Read More >>"> IW-baee (Ketemu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IW-baee
MENU
About Us  

Hari berganti hari lagi, bulan sudah lebih dari dua puluhan yang kulewati tanpa Bunga. Aku benar-benar hanya seorang dikeramaian sekarang. Saat bertemu Bunga terakhir kali juga tak meninggalkan kesan baik dan dia seperti sebelumnya, menghilang.

Aku sempat mencari ke rumahnya bahkan rumah Paman.

“Dea sekarang kuliah, Ndra, sama Lusi juga. mereka pilih ngekos dan Paman enggak bisa ngasih tau kamu. Itu permintaan Dea”

Kata Paman yang masih teringat jelas dipikiranku sampai sekarang.

Benar, bagaimana lagi dia memiliki keinginan untuk bertemu denganku? jika aku jadi diapun, aku tak mau bertemu dengan diriku sendiri. Orang jahat, brengsek!

Di kehidupanku yang sekarang, selain mengurus usaha properti, aku baru menyelesaikan pendidikan s2 di bidang manajemen bisnis. Wisuda akan dilakukan lusa nanti. Undangan wisuda kuberikan ke Airin.

Soal Airin, hubungan kami sudah mulai membaik, kurasa dia sudah bisa menerimaku sebagai teman. Akupun terkejut saat dia bilang begitu, apa benar? Tapi aku cepat-cepat menerima itikad baiknya itu, yang penting dia sudah mau berusaha memandangku sebagai teman saja sudah cukup.

Aku juga sering mengunjungi Om Rian di penjara. Sambil membawa makanan kesukaannya yang kubeli di rumah makan dekat penjara. Dia kadang menangis ketika aku datang dan aku akan jadi bingung ketika dia begitu.

***

-Indra, aku ajak Rendi sama seorang teman ya?

Itu pesan Airin yang kudapat masuk ke telponku. Tentu aku tak terlalu memikirkan siapa saja yang akan dia bawa, terserah, dan Rendi adalah gebetan baru Airin kata Airin kemarin-kemarin kepadaku.

+Sip

Balasku singkat tapi pasti artinya mengiyakan permohonannya itu.

Besok akan jadi hari yang panjang..

***

Aku berada di parkiran mobil bersender di mobilku yang sudah terparkir. Alasanku belum masuk ke gedung pelaksanaan wisuda karena Airin minta aku menunggunya dan teman-teman yang dia bawa.

+Rin.. lama yaaaa?

Pesanku terkirim setelah Airin menyahut dari arah kananku.

“Nunggu sebentar aja ngeluhh!” teriaknya

“Kamu lama tahu, dasar perempuan, mana Rendi gebetanmu?” tanyaku spontan mendapat pukulan di lengan dari Airin

“Jangan besar-besar suaranya, nanti ada yang salah paham”

“Salah paham apasih?”

“Rendi bukan gebetan lagi, kami memutuskan jadi teman aja karena enggak cocok”

“Haa... serah deh, jadi dia enggak datang”

“Datang kok barengan, nah itu dia!” tunjuk Airin lurus ke arah tempat dia berasal sebelumnya

Aku mendapati sosok bidadari dari sana, berada di belakang Rendi. Bunga, menatapku teduh dengan gaun berwarna hitam dan tas berwarna silver.

“Temanku enggak jadi datang, kok kamu enggak bilang adik sepupumu datang?” colek Airin yang tak kupedulikan

Aku melangkah menuju Bunga, melewati Rendi yang menyodorkan tangan kepadaku.

“Bunga?” sapaku memastikan jika ini bukan halusinasi saja.

“Hm” sambil tersenyum tipis membalas sapaanku “Ini aku”

***

Sehabis acara wisuda, kami berempat berencana pergi makan bersama. Airin naik mobil Rendi, dan Bunga naik mobilku.

Di dalam mobil Bunga hanya menunduk dan sesekali menatap ke arah kaca jendela mobil.

“Aku bertemu dengan dia di monas, saat itu sedang study tour” kata Bunga memecah hening, dia yang dimaksud adalah Airin

“Hm, jadi dia membawamu?”

