Semua tampak sepi seperti yang dulu-dulu. Tinggal seorang diri tubuhku di sini, di ujung penyiksaan dunia yang sangat berasa.
Seminggu berlalu begitu saja, kembang mawar yang diberi Bunga saat aku wisuda sudah berwarna kecoklatan bahkan mendekati hitam. Kartu ucapan yang diberinya kubaca ulang sambil tersenyum sendiri. isinya;
Kau tidak suka => buang
Kau mau uang => jual
Kau rasa senang => ayo bilang, terimakasih sayangggg :)
Lalu tiba-tiba terasa sakit di hati.
+Ndra, ayah suruh kamu ke kantornya sekarang.
Airin
Melihat pesan singkat itu, dengan malas kulangkahkan kaki menuju mobil dan pergi ke tempat yang disuruh.
***
“Ndra, Kau harus tenang, semua sudah menemui titik terang,” kata Om Darma, ayah Airin.
“Makasih Om”
“Sekarang kau urus urusanmu dan Om akan urus urusan Om dulu”
“Iya Om, makasih”
Setelah percakapan itu, aku pergi ke kantorku dan beberapa kantor cabang di kota lain untuk mengurus urusanku yang diminta Om Darma. Juga membayar gaji-gaji karyawan.
Malam itu, di daerah Semarang langit sedang terang, bintang bertaburan membentuk rasinya sendiri-sendiri. Aku sedang duduk di kantor cabangku yang di sana tepatnya di tangga teras nomor empat. Darah menyocor dari hidungku begitu saja, mungkin karena aku kelelahan.
Aku berjalan sambil menunduk mendekati got yang berjarak beberapa meter. Di sana aku jongkok menunggu mimisanku berhenti, ini tak memakan waktu lama lalu kulap sisa darah dengan sapu tangan dan kembali ke tempat duduk yang tadi.
Seharusnya tempat itu sepi, karena ini sudah malam, karyawan sudah pada pulang dan di dalam tidak ada mess untuk karyawan. Hanya ada satu ranjang di lantai dua untukku menginap. Tapi ada satu wanita berdiri di dekat pintu kantor yang sudah tertutup itu, rencananya aku akan masuk lewat pintu belakang saja.
“Siapa?” tanyaku mendekat
“Eh.. ini aku Airin”
Wajahnya mulai jelas terlihat ketika dia berpaling. Dia berlari kecil menuruni tangga mendapatiku yang tak bergerak.
“Ngapain ke sini?”
“Aku mau ketemu kamu Ndra, jadi aku buru-buru naik pesawat pas tahu kamu di sini!” katanya girang dan memelukku
Aku berusaha melepas pelukkan Airin dengan pelan, karena aku merasa sedikit risih.
“Kau sudah check in hotel?” tanyaku
“Sudah kok, eh ke dalam yuk”
“Ehm.. kita duduk di sini aja ya? Pintunya udah kukunci” kataku menunjuk anak tangga dan Airin mengangguk untuk saranku itu.
Kemudian percakapan kami terdengar seperti sangat asik, padahal aku tahu beberapa omongan Airin ini tak lebih dari bohong dan dilebih-lebihkan saja.
“Indra, aku menyukaimu” kata Airin menatapku dengan binar, kuhela napas dan menimpali pernyataan Airin dengan sangat malas
“Kita sudah membicarakan ini, Rin. Aku tak menyukaimu sama sekali” ini bukan pertama kali dia bilang perasaannya itu, ini sudah yang ke beberapa.
“Aku sangat menyukaimu, Ndra” lalu air mata memenuhi pipi Airin yang mulai ranum.
Aku hanya diam dan isak Airin terus menggema tersedu-sedu.
Itu adalah waktu yang lama sampai Airin memutuskan kembali ke Hotel. Dan aku bisa naik ke lantai dua kantor untuk tidur malam.
***
Berbulan-bulan berlalu, mungkin sudah setengah tahun.
Jujur aku masih sangat memikirkan Bunga Dea.
Aku tak bisa mencintainya saja, ternyata itu tak cukup untukku. Terkadang aku dirundung gelisah saat mengingat betapa manis wajahnya saat tersenyum.
Siang ini aku baru sampai di Jakarta, setelah penerbangan dari Gorontalo kuputuskan untuk beristirahat di rumah dulu. Mengganti baju dan berbaring sebentar.
