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - 1'
MENU
About Us  

Aku meringkuk di pojok kamar. Menenggelamkan kepala di antara lipatan tangan. Tidak menangis. Tidak bicara. Tidak makan. Apapun itu, tidak ada yang ingin aku lakukan selain meringkuk, terdiam, dan menghela napas. Teriakan Acel terngiang lagi di kepalaku. Mataku bereaksi, mengeluarkan bulir-bulir yang tidak bisa kubendung. Terisak lagi. Menggumam sendiri.

            Kenapa? Kenapa semua ini terjadi? Andai, kami tidak berkemah ke sana, mengganti dengan kegiatan lain, maka semua akan baik-baik saja. Andai, tidak ada ide untuk ke sana, semua tidak akan menagih janji itu. Ya, janji itu. Janjinya untuk membawa ke sana. Bersenang-senang, merayakan kemenangan kecil kami. Melihat senja dan matahari secara bersama-sama, seperti perkataan manisnya. Ya, janjinya.

Janji yang kukira akan ditepati, mengingat dia adalah orang konsisten dan tidak akan pernah ingkar janji. Ya, dia. Dia penyebab semua ini bukan? Dialah yang pertama kali mengajak kami ke sana. Tapi, dia berbohong. Ingkar janji. Dan, lihatlah! Dia sama sekali tidak datang bukan? Aku terisak lagi, menjerit perlahan. Apakah Acel baik-baik saja? Di mana Acel sekarang? Aku yakin sekali, Acel tidak akan dilukai, entah apapun alasannya.

Pintu terbuka perlahan. Sedikitpun, kepalaku tidak terangkat. Tetap terisak memikirkan keadaan Acel. Menyalahkan diriku sendiri, aku memang tidak akan pernah pantas menjadi seorang guru. Aku adalah guru terburuk yang tidak bisa melindungi anaknya sendiri. Akulah, guru yang terlalu yakin atas perkataan seseorang. Akulah, akulah yang salah, karena tidak mempunyai rencana lain.

Aku mulai menjambak rambutku sendiri. Menangis terisak. Kenapa aku begitu bodoh? Tangan lembut memegang erat tanganku, melepas perlahan jambakanku. Perlahan, kutatap siapa orang itu—yang sebenarnya aku tahu, saking hapalnya dengan derap langkahnya.

Matanya sayu menatapku. Berkaca-kaca. Aku tidak bisa menghentikan sedikitpun isakanku. “Damay,” sapanya lembut.

Aku menunduk. Tetap terisak. Dia semakin menggenggam tanganku erat.

“Damay?”

Tangisanku semakin keras. Menatap balik padanya tajam. Saat ini, amarah mengendalikanku. Ingin rasanya aku membentaknya.

“Apapun itu, katakan saja, Damay,” katanya lembut.

“Kenapa?” tanyaku serak.

Dia tidak melepaskan genggaman.

“Kenapa kamu kembali?” tanyaku sambil menatap tajam padanya.

Dia tercekat mendengar pertanyaanku, menunduk, lantas melihat betisku yang sudah tertutupi pengobatan herbal dari Inak Bunan.

“Aku harus melihat lukamu, Damay.”

“Jadi, itu janji yang kamu buat?”

“Damay ....”

“JADI, JANJI ITU YANG KAMU BUAT?” teriakku di hadapannya.Matanya semakin berkaca-kaca. Dia tidak melepaskan genggamannya. “Aku minta maaf—”

“KAMU PIKIR, KATA MAAF BISA MENGEMBALIKAN APA YANG TELAH PERGI?”

Dia meloloskan air mata. Menatapku semakin sendu. “Aku salah, Damay. Aku yang salah, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri ....”

“Apakah, aku harus percaya pada seorang pria pembohong sepertimu?”

Dia menghela napas panjang. Tangannya berhenti menggenggam. Dia menunduk. Melihat betisku. Beringsut mengambil tas P3K, lantas membuka peralatan untuk menjahit lukaku.