“Aku izin ke Lusi dan dosen, rombongan sudah pergi tadi pagi, dia masih mengira aku adik sepupumu”

“Kamu cantik Bunga” kataku mengganti pembicaraan “Sama seperti dulu”

“Dia yang dandani”

“Ce’tia udah enggak bisa lagi, dia udah jadi Bobby” ketusku

“Haha iya, sudah jadi laki dia”

Pembicaraan kami mengalir begitu saja, seolah canggung sudah tertinggal di perempatan jalan yang tadi kami lewati.

***

Di sebuah restoran, kami duduk bersama di meja berbentuk persegi panjang. Bunga di depanku bersebelahan dengan Rendi yang berada di depan Airin.

“Masak aku nanya ke Dea tadi pagi pas ketemu dia bilang enggak bawa gaun” kata Airin

“Ah serius” sahut Rendi yang sedang mengunyah makanannya

“Iya, jadi aku dandani deh, aku bilang nginap di tempatku” Airin menatap ke arahku “Trus aku suruh izin ke kamu, dia izin kan”

Bunga mendehem pelan

Aku mengangguk tanda setuju “Cantik” kataku menatap Bunga yang jadi mendongak dari piringnya

“Iya cantik, kita jodohin sama Rendi aja” saran Airin

Bunga minum dengan tenang, seolah dia sedang tidak peduli dengan percakaan ini. Tapi aku peduli, tenang, akan kubela. Meski Rendi langsung mencolek Airin yang terlalu frontal itu, aku juga bisa merasakan jika Rendi tak henti mencuri pandang ke Bunga.

“Apasih Rin,” colek Rendi lagi, malu-malu, ihhh

“Enggak, aku gak bolehin” kataku santai, aku bisa melihat wajah Rendi jadi muram dan wajah Bunga tiba-tiba merekah

“Yah...” keluh Airin “Padahal kurasa mereka cocok, Ndra”

“Enggak cocok!” tiba-tiba aku jadi kesal dan berdiri lalu menaruh uang di meja sembarangan “Bunga ayo pulang!” ajakku

Bunga langsung berdiri dan meyandang tas yang sebelumnya ditaruh di atas meja.

“Ndra? Kemana?” cegah Airin menarik lenganku, aku bisa lihat muka Bunga langsung berubah, bahunya yang tadi tegap seperti lunglai dan hampir meleleh. Apa karena Airin menyentuhku?

“Yaudah, Rin, biarin aja” cetus Rendi sambil mengaduk-ngaduk minumannya.

“Indra lagi ada kerjaan, ruang kerjanya banyak tumpukan kertas, mungkin dia baru ingat” kata Bunga membuka suara

“Oh.. iya deh” kata Airin melepas lenganku “Dahh...”

Rendi yang tadi muram nampak tersenyum tipis sambil mengangkat tangan “Hati-hati..”

Mataku membulat menatap Bunga, kukira dia tak peduli lagi tapi dia masih sama seperti dulu, wanita yang melindungiku dari wanita lain, terutama Airin.

Diperjalanan menuju parkir, Bunga berjalan dibelakangku, langkahnya seperti dihemat-hemat supaya tak sampai di sampingku juga meski langkahku sudah kuperlambat.

“Bunga?” aku berbalik memandangnya, dia menatapku langsung dengan kedua tangan di belakang punggung, seperti sedang istirahat ketika upacara.

“Kamu kemana?” tanyaku spontan

“Di sini” katanya sambil mengangkat kedua bahu

Aku menghela napas lelah mendengar jawabannya yang tak kontras dengan pertanyaanku.

“Kamu masih sama Airin” kata Bunga pelan, dengan menundukkan wajah dan menokokkan bagian ujung depan sepatunya ke aspal

“Hm... aku enggak mau bahas ini”

“Yaudah”

“Malam ini ke rumah? nginap di rumah aja ya?”

“Aku masih punya kamar di sana?” tanyanya ragu, seolah kamar yang dulu dia tempati itu sudah kukontrakkan untuk menambah penghasilan

“Masih”

“Aku pulang besok,”

“Hm... iya, itu hakmu”

“Kita sudah cerai,” kata Bunga, terdengar dalam bagiku

“Iya”

***

Detak jantungku terasa menderu ketika memasuki rumah dengan Bunga yang mengikutiku. Dia tak banyak bicara, suasana canggung ini sudah mengelilingi kami sejak memasuki mobil.

Bunga terkekeh pelan yang membuatku jadi berpaling menatapnya.