Airin menelpon berkali-kali, ini sudah sering terjadi. Dan aku tak berniat mengangkatnya. Lebih-lebih aku tak mau membahas perasaannya terus menerus. Saat dering telponku berhenti, kubuka galeri telpon dan memandangi foto Bunga yang kuambil saat aku di wisuda. Dia manis sekali.
Tok.. tok..
Aku bergegas ke pintu untuk melihat siapa yang bertamu, yang kupikir adalah penduduk sensus atau tukang sampah kompleks. Tidak, itu tetanggaku.
Lelaki ini bernama Bobby, Bunga dulu mengenalnya dengan nama Ce’tia, dia dulu suka berdandan seperti perempuan dan berteman dengan Bunga. Satu-satunya tetangga yang dekat dengan Bunga saat Bunga masih tinggal di sini.
“Indra...!” suaranya nyaring sekali, meski penampilannya sudah laki tapi suaranya masih cukup banci.
Dia masuk ke rumah begitu saja dan duduk di sofa.
“Ada apa bang ke sini?” tanyaku, Bobby ini berusia 30-an
“Aku baru pulang Ndra, kita tetanggaan lagi” senyumnya
Yang kutahu dia memang pergi ke kampung karena patah hati, itu yang dikatakan Bunga waktu itu.
“Dea mana?” tanyanya
“Aku dan Bunga sudah cerai bang”
“Aku tahu” kata Bobby mengangguk-angguk
Bukannya kesal karena merasa dikerjai saat dia menanyai pertanyaan yang sudah dia tahu jawabannya, aku malah lebih lancar menceritakan kesedihanku ini ke Bobby. Hanya dia di sini yang tahu aku dan Bunga menikah dan hanya dia yang mengenalku dan juga Bunga.
“Kau hubungi saja Dea, ini nomornya, yang lama sudah diganti” kata Bobby, kusalin nomor Bunga yang baru ke telponku, “Dia akan ke Jakarta minggu depan” lanjut Bobby
“Ha? Dia?”
“Iya Bungamu itu, aku mau mengenalkannya dengan Sofia pacarku. Eh istriku”
“Bang bantu aku ketemu dia ya?”
“Wah kalo itu aku dak bisa, Ndra, mungkin yang aku bisa cuman bawa dia ke Jakarta. Sisanya kaulah yang cari cara”
“Oh, iya, bang”
“Jangan gagalkan kesempatanmu ini!”
“Siap bang hahaha”
Aku merasa girang sekali mengetahui hal ini. Minggu depan ya....
***
Hari itu semua sangat menyibukkanku, apalagi Airin yang menahanku terus menerus supaya tetap berada di kantor Om Darma, ayahnya. Memang hari itu aku ada janji bertemu dengan Om Darma untuk membicarakan perkembangan bisnisku, tapi tidak lama, Om Darma juga orang yang sibuk.
Airin tetap saja menahanku untuk tidak pergi. Ck, kesal sekali rasanya, semakin menjadi-jadi saja Airin sekarang. Aku yang mulanya maklum akan perubahannya sekarang merasa terganggu. Seperti sudah tak bisa lagi mentolerirnya.
“Ndra? Makan siang bareng, yuk?” tanya Airin sambil memutar kursi kerja ayahnya yang beroda itu
“Rin, aku sibuk, aku pergi sekarang, ya?”
“Eh.. eh.. jangan, Ayah bilang kamu harus nunggu di sini!”
Aku tahu Airin itu berbohong
“Lagian mau sibuk ngapain, sih?”
Aku tak menghiraukan pertanyaan Airin yang tidak penting itu dan menelpon Om Darma tapi nomornya juga tidak aktif.
“Kamu nelpon siapa, sih?”
“Om Darma, Rin”
“Ayah jarang merhatiin HP-nya, mungkin enggak aktif karena kehabisan baterai”
Aku merasa kacau sekali, dan Airin tak berhenti juga bicara. Dia membicarakan produk-produk yang dipakainya seperti kosmetik dan pakaian dan dia membicarakan juga barang yang sulit dicarinya. Ini hanya percakapan yang didominasinya saja!
Telponku berdering dan aku mengangkatnya dengan malas, tentu saja menjauhi Airin terlebih dahulu.
“Halo? Siapa?”
“Indra...! ini aku Bobby, kamu kemana saja? Dea sudah mau balik katanya” suaranya terdengar panik meski seperti dipelankan
“Ha? Aih...” kututup sambungan telpon lalu berlari keluar.
Aku bisa dengar Airin memanggilku juga mungkin mengejarku dan terjatuh karena sepatu tinggi yang dikenakannya. Tapi aku tak berhenti, ini kesempatan langkah bagiku, dan Om Darma aku yakin betul tidak berharap aku menunggu di kantornya seharian.
