Read More >>"> 1' (Pernyataan Eno) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - 1'
MENU
About Us  

Ting...Ting...Ting...

Bel di pintu Toko Bunga Kapem berbunyi. Ruri membuka dengan girang, membawa tumpukan buku ilmiah. Eno menyusul di belakang, membawa proposal penelitian. Aku tidak mengikuti mereka ke halaman belakang. Berhenti di ruangan depan.

Hari Selasa, disaat liburan lumayan menyenangkan juga. Apalagi, toko buku ini cukup masuk ke dalam untuk bisa ditemukan. Jarang ada yang mau kemari. Gawat sekali, kalau sampai anak Antagrambale tahu. Tidak heran, plang bertuliskan “Dilarang berfoto di toko ini!” Pas sekali.

Aku lebih tertarik untuk berhenti di depan rak unik dengan tanaman rambat yang berpilin. Kusentuh beberapa buku tua yang tebal. Rata-rata berwarna hitam dan hijau. Selebihnya hampir keseluruhan berwarna ungu. Aku membawa salah satu buku yang cukup berat itu ke meja antik. Kuletakkan buku itu. Cover-nya bergambar lukisan abstrak yang aku saja tidak tahu apa maksudnya. Bulat-bulat dengan aksen ungu dan hijau.

TUDUNG-TUDUNG BUKAN SARUNG

Dahiku mengernyit. Maksudnya apa? Tudung biasanya terbuat dari anyaman bambu. Mengapa ada tulisan bukan sarung? Ya, benar sih. Aku menggaruk kepala. Baiklah, kubuka tulisan selanjutnya.

Diam, diam, diam, diam, dalam. Diam, diam, diam, diam, dingin. Diam, diam, diam, diam, basah. Diam, diam, diam, diam, sorot mata.

HAH? Mulutku menganga. Ini apa lagi? Buku seukuran A4 hanya terisi kalimat itu? Dengan banyak kata diam dan tanda baca koma. Tidak mau menyerah, aku buka lembar selanjutnya.

Sinar, sinar, sinar, sinar, kamu melihat. Sinar, sinar, sinar, sinar, kamu hidup. Sinar, sinar, sinar, sinar, pintu. Sinar, sinar, sinar, sinar, gelap.

Kututup buku itu. Menghela napas keras. Pertama, judulnya sudah membuat bingung. Kedua, lembaran pertama sudah membuat pusing. Aku yakin, sampai lembar ke belakang juga tambah membingungkan. Jangan-jangan, semua buku yang tertera di rak sama isi temanya? Aku bergegas mengembalikan buku itu. Mengambil buku lainnya.

“Damay!” teriak Ruki.

Belum juga aku membaca, Ruki memanggil. Kusinggahkan kembali buku, beranjak ke halaman belakang.

“Nah, ini Pak yang ngotot ingin bunga anggrek hitam!” Ruki nyengir. Dia sibuk mencoba ‘teknik’ penelitiannya bersama Eno. Entahlah, memakai botol-botol kecil bekas obat.

“Fokus, Ruki! Harus pelan-pelan memasukkan bibit itu ke dalam botol.” Pak Satu memberi instruksi.

Ruki mengangguk. Dia mulai memindahkan ‘bibit anggrek hitam’ dengan hati-hati. Eno, mah, jangan ditanya. Fokus sekali dia.

“Mengapa kamu ingin memiliki bunga anggrek hitam, Nak?” tanya Pak Satu. Tetap mengawasi Ruki dan Eno memindahkan bibit.

Mukaku merona. Terdiam tidak menjawab. Alasan apa yang logis, yang tidak mengarah soal kebucinan?

“Dia memang anak aneh, Pak. Apa-apa dikoleksi. Bahkan surat-surat tulisan jelek juga dikoleksi.” Ruki nerocos.

“Memang surat apa?” Pak Satu menatap Ruki.

Perlahan Ruki memindahkan bibit ke dalam botol. Menoleh kepadaku, menepuk dahi tahu aku melotot. “Eh, anu, surat deklarasi, Pak!”

Aku memutarkan bola mata. Sekali ember, tetaplah ember.