“Kenapa?” tanyaku

“Kau ingat kita dulu sering ngobrol banyak di sini?” kata Bunga menunjuk sofa yang berada di ruang teve

Aku mengangguk fasih sambil tersenyum ketika teringat beberapa hal lucu lalu mengajak Bunga untuk duduk di sana

“Dulu aku juga pernah jadi tuli tiba-tiba saat duduk di kursi ini”

“Ha? Serius?”

“Iya, pas hari ulangtahun kau, pas Airin colek-colek krim ke muka kau itu”

Senyumku memudar seolah terasa asem sekali,

“Hahaha... jangan bahas ini kayaknya”

“Iya,”

Bunga memandangi sekeliling ruangan  dari lantai sampai langit-langit. “Tidak ada yang berubah?”

“Tidak ada yang berubah, Bunga”

“Kita mau ngomongin apa lagi ya?”

“Darimana kau tahu semuanya?”

“Oh.. jadi setelah hari kau minta aku menandatangani surat cerai itu,” napasnya tertahan, aku mengerti kalimat macam itu bisa mengingatkan hal yang tidak baik “Kau sibuk di luar, dan aku masuk ke ruang kerjamu mengambil uang untuk membeli tiket bus pulang ke rumahku” sambil tertawa malu

“Tidak papa, dulu uangku juga uangmu” kataku

“Iya jadi di sana aku duduk sebentar, dan ketemu semua alasannya yang sebenarnya. Aku tahu tangan kananmu korupsi, kau bisa di penjara, dan gitu”

“Aku masih sangat labil waktu itu Bunga”

“Aku juga, di umur segitu mudanya kita masih sama-sama belum dewasa, yaudah biarin aja”

Hening menjadi yang ketiga datang setelah percakapan ini. Semua jadi tak enak kecuali wajah Bunga yang sangat kurindukan itu benar ada di depanku.

“Aku ke kamar duluan ya?”

“Iya, di lemari masih ada baju gantimu, Bunga”

“Eh.. gaun ini gimana?”

“Besok aku yang balikin ke Airin”

“I-iya deh”

Kupandangi deruh langkah Bunga yang meninggalkanku, aku bisa lihat sisi rumah yang di lewatinya jadi berwarna.

***

Malam semakin larut, ketika aku berbaring di ranjangku. Dari kaca hitam pembatas yang transparan dilihat dari kamarku. Aku bisa melihat wajah Bunga tampak sendu berbaring di ranjangnya sendiri. Kutebak dia tak bisa tidur.

Gurat berbeda jelas terlihat di wajahnya yang elok. Apa yang dia tengah pikirkan?

Aku mengubah posisi miring ke telentang, lalu mengambil kertas kusut dari bawah bantal. Isinya adalah gambar Bunga yang kubuat saat dia masih SMA dulu. Wajah cerianya hanya nampak di gambar ini saja.

Aku jadi ingat malam itu, malam sebelum sebuah pagi datang dimana aku meminta cerai dengan Bunga.

Sudah berhari-hari aku mengabaikan Bunga, menjauhinya karena memikirkan semua jalan keluar dari permasalahan perusahaanku. Dengan perlakuanku yang kejam itu, Bunga tidak memberontak sama sekali, memberiku ruang untuk jadi egois meski saat itu dia belum tahu alasanku begitu.

Akupun tersiksa bersikap demikian tapi hal itu tetap kulakukan dulu. Dan di malam itu, Bunga sama seperti malam ini. Tak bisa tidur. Lalu kudapati dia keluar dari kamarnya. Dengan sembunyi-sembunyi kuikuti dia yang berhenti di balkon atap rumah.

Malam itu dingin sekali, apalagi dia hanya menggunakan kaos oblong tanpa jaket. Tapi aku tak bisa keluar dan mempedulikannya meski aku mau. Itu sangat membingungkan untuk dia nanti, masih peduli tapi mau cerai, itu tak wajar.

Dengan tenangnya dia hanya duduk di sana, sampai pagi tiba.

Kuhampiri dia setelah membukakan pintu untuk mbah kiyem, pengurus rumah yang akan memulai tugasnya.

“Sudah bangun?” tanyaku pagi itu, seperti tak tahu jika dia tak tidur semalaman meski aku ada di sana juga tak tidur.

Kubalikkan kertas bergambar Bunga untuk melihat satu sisi lainnya. Di sana puisiku untuk malam itu.

