Read More >>"> 1' (Toko Bunga Kapem) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - 1'
MENU
About Us  

Hari minggu yang menyenangkan.

Lebih tepatnya melihat Ruki sebal. Menjinjing sampah popok ke dalam karung. Menatap sebal ke arahku. Aku menahan tawa sambil memunguti sampah lagi. Eno serius sekali memunguti sampah bersama anak-anak yang berputar di sekelilingnya.

Kami ikut Relawan Penjaga Sungai.

Jauh hari, setelah menjelajahi dinding isi Wacebook-nya, aku iseng mencari-cari di Wacebook dengan kata kunci ‘relawan’. Salah satu yang membuatku penasaran adalah Relawan Penjaga Sungai. Menarik juga. Terlebihnya, ya, karena aku pernah terhanyut, ingin lebih tahu seluk beluk tentang sungai.

Aku mendaftarkan diri, mengontak salah satu nomor ponsel yang tertera. Nah, kesempatan untukku. Mengajak Ruki menjadi Relawan Penjaga Sungai, sebagai syarat aku mau memaafkannya. Dia terpaksa mau ikut agar kita berdamai. Eno juga ikut. Entahlah, akhir-akhir ini kami bertiga selalu bersama.

Relawan Penjaga Sampah tidak hanya orang dewasa dan laki-laki. Anak-anak, para remaja, bahkan ibu-ibu ikut juga. Tentu, dengan musim peralihan, penanggungjawab acara dan pengurus sudah memperhitungkan secara matematis.

Segerombolan mahasiswa memakai jaket almamater ikut turun juga ke sungai. Mereka melepaskan jas, menjinjingkan lengan, menekuk celana, lantas ikut ke pinggiran sungai mengambil sampah. Kutebak mereka adalah mahasiswa dari Dosen pendiri Komunitas Relawan Penjaga Sampah.

Ruki mendekat padaku. Berbisik. “Kamu sudah maafin aku belum?”

Aku diam, sok sibuk mengambil sampah-sampah permen yang masih banyak. Kurang kerjaan memang si penyampah. Sudah sukanya duduk di jembatan, ditambah pula membuang sampah plastik ke sungai. Maunya apa coba? Bau popok tercium di hidungku. Sifat Ruki mulai kumat lagi.

“Bau tau!” Aku menutup hidup dengan lengan.

“Makanya jawab kalau orang lagi tanya!” Ruki melotot. Aku melirik sebal.

“Kamu sudah memaafin aku belum?” tanyanya lagi.

“Iya.” Aku menatap sebal ke sampah plastik minuman.

“Kamu nggak tulus!” serunya.

“Iya Ruki yang paling jahil sedunia.” Aku menatapnya. Menghela napas keras.

Ruki nyengir. “Nah, gitu, dong! Berarti, aku nggak usah mungutin sampah lagi, ya? Aku capek, ditambah bau lagi!”

“Ya, udah, aku enggak maafin. Cancel!” jawabku sambil mengambil beberapa bungkus jajanan yang menggerumbul bersama gelas plastik.

“Ih, banyak maunya kamu, May!” Ruki menggerutu.

“Bodo amat!”

“Hei, itu dua remaja cewek yang ribut karena cowok, naik! Mau hanyut kalian?” Seseorang berteriak dari atas.

Aku dan Ruki menoleh bersamaan ke sumber suara. Dosen itu. Masih muda, mungkin seumuran dengannya. Eh? Kenapa aku jadi ingat dia lagi?

“LEKAS NAIK, HEI!” perintah dosen muda itu.

Aku dan Ruki langsung beranjak naik membawa kumpulan sampah di karung.

                                                                                              ***

“Jangan pernah tertipu hanya dari sudut kota yang menyenangkan saja. Aku yakin para pelancong pasti hanya tahu soal keindahan Yogyakarta. Malioboro, Keraton, bangunan tua, Museum Sonobudoyo, Tamansari, Candi-Candi, makanan Antagramable, Mall besar, dan masih banyak,” ucap dosen muda itu.

Aku dan Ruki menunduk. Iya tersindir soalnya. Eno masih saja dikerubungi anak-anak.

“Aku yakin sekali, mahasiswa pecinta alam pasti ribuan. Kebanyakan dari mereka fokus soal gunung, mata air, dan laut.”

