2013
Aku sudah sampai di tujuan dua hari kemudian, langsung berhenti di parkiran sebuah gedung.
Sekarang bulan November,
Ini kali kedua, aku menghadiri sidang perceraianku dengan Bunga Dea. Masih sepi sekali, petugas-petugas sibuk lalu lalang membawa kertas-kertas perkara, mungkin. Aku berada di parkiran pengadilan, di dalam mobil dan menjatuhkan kepalaku sembarang ke setir yang masih kugenggam.
Aku tengah bahagia, percayalah!
Satu mobil memasuki parkiran, dan kutemui Paman, Bibi(wali Bunga) serta Lusi(sepupunya) keluar dari mobil itu, tanpa Bunga. Kemana dia?
Kugenggam telpon yang baru diambil dari kantong, tak lama, lalu melemparnya kencang ke jok di sampingku dan sempat melanting setengah sandarannya. Sudah hampir memasuki jam 10, aku keluar dari mobil dan menuju ruang sidang.
Paman, Bibi serta Lusi yang menangis masih berdiri di dekat pintu. Wajah mereka muram, tak enak, lebih-lebih itu karena aku. Ada rasa malu untuk mendekati mereka, tapi kakiku tetap melangkah maju saja.
“Paman,” kutepuk pundak Paman pelan lalu dia berbalik menoleh, aku mencium tangannya, dia menepuk lengan kananku pelan beberapa kali.
“Bi,” kucium tangan Bibi yang menatapku sedih.
Lusi, dia menjauh sedikit membuat jarak dengan berjalan ke kanan, akupun hanya membiarkannya. Kuajak mereka masuk, Paman dan Bibi langsung duduk di bangku peserta lalu diikuti Lusi.
Bangku peserta ini meliputi dua baris yang diisi kursi-kursi kayu memenuhi samping kiri dan kanan, sisanya adalah jalan untuk menuju ke depan meja hakim. Dan juga, kursi yang sedang kutuju.
Suara tangisan Lusi menggema di setiap sudut ruangan, tapi aku tak terlalu mengerti mengapa begitu, seolah-olah suara motor yang memasuki parkiran lebih jelas terdengar di telingaku. Dia, si Bunga Dea datang.
Rambutnya dikuncir ditutupi topi bertulis ‘abaikan’ berwarna hitam, kaos oblong yang tertutup jaket jeans hijau yang kuberi waktu dulu, serta celana jeans dan sepatu yang menjadi cirinya. Mungkin sekarang dia sedang membuat slogan ‘jika ada yang memanggilku mang cilok hari ini!, pasti kuhajar habis-habisan’.
Dia mendekatiku setelah mengobrol sedikit dengan Lusi, Paman, juga Bibi.
Ada percakapan basa-basi sebelum akhirnya dia duduk di kursinya. Tak lama, sidang dimulai. Selama jalannya persidangan aku bisa melihat Bunga menggenggam tangannya satu sama lain, seperti gemetaran tapi berusaha disembunyikan. Dia menunduk seperti tak mau mendengarkan apa-apa, lalu membalas tatapanku sambil tersenyum dan menaik-naikan alisnya.
Kami resmi bercerai hari ini.
Setelah sidang, aku menerima telpon dari ayahnya Airin lalu menuju ke mobil dan melaju. Kaca mobilku yang terbuka membuat wajah Bunga yang motornya sejajar denganku di pagar pengadilan tampak jelas. Dia tersenyum, matanya sembab, mungkin karena menangis, mungkin karena tak tidur semalam, atau mungkin kedua-duanya.
Kami berpisah dari pagar itu kemudian.
Sebuah kota di Sumatera, begini udaranya, tenang. Beda dengan tiga tahun silam, saat pertama kali aku kenal Bunga.
***
2010
Aku sedang berada di kampus saat me-reject panggilan dari Pak Nes, guru olahragaku saat SMA dulu. Oh, aku sudah lulus SMA dan berada di semester dua kuliah. Tidak, aku dan Airin beda kampus. Dia di Jakarta dan aku masih di salah satu kota di Sumatera.
SMA Swasta Kesarikna adalah yang memiliki kesempatan untuk meluluskanku, tempat Pak Nes masih mengajar sampai sekarang.
Pak Nes memintaku untuk menjadi pelatih drumband sekolah, entah mengapa harus aku.
“Balas budi sama Bapak ini, dulu kau sering berkelahi, tawuran, ngerokok tapi karena Bapak kau bisa tetap bertahan di sini sampai lulus” kata Pak Nes di sambungan telpon semalam,
Padahal aku tau, mau aku dan kepala sekolah memiliki cekcok sebesar apapun, atau berapa banyak namaku berada di buku hitam sekolah (rata-rata murid swasta nakal lebih kurang dari aku), pasti tetap takkan dikeluarkan. Karena aku memilih SMA Swasta kecil yang muridnya sedikit, sedang guru di sana terikat sertifikasi yang mengharuskan mereka memiliki standar jam mengajar dalam seminggunya. Jika murid semakin mengurang, jam belajar mengurang, maka sertifikasi bisa saja di cabut.