“Bisakah kamu pergi dari hadapanku?”

Dia tidak mendengarkan. Tetap saja menyiapkan perlatan untuk menjahit lukaku yang tidak terasa perih sama sekali.

“BISAKAH KAMU PERGI DARI HADAPANKU!”

 Seseorang melangkah masuk. Disusul satu orang lagi. Orang yang sangat aku kenal selama ini. Ruki memelukku erat. Tangisanku pecah dipelukannya. Seseorang itu ikut berjongkok, menatapku sangat sendu. Seolah, dialah yang lebih sakit daripada diriku saat ini. Dialah, yang selama ini ada dan tetap ada.

Aku semakin menyalahkan diriku. Kenapa? Kenapa hatiku lebih tertuju pada seseorang yang tidak jelas dan tidak tahu alasannya? Kenapa aku harus mau dengan seorang pembohong dan ingkar janji, sedang di hadapanku ada seseorang yang rela terbang kembali ke kota demi kenangan kami. Mau ikut relawan, mengambil sampah-sampah di sungai. Hanya untuk, menikmati hari bersamaku.

Dia beringsut minggir, menunduk. Ruki ikut menangis, memelukku sangat erat. Ruki mengelus kepalaku perlahan. Tangannya dingin sekali saat menyentuh dahiku. Dia memegang bahuku erat.

“Damay, jangan, jangan seperti ini lagi.” Ruki berbisik lembut di telingaku.

Eno menunduk. Dia tetap memegang bahuku erat.

“Kamu sudah melalui semua dengan baik. Jangan, jangan lagi seperti ini.” Ruki mengelap air mataku. “Keluarkan, kamu boleh teriak semaumu, sampai puas. Asal, jangan, jangan sampai demam seperti saat itu lagi.”

Aku menangis semakin keras. Aku adalah orang terburuk saat ini. Aku adalah orang yang tidak bisa apa-apa. Aku adalah orang yang hanya bisa mengeluh, menangis, dan menyalahkan orang lain. Tidak memberi solusi dan berandai-andai.

Tiga menit kami hening. Hanya ada aku, Ruki, Eno, dan dia yang terus menunduk.

Tangisanku mulai mereda. Ruki melepaskan pelukannya, mengelap air mataku lagi. Eno melepaskan pegangannya. Dia menatapku sangat lekat. Eno mengelus kepalaku sekali lagi. Merapikan rambutku yang acak-acakkan. Dia tersenyum dengan lembut.

“Damay, bagaimana kamu akan berdiri lagi kalau kakimu tidak mau diobati?” tanya Eno.

Aku diam tidak menjawab.

“Pertama, obati lukamu. Setelah itu, kamu bisa marah, berteriak, bahkan menangis lagi. Tapi, tolong, obati lukamu dulu. Kalau aku dokter, sudah kupastikan kamu akan kujahit sekarang juga.” Eno melirik ke dia.

Aku diam.

Eno menggenggam tanganku erat. “Bagaimana, aku, kamu, dan Ruki membersihkan sungai kembali kalau kamu keras kepala tidak mau mengobati luka yang bisa membuat busuk di kakimu? Bahkan, bisa diamputasi,”

Aku diam.

Eno memegang tanganku, memohon. “Damay, Ibumu sudah menanti di sana.”

Demi Ibu, aku mengangguk samar. Eno memberi kode ke dia. Dia segera menyiapkan perlatan untuk melakukan penjahitan luka yang lebar karena peluru. Dia melakukan dengan hati-hati, sesekali berhenti sejenak, lantas melakukan lagi. Eno dan Ruki tetap berada di sampingku. Ingin rasanya aku bertanya, bagaimana kabar mereka? Cerita apa saat aku tak ada di sana? Bukan pertemuan yang menyakitkan seperti ini.

