Read More >>"> 1' (Pertanyaan yang Tidak Ada Jawaban) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - 1'
MENU
About Us  

Setelah aku tahu asal bunga anggrek hitam tumbuh.

“Kamu itu sok sibuk! Lihat, Matematika jeblok lagi? Astaga, Damay!” Ruki menggelengkan kepala. Menyedot jus melon.

Aku mendengus kesal. “Dari awal aku memang tidak suka matematika, Ruki! Toh, apa salahnya aku tidak bisa matematika?”

“Masalahnya, ini pelajaran peluang. GAMPANG BANGET, DAMAY!” Ruki menekan suaranya.

Lapangan ramai. Pertandingan sepak bola antar kelas sudah dimulai. Tidak hanya sepak bola, tapi ada pertandingan basket dan voli. Nah, saat berlangsung class meet, pertandingan grand final baru dipertontonkan secara menyeluruh. Guru-guru ikut duduk menonton, wasit dari guru olahraga, dan semua siswa akan berkumpul ramai di lapangan.

Sore ini, pertandingan semifinal sepak bola antara kelasku dengan kelas Ruki. Sorak horai terdengar sampai ke telinga. Pertandingan sepak bola diadakan setelah jam pelajaran selesai, jadi mereka berguling-guling di rumputan kurasa melampiaskan susahnya pelajaran di kelas. Mungkin, juga mendapat nilai merah di ulangan.

Setiap kelas mempunyai yel-yel sendiri. Palah, biasanya antar kelas akan saling memojokkan demi mendukung timnya. Beda antara aku dan Ruki. Tidak peduli siapa yang menang atau kalah. Memilih duduk di bawah pohon ketapang, menonton sambil nyemil.

Ruki iseng bertanya nilai matematika—mentang-mentang nilai matematikanya bagus. Apa karena aku sering bertanya soal matematika?

“Iya, gampang banget buat kamu, jungkir balik buat aku!” jawabku sambil mendengus.

Ruki menggoyangkan jari telunjuk di depan wajahku. “Masalahnya, kamu sudah berapa kali remidi matematika? Mapel matematika syarat ujian, loh! Kalau kamu nilainya remidi terus, palah di bawah lima, wassalam. Kamu akan susah masuk Universitas!”

 Aku menelan ludah. Benar juga. Mari kita hitung. Kelas satu semester satu tidak pernah remidi, semester dua selalu remidi. Kini, kelas sebelas hanya awal-awal tidak remidi. Itupun karena guru PPL berbaik hati mengajari. Materi aljabar pula, masih gampang. Eh, enggak juga.

Aku nyengir. “Kalau tidak remidi matematika, apakah bunga anggrek hitam itu untukku?”

“ENGGAK!” Ruki menyedot jus melon lagi.

“Kenapa?”

“Justeru aku yang harusnya bertanya. Sejak kapan kamu menyukai bunga?”

Mukaku mulai merona.

Ruki berhenti menyedot. Menatapku. “Sejak kapan seorang Damaylia merengek meminta bunga?”

Aku tidak bisa menjawab.

Ruki memperbaiki posisi duduk ke arahku. Menaikkan alis. “Jangan-jangan—”

“Aku tidak menyukai siapapun saat ini, sungguh!” jawabku bohong sambil mengacungkan tangan ‘suer’.

Ruki tersenyum simpul. “Padahal aku enggak tanya.”

Mukaku semakin merona. Teriakan histeris dari kelasku menggema. Aku ikut bertepuk tangan, berseru.

“Kamu tidak bisa mengalihkan pembicaraan, Damay!” Ruki berbisik padaku.

“Apaan, sih! Tuh, kelasku lebih unggul. Kayaknya kelasmu hampir kalah!”

“Aku tidak peduli kelasku menang atau kalah. Pertanyaanku tetap sama. Kenapa kamu ingin bunga anggrek hitam itu?”

“Ya … bagus saja!”

“Sejak kapan kamu menyukai bunga?”