Dosen muda itu menghela napas. “Sungai memang remeh. Namun, ingat! Tanpa sungai tanah tidak akan ada penyerapan air. Sumur-sumur akan kering kerontang, membuat manusia akhirnya panik. Bukankah pernah terjadi siklus musim kemarau sampai delapan bulan lamanya?”

Aku dan Ruki mengangguk. Gerombolan mahasiswa mendengarkan serius. Eno sedang sibuk mendiamkan anak kecil yang menangis.

“Bukankah begitu fenomenal si sungai? Lagu Bengawan Solo misal, Sungai Kapuas, bahkan Pasar Apung pernah dijadikan latar tempat iklan. Hebat, kan?” Dosen muda itu menaikkan alisnya.

Kami semua menyimak. Terdiam merenungi perkataannya.

“Tidak habis pikir dengan orang-orang yang mudah membuang sampah sembarangan di sungai itu niatnya apa sih? Gabut?” Dosen muda itu menghela napas keras. Masyarakat sekitar mengangguk-angguk, beranjak entah ke mana. “Banyak yang memberi alasan, bukan ahlinya soal sungai, lah, tidak dapat uang, lah, jijik dengan kotoran, lah, lah lah, selalu. Lalu aku sebagi dosen sejarah tidak berhak begitu membuat komunitas ini?”

Beberapa mahasiswa cekikikan. Entahlah tertawa karena guyonan garing dosen muda itu atau terpesona.

Dosen muda itu mengacak rambutnya. “Justru si pembuang sampah ini yang harusnya waspada. Ketahuan siapa orangnya, aku tuliskan sejarahnya. Perjalanan hidup si Pembuang Sampah Sembarangan. Sepertinya seru.”

Setengah mahasiswa tertawa. Aku dan Ruki saling tatap. Ya lucu sih, tapi kan aku dan Ruki masih anak SMA? Sudah, jangan tanya Eno. Dia sibuk bermain kucir-kuciran bersama anak-anak.

“Nah, itu lihat! Anak-anak SMA, Anak-anak bocil juga ikut. Kenapa tidak? Banyak alasan memang.” Dia menunjuk Eno dan anak-anak. Wajah Eno polos menatap dosen muda. Aku dan Ruki menahan tawa.

 “Perbaikan untuk alam dimulai dari sekitaran, apanya yang sulit? Nanti, kalau Bumi mulai panas, kerusakan di mana-mana, baru sadar. Tak usah jauh-jauh untuk memindahkan manusia ke planet Mars, cukup berusaha menjaga alam ini sajalah. Tidak membuang sampah di sungai misalnya.” Dia menatap sungai.

Kata-katanya langsung masuk ke dalam hati. Ada benarnya juga. Saat aku scroll dinding Wacebook-nya, aku melihat petualangannya ke pelosok desa untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis. Tersebesit pertanyaan di dalam hati. Buat apa? Bukankah itu bukan urusannya yang masih sebagai mahasiswa?

Pernahkah kita berpikir untuk apa hidup? Bukankah Tuhan pengendali Kuasa atas kehidupan ini? Mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia di Surga saja, kalau melanggar aturan tinggal masukan ke Neraka. Selesai. Apa susahnya Tuhan melakukan itu?

Tuhan mempunyai rencana yang lebih indah dari sekedar pengabdian. Dia menciptakan manusia dengan maksud tertentu. Tentu, kita tidak akan pernah tahu jawabannya dari manapun. Namun, kita bisa mendapat jawabannya dari mata dan hati kita.

Mata untuk melihat apapun yang terjadi. Hati untuk merasakan apa yang terjadi. Saling bertemu akan perbedaan, bertemu antara kehidupan yang lurus dan berkelok. Kehidupan hitam dan putih. Aku berpendapat bahwa, kehidupan tercipta untuk belajar satu sama lain. Memberi dan mengisi kebermanfaatan satu sama lain.

Sekarang aku paham arti tulisannya. Memang menyebalkan harus membersihkan sampah yang bukan tanggungjawab kita. Harusnya si pembuang sampah yang bertanggungjawab. Belum lagi aliran sungai berujung ke laut. Membuat kerusakan bertambah.

Bukan masalah siapa yang bertanggungjawab atau tidak. Adalah soal seberapa kita sudah memberi pada negeri. Seberapa banyak kita peduli pada keadaan sekitar. Kalau hanya bertanya terus menerus bertanya siapa yang bertanggungjawab, lantas kapan akan terlaksana perbaikan?