Eno berhenti memasukkan bibit. Menatapku. “Surat deklarasi? Memang dia menemukan surat sejarah yang nggak pernah ditulis?”

“Anggap aja kaya gitu.” Ruki kembali fokus memindahkan bibit. Tinggal lima lagi. Aku tidak berani membantu—bisa-bisa mati semua bibit, karena ini penelitian mereka terakhir. Setelah itu, akan dibuat menjadi produk di sekolahan, bersama pembimbing.

Hingga delapan bulan berlalu, penelitian Ruki dan Eno diterima. Ditandatangani proposalnya. Sekarang, tinggal mereka melaksanakan prosedur dari proposal yang diberikan. Paling tidak, butuh enam bulan untuk penelitian tidak main-main ini.

Tentu, kami sudah naik kelas dua belas. Masih semester satu, ada pemakluman dari guru-guru, karena penelitian ini masuk ke tingkat nasional. Mau juara atau tidak, tetap akan dilanjutkan dengan serius. Kesempatan emas bagi Ruki dan Eno.

Penelitian ini prosesnya juga cukup panjang. Pertama, harus mengetahui apakah dengan ‘teknik’ yang ditawarkan, sesuai dan berhasil. Jawabannya, berhasil. Kedua, saat tahap pertama berhasil, maka tinggal lanjut perkembangbiakan dengan ‘teknik’ itu. Ketiga, setelah bunga berkembang, baru dibuatlah obat tanpa menggunakan anggrek hitam aslinya—janji Ruki ke Pak Satu.

Pak Satu menurutku salah satu keajaiban dunia. Dia adalah pemilik toko, perancang arsitektur toko ini, sekaligus tahu banyak sekali soal pengetahuan. Bahkan, walaupun toko ini terlihat ‘aestetik’, tapi dia tahu soal teknologi. Malah, terkadang memberikan asumsi-asumsi bagaimana teknologi ke depan.

“Kalau benar, surat deklarasi yang dikoleksi Damay itu sesuatu sejarah yang tak dituliskan di masa depan, akan menjadi penting sekali. Kalian ingin tahu mengapa ada mobil, motor, pesawat, dan teknologi lainnya?”

Nah, kan, mulai lagi ‘pembelajarannya’ soal teknologi.

"Hanya ada dua. Sejarah dan kesulitan.”

Aku menoleh ke Pak Satu. Aduh, ini otakku yang lemot atau memang pak Satu bahasanya tinggi sekali. Aku menoleh ke Ruki dan Eno. Mereka manggut-manggut. Fix, otakku yang lemot.

“Tahu alasan mengapa roda tercipta? Karena susah membawa gerobak tanpa roda. Didorong terus menggunakan kekuatan manusia. Akhirnya, melihat dari sejarah bagaimana susahnya orang zaman dahulu sebelum ada roda, tercipta lah roda.”

Okey, bisa diterima.

“Mengapa ada pesawat? Karena manusia kesusahan saat menggunakan kendaraan darat, harus bergonta-ganti kendaraan. Bus dan kapal, misalnya. Belum lagi dengan jalanan yang terjal. Susah. Akhirnya, dibuatlah pesawat.”

Aku ikut menggut-manggut, sama persis seperti Ruki dan Eno. Lama-lama aku bisa menjadi anak IPA dadakan.

“Tahu ada Bluetooth? Karena saat era flashdisk susah, harus ditancap ke sana kemari, era inframerah apalagi, terciptalah blueetooth, menjadi lebih mudah. Data bisa terkirim lebih cepat. Hingga, suatu saat nanti, bisa saja tubuh manusia yang dikirim dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain dengan waktu yang sangat cepat,” ucap Pak Satu dengan tatapan serius.

“Namun, semakin kita mudah mengakses semuanya, semakin pula kemunduran yang terjadi.” Pak Satu menghela napas.

Aku mengangkat kedua alis. Ruki dan Eno berhenti manggut-manggut, menoleh ke Pak Satu.