Tapi aku sudah tobat sedikit, membantunya juga bisa menguntungkanku, contoh; bertemu adik kelas baru yang mungkin cantik-cantik.
Aku datang beberapa menit sebelum waktu pulang anak SMA, modus, dan juga pengintaian. Ada beberapa adik kelasku dulu, yang sekarang sudah duduk di bangku kelas tiga datang menyapa. jangan minta aku kenalkan, semuanya bandel-bandel, carilah lelaki yang baik-baik, misalnya; jangan mereka-mereka ini.
“Woy, Dim” aku langsung berdiri ketika si Dimas menendang-nendang pasir ke arahku
“Hahaha, reuni sama pasir sekolah juga,Ndra” katanya (tak ada panggilan hormat seperti: abang, kakak, mas ataupun Aa’ antara kami, sudah kebiasaan)
“Bagas, Diko, yang lain kemana?”
“Ah, minggat mereka!” kata Pahmi “Sialan semua!”
“Kalian? Hahaha, pasti Pak Nes”
“Tadi sudah janjian di lorong depan, Pak Nes lewat situ pula, yang bajingan semua langsung tancap gas, kami ketangkap” kata Kasim
“Racun semua” kata Tedi
“Hahaha,”
“Ikut ngumpul yok depan” ajak Dimas
“Aku nak nemuin Pak Nes, jadi pelatih drumband sekolah” aku kedip-kedip sambil menyeringai
“Ah, dulu juga yang ngerusak peralatan drumband kau, dak usah sok,” kata Kasim
“Eh dulu pas SMP aku pernah ikut pawai”
“Pawai obor, tukang sembur minyak tanahnya” kata Tedi
“Ha ha ha,” aku ketawa dibuat-buat
“Dak percaya aku, jangan-jangan..” Pahmi mulai berprasangka buruk “Adik kelas!”
“Nah, itu adik kelas paling cantik, namanya Lusi” Dimas merangkul dan memutar badanku sedikit ke kanan sambil menunjuk lurus ke lorong depan kantor guru,
Masih menggunakan baju SMP, rambutnya panjang dan sedikit ikal, kulitnya putih, mancung, terlihat polos dengan tas ransel hitam di punggungnya.
“Tapi ada centeng-nya” (terkesan seperti preman) “Bunga Dea” lanjut Dimas
Juga menggunakan baju SMP tapi di selimuti jaket bola, rambutnya lurus sebahu dengan poni yang di seka bando kuning, tasnya pink, gelang kiri kanan penuh warna-warni, dan kulitnya hitam.
“Lusi..” sapa Dimas pelan
Yang memiliki nama tampak tersenyum dan si centeng-nya mendekat “Apa Lusi Lusi...issh kau” menunjukkan gepalan tangannya yang mungil lalu pergi.
Aku shock, yang lain hanya diam seperti sudah biasa digituin. Itu adalah pertama kali aku bertemu dengan Bunga Dea, wanita yang omongannya kasar tapi luarannya sangat diusahakan wanita. Kurasa dia bukan tomboi dan juga bukan centil, tapi ditengah-tengahnya.
Dia menuju parkiran, mengambil motor bebek miliknya dan membonceng Lusi.
Tak lama Pak Nes menghampiriku dan kami membahas jadwal latihan yang diusahakan tidak mengganggu kegiatanku di kampus.
***
Jam keluar main kira-kira 15 menit lagi, aku datang ke sekolah disuruh Pak Nes memeriksa alat drumband baru. Kurasa Bapak guru satu itu memerintah sekali, tapi aku memang sedang tidak ada kegiatan dan sekalian jadi sok sibuk sedikit.
Ruang penyimpanannya terletak di sebelah gudang belakang sekolah, aku perlu lewat di belakang kelas X5 dan XII2 untuk menuju kesana. Bisa didengar betapa ricuh suasana ketika aku lewat, teriakan terkencang sepertinya dari Elin, seorang ketua tari sekolah “Kak Indra!! Sayang..” begitulah yang kudengar.
Saat aku sibuk tebar pesona dari jendela kelas XII2. kelas X5 sepertinya diajar Buk Siti, guru bimbingan konseling(BK) soalnya ada dua siswi yang dihukum berdiri di luar. Biasanya karena terlambat atau kurang rapi.
Kupasati dengan jeli, salah satunya ternyata Bunga Dea.
“Heh, jangan nangis terus ih” kata Bunga
“Aku malu” kata siswi satu lagi
“Malu itu kalo telanjang, ini kan Cuma lupa bawak dasipun”
“Kak Dimas bisa lihat aku dihukum”
‘Wah Dimas terkenal juga ternyata’ pikirku
“Yaelah, Dimas jelek gitu” gerutu Bunga
“Ganteng!!”