“Aku, kan, cewek?”

Ruki diam. Menghela napas. “Sejak kamu botak saat TK sampai tumbuh rambut sekarang, aku hapal betul mimikmu, Damay. Kamu enggak bisa berbohong!”

“Loh, memang aku salah menyukai bunga?”

“Puisi-puisi itu ….” Gumam Ruki.

“Aku salah juga menulis puisi?”

“Kamu mau menjadi relawan yang langsung terjun ke sungai bau ….” Ruki terus menyelidik.

“Salahkah aku mencoba hal baru?”

“Dan, sekarang anggrek hitam—”

“Memang aku—” Aku berhenti menjawab.

Ruki menatapku dalam. “Siapa, Damay?”

Aku menelan ludah. Ini Ruki normal kan?

“Aku yakin bukan Eno.”

“Siapa maksudnya apa, Ruki?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Siapa yang—" Mata Ruki berkaca-kaca. “Siapa yang bisa membuatmu menjadi seperti ini?”

“Maksudmu?” Aku mengangkat alis.

Ruki tersenyum simpul. “Aku yakin ada seseorang yang bisa merubahmu seperti ini. Siapa, Damay?”

Aku tidak bisa menjawab.

“S-i-a-p-a?” tanya Ruki perlahan.

Apakah harus aku ceritakan ke Ruki semuanya? Atas pertemuan itu. Atas siapa dia. Atas perasaan ganjilku muncul. Apakah Ruki berhak tahu?

                                                                                          ***

“KAMU, GILA APA SUKA SAMA OM-OM?” teriak Ruki.

Aku membekap mulutnya. Tuh, kan, geger dia. Heboh lagi.

Mereka, si pemain dan penonton sepak bola sempat menoleh ke arah kami. Pertandingan telah usai, dimenangkan oleh kelasku. Ruki mana peduli dengan muka kusut teman-temannya. Dia lebih tertarik mendengarkan ceritaku. Walau, aku belum cerita sepenuhnya.

“Mulutmu itu bisa enggak, sih, disumpal?” Aku mendengus kesal.

“Sebentar ….” Ruki menarik napas, menghembuskan perlahan, “Damay, kamu bercanda, kan? Pasti kamu termakan cerita-cerita dari penulis aneh Luin, kan? Ngaku kamu!”

Aku menatap datar. Kesal.

“Damay, jawab plis? Kamu bohong kan? Enggak mungkin dengan umur enam belas tahun suka sama—” Ruki menoleh ke kanan dan kiri, “suka sama Om-Om umur dua puluh tahunan?” bisiknya.

Kali ini aku benar-benar jengkel. Menatap tajam ke Ruki. “Menurutmu?”

“Wahai, jangan gila, Damay! Nanti kamu disangka dedek gemes yang suka berkeliaran di Malioboro!” bisiknya.

“Jadi, kamu anggap aku seperti itu?” tanyaku tegas.

Ruki diam. Mukanya pias melihat tatapanku tajam dan serius. “B-bukan Damay. Tapi, ayolah—”

“Kamu, kan, baru tahu separuh ceritanya, Ruki!” Aku menghela napas pelan. Melihat kapten dari tim kelasku diangkat tinggi-tinggi.

“Aha, aku tahu. Kamu hanya nge-fans?!” seru Ruki.

“Nge-fans?”

“Iya. Seperti cewek terpesona ke pemain film yang tampan. Cewek yang terlalu mendrama, terngiang cerita novel. Cewek yang terpesona pada pandangan pertama dengan tokoh anime.”

“Mereka terus-terusan kepo, gitu?”

“Iya, dong! Nah, kamu juga begitu kan?”

Aku termenung sesaat. “Seperti jantung berdegup saat mengingatnya. Insomnia, baru bisa tertidur jam satu pagi. Menuliskan puisi tentang dia. Setiap hari mengunjungi tempat pertama kali bertemu. Mereka seperti itu?”