Kusetir mobil secepat mungkin, aku melanggar rambu lalu lintas yang barusan kulewati dengan tanda dibawah 40km/jam. Kuharap pemerintah bisa mengerti ini. Aku akan merasa sangat menyesal nanti.
Bobby berdiri di pinggir jalan depan rumahnya sambil mondar mandir, sesekali dia menggigiti kuku-kukunya.
“MANA BUNGAAA?” teriakku mengeluarkan kepala dari kaca mobil
“Ah.. TERKEJUT AKU, dia sudah pergi, Ndraa!”
“Aihh..” kumasukkan kepala dan memukul setir mobil, lalu memutar mobil untuk mencarinya
“DIA BILANG MAU NAIK ANGKUTAN UMUM!” teiak Bobby ketika aku melajukan mobil
Tentu saja ketika mencari orang, aku harus tenang, mobil juga harus melaju pelan-pelan. Tapi bagaimana jika malah tidak kedapatan? Bagaimana jika dia malah sudah pergi jauh? Dalam kepanikan ini semua isi otakku hanya dipenuhi dengan pertanyaan yang mengarah ‘aku takkkan bertemu dengan Bunga Dea’
Kuarahkan mobil ke halte terdekat, kadang pelan, kadang juga cepat-cepat. Mengertilah apa-apa yang mungkin terjadi ini menyangkut masalah hatiku yang bisa patah atau jadi tidak ada.
Saat kutemukan dia yang kucari, kuparkirkan mobil di toko terdekat, yang membuka parkiran bebas. Dan melangkah menuju Bunga. Tapi langkahku terhenti seketika, aku jadi teringat ketika kami bertemu terakhir kalinya setelah sidang putusan. Dia bilang membenciku, apa ini semua terlalu mendadak untuknya?
Kuketik pesan singkat di telponku, dan mengirimkannya meski bimbang.
+Bunga? Ini Indra
+Kau di Jakarta?
+Mbah Kiyem tadi melihatmu
Tentu saja aku berbohong tentang Mbah kiyem, pengurus rumahku, tak mungkin aku jujur.
-Iya
+Bisa bertemu?
-Sekarang enggak bisa.
+Kapan bisa?
-Nanti sore...
Setelah itu aku tak membalas lagi, tatapan mata Bunga sangat kosong. dia hanya duduk di kursi halte paling pinggir. Kursiku dan Bunga berbeda, kami dipisahkan tiang besar. Dia tak sadar aku berada di ujung kursi satunya, memandang cintaku yang sangat acuh.
Berjam-jam, sudah berapa banyak bis lalu lalang, sudah berapa banyak penumpang pergi dan berangkat dari halte ini. Bunga masih diam entah kenapa.
Selain aku dan Bunga, ada dua gadis dengan rok setengah paha baru saja memasuki halte sambil tertawa dan berbisik.
Wajah kedua gadis itu familiar untukku, salah satunya Elin. Adik kelasku dulu dan sempat jadi kakak kelasnya Bunga. Mereka mengambil posisi berdiri di depan Bunga, bergunjing.
“Ada janda, nih..”
“Oh, dengar-dengar dicerain gitu padahal baru nikah beberapa bulan..”
“Kita enggak tahu, sih, mantan suaminya si janda.... tapi pasti enggak kuat dengan sikap kasar dan wajah jeleknya hahahaha”
“Hahaha”
Tanganku lemas mendengar gunjingan ini. Bunga masih diam tak peduli, sampai salah satu dari gadis itu mendorong bahunya. Bunga berdiri dan menangkap tangan si gadis jalang.
“Kau bebas bicara tapi bukan berarti kau bebas menyentuhku!”
Lalu Bunga mendorong Elin yang menimpa gadis satunya sampai terjatuh.
“Ma-maaf” lirih Bunga, nyaris hampir tak kedengaran, dia menggenggam kedua tangannya seperti tak bermaksud begitu, tapi juga tak menolong Elin yang sudah jatuh bersama gadis satunya. Lalu Bunga naik ke Bis yang sedang stop dan hilang tanpa kusadari.
-Ketemu di cafe depan halte dekat rumah?
Isi pesan yang masuk dari Bunga, kupandang lurus ke depan. Benar ada cafe, lalu kenapa dia malah naik bis lagi?