Aku tersenyum kecil. Apakah ini tujuan takdir mempertemukanku dengannya? Ternyata ini hanya salah satunya.

                                                                                      ***

Aku dan Ruki tertawa terpingkal melihat rambut Eno dikucir dua.

“No, kamu kesambet apa, sih?” tanya Ruki.

Pembersihan sungai sudah berakhir. Dosen muda dan pengurus inti masih merapatkan sesuatu. Kami belum menjadi relawan tetap ataupun anggota pengurus. Jadi, kami diperbolehkan pulang lebih dulu

“Kelakuan anak-anak ini,” jawab Eno sambil mendengus kesal. Meraba rambut, melepas karet-karet bekas bungkus lotek itu.

“Eno emang, deh, bapak-able!” Ruki memberi jempol sambil tertawa.

Kami memutuskan dari awal menggunakan angkot saja. Ruki, meminta diantar ke toko buku loak. Biasa, lagi-lagi mencari referensi untuk karya ilmiahnya. Eno langsung setuju—lah iya, dia satu kelompok dengan Ruki. Aku mengangguk setuju. Siapa tahu mendapat buku langka, kan?

“Gila, aku merasa bangga banget ikut membersihkan sungai yang tadinya iyuh sekali!” Ruki menyeletuk.

Eno mengangguk. “Aku setuju. Keren banget kamu, May, mengajak kami ikut kegiatan super the best!” pujinya dengan senyuman.

Aku tersenyum lebar. Menatap aliran sungai yang lebih bersih dan tidak tersumbat.

“Asal kamu tahu No, dia tuh aneh sejak hanyut dari sungai!” seru Ruki.

Aku mengangkat alis.

“Di mana letak anehnya? Bagus kok, dia justeru mau menjadi relawan,” bela Eno.

“Dia, tuh, boro-boro mau membersihkan sampah, keluar rumah saja jarang. Paling kalau disuruh ibunya beli terasi, sekolah, main, kenc—”

Aku melotot ke Ruki.

Ruki nyengir. “Ya, gitulah pokoknya. Kamu Damay bukan, sih, ngaku?”

Aku menatap datar Ruki. “Lah, terus kamu pikir sekarang aku siapa?”

“Yamad!”

“Heh, cuma dibalik doang!” Aku melotot.

 Eno tertawa melihat percakapan kami. “Pasti kamu terinspirasi sesuatu, kan? Buku petualangan yang selalu kamu baca, mungkin?”

Mukaku merona. Mengalihkan pandangan ke anak-anak yang berlarian menangkap capung. Bukan merona karena Eno menatapku. Jawaban Eno hampir benar, tapi belum benar.

“Ciee, Damay, malu-malu nih, lihat Eno!”

Aku melotot pada Ruki. Muka Eno merona. Memaksa tersenyum agar terkondisikan. Kami berhenti di pinggir jalan, menunggu angkot. Langit masih biru dengan megah.

Apa yang dia lakukan saat ini, ya?

                                                                                            ***

Bukanya ke toko buku, malah beralih ke toko bunga.

“Memang kamu pikir ada buku di toko bunga?” tanyaku.

Ruki nyengir. “Aku harus memastikan sesuatu dulu.”

“Memastikan apa? Bunga yang bisa berubah menjadi buku?”

“Ya, kali, May!” Ruki mendengus.

“Memang memastikan apa, Ki?” tanya Eno.

“Bunga langka itu ada atau enggak.”

Eno berhenti jalan. Menatap serius ke Ruki. “Astaga, bukankah kita sudah menyerahkan proposal karya ilmiah ke pembimbing?”

Ruki menggaruk kepala. “Em, bisa diganti, kan, kalau misal enggak ada bunganya?”

Eno menghela napas pelan. “Kubilang juga apa, jangan yang aneh-aneh, Ruki!”

“Memang kalian mau menggunakan bunga Rafflesia arnoldi?” tanyaku konyol. Maksudnya, walau, yah, aku tahu kalau bunga yang dilindungi tidak boleh digunakan sebagai percobaan, demi melihat muka Ruki dan Eno sangat serius, apa salahnya mencoba memberikan guyonan garing?

Ruki menatapku datar. “May, plis, jangan becanda dulu kenapa!”

Aku menahan tawa. Baiklah. Sepertinya mereka seriusnya tidak bisa diganggu gugat.