Ruki melongo. “Jangan bilang kamu setiap hari berkunjung ke Puskesmas itu demi mengingat pertemuanmu dengan dia?”

Mukaku merona.

Ruki menepuk dahi. “Damay, kamu tahu apa yang aku pikirkan?”

Aku menggeleng.

“Ini, cerita paling gila yang pernah aku dengar.” Ruki menyisir rambutnya ke belakang. Sepertinya dia shock.

“A-aku—” Aku menghela napas pelan, “juga enggak tahu, bisa-bisanya jantungku berdegup cepat saat melihatnya pertama kali.”

Ruki menghela napas. Menepuk bahuku. “Ceritakan lagi, Damay. Biar aku yang menganalisis.” Yah, beginilah nasib berteman dengan manusia penuh teori dan kumpulan jurnal ilmiah. Hampir benar tebakanku, kan?

Aku mengangguk. “Setelah itu, tak ada seharipun aku enggak memikirkannya. Rekaman itu jelas sekali. Lampu berpendar, larinya, poni berantakannya, mata cokelat yang bening, muka tulus menangani pasien, bahkan dia rela menolong pasien dulu ketimbang berkemas untuk pulang ke asalnya.”

Stop dulu, beri aku jeda menarik napas,” potong Ruki. Betulan dia menarik napas. Membuang perlahan.

“Okey, first, kamu jatuh cinta di awal pertemuan. Second, kamu dan dia berjarak sangat jauh, berpuluh-puluh kilometer, oke premis ketemu. Kamu hanya nge-fans!”

Benar juga sih. “Tapi, kalau sekedar nge-fans, mengapa aku tidak berani menambahkan dia sebagai teman di Wacebook?”

Wacebook?”

Aku mengangguk. “Setiap hari aku selalu membaca satu tulisannya di Wacebook. Penuh semangat dan membuatku berpikir lebih terbuka. Soal menulis, aku mencoba menulis puisi. Soal relawan, aku mencoba jadi relawan. Bukan meniru, tapi lebih, mengapa dia melakukan itu semua? Bagaimana perasaan saat melakukan itu?”

“Seminggu sekali, aku selalu pergi ke Puskesmas itu, berharap dia kembali satu jam saja. Untuk mengembalikan tanda pengenalnya. Ingin sekali rasanya mengatakan dua kata itu ….” Aku menghela napas perlahan. Menatap keramaian di lapangan sepak bola mulai memudar.

“Aku tidak tahu yang kurasakan saat ini—” Aku diam. Takut mengatakan pilihan-pilihan, yang sebenarnya hanya sebagai pembenaran secara paksa.

“Kamu menyukainya, Damay.” Ruki ikut menatap ke lapangan. “Kamu benar-benar menyukainya. Sorot matamu tidak bisa berbohong,” ujar Ruki.

Aku menunduk. Memainkan kaki. “Lantas, mengapa harus dia orangnya? Aku belum paham.”

“Itu misterinya Damay. Kamu pikir, dunia ini penuh sandiwara, eh—” Ruki menepuk dahinya.

Aku menoleh. “Kamu mau bilang soal konspirasi atau mau membahas lagu aestetik itu?”

“Maksudku, dunia itu emang penuh misteri, Damay. Kamu pikirkan yang ada di sekitar sajalah. Mengapa daun terjatuh ke bawah tidak ke atas? Mengapa kutub utara ditutup-tutupi? Bumi itu bulat atau datar? Apalagi soal remeh pertemuan. Aku yakin, setiap pertemuan, kejadian, hal-hal tak masuk akal lainnya, memang sengaja dibuat oleh Alam.”

Aku mengernyitkan dahi. Ini bahasa Ruki yang terlalu tinggi, atau aku yang enggak nyambung?

Look, aku dan kamu bertemu. Kenapa kamu tidak bertemu Bang Duta saja? Menjadi teman atau palahan jadi istrinya?”

Aku menatap sinis Ruki. Lama-lama omongannya ngawur.

