Suasana kafe sore itu cukup lenggang. Tidak begitu ramai walau saat ini adalah rush hour. Beberapa kali matanya mengawasi pejalan kaki yang melintas di trotoar depan kafe. Di luar ramai. Sarat akan kemacetan. Ia menatap pada jalanan yang padat, mobil-mobil, motor, dan beberapa transportasi umum. Tak jarang ia juga melihat pada tanaman-tanaman kecil yang berhasil bertahan dari panasnya matahari Jakarta.
Ia tersenyum. Cahaya matahari sore yang menembus celah gedung padat Jakarta jatuh di pipinya, seakan menyorot kesedihan yang tersembunyi di balik senyum tipisnya. Mungkin besok ia akan bisa melepaskan semuanya. Atau mungkin tidak. Entahlah.
Ponsel di atas mejanya bergetar. Ia melirik sekilas, melihat bahwa Abi, salah satu pegawainya mengiriminya pesan. Ia tak buru-buru membalasnya, karena itu bukan tentang pekerjaan. Ponselnya bergetar untuk yang kedua kali. Kali ini sebuah pesan dari ibunya. Ia pun tak segera membalasnya. Bukannya durhaka. Ia hanya sedang tak ingin membalas saja.
Suara bel dari pintu kafe berbunyi. Seorang pemuda masuk ke sana dengan tergesa. Matanya beredar, mencari-cari sosok cantik yang tengah menunggunya. Dan ketika matanya menangkap sosok berambut hitam panjang itu, ia segera menghampiri, takut-takut bahwa sang kasih menunggu terlalu lama.
“Res? Maaf ya aku lama. Macet banget jam segini,” ucapnya sebagai sapaan begitu ia sampai di tempat sang gadis. Yang disapa mendongak, kemudian tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Duduk, Rin,” balasnya ringan.
Si pemuda yang dipersilakan pun menempati kursinya. Hening sejenak. Ia menatap pada gadis cantik yang duduk di depannya itu. Rambutnya yang hitam panjang, matanya yang legam, serta wajahnya yang ayu. Benar-benar cantik.
Tenggelam dalam suasana, keramaian di sekitar mereka seolah tak terdengar. Keduanya saling melempar tatap, sebelum akhirnya si gadis memutusnya. Sinar matahari sore itu menerpa wajah cantiknya dengan lembut. Gadis itu melepas cincinnya perlahan.
“Sudah ya, Rin? Cukup sampai sini saja.”