Sepuluh menit, aku menahan pesakitan, jahit-menjahit berjalan lancar. Peluru itu terlihat jelas di depan mataku. Peluru yang cukup besar. Membuatku terisak lagi. Memikirkan bagaimana keadaan Acel saat ini.

Dia hanya menunduk dan menunduk. Tidak berkata apapun.

                                                                                     ***

Lima jam sebelum lukaku dijahit.

Nico bersikeras membawaku ke tenda. Menangani lukaku dengan obat herbal seadanya. Menteng dan Itok turut membantu mengobati lukaku. Kami tak hentinya menangis, kecuali Nico. Dia hanya diam, dan berusaha mengendalikan keadaan yang kacau balau.

“Kita harus bergegas pulang, atau paling tidak ke kampung terdekat dari bukit ini. Luka Bu Damay akan semakin parah bila tak segera ditangani. Pengobatan herbal ini hanya bertahan satu jam,” ucap Nico.

Aku hanya diam. Masih menangis tersedan. Suaraku habis untuk meneriakkan nama Acel, yang aku tidak tahu keberadaannya. Itok dan Menteng sudah berhenti menangis, tapi raut mereka masih kacau. Mata mereka bengkak.

Nico bertepuk tangan. “Kalau kita hanya berdiam diri di sini, sama saja kita menyerah akan keadaan. Aku yakin, gerombolan biadab itu, tidak akan melukai Acel se-mili pun. Kita bisa mencari Acel, aku yakin kita pasti bisa bertemu dengan Acel lagi. Tapi, ayolah berpikir lebih matang. Bagaimana mau mencari Acel kalau kita sudah menyerah soal keadaan?”

Aku menatap Nico. Air mataku belum berhenti mengalir.

“Bu Damay! Aku tahu, aku tahu Bu Damay yang bertanggung jawab atas semua ini. Namun, tengok! Aku sebagai bukti, Menteng dan Itok juga. Jadi, bukan hanya salah Bu Damay, tapi ini tanggung jawab kita bersama. Sekarang, ayo kita pulang, obati luka, lantas berdiskusi dan berpikir cara menemukan Acel.”

Menteng dan Itok berdiri. Mereka membantuku berjalan. Nico memberikan tongkat dari ranting padaku, agar aku bisa berjalan. Aku terpaksa berjalan, karena benar kata Nico. Aku tidak mau menyerah dengan keadaan kakiku tertembak peluru. Walau, yang kurasakan hanya dingin. Namun, yang lebih terluka adalah hatiku sendiri.

Nico tahu jalan pintas agar segera sampai di dekat kampung. Ada longboat yang setiap malam mencari ikan di sungai. Si pengemudi kaget, tak banyak tanya langsung membawa kami secepat kilat. Butuh lima belas menit dengan kecepatan maksimal, tibalah kami di desa yang aku abdi. Si pengemudi dan Nico langsung berlari cepat entah ke mana. Sekembalinya, mereka berlari bersama Hamak Ampong dan beberapa pemuda lainnnya. Membantuku untuk dimasukkan ke dalam rumah Hamak.

Di dalam kamar, aku mulai menangis lagi. Teringat Acel pergi dengan keadaan yang tak pernah aku duga. Dia pergi bersama gerombolan yang tidak pernah aku tahu. Sedangkan aku bisa selamat seperti ini.

Di ruang tengah, aku mendengar diskusi mereka. Pertama, Nico dan si pengemudi akan pergi ke Putussibau demi meraih sinyal telepon. Mereka akan menghubungi dia lewat ponselku. Saat ada diskusi lain, pintu kamar terbuka. Nico meminjam ponselku untuk segera dibawa ke pusat. Aku menahan lengannya, menyebut satu nama untuk dikabari juga. Untuk dia segera datang ke sini, selama apapun perjalanan itu.

Hamak Ampong dan para pemuda sepakat untuk tidak melaporkannya dulu ke Polisi. Akan lebih rumit persoalan. Mereka akan berusaha mencari Acel malam itu juga. Tentu, dengan kekuatan dan pengalaman mereka soal hutan, aku yakin mereka dengan mudah menelusuri hutan itu.