“Aku serius! Mengapa kupu-kupu harus terbang tidak merayap seperti cicak? Banyak sekali jawaban tidak masuk akal bagi manusia normal, tapi tidak bagiku manusia—”

“Nokturnal,” potongku.

Ruki melotot. “Gini-gini, aku bangga punya kantung mata karena alasan ilmiah. Mencari jurnal-jurnal, menonton webinar, dan menganalisis bunga yang kau inginkan itu!”

Ruki menggumam. “Seperti kebetulan. Mengapa tepat kamu meneliti bunga anggrek hitam? Jelas-jelas berasal dari tempat tinggalnya,”

“Jangan bilang kamu merayuku untuk memberikan bunga itu, Damay. Tidak jago nggombal kamu!” Ruki mencibir. Mulai menyedot jusnya lagi.

“Banyak sekali pertanyaan yang memang disengaja untuk tidak ada jawabannya.” Ruki mengangguk-angguk sendiri. Tersenyum simpul.

“Seperti pertemuanku dengannya?”

“Oi? Kenapa tanya aku? Kan kamu yang menjalani. Jawaban itu ada. Jawaban itu tidak ada. Kita tunggu sajalah waktunya, kapan jawaban itu terjawab.” Ruki beranjak.

"Mau pulang nggak? Atau mau melamun demi si om—aw!” Ruki mengaduh, kakinya kuinjak.

“Bisa nggak jangan panggil om-om? Dia masih berumur 20-an, kok!” dengusku.

“Terus, siapa?”

Mukaku merona lagi.

“Kamu mau jadi kambing panggang? Kambing Damay, dipanggang terasa lezat, tambah bumbu jagung lebih mantap! Lagian, udah lebih dari tiga kali mukamu memerah. Cosplay? Tenang, lama-lama laku, kok!” Ruki nyengir. Kabur.

Aku mengejar Ruki, ingin kujambak rambutnya. Sahabat yang paling menyebalkan, tapi paling apa adanya. Kalau dalam permainan sebut namaku tiga kali, kuakan datang, maka Ruki berbeda. “Bertingkah bedalah seperti biasanya, maka aku akan mengetahuinya.”

Termasuk tahu, aku segera akan membuat keputusan gila.

                                                                                            ***

Satu buku diletakkan di atas meja. Tambah, dua buku. Tambah, tiga buku. Tambah, empat buku. Terakhir, buku kecil pas di saku. Aku menatap memelas ke Ruki. Serius, aku harus belajar dari semua buku ini?

“Kenapa? Katanya mau mendapatkan bunga anggrek hitam demi om—eh, sorry, demi si pemilik tanda pengenal?” Ruki cekikikan. Duduk di depanku. Kami berada di taman sebelah lapangan basket, tempat paling tenang menurutku.

Aku menghela napas berat. Baiklah, ini syarat dari Ruki. Aku boleh memiliki bunga itu dengan tiga syarat—dan syaratnya rumit. Pertama, harus selalu menemani ke toko bunga unik itu—kalau ini mah, tidak masalah. Kedua, aku harus mempelajari cara merawat bunga anggrek hitam itu, karena memang lumayan susah merawat anggrek, apalagi anggrek hitam yang langka. Ketiga, nah ini yang rumit. Nilai ulangan limitku harus seratus. S-E-R-A-T-U-S.

Bisa kalian bayangkan? Limit, tanpa rumus pasti, harus bisa mengira-ngira rumus apa yang digunakan, dan menurutku ini pelajaran paling aneh. Sudah tahu jawabannya, disuruh mencari lagi. Ibarat kamu mencari bola, tapi sudah ada di depan matamu, kamu pura-pura tidak melihat. Aneh.

Herannya, demi bunga anggrek hitam langka itu—dan merupakan tumbuhan yang berasal dari pulaunya—aku mengangguk setuju. Nilai limit tidak seratus, syarat hangus.