“Jelek!! Apa ada lelaki macam gitu? melentik ke sana-sini, cengcorang lebih bagus dari dia”
Aku ketawa dalam hati, tanda setuju soal cengcorang itu. lalu berjalan mendekati mereka.
“Apa kau lihat-lihat!” teriak Bunga, aku kaget dan langsung jalan saja.
***
Aku ikut nongkrong dengan Dimas, Tedi, Pahmi, Kasim, Bagas, Diko dan yang lain, ada juga Eko siswa kelas satu.
“Jadi dari kalian semua yang ke pilih jadi centeng sekolah malah Bunga Dea?” tanyaku
“Ah bukannya kami takut dengan dia, tapi sepupunya si Lusi wajib dibaik-baikin” kata Dimas kedip-kedip ke Tedi
“Jujur bae sekarang dak, satu sekolah ini terutama laki-laki enggak ada yang berani sama dia” kata Bagas menunjuk ke segala arah
“Mirip Jauhari” kata Eko
“Siapa Jauhari?” tanyaku
“Sekelas juga dengan dia, biar kupanggilin” kata Eko
“Kenapa gak ada yang berani ke dia?” tanyaku
“Ingat Adit dak?” tanya Diko
“Adit gahar?” (nama kakak/adik kelasku(dia adik kelasku tapi lebih tua dariku, pernah tinggal kelas gitu), sekarang sudah jadi anak punk)
“Dia ikut ngospek kemarin, dibuatnya Lusi sampai nangis-nangis, dijambak juga” kata Diko
“Siangnya dekat ruko warnet depan (tempat sepi dan warnetnya juga sering tutup), pas kami semua ada di sana datang Dea, mukanya merah nian” kata Kasim “Ditinjunya, ditendangnya si Adit, dia babak belur juga tapi dak berhenti tetap aja ninjuin sampai Adit minta ampun, sejam lebih dua-duanya parah, tapi parahan Adit karena sampai pincang”
“Kalian nonton aja, cewek digituin?” tanyaku
“Kawan punk-nya semua di sana juga, aku lihat beberapa ada yang nendang Dea dari belakang, kalo aku pasti sudah milih mati” kata Pahmi
“Dia yang nyamperin ya? Untung aja menang” kata Bagas
Lalu Bunga Dea beserta Lusi tiba di kantin, mereka duduk di meja sebelah.
Mendengar kisahnya aku jadi sedikit takut, bukan takut padanya tapi pada apa yang bisa membuatnya jadi seberani sekarang. sedangkan aku dulu juga pernah berkelahi dengan Adit dan ditahan imbang.
“Lusi” sapa Dimas, si pemilik nama tersenyum
"Lusi" sapa Tedi sambil ketawa
“Lusi” sapa Bagas,
“Lusi” sapa Kasim,
“Lusi” sapa Pahmi
Lalu garpu menghempas keras ke meja “LUSI LUSI!! Kalian lihat dak dia mau makan, kalo nak balas sapaan kalian semua, mati kelaparan ni anak!!” kata Bunga berdiri,
“Dea..” suara Lusi terdengar lirih
Dimas, Tedi, Kasim, Bagas, Pahmi bahkan Diko yang tidak ikut menyapa langsung memalingkan wajah, ada yang menunduk, ada yang menyamping, seolah-olah tak berani dengan Bunga. Bunga kembali duduk dan lanjut makan.
“Eh Jauhari” kata Tedi
“Mana?”
“Itu Jauhari” tunjuk Pahmi
“Iya Jauhari?” tanya Dimas
Bagas menoleh ke arah tunjukkan Pahmi, aku juga ikut melirik
“JAUHARI!!” teriak mereka semua
Tiba-tiba Bunga langsung berdiri, dipukul dan ditendangnya yang terdekat diantara mereka yaitu si Tedi dan Bagas berkali-kali.
“Itu benar Jauhari,” kata Tedi tapi Bunga tetap saja memukul,
“Iya, Kak, manggil saya kenapa?” kata Jauhari yang sudah tiba dan berdiri diantar Bunga dan Eko,
Bunga yang sadar langsung memukul Jauhari dan Eko sebelum kembali duduk. Tedi dan Bagas mengusap lengan dan kaki masing-masing.
Dari obrolan setelah itu, aku jadi lebih mengenal Jauhari, badannya kurus, kulitnya hitam dan rambutnya lurus sepanjang bahu, mamanya sudah minta izin ke sekolah masalah rambut, kata Jauhari dia bisa jatuh sakit jika rambutnya lebih pendek dari ini. Aku tak percaya, tapi pihak sekolah percaya.
***
Keesokan harinya aku mengabaikan panggilan telpon dari Pak Nes. Kuputuskan tidak ke sekolah meski kegiatanku kosong.
Mungkin aku sedang melarang diriku sendiri untuk mencaritahu tentang Bunga Dea ini. seolah-olah dia begitu menarik dan begitulah yang kurasa.