Aku tertidur dengan posisi duduk. Saat aku terbangun kembali, matahari sudah terbit. Di depanku sudah ada makanan. Aku kembali menangis, mengingat dan ingin tahu keadaan Acel sekarang.  Di saat itulah, dia masuk ke kamar. Jujur, aku ingin memeluknya, menangis di dalam dekapnya. Tapi, nyatanya justeru aku marah. Sangat marah dan kecewa. Mengapa dia ingkar janji? Mengapa dia dengan mudahnya membuat penawaran tapi justeru dialah yang membuat kacau semua?

Sesudah jahitan selesai, dia pergi keluar. Tanpa menoleh ke belakang sedikitpun, yang aku pun tidak peduli. Ruki dan Eno masih menemaniku, membantu untuk duduk di atas kasur. Ruki menyuapiku, tapi aku tidak mau. Aku tidak lapar sama sekali.

“May, makan dulu lah. Dari kemarin kamu belum makan, kan? Kasihan Inak Bunan sudah memasak, masa nggak mau?”

Aku diam sambil menatap ke luar jendela. Dia pergi entah ke mana.

“May, makan dulu.” Ruki menatapku tegas.

Aku menggeleng lemah.

“Jadi, kamu pikir aku ke sini buat lihat kamu nggak mau makan, gitu? May, Eno sampai membatalkan pergi ke Denmark demi kamu loh!” Ruki mungkin merasa kesal.

Aku menatap Eno. Mukanya sendu sekali. Dia diam tidak menjawab perkataan Ruki.

“Mana mungkin aku bohong, Damay. Segera, kalau kamu mau menghargai kami, please, makan dulu, dua sendok saja!”

Aku masih menatap Eno. Akhirnya, Eno menatapku balik. “Makan, May. Sungguh, kamu tidak perlu merasa bersalah. Bukan karena kamu aku gagal terbang, May. Buat apa aku sampai di Denmark, kalau di sana aku selalu khawatir sama kamu?”

Pipiku basah. Dia memegang tanganku lagi. “Makan, May. Bukan karena aku nggak mau lihat kamu menangis, kamu nggak papa menangis, bahkan makan sambil menangis pun gakpapa. Kamu harus makan. Apakah aku yang harus nyuapin kamu?”

Aku mengelap ingus. Mengambil piring, lantas makan sendiri sambil menangis. Ruki menatap langit-langit. Eno menunduk lagi. Setengah piring sudah kumakan. Kuletakkan lagi.

“Aku ambilkan minum, ya?” Ruki pergi dari kamar. Eno menghela napas keras.

Kami hening. Ruangan hening. Aku terus-terusan menatap keluar jendela.

“Aku tahu, kamu ingin ikut mencari, kan? Enggak. Enggak untuk kali ini. Kakimu masih terluka parah. Biarkan mereka saja yang mencari,” Eno menatapku lamat. “May, apa kamu ingin tahu sesuatu?” Eno menatapku lamat.

Aku tidak balas menatapnya. Tetap melihat ke luar jendela.

“Aku enggak tahu apa yang kamu janjikan dengan Dokter itu, tapi, saat kamu tidur dengan posisi duduk, kamu ingin tahu apa yang dia lakukan?”

Aku diam. Tetap menatap ke luar jendela.

“Dia menyelimutimu, May. Aku yang baru datang, ingin melakukan hal yang sama, sudah keduluan dia. Bahkan, dia duduk di dekatmu, menatapmu sambil menangis sendiri. Berharap kamu segera siuman. Dia juga yang membawa makanan itu untukmu, berharap kamu segera bangun dan mengobati lukamu. Mana bisa dia mengobati lukamu, sedangkan luka itu ditutup oleh tanganmu?” jelas Eno.