“Saat semua kemudahan terjadi, aku sangat berharap ada ilmu soal ‘keseimbangan antara sosial, budaya, dan teknologi’. Itu sangat penting sekali.” Pak Satu bergumam.

Aku menggaruk kepala. Menoleh ke Ruki dan Eno. Ruki mengangkat bahu, melanjutkan memasukkan bibit ke dalam botol kecil. Eno tersenyum lebar kepadaku, melanjutkan memasukkan bibit. Aku menoleh lagi ke Pak Satu.

“Suatu saat, di antara kalian pasti akan mengerti, apa yang aku ucapkan tadi.” Pak Satu kembali fokus mengawasi ‘pekerjaan’ Ruki dan Eno.

Sementara aku masih mematung, memikirkan perkataan Pak Satu.

                                                                                           ***

 “Damay kaya nenek-nenek, minumnya teh telang!” Ruki meledek.

Aku tidak peduli soal perkataan Ruki. Tetap menghirup aroma teh telang yang berwarna biru keunguan. Enak, segar rasanya. Kalau membaca buku sambil minum teh, ditambah hujan, pastilah melebihi dari anak indie. Eh, aku jadi teringat buku ‘aneh’ itu.

“Tapi, asli, ini kopi enak banget. Padahal, tanpa cream atau tambahan mocca. Kopi apa ini namanya, Pak?” tanya Ruki.

Pak Satu tidak menjawab. Sibuk membuatkan jus jambu biji langsung petik dari halaman belakang. Banyak tumbuhan. Ada sayuran, buah-buahan, bahkan kacang-kacangan. Seperti ‘tukang sayur ala alam’. Mau jambu? Tinggal petik. Mau kacang? Tinggal gali tanahnya. Mau sayur? Tinggal ambil. Enaklah, tidak perlu pergi ke pasar.

Pak Satu meletakkan satu gelas jus jambu untuk Eno. Gelasnya dari kayu. Cangkir dan gelas Ruki juga sama. Unik. Eno mengangguk, mengucap terima kasih.

Pak Satu ikut duduk di samping Eno. Tersenyum. “Bagaimana? Segar?”

Kami serempak mengangguk.

“Tentu, mereka aku tanam dengan pupuk alami dan penuh cinta,” ujar Pak Satu dengan suara mendayu.

“Em, Pak, itu buku apa, sih? Kok dari judul sampai isinya aneh?” Aku teringat keanehan buku.

Ruki dan Eno memasang telinga, tertarik. Pak Satu berdiri, mengambil salah satu buku yang ada di rak. Membawa ke tengah-tengah kami, membuka perlahan.

“Ini dongeng,” jawabnya.

Dahiku mengernyit. Dongeng? Mana ada anak-anak akan membaca dongeng dengan judul dan isi aneh? Malah pusing pembaca. Ruki dan Eno menatap buku, penasaran.

Cover-nya lucu juga, Pak. Seperti lukisan abstrak.” Ruki nyeletuk.

“Ya, memang lukisan abstrak. Dibuatnya langsung dari jari, bukan kuas.”

Aku semakin tertarik. Pak Satu mulai membuka buku. Kan? Buku lain pun judulnya aneh.

TENGAH-TENGAH BATU-BATU

Kini, giliran Ruki dan Eno menatap heran pak Satu. Dia terkekeh, menatap kami bergantian.

“Bingung, ya? Kasihan. Tapi, kalau kalian bingung itu artinya kalian berpikir.” Pak Satu tersenyum.

“Buku ini penuh filosofis, Nak. Anak kecil yang membaca harus didampingi seseorang yang benar-benar tahu maksud buku ini. Sekarang, aku bertanya, bukankah cerita dongeng itu abstrak? Apakah pernah ada hewan berbicara dengan manusia? Atau, adakah tangisan manusia yang bisa menghasilkan danau?”

Aku menggeleng pelan. “Berarti, judul dan isinya maksudnya abstrak? Belum tentu benar?”

Pak Satu terkekeh. “Justeru, itulah yang dimaksud abstrak. Bisa salah, bisa benar.” Pak Satu tersenyum sejuta arti. Dia membuka lagi halaman berikutnya.