***
Kemarin seharian aku hanya duduk di kamar kos. Benar, aku memilih nge-kos daripada tinggal di rumahku sendiri. Di sana terlalu sepi dan biar Mang Urip saja yang menjaganya, aku tak mau.
Dalam perenungan yang sangat dalam, aku tetap saja ingin tahu tentang Bunga. Dan aku jadi menyerah untuk melarang diriku sendiri.
Hari ini aku datang lagi ke sekolah,
Pak Nes sedang mengajar kelas XI di lapangan voli, aku rasa dia bukanlah prioritasku meski aku mendapatkan banyak sekali pesan singkat darinya kemarin. Biarlah dia menyelesaikan tugasnya dulu, nanti aku akan menemuinya saat istirahat.
Ini masih jam pelajaran meski banyak sekali murid berada di luar. Entah karena dihukum atau mungkin karena ada jam kosong.
Aku tahu Dimas dan yang lain pasti berada di kantin sekarang. Tapi aku malah berjalan ke arah kelas X5 ingin melihat Bunga. Sejak kapan aku begini? Coba tanya dengan hatiku yang kurang ajar, dia tidak mau lagi menurut dengan si pemilik tubuhnya ini.
Pintu kelas ditutup meski tak rapat, sepertinya kelas X5 sedang jam kosong. Hanya ada beberapa murid wanita di dalam bersama Bunga.
Aku bisa melihat jelas dari celah pintu, ada cekcok mulut di dalam kelas dan beberapa wanita itu tak akur dengan Bunga.
“Dasar kau! Berani rame-rame, takut denganku, hah, pencuri?” kata Bunga mendorong seorang siswi lain
“Aku kenal Kak Elin, Lusi bisa masuk eskul tari juga karena aku, seharusnya dia membayar untuk itu kan?”
“Alah... guru kesenian yang minta Lusi ikut eskul tari, dak usah merasa sok pentinglah”
“Kau bilang Tia pencuri? Bukannya kau, ya? Numpang di rumahnya dari lahir, dasar yatim piatu!” kata siswi satu lagi menjambak rambut Bunga dengan keras.
Napasku langsung terasa sesak, betul aku tak mengerti apa-apa soal ini. Seperti mengejek seseorang yang tak punya mama atau bapak atau keduanya adalah hal yang lumrah sekali terjadi. Akupun sama, dulu, Adit sering memanggilku si yatim piatu.
Suara teriakan terdengar keras sekali, Bunga menghempas tangan siswi kurang ajar itu dan temannya yang lain hanya meringis sambil memegangi siswi itu yang pura-pura menangis. Sepertinya Bunga memegang pergelangan tangan siswi itu dengan cukup keras tadi.
“Jangan menarik rambutku kurang ajar, iya aku yatim piatu, tapi belum tentu aku tak bisa menyakitimu ketika kau menjambakku!”
Aku merasa begitu menang dan senang melihat Bunga yang mampu membela dirinya sendiri. dan sedikit menepi saat Bunga akan keluar dari pintu kelasnya.
Sesudah itu, aku ke kantin untuk berkumpul dengan Dimas dan yang lain.
***
Rombongan Dimas terbirit-birit ke kelas masing-masing ketika Buk Siti meneriaki mereka. entah mengapa aku juga ikut lari padahal aku sudah tamat, kurasa Buk Siti dan teriakannya itu membuatku trauma.
Sekitar setengah jam lagi bel istirahat berbunyi, tapi Pak Nes sudah melenceng dari jam mengajarnya dan pergi ke kantin. Ingatlah pepatah lama: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu benar adanya.
Melihat aku memergokinya, dia malah menyuruhku mengecek peralatan drumband. Kurasa itu lebih baik daripada mengobrol dengannya, jadi aku langsung pergi.
Dari jauh aku melihat pintu gudang terbuka dan tak biasanya begitu saat kulewati ada Bunga di sana. Aku ingin masuk tapi sepertinya itu tak cukup sopan. Jadi aku masuk ke ruang peralatan di samping gudang, di sana aku bersender di dinding sebelah kiri, mendengar Bunga menangis tersedu-sedu. Sejak kapan dia begini? Apa setelah cekcok mulut di kelasnya tadi? Bukannya dia menang? Ini menyakitiku, teramat sangat.
Hanya hembusan angin, debu-debu dan suara tangisan Bunga Dea setengah jam lebih lamanya.
***
Hari-hari mencaritahu tentang Bunga Dea sudah banyak terlewat. Tapi, aku masih memikirkannya setiap saat. Dalam ilmu patriotisme, orang pasti akan bilang ini adalah rasa senasib dan seperjuangan. Tapi aku berani jamin jika aku sudah menyukainya sebelum tahu latar belakang keluarganya.
Aku mulai sering memerhatikannya diam-diam. Dia suka marah terutama dengan laki-laki yang mengganggu Lusi. Bukan seperti dia melarang Lusi untuk bergaul karena Lusi juga sering main dengan anak-anak yang lain dan Bunga-pun sama. Hanya kurasa Bunga tahu jika sepupunya tak bisa membela diri sendiri, misalnya ketika Dimas menyita tas Lusi supaya Lusi mau pulang dengan Dimas.