+Oke
Balasku cepat, ini sudah sore juga. aku kembali ke parkiran toko untuk mengambil mobil dan menunggu Bunga di cafe depan. Elin dan gadis satunya hanya mendumal saja karena ditertawakan penumpang bis yang baru turun.
Mungkin Bunga akan lama, Bis yang dia naiki akan sampai ke terminal dulu baru berbalik. Aku memesan kopi ke pelayan terlebih dahulu.
Aku masih tercenung untuk apa yang barusan kusaksikan. Bagaimana Elin bisa tahu? sedangkan Bunga tidak dekat dengannya dan aku juga tak pernah membicarakan pernikahan kami ke sesiapapun. Apa Bunga sering digunjing begini?
Kendaraan lalu lalang di jalanan, pejalan kaki menyebrang sembarang tanpa melewati zebra cross, beberapa penghuni cafe asik mengobrol, pelayan mengantarkan pesananku. Bunga belum juga datang.
Langit yang tadinya kemerah-merahan sekarang sudah jadi gelap gulita, sore sudah berakhir dan aku sudah pasrah. Mungkin Bunga tak dalam kondisi yang baik untuk bertemu denganku mengingat hal yang tadi terjadi padanya.
Aku mengangkat tangan untuk meminta bill sebelum memutuskan pulang, pintu kaca itu terbuka dan dia datang, Bunga.
Aku berdiri dan terdiam saat mata kami bertemu, dia mendekat sambil tersenyum seperti biasanya, manis.
“Mas, ini bill-nya” kata pelayan itu membawa secarik kertas
“Maaf, Mbak, nanti aja, saya mau pesan lagi...”
Pelayan itu pergi setelah mencatat pesananku dan Bunga, Bunga mengambil posisi duduk di depanku. Dia bersender ke kursi dan memasukkan tangannya ke masing-masing saku jaket.
“Ada apa?” tanya Bunga, memecah keheningan ini
“Kenapa tidak bilang mau ke Jakarta?”
“Buru-buru”
“Kau ganti nomor?”
“Tapi kau tau juga kan?”
“Bunga? Kau sehat?”
“Hidup, masih dibolehin hidup sama Allah”
“Bunga, sebenarnya... aku dan Airin hanya teman, kita bercerai bukan karena aku menyukai dia, aku bangkrut Bunga, aku... menyayangimu, aku tidak mau kamu kena masalah”
Itu yang terjadi sebenarnya, aku bangkrut, tangan kananku korupsi, aku tak mau Bunga yang baru kunikahi merasakan ini semua. Segala kemungkinan tidak jelas yang bisa terjadi padaku, sungguh aku tak mau menyusahkan Bunga sedikitpun.
Oleh karena ini aku menceraikannya.
Berbulan-bulan kemudian, bisnis properti sudah kembali bangkit dan untung sudah kembali bisa diraih. Aku berangsur-angsur melunasi hutang yang kupinjam dari Om Darma, ayahnya Airin.
Tangan-tangan kananku yang dulu juga sudah ditangkap, beberapa sudah dapat kuganti dengan orang-orang yang kupilih sendiri. Tentu aku tak mengesampingkan jasa Om Darma yang membantuku dikala susah. ‘Om ini sudah anggap kamu keluarga sendiri’ katanya,
Tapi dengan semua bantuannya, aku tetap tak bisa menerima Airin. Meski dia memiliki tiga dari empat hal yang dicari dari seorang wanita yaitu: paras, jabatan, dan uang. Aku tetap tak bisa menerimanya lebih dari kawan saja.
Bunga menunduk sambil menyeringai, dia mengeluarkan tangannya dari saku dan menggenggam satu sama lain di atas perut. pelayan datang mengantarkan pesanan kami dan Bunga tersenyum ke pelayan itu sambil bilang ‘Makasih’, pelayan itu mengangguk lalu pergi.
“Aku tahu semuanya”
“Bunga, aku bisa saja di penjara waktu itu, Ayah Airin yang membantuku mangkanya kami bertemu di cafe itu, aku tidak tahu jika Mamanya Airin dan Airin juga ikut”
Aku menjelaskan ini karena kurasa Bunga perlu tahu, jadi beberapa saat sebelum aku mengutarakan ingin bercerai dengan Bunga, aku memang jadi sibuk sekali dan sering mendiskusikan tentang masalah kantor dengan ayahnya Airin yang merupakan seorang pengacara yang berpengalaman.