Panas, panas, panas, panas, iya. Dingin, dingin, dingin, dingin, iya. Sejuk, sejuk, sejuk, sejuk, pasti. Terkungkung, terkungkung, terkungkung, terkungkung, penjara.

Kalau mau mengibaratkan muka Ruki dan Eno, mereka mirip monyet yang dicuri kacangnya. Aku menahan tawa melihat ekspresi mereka—padahal, mungkin mukaku sama persis saat tadi membaca buku aneh yang kuambil pertama.

“Ini, nyanyian atau apa, Pak? Kok panas, panas, panas, panas, sampai empat kali? Atau, gimana sih?” Ruki memijat kepalanya. Oke, tambah satu yang pusing.

Eno sedang berpikir keras. “Mungkin, maksudnya panas di sini banyak kemungkinan. Cuacanya? Atau, iklimnya? Tapi, aku tidak mengerti mengapa kata panas harus sebanyak empat kali dituliskan. Atau, karena ada empat orang secara bergantian berkata panas?” Eno memegang dagunya.

Aku dan Ruki menoleh bersamaan ke Eno. Memang benar ungkapan cewek-cewek. Sudah pintar tambah cerdas. Cool.

“Hampir benar, Nak Eno. Tapi belum tepat.” Pak Satu tersenyum pada Eno.

“Ayo, dong, Pak. Cepat artikan itu apa?” Ruki merengek tidak sabar.

Pak Satu menutup bukunya. Kami serempak berkata ‘yah’. Mengeluh. Persis, seperti kalian penasaran kelanjutan drama bersambung, film bersambung, atau novel series.

“Cukup. Suatu saat, akan ada seseorang yang berusaha mengetahui isi-isi buku ini, tanpa aku memberitahunya. Umur kalian belum bisa bertanggung jawab atas buku-buku dongeng ini.” Pak Satu beranjak, memasukan buku ke dalam rak dengan rapi.

Maksudnya bertanggung jawab itu merapikan buku ke lemari semula? Atau mempertahankan cerita dongeng itu agar tidak punah?

***

Kami ‘diusir’ pak Satu dari Toko. Mulai berjalan menelusuri jalanan yang tertata seperti batu bata hitam kokoh. Gang kecil bercabang dengan khas masjid yang di depannya ada gapura berbentuk bangunan Hindu. Entahlah, apa filosofis-nya. Loh, kok lama-lama aku mirip pak Satu, mikir filosofis segala.

Keluar dari gang, kami berbelok kanan menuju Halte bus. Penuh. Memang cukup ramai, karena libur tanggal merah. Andong silih berganti membawa penumpang. Rombongan sepeda entah dari mana, beramai-ramai membunyikan bel. Penjual dan pedagang merapat.

“Damay WAJIB traktir es degan!” Ruki berseru sambil mengacungkan tangan.

“Emang Damay ulang tahun? Bukannya tanggal 18 Juli?” Eno mengangkat alisnya.

Aku menoleh ke Eno. Kok dia tahu tanggal lahirku?

“Ciee, Eno hapal betul tanggal lahir Damay!” Ruki tertawa keras. Satu dua orang menoleh. Eno tidak menjawab, memilih diam.

“Kan, waktu lomba PMR itu, aku udah traktir!” jawabku. Sejak kami kelas dua belas, aku jarang ke ekskul PMR. Sudah paripurna, paling hanya seminggu sekali mampir UKS untuk tetap bisa melatih adik kelas.

“Bukan! Pertama, waktu ulangan Matematika materi Limit, kamu nilai seratus. Kedua, sejak kelas dua belas nilai matematikamu enggak pernah remidi. Ketiga, besok resmi mendapatkan bunga anggrek hitam, langsung dikasih dari Pak Satu.” Ruki menjelaskan runtut.

Aku menggelengkan kepala. Iya, memang benar nilai limitku saat itu seratus. Tapi, itu sudah delapan bulan lalu. Aku masih ingat. Guruku shock melihat nilaiku seratus. Tidak hanya itu, hanya dua anak yang tidak remidi—itupun satunya nilai mepet KKM. Aku juga shock tau nilai limitku seratus. Menggigil mengambil kertas itu.