Oh, tentang Lusi. Pak Nes menunjuknya sebagai mayoret utama, entah bagaimana begitu. Mungkin karena dia cantik dan gampang diajari, dan dia tak masuk eskul tari sekolah lagi sejak beberapa waktu yang lalu.
Berbeda dengan Lusi yang masuk eskul drumband, si Bunga malah masuk eskul Voli. Tapi karena kedua eskul itu diawasi oleh Pak Nes maka biasanya latihan dilakukan dihari yang sama. Kamis sore.
Pernah waktu itu, Pak Nes tak masuk dan aku sedang mengajari Lusi memegang tongkat mayoret.
“Begini” kataku meletakkan tangan Lusi di tengah tongkat
Sorak sorai tertedangar dari beberapa murid yang menonton ‘cieee.. cieee wihhh’ begitulah
“Lalu begini” kataku memutar tongkat itu yang masih di genggaman Lusi
Tak lama bola voli mendarat tepat di kepala bagian belakangku “Kau peganglah terus ya anak orang, nih, pegang terus!” teriak Bunga yang mendekat ke arahku.
Aku deg-degan sekali, bukan takut tapi grogi. Kuambil bola voli bermaksud memberinya ke Bunga sebagai taktik berkenalan, tapi ketika dia berhenti tepat di depanku dia mengambil bola di tanganku dan mundur dua langkah ke belakang.
Belum sempat aku bicara, puuussshh, Bunga melempar bola voli itu kuat-kuat ke wajahku, kepalaku sampai terasa pusing.
“Kulihat kau pegang-pegang dia lagi, awas kau ya?!”
Lalu Bunga pergi meninggalkanku yang masih melongo. Aku mendengar suara Lusi meminta maaf berkali-kali setelahnya, tapi mataku masih melihat Bunga yang melangkah menjauh dan menoleh sesekali menunjukkan tinjunya.
***
“Kak Indra sayang...” teriak Elin menghampiriku yang sedang ngumpul di kantin dengan Bagas dan Diko.
“Oh, iya, Elin ya?”
“Ah, Kak Indra masih ingat aja, ini buat Kakak”
“Apa ini?”
“Hatiku..” katanya lalu berlari
Aku meletakkan kotak kado itu di meja, Dimas datang beserta Tedi dan Kasim.
“Hahaha...” tawa Bagas dan Diko terdengar pecah, aku senyum
“Kenapa?” tanya Kasim memegang kotak di atas meja sembarang
“Hati-hati, itu isinya organ tubuh” kata Bagas
“Iya, yang ngasih baru selesai operasi pengangkatan hati dan dipindahkan ke situ hahaha” kata Diko
“Dari siapa?” tanya Tedi
“Elin” kataku “Hahaha” lalu ketawa,
Elin lumayanlah, cantik. Aku sudah tahu lama dia menyukaiku, tapi bukannya aku tak mau memberi kesempatan untuknya, hanya saja Elin adalah mantan dari Dimas, Bagas, Diko, Pahmi dan juga pernah begitu dekat dengan Kasim.
“Mantan kalian” kataku
“Aku enggaklah ya..” kata Tedi
Mungkin kenapa Elin tidak mendekati Tedi juga, itu karena Tedi memiliki pacar sejak SMP sampai sekarang.
“Hahaha.... Elin itu gak ada malunya, sudah mau tamat, enggak tobat-tobat” kata Dimas
“Dekatin lagi sana” kataku menyikut Bagas
“Diko, tuh yang mau” kata Bagas
“Ih... amit-amit kasih tuh ke si Dimas” kata Diko
“Kasim aja, dulu TTM-an kan?” tanya Dimas menyindir
Aku ketawa saja bersama Tedi.
Bagaimana bisa mereka berteman dan memiliki satu mantan yang sama begini? Hanya Elin yang bisa jawab. Untung aku dan Tedi tidak gampang digoda, jika kami juga jadi mantannya Elin, bisa-bisa perkumpulan kami ini dinamai ‘geng mantan-mantan Elin’.
Selain Elin, ada beberapa siswi lagi yang menyukaiku. Dan itu jadi alasan utama aku tak berani mendekatkan diriku dengan Bunga. Dia kuat tapi kan kasihan juga kalo dia harus dorong motornya yang tiba-tiba digembosin Elin dan yang lain, yang cemburu ketika aku deketin Bunga.
Kalo Lusi pasti langsung dianterin Dimas yang senyum-senyum nantinya melihat kemalangan Bunga. Sedang jika aku mau nganterin Bunga juga jatuhnya bukan boncengan. Tapi aku di motorku, Bunga di motornya lalu tali tambang di antara kami. Sedih.