“Kamu harus giat, dong! Nih, ya, kamu lihat pasangan Pak Habibi dan Bu Ainun. Mereka satu jurusan enggak? Enggak, kan? Tapi, mereka satu tujuan. Memajukan negara ini. Walau yang satu mesin, yang satu dokter, tidak masalah. Mereka mau sama-sama belajar, termasuk kamu. Lah, begini saja kamu tidak mau belajar, menyerah begitu?”

“Misal, nih, kamu mengobrol dengannya. Ternyata, dia mengajak membahas Limit. Kamu bengong aja gitu ndengerin dia tanya ini-itu, nyengir kaya kebo?”

Aku menatapnya datar. Sejak kapan kebo bisa nyengir?

“Eh, aku jadi kepikiran. Bu Ainun kan sama tuh dengan si pemilik tanda nama, seorang dokter. Lah? Kamu mau sama kaya Pak Habibi? Bisa buat pesawat, terus lenganmu berotot, jadi cowok dong!” Ruki mengangkat lengannya.

Aku melotot.

Ruki berdeham. “Baiklah, sudah cukup intermezzo-nya, kembali ke tumpukan buku demi pelajaran Limit nilai seratus. Kuis berhadiah bunga anggrek hitam!”

Keistimewaan Ruki muncul. Kalau dia waktunya bercanda, ya bercanda. Namun, kalau soal serius, dia langsung on. Matanya fokus membaca materi limit sebentar, lantas mengodeku membuka buku tulis.

“Nah, aku ajarkan yang mudah dulu saja, ya?”

Aku mengangguk. Menelan ludah. Sudah terlalu banya huruf, dibuat pecahan pula.

“Ayo, Damay, FOKUS!” Ruki menatapku tajam.

Aku melihat cara Ruki mengajari. Dia memberikan tips and trick agar aku lebih mudah menyelesaikan soal limit.

“Kunci utama limit adalah SEDERHANAKAN. Jangan ambil pusing, kamu amati tipe soal, lantas buatlah percobaan. Tak masalah, biasanya soal ulangan tidak jauh berbeda dengan yang diajarkan.”

Aku mengangguk. Waktu selanjutnya, telingaku fokus mendengar, mataku merekam semua petunjuk Ruki—sambil kutulis—, otakku kupaksa untuk paham. Berlangsung lama.

“Busyet, kepalamu berasap, Damay!” Ruki nyengir.

“Mana ada kepala berasap, yang ada otakku mau meledak, BOM!”

Ruki tertawa. “Ya, lumayanlah, kamu bisa menjawab enam dari sepuluh soal. Enam loh, perjanjian harus benar semua, kan?”

Aku memutarkan bola mata. Hah, ini masih soal mudah—bagi Ruki. Tak tahulah besok soalnya seperti apa. Aku menggaruk kepala. Apakah bisa aku nilai seratus?

                                                                                           ***

Gagal sudah. Tiga hari kemudian, ulangan Limit terlaksana. Memang, aku bisa mengerjakan, tapi ada satu soal yang membuatku terombang-ambing. Paling hanya nilai sembilan puluh. Bukan maksudku mau merendah untuk meroket. Perjanjian itu bakal batal. Aku tidak akan pernah memiliki bunga langka itu. Celakanya, mau aku merengek dan bermurah hati setiap seminggu sekali ke sana—menemani Ruki dan Eno penelitan, tetap sama keputusannya.

Aku berjalan gontai menuju kantin. Di sana sudah ada Ruki dan Eno. Biasa, mereka membahas soal penelitian yang akan dilombakan tiga bulan lagi. Apa kabar dengan ekskul PMR? Baik-baik saja. Kak Nata dengan kejahilannya, adek kelas yang ribut soal film, dan aku yang tenang membaca sambil nyemil. Berjalan lancar, belum ada agenda besar.

Ruki melambaikan tangan. Eno menoleh, memberikan senyum terbaik. Tetap, jalanku gontai. Menyeret kursi plastik, menghela napas keras.