Di kantin, aku langsung menyerahkan kertas itu ke Ruki. Dia lebih tidak percaya, langsung tersedak tahu nilaiku Matematika seratus. Keras sekali dia berkata, sampai-sampai anak IPS dari kelas lain minta diajari agar besok lusa ulangan limitnya bisa nilai seratus.

Semenjak itu, aku sudah paham bagaimana ‘cara mainnya’ bila berhadapan Matematika. Pelajari saja mengalir, jangan dibuat pusing. Kalau tidak bisa, ulangi lagi. Tidak bisa, ulangi lagi. Jangan menyerah. Sejak kelas dua belas, nilai matematikaku membaik. Tidak pernah remidi juga. Ini semua berkat Ruki yang mau sabar mengajariku.

“Nanti, dugaanku kalau Damay dapat bunga anggrek hitam itu, bunganya tidak dibuang. Dibiarkan sampai mengering, lalu dibentuk lope di buku diari,” ledek Ruki. Sekali lagi, dia tertawa keras.

Aku menjiwit bahunya. “Ketawanya jangan keras-keras, nanti kita dikira sedang pertunjukan topeng monyet!” seruku. Tepat kata ‘monyet’ aku melotot pada Ruki.

“Ya, kali, aku monyet! Cantik-cantik begini, masa mau jadi monyet? Ah, udahlah, pokoknya traktir es jamu beras kencur! Titik! Kamu mau kan, No?” Ruki bertanya pada Eno.

Eno tertawa kecil, lantas mengangguk.

“Tadi katanya mau es degan, sekarang es jamu, mau yang mana?” tanyaku.

“Es jamu! Mumpung ada bakulnya.” Ruki nyengir.

Aku mengangkat bahu. Baiklah, tidak masalah. Kami bertiga menuju ke gerobak kecil dengan deretan botol kaca berisi air jamu . Sebenarnya, tidak hanya beras kencur. Ada kunir asem, paitan, bahkan buyung upik juga ada. Kami bertiga kompak membeli beras kencur. Biasanya, jamu itu terhidang hangat, tapi bakul ini berbeda. Pakai es batu. Jadi, lebih mantap.

“Ah, mantap!” Ruki menyedot sambil duduk di bawah tempat duduk besi.

Aku mengangguk. Eno diam dari tadi, mengamati kendaraan mondar-mandir.

“No, ngomong, dong!” Ruki nyeletuk.

“Hmm?” Eno menoleh ke Ruki.

Aku berdiri, membuang sampah tempat sampah unik. Berbentuk ikan. Tempat sampahnya terdiri dari tiga. Warna kuning untuk sampah non-organik, warna hijau untuk sampah organik, warna abu-abu untuk sampah pecah beling.

Ruki menatap ponsel cemas. Menatapku memelas. “Em, May, aku pulang dulu, ya? Aku udah ditunggu sama Mama. Kebetulan, Papa pulang hari ini, mau makan bareng.” Ruki mendekat padaku.

“Loh, kan, memang mau pulang?” tanyaku.

“Eno katanya mau beli buku. Temani, ya?”

Aku menoleh ke Eno. Dia mengangguk. Ini modus apa benar-benar mau membeli buku?

“Kalau Eno macam-macam, kamu langsung telepon Pak Polisi atau Satpam. Aku rela!”

“Oi, aku tidak seburuk itu, Ruki!” Eno mendengus.

Ruki tertawa. Menepuk bahu Damay. “Lakukanlah. Kali ini, kamu harus jelas!”

Aku menatap Ruki tidak mengerti. Dia mengerlingkan mata. Ojek online merapat, Ruki bergegas pergi.

Tinggal aku dan Eno saat ini.

*****

Langit bertamu dengan warna oranye. Tidak juga, ada campuran biru dan awan putih selarik. Pedagang asongan menutup ‘toko’, berganti pedagang makanan dan angkringan berjejer di pinggir jalan. Angkringan itu mirip warung makan. Bedanya, angkringan menggunakan gerobak dorong dengan terpal menjulang ke bawah.