“Dea itu sebenarnya manis” kata Kasim di sewaktu waktu, aku senyum
“Iya, Lusi kan cantik dan mereka masih ada hubungan darah, jadi Dea itu sebenarnya gak jelek” kata Dimas
“Dia itu dandanannya terlalu mencolok, kayak rak aksesoris” kata Diko, aku cemberut
“Kasar juga pemarah” sambung Tedi
“Tapi pas dia ketawa, manis banget,yah?” lanjut Pahmi, aku senyum
“Udah udah jangan bahas dia lagi” kataku tiba-tiba cemburu mengingat mereka-mereka ini memiliki tipe wanita yang sama, pas Elin ke Elin semua, pas Bunga nanti? Jangan sampai lah..
***
Karena jadwal melatih drumband sekolah dilakukan sore, aku jadi jarang ke sekolah saat jam mengajar berlangsung. Aku tak mau jadi orang yang sok sibuk intinya. Dan sore itu di sekolah dekat mading, aku bisa melihat Bunga duduk sendirian, seperti dia tak berniat berlatih voli dengan teman-temannya yang lain.
Aku duduk di depan Bunga tapi jauh, dipisahkan lapangan basket, tepatnya Bunga pasti tak tahu ada aku yang memerhatikannya.
Eko bilang Bunga sedang dalam mood yang sangat buruk karena kejadian di sekolah tadi pagi. Eko bilang meski kasar Bunga belum pernah berkelahi dengan perempuan, dan tadi dia berkelahi dengan perempuan.
“Dengan siapa?” kataku
“Kelas satu juga, cewek yang di pukul Bunga itu sebenarnya...” Eko garuk-garuk kepala “Jangan bilang ke guru masalah ini ya?”
“Iya,”
“Cewek itu sekelas dengan Lusi, dan sudah sering gangguin Lusi juga, tapi kemarin itu parah banget katanya sampai Dea marah, masak cewek itu mukul punggung Lusi berkali-kali sampai Lusi jatuh” Eko seperti sedang mikir “Tapi pihak sekolah enggak tahu soal ini, yang sekolah tahu Dea yang mukulin cewek itu”
“Hah?”
“Aneh kan? Padahal aku lihat tadi pagi itu, iya Dea marah tapi enggak sampai mukul, yang ada dia nangkis pukulan cewek itu, ”
“Trus gimana?”
“Dea dapat peringatan keras, kalo sekali lagi buat masalah, dia dikeluarin”
Aku shock sekali, ancaman begitu jarang terdengar. Aku saja yang dulu SMA-nya nakal, jangankan aku si Adit gahar aja yang suka cari masalah terus, bisa sampai tamat di sini. Masak Bunga yang notabennya siswi dan selalu masuk sekolah serta ikut eskul pula, diberi peringatan sekeras ini.
Aku yakin dia sangat kesal sekarang dan otaknya sedang bilang: jika hari ini ada yang memanggilku Jauhari, kan kupukul dia sampai mati!.
Tak lama, seorang lelaki berlari kecil ke mading sambil teriak “JAUHARIII”
Bunga langsung menatapnya sinis “Ck” sepertinya bunyi itu terdengar dari mulutnya “SETAN IDUP!”
“Maaf Dea salah orang”
Lelaki itu langsung pergi dan Bunga tak peduli, sepertinya otak Bunga sedang bicara lagi: kali ini kumaafkan karena dia minta maaf langsung dengan sopan. Awas kalo ada lagi!
Aku geleng-geleng ketawa, aku terlalu mendramatisir rasanya.
***
Hari itu,
Langit sedang tidak bersahabat. Suara guntur menggelegar membuat tanah yang kutinjaki gemetaran. Ada kilat dan burung-burung di langit yang seperti buru-buru ke sarangnya.
Aku sedang berada di kampus. Lalu telpon berdering saat aku baru duduk di koridor.
“Selamat siang mas Indra? Hasil penyelidikan sudah selesai, orangtua anda dibunuh bukannya bunuh diri”
Sudah kuduga
“Aku akan ke Jakarta, terimakasih atas pemberitahuannya, Pak”
Aku naik ojek ke bandara dan memesan tiket tercepat tapi cuaca yang tak mendukung membuat penerbanganku sedikit ditunda. Sampai di sana aku langsung ke kantor polisi.
Di perjalanan aku sempat menelpon Om Rian beberapa kali tapi nomornya tak aktif.
Pak Darmono yang bertugas menyelidiki pembunuhan orangtuaku menyambutku di parkiran. Aku mengikutinya memasuki kantor perlahan.
“Om... aku telpon dari tadi” kataku, mengajak bicara Om Rian yang ternyata sudah ada di dalam kantor dan sedang duduk di depan meja salah seorang polisi.
Om Rian hanya diam dan Pak Darmono menarik Om rian untuk berdiri di sebelahnya.
“Indra, dia yang membunuh kedua orangtuamu” kata Pak Darmono
Aku diam memerhatikan Pak Darmono lalu Om Rian.