“Ayo, semoga ada bunganya!” Ruki memimpin masuk.

Aku dan Eno saling tatap. Mengangkat bahu. Tahu dari mana Ruki kalau di sini ada toko bunga? Eno sudah masuk duluan. Tinggal giliranku. Dan, menatap tertegun lagi.

Toko bunga yang terbilang unik. Biasanya, toko bunga itu tidak ada dinding, lepas, hanya ada genting plastik, jajaran bunga yang berwarna-warni, dan tanah berserakan di mana-mana. Toko bunga ini seperti toko barang-barang antik. Dindingnya dari kayu jati. Terdapat dua jendela kaca besar. Beberapa orang duduk di sana. Ada cafe sederhana dengan tumbuhan di sekitarnya.

Saat pintu terbuka, lonceng berbunyi. Di dalam ruangan serasa lapang, bunga-bunga tertata apik dan bersih. Cafe-nya kecil, paling hanya bisa diisi sekitar sepuluh orang. Tiga rak buku menjulang tinggi berjejer. Ini sebenarnya cafe, toko buku, perpustakan, atau toko bunga?

Kejutan masih berlanjut. Kami berjalan lebih jauh setelah Ruki bertanya ke pasangan yang sedang membahas buku. Saat melewati pintu kedua berhiaskan rumbai-rumbai tali hiasan, terpampang halaman luas sekitar 5x7 meter dengan tekstur rumput yang halus beratapkan langit biru cerah saat itu. Namun, halaman ini masih di dalam ruangan atau di dalam temboklah agar kalian mudah membayangkannya.

Di ujung, ada rumah dengan atap plastik. Penuh dengan bunga-bunga dan tumbuhan. Untuk mencapai ujung rumah itu, kita harus melewati jalan setapak yang terbuat kotak-kotak semen. Seperti batas suci di masjid.

Aku menggelengkan kepala. Desain toko yang unik.

Seorang lelaki—mungkin berumur tiga puluh tahun, bersiul sambil menyirami bunga. Dia menoleh saat tahu kedatangan kami. Eh? Face-nya bukan seperti orang Indonesia. Jelas sekali dari bentuk mata sipit yang tertutupi oleh rambut gondrong berantakan.

“Hola, selamat datang di Toko Bunga Kapem, sila melihat-lihat!” sapanya ramah. Dia memakai baju lusuh berwarna biru tua, memakai celemek kotor dengan coretan tanah, dan topi berwarna kuning melingkar.

Kami bertiga saling tatap. Aku menyikut Ruki.

“Eh, maaf Pak, apakah di sini ada bunga anggrek hitam?” tanya Ruki sambil menggaruk kepala.

Aku menoleh ke Ruki. Ini anak niat mau menjahili pemilik toko atau berkhayal? Atau memang ada? Aku baru dengar ada bunga anggrek hitam. Apakah bunganya gosong? Atau memang hitam?

“Ah, kalian tidak salah kemari!” Pemilik toko tersenyum ramah. Berjalan lebih ke dalam lagi. Kami mengangguk sambil melihat-lihat bunga-bunga yang berjajar rapi.

“Hey, jangan jadi patung!” Lelaki itu berseru sambil melambaikan tangan.

Kami bertiga mengikuti langkahnya. Bangunan toko bunga ini belum selesai. Masih ada ruang selanjutnya yang jauh lebih luas dan rindang. Serasa bukan di toko bunga, melainkan di hutan. Bahkan pohon beringin pun ada. Aku dan Eno saling tatap.

“Damay, bukankah ini seperti novel petualangan yang sering kamu baca itu?” bisik Eno.

“Novel petualangan itu banyak, Eno!” jawabku.

“Karangan penulis aneh, namanya Luin R Ante!”

“Ah, itu, iya juga ya?” gumamku.

Walau bukan anak IPA, aku bisa memperkirakan pohon beringin ini pasti berumur lebih satu abad. Anehnya, pohon beringin ini diselimuti lumut merah yang menjalar sampai ke atas. Cabangnya ada sembilan. Daunnya lebih lebar daripada beringin biasanya. Akar gantungnya tidak lurus ke bawah, melainkan spiral dan melengkung. Dibanding ayunan, akar gantung ini lebih kokoh dan terlihat seru.

“Jangan coba-coba duduk di akar pohon itu!” seru pemilik toko.