“Aku enggak tahu kenapa kamu begitu marah padanya? Tapi ingatlah satu hal. Dia ikut mencari Acel bersama ketiga muridmu itu. Aku yakin, dia ingin sekali mengajakmu, tapi tahu kondisimu yang seperti ini, dia pasti akan lebih khawatir.”

Aku mengusap ingus.

“Yang kudengar tadi, ingkar janji bukan? Tapi, kamu belum tahu mengapa dia ingkar janji, tidak bisa datang. Bisa jadi, di tempat lain dia melalui hari yang pelik, hingga tak bisa menepati janjinya.”

Eno menggenggam erat tanganku. “May, aku harap, setelah kamu meninggalkan tempat ini. Jangan sekali-kali kamu masih membencinya. Dia begitu bertanggung jawab.”

Aku menangis lagi. Kalau begitu, kenapa membuat janji yang tak bisa dia penuhi?

“Aku enggak akan pulang sebelum keadaanmu baik-baik saja, Damay,” Eno menatapku lamat.

“Aku akan di sini, Ruki akan di sini.”

Eno mengusap kepalaku lagi. Merapikan rambutku yang berantakan. Aku menangis, menangkupkan tangan. Betapa, aku banyak merepotkan orang. Siapapun itu. Entah seisi desa, Hamak, Inak, Nico, Menteng, Itok, Ruki, Eno, dan Dia.

Aku ingin segera pulih atas keterpurukan ini. Aku ingin segera ikut mencari Acel.

                                                                                         ***

Hari kedua setelah Acel menghilang.

Aku berdiri, membuka pintu kamar. Mereka yang mau mencari Acel kembali—rencananya ada tiga hari, tengah bersiap. Kali ini, sudah terbagi tim. Tim Hamak dan para pemuda dan tim dia, anak-anak, dan satu pemuda bawahan kepala suku.

“Aku ikut!”

Perkataan Eno benar. Aku harus berusaha baik-baik saja, melakukan tindakan ikut mencari Acel di mana. Hatiku masih terasa perih, apalagi soal pertanyaan yang terus muncul dan jawaban yang belum ada. Bermuram durja, tidak melakukan apa-apa, hanya berandai-andai dan menanti keajaiban,tidak akan menghasilkan.

Dengan kekalutan hati dan sedikit semangat, aku memutuskan ikut. Mereka semua menatapku. Hamak menggeleng pelan.

“May, kamu belum pulih seutuhnya.” Eno mencegah. Dia sudah memakai baju khas desa ini—Eno dan Ruki langsung berangkat waktu itu.

Aku menggeleng tegas. Menunjuk dia. “Aku ikut tim dengannya. Dia adalah Dokter. Kalau aku ada apa-apa, Dia bisa membantu.”

Dia menunduk. Tak berani menatapku. Ya, aku memang masih kecewa dengannya. Sangat. Tapi, Eno benar. Kalau aku tepuruk terus menerus, maka aku tidak akan bisa mencari Acel.

Hamak menatap Dia. “Bagaimana, Dok?”

Dia mengangguk. “Aku siap.”

“Baiklah, tim ditambah. Bu Damay mencari bersama Hamak Fian dan anak-anak. Anak buahku harus ikut kalian.”

Aku mengangguk mantap.

“Aku ikut.” Eno mengangkat tangan.

Aku menggeleng. “Enggak usah, Eno. Aku sudah baik-baik saja. Kamu yang bilang sendiri, bukan? Kamu akan di sini selama aku tidak baik-baik saja. Lihatlah, aku sudah bisa berdiri, menerima, dan mau mencari Acel.”

Eno tak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca.

“Pulanglah bersama Ruki, Eno. Kamu pasti ada kepentingan di Denmark. Ruki juga pasti ada kepentingan dengan kampusnya. Percayalah, aku akan baik-baik saja.”

Eno berdiri, menatapku lamat. “Tapi—”

Aku menggeleng tegas. Menepuk bahunya keras. “Pulanglah, No. Kamu bilang sendiri mau menemani ibuku saat aku tak ada, bukan? Kalau kamu dan Ruki tetap ada di sini, bagaimana nasib Ibuku di sana?”