“Om...” suaraku lirih “Kenapa begini? Om mengurus aku dengan baik” aku memegangi kepalaku yang penuh sekali. lalu tak tunggu lama sampai akhirnya terduduk dan menangis seperti anak-anak.
‘Dunia berantakan, aku berantakan, mama papa sudah tenangkan?’
***
Setelah hari itu,
Aku disibukkan dengan urusan perusahaan. Sampai bolak balik setiap minggu Jakarta-Sumatera. Lalu dengan semua kesibukkan itu aku memutuskan pindah kampus ke Jakarta dan akan menetap di sana.
Aku mengurus berkas-berkas dan syarat-syaratnya. Saat semuanya sudah rampung. Aku ke SMA Swasta kesarikna untuk menemui Bunga terkhir kali. Tapi, Bunga tidak ada, Lusi juga tidak.
“Kemana mereka?” kataku,
“Pindah, tapi sebenarnya Dea dikeluarin” kata Bagas
“Lusi pindah karena Elin” kata Dimas “Elin pikir kau suka dengan Lusi karena kau ngajarin dia jadi mayoret”
“Enggak ah,” kataku
“Pas itu jam istirahat, aku berencana ngajak Lusi ke kantin bareng, tapi Dea di depan pintu kelas Lusi jadi aku Cuma berdiri di kaca kelas” kata Dimas mengingat-ingat “Semua anak eskul tari didalangi Elin masuk ke kelas”
“Masih ingat cewek yang mukul punggung Lusi? Nah cewek itu juga anak eskul tari, jadi mungkin Dea Cuma diam aja di pintu pas semua anak tari masuk kelas Lusi karena mikir anak tari yang lain Cuma mau nemenin cewek itu ngambil sesuatu” jelas Eko
“Tapi nyatanya idak, aku dengar mereka bikin koreografer dengan suara; sul... samsul... si bisul... bisul... samsul... sul, gitu” kata Dimas terbawa emosi “Dea marah besar, karena Samsul adalah nama Bapaknya Lusi sekaligus Pamannya Dea”
“Dea dituduh mukul semuanya, yah?” lanjut Tedi
“Iya, Lusi nangis waktu itu” kata Dimas
“Sebenarnya, Dea cuman teriak aja, marah, tapi tiba-tiba yang lain jadi ngerumunin Dea sambil mukul satu sama lain, gak ada yang berani mukul Dea dan Dea juga enggak mukul siapa-siapa, tapi pas guru datang lihat anak tari semuanya berantakan dan Dea ada di tengah-tengah dalam kondisi baik-baik aja, yang dituduh mukul cuman dianya, yang lain korban”
“Padahal dia udah dikasih peringatan keras, jadi ya langsung disuruh nandatangani surat pindah hari itu juga” kata Eko “Lusi juga minta pindah jadinya..!”
Bagaimana semua cerita ini diketahui oleh teman-temanku secara terperinci, sedangkan pihak sekolah tidak?
Dan bagaimana bisa teman-temanku hanya menyampaikan kebenaran ini kepadaku? Entahlah, kadang manusia memang tidak mau ambil resiko untuk terlibat dengan urusan orang lain. Apalagi laki-laki, kami tidak suka kesan pengadu tertempel di punggung.
Benar kata Ali bin Abu Thalib Dunia jadi sebusuk ini bukan karena orang jahat, tapi karena orang baik yang diam,
"LUSI...!"teriak Dimas
“BUNGA....!” isakku dalam hati,
***
Dengan rasa yang sangat kacau di dadaku, aku tetap pergi dari Sumatera. Bunga, suatu saat nanti, mungkin hanya akan jadi pemanis dalam buku kenangan yang tersusun di perpustakaan hatiku. Lalu dari semua buku yang ada kurasa buku berjudul Bunga ini yang akan paling kucel bahkan lepas sampulnya karena selalu terbuka.
Lalu, sesal masuk ke dalam otakku. Membuatku merasa bersalah setiap detik, lalu hari, kemudian bulan, selanjutnya tahun demi tahun.
Kenapa dulu aku tak menunjukkan rasaku?
***
Dan di saat begitu aku sangat gusar dan gelisah sekali,
***
Seorang wanita memelukku di bandara, siapa yang beri tahu dia?
“Ayah bilang semuanya soal Om Rian” katanya dengan masih memelukku erat,
Jadi ayah-nya yang bilang!
Jujur, atas segala kekacauan di hidupku belakangan ini. Airin membuatku merasa sedikit senang, tapi meski sedikit aku sangat butuh itu. Jika hidupku bagaikan malam yang gelap maka Airin adalah percikan kembang api yang indah.
“Kamu bilang kita bakalan kuliah sama-sama, tahunya kamu gak ke Jakarta juga” Airin melepaskan pelukannya dan memandangiku,
“Kemarin-kemarin lupa, ini baru inget jadi langsung pindah kan?”
Aku bisa melihat wajah Airin secara jelas, dia tambah cantik dengan make up di wajahnya, sedikit bertambah tinggi tapi belum melewatiku. Lalu dia meminta paksa koperku untuk dibawa-nya. Sambil membujuk supaya aku mau di ajaknya jalan-jalan hari ini juga.