Setelah aku menemani Eno membeli buku—dan dia juga membelikan buku series petualangan terbaru, kami langsung keluar dari Toko, berjalan di trotoar yang bersih. Memang, ya, dunia abu-abu. Di sini, sangat bersih dan terjaga, tapi ada juga sungai yang banyak sekali sampah.

“Kamu suka karya Luin sejak kapan?” Eno bertanya sambil membawa tas tenteng berisi buku. Entahlah, tasnya penuh.

“Em, aku lupa persisnya. Dulu, sejak kelas dua SMP kayaknya. Pertama kali buku karya Luin itu, judulnya ROMPI. Tapi, bukan series.”

“Itu, judul buku apa tips jualan rompi?” ledek Eno.

Aku tertawa kecil. “Awal aku membaca judulnya, kukira seperti cerita-cerita teenlit lainnya. Memberikan rompi saat kehujanan, saat kedinginan, atau sebagai simbol perpisahan. Ternyata, aku salah duga. Malah membuatku merinding rasanya.”

“Kenapa?”

“Karena, soal konflik dengan alam. Antara hidup dan mati.”

“Seru juga, aku baru membaca buku karya Luin, yang series petualangan ini. Judul yang unik, diambil dari bahasa latin pula,” tambah Eno.

“Susah kan ngomongnya?” Aku tertawa.

Klakson mobil menggema di sepanjang jalan. Kalau liburan, jelas macet.

Eno mengangguk. “Eh, beli es krim rujak mau?” tanya Eno.

Aku mengangguk. Dia segera berlari ke bakul es krim rujak. Iya, jadi, es krim dicampur dengan rujak, beserta bumbu-bumbunya. Awal, memang aneh, tapi setelah dimakan enak, kok. Aku duduk di kursi kayu di bawah pohon cemara ‘palsu’. Eno kembali membawa dua es rujak. Kalau bisa diibaratkan, dia seperti bapak-bapak yang repot membawa tas. Tas belakang besar, tas jinjing, ditambah dua es krim di kedua tangannya.

Aku tertawa perlahan. Eno menyerahkan salah satu es krim rujak kepadaku.

“Kenapa ketawa?”

“Kamu rempong, tinggal kasih tas jinjing itu ke aku dulu, baru beli. Udah lari aja.”

Muka Eno merona. “B-biar kamu enggak repot.”

Aku tidak menggubris, langsung menyendok es krim rujak.

“Eh, aku jadi inget, bukankah Coelogyne pandurata itu, nama latin dari bunga anggrek hitam, kan? Eh, apakah kamu menyukai bunga anggrek hitam karena buku itu?” Eno tetap menghadap ke jalanan. Tak henti menyendok es krim rujaknya.

Mukaku merona. Berhenti menyendok es krim rujak. Menghela napas panjang. Menatap lalu-lalang jalanan. Ternyata, aku salah. Dengan kesibukanku, tetap saja aku tidak pernah bisa sehari saja tidak memikirkannya. Setiap waktu. Bahkan, hal-hal kecil terjadi, langsung mengingatnya. Melihat gerombolan cewek SMA lewat memakai baju putih, teringat dia. Melihat stetoskop di UKS, langsung mengingatnya. Tidak ada hari, tanpa aku scroll Wacebook-nya. Selalu.         

“May? Kok melamun?” tanya Eno.

“Eh, gimana No?”

“Tuh, kan, kamu kenapa? Kamu memikirkan sesuatu?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng lemah. Tersenyum seadanya. Suasana lengang. Aku dan Eno membisu, sibuk makan rujak es krim sambil melihat ramainya kota.

“May, aku boleh cerita enggak?” tanya Eno.

Aku mengangguk sambil mengunyah rujak.

Eno meletakkan es krim rujak di kursi seberang, membuka tasnya, mengambil buku. Aku kaget. Dia membawa semua buku series yang kami bahas di dalam tasnya. Dia mau cerita semua series bukunya? Gila, bisa lama banget.

“Pertama, buku berwarna oranye ini.” Eno berhenti bicara. Terlihat gugup. “M-memang buat kamu.” Eno meletakkan buku itu di sampingku.

