Aku jadi teringat satu hal, jika selama ini sering memanggil dia dengan nama depannya yaitu Bunga berbeda dengan semuanya, kurasa itu seperti caraku membedakan diriku dengan yang lain, bisa disebut juga ciri khas sebagai orang yang mencintainya dan menceraikannya hari ini.
Tak ada yang lebih kuinginkan selain mencintainya dan hanya itu saja.
Mobil yang kukendarai saat ini terasa begitu sulit untuk kukendalikan, dia seolah memberontak untuk menjauh dari Bunga, wanita yang biasanya duduk di jok mobil sebelah sopir.
Telpon berdering dan kuhentikan mobil sialan ini di pinggir jalan sedikit jauh dari tikungan.
“Kasihlah aku nomor adik sepupumu, Ndra, kita kan kawan.” Kata si penelpon yang akhirnya kuketahui dia adalah Edo teman kampusku dulu, kami sudah diwisuda beberapa bulan yang lalu dan saat wisuda itulah aku mengenalkan Bunga ke teman-temanku sebagai adik sepupu.
“Jangan ganggu dia, nanti kukadu Tania, pacarmu”
“Aelah”
“Do?”
“Ha?”
“Entahlah”
Kumatikan sambungan telpon dan meletakkannya ke saku celana. Kurasa menceritakan masalahku ke orang lain bukanlah jawaban yang tepat.
Apa aku jahat ketika mengenalkan Bunga sebagai adik sepupu? Hey? aku dan Airin satu kampus, bagaimana jika dia tahu kami menikah dulu? dia bisa mengganggu Bunga. Apalagi pernikahanku dan Bunga hanya digelar di KUA saja, belum resepsi karena keinginnya Bunga, dengan alasan tahun depan saja saat Lusi pulang dari asrama!. Padahal aku tahu Bunga pasti malu menikah denganku.
Kunyalakan lagi mesin mobil dan kembali melaju, perlahan, dengan sorak sorai penghinaan untukku yang memenuhi isi otak.
Aku berkeliling tak tentu arah, yang bisa menghentikanku saat ini hanya jika bahan bakar mobil ini habis. Dan seorang wanita yang sedang menangis di trotoar sebelah kiri jalan yang sepi, Bunga.
Motor yang tadi dipakainya sudah terjatuh dan dia hanya terduduk di pinggir jalan. Apa dia kecelakaan? Di tempat sepi begini?
“Hey?” kataku mengambil posisi duduk di sebelahnya, jujur aku tak tahu kenapa berhenti dan meyapanya sedang tadi kami juga sudah saling bertemu. Seperti tubuhku sudah terbiasa untuk mendekat padanya ketika melihat dia di depanku.
Dia masih menangis, tak lama telponku berdering lagi.
“Airin?” kata Bunga
“Ha?” mengetahui tebakan Bunga benar, aku kembali memasukkan telpon ke saku celana “I-iya”
“Dia bilang dulu kalian sangat dekat” Bunga menatapku lembut dengan air mata di pipinya yang tertahan di sana “Dia bilang mau nembak kau”
“Kamu jatuh?”
“Sesudah dia bilang gitu, kau jadi jauhin aku, Indra” Bunga melanjutkan pembicaraannya yang kuabaikan
Aku diam menunduk dan mengusap kepala bagian belakangku “Kamu terluka” kataku menunjuk lututnya
“Aku juga lihat kalian pelukkan di kantor kejaksaan, tempat kerja Airin”
“Kapan?” Aku menyerah dan mengikuti arah pembicaraan ini
“Pas kau bilang Om Airin meninggal,”
“Dia sedang berduka saat itu,”
“Kau janji hanya akan menyukaiku, Kau bohong, Indra” isak Bunga kian menjadi “Aku selalu nunggu kau pulang ke rumah, aku dipukulin sampai hampir mati karena megang janji sama kau”
“Bunga,” kutelan ludah supaya suaraku tak berubah jadi lirih “Kamu terluka” mata kami bertemu
“Kau lihat mataku sembab tapi dak bakal pernah tahu berapa lama aku nangis, kau bisa melihat tubuhku yang terluka tapi tidak tahu betapa besar luka lain di dalamnya” Bunga beralih pandang ke telponku yang berdering lagi.
Airiiin!
“Aku mau pulang sekarang,” aku bangkit dan menuju ke mobil tanpa menoleh lagi. Seperti benar sedang kehabisan kata-kata yang boleh didengarnya.
Bunga aku menyayangimu, jangan menangis, aku dan Airin hanya teman, Bunga...
“AKU BENCI SAMA KAU, INDRAA!” teriak Bunga,
Kuhela napas seolah tak merasa apa-apa. Tanpa menoleh padanya, masuk ke mobil dan melaju menjauh.
***