Eno menghela napas. Tersenyum simpul. Mengacak rambutku. Mengacungkan kelingking padaku, “Berjanjilah padaku, kamu akan baik-baik saja. Kalau kamu mulai terpuruk lagi, kamu bisa menghubungiku. Aku akan langsung ke sini.”

Aku mengangguk. Tersenyum tipis sekali. “Terima kasih, Eno. Maaf selalu merepotkanmu.”

Hamak berdeham. “Baiklah, mari bergegas pergi!”

Ruki yang keluar dari dapur celingukan. Aku langsung memeluknya. “Terima kasih, Ruki. Kamu memang sahabat terhebat yang pernah kumiliki. Pulanglah bersama Eno. Aku akan baik-baik saja.”

Ruki yang belum tahu apa-apa membalas pelukanku. “Hei, apa maksudnya ini?”

Aku melepas pelukan, lantas menyusul perlahan bersama gerombolan. Lukaku memang belum kering, tapi nyerinya lumayan tidak terasa lagi. Pengobatan herbal Nico hebat juga. Dia menunggu di bawah tangga. Nico tersenyum. Menteng dan Itok ikut mencari. Aku memegang saku lebih erat. Kalau aku bertemu dengan gerombolan itu, tak segan-segan kupukul kakinya agar melepuh dan tak bisa berjalan sementara waktu. Ingin rasanya aku melihatnya menangis darah di dalam penjara.

“Hei, kenapa kamu tak memberitahu apapun padaku, Damay!” teriak Ruki.

Sudah tidak ada waktu menoleh ke belakang. Aku pasti menemukan Acel!

                                                                                                     ***

Alasan Hamak bisa mencari lagi hari ini adalah: belum ada tanda-tanda kapal keluar dari kawasan hutan. Ditemukan juga dua manusia yang diduga gerombolan mereka, tercabik harimau. Mereka menduga, pasti masih ada di sekitaran hutan.

Aku dan tim mencari di sekitaran kami mendirikan tenda. Tidak hanya itu, kami menelusuri setiap pinggiran sungai. Kami berhenti sejenak, istirahat. Nico memberikanku minuman sama seperti saat Acel memberi minuman itu. Aku menunduk.

“Tak apa, Bu, kita akan cari lagi setelah ini.” Menteng menepuk bahuku.

Aku mengangguk. Setelah cukup beristirahat, kami mulai mencari lagi. Dua jam berlalu, matahari mulai beristirahat, akan digantikan bulan sementara waktu. Terdengar dentuman dari atas. Ada kode bola api di langit. Salah satu tangan kanan Hamak berseru, meminta izin untuk ke sana dulu. Kami disuruh menunggu di sini. Tempat sudah aman, dia yang mendedikasikan. Terlebih, ada dia.

Kami tidak banyak bicara. Dalam hening, aku mendengar derap langkah mendekat. Dia segera berdiri.

“Kalian, bersiaplah di belakangku!” perintahnya.

Aku langsung menuruti perintahnya. Nico dan Menteng di sampingnya. Itok berada di belakangku. Dia bersiap memberi kode ke udara menggunakan alat tradisional (semacam bumbung yang biasanya digunakan untuk mercon) ke udara.

“JANGAN!” teriak seseorang.

Aku membelalakan mata. Aku sangat mengenal suara itu. Nico dan Menteng saling tatap. Dia menurunkan bumbung itu, menatap ke depan dengan mata berkaca-kaca. Seseorang yang kami cari-cari ada di depan mata kami.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Meter
463      296     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
EPHEMERAL
99      90     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Maze Of Madness
3776      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Langit Indah Sore Hari
98      84     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Just For You
4134      1630     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Edelweiss: The One That Stays
1385      589     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2350      908     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Cinta dalam Impian
86      67     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
7263      2169     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...