“Dilihat dari muka kusutnya, dia pasti kena omel karena tidur di kelas, Eno,” bisik Ruki pada Eno. Cekikikan.

Eno hanya menggelengkan kepala. Mendorong gelas panjang berisi es jeruk. “Diminum dulu! Kamu begadang lagi?”

Ruki berdeham keras. “Aku pohon, aku pohon, aku pohon—”

“Mana ada pohon di dalam kantin?” Aku melotot pada Ruki. Risih sebenarnya selalu dipojokkkan dengan Eno. Eh, si Enonya malah merona mukanya. Aku mengangkat bahu. Selama tidak ada pengungkapan rasa suka, masih aman. Lagipula, Ruki, kan, sudah tahu soal si pemilik tanda pengenal. Kenapa pula masih dipojokkkan dengan Eno?

Ruki nyengir. “Pohon cinta—”

“Mau ku-tampong kamu pakai sendok? Mumpung mood-ku super jelek hari ini!” Aku melotot galak pada Ruki.

“Kenapa?” tanya Eno. Dia mendorong gelas itu lagi, “minumlah dulu, setelah itu ceritakan.”

Aku menghela napas keras. Menyedot es jeruk.

“Tanpa kamu cerita aku sudah tahu, Damay,” celetuk Ruki sambil makan es rujak.

Apa?” tanyaku menantang.

“Ulangan matematikamu tidak bisa seratus. Betul?”

Mukaku merona. Menyedot es jeruk langsung tandas.

“Usai sudah perjanjian. Kamu enggak bisa memiliki bunga anggrek hitam itu.” Ruki menggelengkan kepala sambil memakan es krim rujak. Sok simpati.

Aku beranjak. Mood-ku bertambah buruk karena ledekan Ruki. Memesan satu mangkok seblak ekstra pedas.

“May, gila kamu, itu seblak apa sup darah, nanti lambungmu kambuh!” Ruki mencegah tanganku yang hendak menyuap satu sendok ke mulut.

Eno kompak menjauhkan mangkok dariku. “Kamu itu kenapa, sih? Jangan lampiaskan amarahmu ke lambung cuma karena bad mood. Enggak cocok!” Eno menatapku tajam.

Aku mendengus kesal. “Kalau Ruki tidak memberi syarat susah, mana mungkin aku kesal!”

“Loh, kok, jadi aku sih, May?” jawab Ruki.

“Iya, aku, kan, sudah membantu penelitianmu, apa susahnya, sih, memberikan anggrek hitam itu untukku?”

“Loh, kok kamu ngotot sih May? Itu kan hakku. Jangan maksa, dong!”

“Aku enggak maksa. Kalau tahu aku memang gagal memiliki bunga itu, seenggaknya kamu diam, bukannya meledek!”

“Aku cuma bercanda. Baper amat!” jawab ketus Ruki. Dia mulai kesal.

“Ya, kali manusia enggak punya hati?”

“Ya, kali cuma karena si tanda pengenal, kamu—” omelan Ruki terdiam. Aku melotot marah. Kami kompak menoleh ke Eno. Gawat! Bocor sudah.

Eno mengangkat kedua alisnya.  “Kalian ribut hanya karena bunga? Seberapa penting bunga itu?”

Aku menelan ludah lega. Setidaknya, Eno tidak paham apa yang dimaksud Ruki. Kami mengalah, memilih diam sambil menikmati pesanan. Aku, tentu kepedasan. Ruki santai memakan es krim rujak. Suasana canggung. Eno menggaruk kepala, ikut memakan pesanan.

Namun, perkiraan adalah perkiraan.  Pertama, soal ulangan. Kedua, soal Eno.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Meter
463      296     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
EPHEMERAL
99      90     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Maze Of Madness
3776      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Langit Indah Sore Hari
98      84     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Just For You
4142      1633     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Edelweiss: The One That Stays
1385      589     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2350      908     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Cinta dalam Impian
86      67     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
7264      2169     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...