Aku menatap Eno tidak percaya. Mukanya mulai merona. Dia tidak menatapku.

“Aku membeli ini limited edition, langsung ada tanda tangan dari Luin. Tidak kubuka, aku rela membaca dari perpustakaan saja. Atau beli e-booknya,” tambahnya lagi.

 Eno meletakkan buku berwarna ungu, buku series kedua. “Ini buku kedua, kubeli juga langsung limited edition, ada tanda tangan dan motivasi langsung dari penulis. Entahlah, aku enggak tahu kalimat motivasinya, tidak kubuka plastiknya.”

Eno meletakkan buku warna putih bercampur biru—seperti es, series ketiga. “Ini, buku series ketiga. Aku sangat beruntung mendapatkan buku ini. Pertama, ada tanda tangan. Kedua, ada motivasi dari penulis. Ketiga, dapat pulpen, untuk motivasi bagi yang mau menulis.”

“Dan, series keempat yang tadi kita beli.” Eno meletakkan buku itu. Muka Eno merona. Mendorong tiga tumpuk buku itu ke dekatku. “S-semuanya untukmu.”

Suasana lengang. Suara motor-motor terdengar. Suara anak kecil menangis terdengar memekakan telinga. Ringkikan kuda juga terdengar. Aku menatap Eno tidak percaya. Apakah, selama ini kak Nata tidak hanya sekedar meledek?

 “Untuk apa, No? Mending, buat kamu aja, No! Kamu, kan, juga membaca buku-buku itu?”

Eno menggeleng kuat, “U-untukmu.”

Aku menatap lamat Eno. Dia mengela napas panjang, mendongak, menatapku lamat.

“Untukmu,” jawabnya lagi dengan suara lembut.     

Aku menelan ludah. Apa maksud dari ini semua?

Eno mengalihkan pandangannya ke jalan trotoar. Menunduk. “Bisakah, kamu nggak menatapku seperti itu?”

Oh, baiklah. Aku mengalihkan pandangan. Lima menit tidak ada obrolan dari kami.

Eno menghela napas pelan. “Aku tidak tahu sejak kapan, apakah saat kamu di kelilingi Kakak Senior Pramuka dan PMR? Entahlah ....”

“S-saat itu, aku memang sedang bermain sepak bola. Pertama kali melihatmu, membuatku tidak fokus bermain bola, lihat?”

Eno membuka poninya. Menunjukkan bekas luka tipis. “Bola itu mengenai kepalaku, benjut,”

Astaga, kenapa bisa? Di saat aku mencari jawaban dari pertanyaan kakak senior, lantas melihat orang benjut saat bermain bola, ternyata Eno adalah alasan jawaban ngawurku.

“Sejak itu, aku selalu penasaran tentangmu. Yang ternyata, kamu masuk PMR dengan cara fantastis. Tes hanya waktu tiga hari. Kak Nata, tahu betul bahwa aku selalu mengamatimu. Bahkan, aku diam-diam bertanya, buku yang kalian diskusikan saat itu. Ternyata, kamu penggemar semua karya Luin R Ante. Saat itu pula, aku langsung ke perpustakaan.”

“Hal gila pertama yang pernah aku rasakan. Biasanya, aku ke perpustakaan untuk membaca koran, jurnal ilmiah, atau buku-buku teknologi terbarukan. Mengerjakan tugas juga. Ini, aku mencari novel, yang jelas-jelas hanya satu tahun sekali aku membaca novel, itupun harus fiksi ilmiah. Hingga, aku tahu, bahwa buku petualangan itu lumayan juga. Disaat itu, aku selalu mencari apapun kesukaanmu, tanggal lahirmu, yah, begini. Buku menumpuk, dan aku tidak berani memberikannya padamu.” Muka Eno benar-benar merah padam. Dia mati-matian bercerita.

Aku masih diam, biarkan dia bercerita dahulu.

“Akhirnya, aku tahu bahwa kamu adalah sahabat Ruki. Sejak saat itu, aku memberanikan diri menjadi tim anggota bersamanya, cerewet memang, tapi dia baik. Dekat dengan Ruki, aku bisa lebih dekat denganmu, terbukti sekarang.”