Tanganku terhenti. Sebenarnya penasaran, tapi ya, baiklah. Toko bunga ini bukan milikku. Lagipula, bisa saja beringin ini masih dalam tahap eksperimen.

“Nah, selamat melihat bunga paling fenomenal di Indonesia, anggrek hitam!” Lelaki itu merentangkan tangan.

Aku mengernyit. Okey, tadi Ruki bertanya anggrek hitam. Lah, ini warnanya hijau. Jadi, sebenarnya siapa yang jahil dan siapa yang kena jahil?

“Perkenalkan namaku Satu, Anak Muda.” Dia tersenyum ramah. "Senang sekali rasanya Toko Kapem kedatangan tamu muda seperti kalian."

Kami bertiga saling tatap.

“Entahlah, apakah aku harus kagum atau tidak percaya. Anak-anak semuda kalian bisa tahu bunga ini? Biasanya, anak muda lebih memilih bunga mawar untuk pacarnya.” Dia tertawa.

Ruki menggeleng cepat. “Maaf, Pak Satu, eh, iyakan? Jadi, sekolah kami akan mengadakan penelitian tentang bunga anggrek hitam. Kami berencana membuat obat dari anggrek hi—”

“Kalau begitu kalian pulang saja. Tidak usah beli!” jawabnya datar. Dia kembali sibuk memotongi daun-daun kuning yang ada di tanaman. Mengabaikan kami bertiga.

Aku menatap Ruki. Kita salah apa? Ruki mengangguk, seolah dia tahu maksudku. Memberikan pengertian untuk melonggarkan waktu, mengambil celah yang tepat.

“Berpuluh-puluh tahun bunga ini merebak di dalam hutan. Bebas, dan memilih hidupnya untuk tumbuh. Sekarang? Betapa serakah manusia ingin memiliki bunga langka hanya untuk membuat obat?” Pak Satu menatap tajam Ruki yang terdiam gugup. Dia mau bicara tidak jadi.

“Kalau masalah obat, kalian serahkan saja pada ahli peracik obat. Tidak usah sok-sokan bertatahkan herbal, kalian rusak semaunya tanaman langka.” Pak Satu melengos, kembali memotongi daun-daun kuning.

“Saya tahu yang Bapak maksud. Dampak penelitian membuat bunga Anggrek Hitam semakin langka, bukan?” Ruki bertanya hati-hati.

“Hm. Lalu?”

Ruki berdeham. Tersenyum lebar. “Penelitian kami berbeda. Sistem perbanyakan bunga anggrek hitam menggunakan teknik kultur jaringan. Kami tahu itu susah, apalagi sejenis bunga anggrek hitam. Sembilan puluh lima persen hasil adaptasi setelah pemindahan bibit berjalan baik dan berhasil.”

Sekarang aku yang menggaruk kepala. Eno mengangguk mantap.

Mata pak Satu mulai berbinar. Dia terkekeh pelan. “Anak Muda cerdas! Lima tahun sejak berdirinya toko ini, selalu sepi. Kalian pasti tahu alasannya. Objek penelitian. Bila tanaman berserakan di mana-mana, tidak masalah untuk dikaji lebih dalam. Sayangnya, mereka mengkaji hanya sekedar mengkaji. Tidak peduli semakin menipis tanaman langka atau tidak.”

Pak Satu tersenyum lebar. “Tentu, Anak Muda, aku akan membantumu. Namun, tidak untuk memberi tanaman langka ini. Tanaman ini benar-benar asli dari asalnya. Kalaupun kalian ingin mencari ke toko bunga yang lain, sudah kupastikan itu hasil persilangan.” Pak Satu terkekeh.

Muka Ruki terlipat.

“Berikan satu pembuktian. Kamu bisa menerapkan sistem perbanyakan melalui kultur jaringan, maka bunga anggrek hitam ini untukmu. Pasti akan kubantu.”

Ruki mengepalkan tangan. Eno menepuk bahu Ruki, memberi selamat. Aku tersenyum lebar, walau banyak tidak mengerti. Aku menatap bunga anggrek hitam yang tidak hitam. Bunga yang unik.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Meter
463      296     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
EPHEMERAL
99      90     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Maze Of Madness
3776      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Langit Indah Sore Hari
98      84     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Just For You
4134      1630     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Edelweiss: The One That Stays
1385      589     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2350      908     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Cinta dalam Impian
86      67     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
7263      2169     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...