Untuk saat ini, aku hanya memerhatikan Airin yang tak berhenti ketawa. Lupa soal dunia, Bunga ataupun Om Rian.
***
Waktu berlalu sama dengan detik-detik jam yang tak bisa terhentikan. Beberapa minggu di Jakarta, tak sulit untukku menemui teman-teman baru. Aku juga bertemu dengan Saleman dan Sobri lagi. Mereka masih sama gila dengan yang dahulu, suka futsal dan bertengkar.
Aku dan Airin berada di kampus yang sama, meski beda fakultas. Dan ada hal yang ingin kuceritakan lebih tentang dia, Airin yang baru.
Waktu itu, aku memiliki jam kosong di kampus dan belum berniat mau pulang, sedangkan teman-temanku yang lain penuh dengan kesibukkan yang dibuat-buat, seperti; nongkrong di cafe dan nonton di bioskop.
Jadi, aku memutuskan untuk menghampiri Airin di fakultasnya tanpa dia ketahui. Dan di sanalah aku melihat suatu kejanggalan menohok. Airin yang cantik malah terlihat seperti setan yang merangkak dari neraka.
“Kau, sudah miskin tak mau mengerjakan tugas-tugasku, lalu mengganggu Indra!” teriak Airin menampar wanita itu lalu menjambaknya. Kupasati jelas-jelas dan ternyata itu Teresa.
Teresa dan aku dulu sekelas saat kelas satu SMA, kemarin kami sempat ngobrol dan dari dialah aku bisa mengetahui kabar Saleman dan Sobri. Tapi itu hanya obrolan biasa dari teman lama.
“Iya, Airin, aku minta maaf” kata Teresa mulai menangis
“Indra, tak ada yang boleh mendekatinya! paham!” teriak Airin kembali menampar Teresa,
Aku tak tahu apa yang dipikirkan Airin sekarang, bagaimana dia malah mengatur siapa yang boleh dekat denganku? Meski aku baik dengannya sejak kecil, aku tak pernah menganggap Airin lebih dari teman, tidak pernah lebih dari itu. Jika lebihpun, tak boleh jika sampai begini!
Tapi Airin semena-mena memukuli seorang wanita yang dahulu satu sekolah dengannya juga, serta berkata kasar! Hanya karena wanita itu bicara denganku! Airin sudah gila!
Teresa masih menangis dan Airin tetap menjambaknya, aku ingin sekali melerai mereka tapi di satu sisi jika aku membela Teresa, apa yang akan Airin lakukan kemudian harinya? Jadi kuputuskan untuk menelpon Airin sekarang.
“Rinn... kantin yukk” kataku berusaha mengatur napas
“Iya, ada yang mau kuceritain”
Lalu kumatikan telpon dan bergegas menuju kantin secepatnya. Memesan makanan dan minuman untuk dua orang.
Airin datang, sambil menangis dan rambutnya berantakan, dahiku mengernyit, bingung kenapa dia yang menangis setelah memukuli seseorang tadi.
“Kenapa, Rin?”
“Kamu ingat Teresa? Dia mendorongku sampai aku jatuh dan tanganku merah” dia menunjukkan tangannya “Dia juga menjambak rambutku”
Airin kembali menangis dan seperti bener dia habis disakiti. Padahal tadi aku lihat semuanya, dia yang menyakiti Teresa bukan sebaliknya.
“Minum dulu, Rin” kataku menyodorkan jus jeruk ke tangannya,
Dia berhenti menangis, minum, lalu tertawa.
***
Aku pulang dan berbaring di ranjangku malam harinya. Apa yang terjadi dengan Airin membuatku sedikit ketakutan, dia adalah orang yang tahu rasa sakitnya di-bully dan sekarang dia adalah seorang pem-bully.
Cemas merasuk ke dalam otakku. Lalu kupejamkan mata, mengingat senyum Bunga Dea. Lalu tenang dan tertidur kemudian.
Bunga? Kau baik-baikkan?
***
Aku berusaha keras untuk bersikap biasa saja pada Airin seterusnya. Mungkin karena dia adalah teman masa kecilku dan juga kedua orangtuanya sahabat almarhum papa dan almarhumah mama. Meski hal ini membuatku jadi menjaga jarak dengan teman-teman wanita yang lain.
Di dalam masa perkulihanku yang aneh ini, aku memiliki satu waktu leluasa. Maksudku untuk bersikap semaunya aku, yaitu setiap libur semester, aku akan liburan di salah satu kota di Sumatera. Kotaku ketika aku duduk di bangku SMA. Sekalian menghindari Airin dan mencari Bunga.
Benar jika aku masih belum merelakan Bunga untuk menghilang begitu saja. Aku akan keliling kota ini selama liburan untuk mencarinya. Walau, lagi-lagi, dia pasti masih tak ada.
***