Dan di suatu hari aku juga bingung kenapa ayah Airin mengajak Airin dan istrinya ketika menemuiku. Jadi kami tidak membahas masalah kantor dan lebih hanya sekedar bercerita tentang masa-masa dulu. Aku tidak sadar Bunga melihat itu yang menyebabkan dia jadi cemburu.
“Kau tahu Indra, masalahmu sebenarnya adalah aku. Kau tidak mengontrol kantor cabangmu sejak aku di keroyok waktu itu sampai terjadi penggelapan. Aku hanya pengangguran yang bertengger padamu dan minta makan saja taunya. Tidak bisa membantumu, dan Airin serta keluarganyalah yang bisa kan?” air mata Bunga menetes begitu saja ketika dia berhenti bicara ketika menatapku bahkan tanpa berkedip, kemudian dia memalingkan wajah ke samping dan mengelap air matanya pelan
“Bunga bukan begitu, kamu bukan masalah bagiku”
“Jadi apa? jika bukan aku masalahnya, jadi apa masalahnya? Hubungan pernikahan itu sakral bagiku ketika kita menikah berarti masalahmu juga masalahku. Tapi kamu tidak bilang apa-apa malah menceraikanku? bukankah itu menjelaskan semuanya jika kau berpikir aku tidak sanggup disampingmu, Airin yang sanggup?”
“Bunga berhenti bicara!” aku kesal melihat Bunga seperti menjodoh-jodohkan aku dengan Airin begini.
“Aku benci diriku sendiri sepanjang waktu” katanya pelan “Maaf untuk waktumu yang tebuang sia-sia ketika bersamaku” lanjutnya sebelum berdiri dan melangkah pergi dari cafe ini.
“Bunga kau seperti tahu semuanya!”
Dia berhenti di ambang pintu cafe tanpa menoleh kepadaku.
“Aku hanya menyukaimu saja, Bunga, itu yang tak pernah kamu mau tahu!” lanjutku
Bunga lanjut pergi dan benar-benar keluar dari cafe ini.
***
Aku masuk ke rumahku dengan sangat malas, sambil bediri di ruang tamu aku mengingat hari itu, hari yang panjang dengan emosi menggebu.
Bunga, aku bahkan tidak bisa mengenali wajahnya hari itu, semua darah mengalir memenuhi kening dan pipinya yang manis. Sambil berjalan tak lurus menghampiriku yang baru pulang dari luar kota.
Aku mendengar jika dia dikeroyok habis-habisan oleh tiga orang pria, alasannya ambigu sekali. Dan Bunga tak melawan karena aku pernah minta dia berhenti berkelahi. Tentu aku jadi marah sekali pada diriku dan juga Bunga yang membiarkan dirinya terluka.
Dan memang karena itu, aku tak lagi pergi ke luar kota dan beberapa tangan kananku jadi berbuat curang. Tapi aku tak menyalahi Bunga, lalu kenapa dia malah menyalahi dirinya sendiri!
Aku naik ke lantai dua, dan masuk ke kamarku. Di sebelah kamarku jelas adalah kamar Bunga. Kami tak sekamar karena permintaan Bibi, berhubung kami masih sama-sama muda dan Bibi merasa kami belum saling kenal serta pamali sekamar sebelum resepsi ’Nanti muka Bunga kurang berseri jika kalian sekamar dulu sebelum resepsi’.
Aku ingat ketika menyampaikan permintaan Bibi ke Bunga, Bunga mendumal pelan tapi masih kedengaran ‘Orang kalau sudah nikah ya sekamar lah, pamali.. pamali... apa itu? seharusnya kukadukan wanita paruh baya itu ke MUI. Sayang saja makanan bersantannya telah mendarah daging di tubuhku. Jadi diamku ini anggap saja balas budi!’
Kubalas dumalannya itu dengan tertawa kecil.
Setelah melepas jaket, aku berbaring diranjangku yang berdempet dengan ranjang Bunga dulu, kamar kami dipisahkan dengan kaca hitam yang transparan jika dilihat dari kamarku tapi gelap jika dilihat dari kamar Bunga.
Aku berbalik menatap ranjang Bunga yang kosong, tiba-tiba aku merasa dia ada di sana, tersenyum menatapku.
Lalu senyumnya hilang, berganti dengan tangis yang sendu. Air matanya mengalir membasahi tangan kiri yang dia pakai menumpu kepalanya.
“Bunga maafkan aku,” lirihku pelan
Aku tahu dia tak ada di sana, tapi mataku jadi ikut basah dan kupejamkan mata ini perlahan. Menuju tidur yang kuharap takkan mengembalikanku pada dunia ini lagi.
***