Butir debu kau sebut gersang

Lalu di sana aku tinggal

Mentari hangat mengencerkan embun

Lalu gelap menelannya,

Kemudian sepi hadir, di satu nama tempatmu

Bunga...

Bagian mana yang kau pandang, aku tidak di sana

Bunga...

Kupalingkan wajah kembali menatap sang cinta, dia sudah lelap dalam tidurnya. Mimpi Indra, Bunga..

***

Di pagi hari, kami berdua bangun sangat awal. Aku tidak berniat masuk kerja hari ini, Bunga membuatkanku kopi dan juga untuknya. Kami duduk di tangga teras ditemani embun yang belum mencair.

“Kamu akur dengan Airin” sindirku

Dahulunya, Bunga tak pernah suka Airin. Itu karena Airin sering melakukan kontak fisik denganku di depannya, yang Airin tahukan Bunga adalah sepupuku.

“Iya, berusaha keras itu”

“Kamu masih benci Airin?”

“Enggak kok, aku enggak pernah benci dia, kadang... cuman... se...dikit kesal”

“Dia udah berubah Bunga, Airin sudah tidak suka padaku lagi”

“Ya itu terserah dia Indra, mau suka atau enggak itu enggak ada urusannya lagi denganku, tapi kau harus tahu apa yang dia bilang, belum tentu itu yang sebenarnya dan apa yang kamu rasa udah tahu, belum tentu itu benar adanya”

Kutatap Bunga menyikapi kata-katanya. Dan kemudian dia berdiri menyambut Mbah Kiyem yang datang naik ojek. Mereka bercengkrama melepas rindu dengan bergenggaman dan saling loncat.

Keributan mereka ini mengundang penasaran tetangga, meski yang keluar hanya tetangga sebelah saja, Bobby atau Bunga sering menyebutnya dengan Ce’tia.

Si mantan banci itu juga girang melihat temannya ini, dia bahkan kelepasan bersuara banci yang langsung kukode dengan menunjuk jakunku ketika Sofia, istri Bobby juga ikut keluar.

Jelas aku tak mau mengganggu reuni mereka ini, jadi aku mengambil kunci motor dan bilang ke Bunga jika aku akan keluar sebentar membeli tiket untuknya.

“Tiket bus saja”

“Oke” kataku berlalu pergi, aku bisa dengar Bunga bersuara girang

“Mana Sinta?”

Pertanyaan itu pasti ditujukan ke Bobby, karena Sinta adalah nama monyet peliharaannya yang cukup dekat juga dengan Bunga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Just a Cosmological Things
776      432     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Kau dan Tulip
398      252     0     
Short Story
Ketika dia yang menoreh luka di hatiku karena meninggalkanku begitu saja, kembali muncul dihadapanku, apakah yang harus kulakukan? Memaafkan dan menerimanya kembali untuk berada disisiku, atau mengabaikannya dan tetap membencinya? Katakanlah, semoga keputusan yang kuambil ini bukanlah keputusan yang salah.
Bestie
376      260     2     
Short Story
She changed me.
Sacrifice
5984      1523     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
Seteduh Taman Surga
1363      556     3     
Romance
Tentang kisah cinta antara seorang santriwati yang barbar dan gemar membuat masalah, dengan putra Kyai pengasuh pesantren.
TAKSA
354      271     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
Sepasang Dandelion
5931      1143     10     
Romance
Sepasang Dandelion yang sangat rapuh,sangat kuat dan indah. Begitulah aku dan dia. Banyak yang mengatakan aku dan dia memiliki cinta yang sederhana dan kuat tetapi rapuh. Rapuh karena harus merelakan orang yang terkasihi harus pergi. Pergi dibawa oleh angin. Aku takkan pernah membenci angin . Angin yang selalu membuat ku terbang dan harus mengalah akan keegoisannya. Keindahan dandelion tak akan ...
LATHI
1186      518     3     
Romance
Monik adalah seorang penasihat pacaran dan pernikahan. Namun, di usianya yang menginjak tiga puluh tahun, dia belum menikah karena trauma yang dideritanya sejak kecil, yaitu sang ayah meninggalkan ibunya saat dia masih di dalam kandungan. Cerita yang diterimanya sejak kecil dari sang ibu membuatnya jijik dan sangat benci terhadap sang ayah sehingga ketika sang ayah datang untuk menemuinya, di...
When Magenta Write Their Destiny
3448      1128     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Teka-teki
252      136     2     
Short Story