Lengang.

“Ruki tahu, tapi aku tidak mau dia bicara apapun soal rahasiaku. Rahasia, yang kusembunyikan selama dua tahun ini,” jelas Eno.

“Apakah aku berani? Belum. Tapi, saat melihat mukamu merona hanya karena soal bunga anggrek hitam, aku bertanya, seberapa penting bunga anggrek hitam? Sepenting itukah bunga anggrek hitam bagimu? Mengapa? Apa karena novel? Atau—”

Eno menghela napas. Tersenyum getir. Sungguh, aku tidak ingin Eno lanjut bercerita.

“Damay, belum pernah aku melihat mukamu merona atas pemberian dariku. Entah, berbincang denganku, berjalan denganku, atapun makan bersama es krim rujak ini.”

Eno mendongak menatap langit. Matanya berkaca-kaca

“Sejak itu, aku tahu aku kalah.”

Kami saling menatap lamat. Jujur, jantungku lumayan berdegup—tapi tidak seheboh saat bertemu Dia. Matanya sudah mau menumpahkan air di pipinya.

“Damay, a-aku me-menyukaimu ....” Air itu mengalir juga di pipinya. Hanya satu, di pipi kirinya.

Aku tetap menatapnya. Tidak menyangka Eno akan berkata seperti itu.

Eno menggeleng lemah. Menatap kakinya. “Aku tahu, aku kalah. Bukan karena kalah atas betapa istimewanya bunga anggrek hitam itu. Tapi, dari pendirianmu. Dari sorot matamu. Itu, bukan untukku, aku tahu.” Eno menatapku lagi. Tersenyum. “Aku hanya mengungkapkan. Tidak butuh jawabannya. Karena, aku sudah tahu jawabannya.”

Lengang. Aku bingung untuk menjawab. Diam, karena apakah aku memberi harapan padanya?

“Kamu enggak memberi harapan sama sekali, Damay. Kamu selalu berlaku baik dan mau membantu pada setiap orang,” tukas Eno yang seolah tahu pertanyaanku. Dia mengacungkan jari kelingking di hadapanku. “Bisakah memberiku waktu, agar aku bisa menerima semua ini? Setelah itu, kita bisa bersama dengan pemahaman berbeda. Teman. Kita akan melakukan petualangan lagi. Maukah?”

Mataku berair. “Maaf ....”

Eno menggeleng lagi. Tetap mengacungkan jari kelingkingnya. “Mau?”

Aku mengaitkan jari kelingkingku. Pipiku menghangat—karena basah. Mengangguk. Sungguh, aku merasa bersalah atau entahlah apa yang kurasakan.

“Nanti, saat aku kembali, disaat itu pula aku bisa menerima dengan baik semua kejadian hari ini. Apapun nantinya. Terima kasih, Damay.” Dia tersenyum, matanya berkaca-kaca.

Setelah pertemuan kami di pinggir trotoar, Eno menjauh hingga lulus SMA. Aku tidak tahu kabarnya. Hanya mendengar, dia mendapatkan beasiswa kuliah di Denmark. Harga pantas bagi Eno—dia gigih dan cerdas.

Disaat itu pula, aku selalu bertanya pada diriku sendiri. Bukankah konyol sekali? Aku mengorbankan seseorang yang benar-benar tulus padaku, hanya untuk seseorang yang nun jauh di sana yang tidak penah kulihat orangnya. Tidak pernah tahu senyumnya setiap hari. Tidak tahu sedihnya—di Wacebook dia tidak pernah mengumbar soal kesedihan. Kami hanya satu kali bertemu.

Bukti, bahwa perasaanku memang semakin membesar. Untuk Dia.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Meter
463      296     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
EPHEMERAL
99      90     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Maze Of Madness
3776      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Langit Indah Sore Hari
98      84     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Just For You
4134      1630     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Edelweiss: The One That Stays
1385      589     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2350      908     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Cinta dalam Impian
86      67     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
7263      2169     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...